Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Surat Tak Terungkap


"Elsa… Akh tau ini gila. Tapi, aku engga bisa nahan ini lagi. Sa… Aku cinta sama kamu, Sa…"

"Salman. Stop it! You don't gimme a mess! Kita ini sahabat Man. Aku udah nganggep kamu ini…"

"Apa? Seperti saudara? Seperti kakak buat kamu? Sa, kalo emang bener kamu nganggep aku sahabat kamu. Kenapa kamu ga pernah sedikitpun cerita berapa banyak laki-laki yang deketin kamu tapi selalu kamu abaikan?"

"Sakit kamu Man. Udah aku ga mau denger apapun lagi. kita bicara lagi nanti saat kamu udah sehat".

"Aku ga sakit!"

"Iya, tapi otak kamu lagi ga sehat". Ucap Elsa lalu pergi begitu saja tanpa memberi tahu kemana tujuannya. Dan gue menyesali apa yang sudah gue lakukan; menyatakan perasaan yang telah sangat lama gue pendam.

Karena setelahnya gue dan Elsa tidak pernah bertemu lagi. Sudah dua bulan setelah hari itu, Elsa seperti menghilang ditelan Bumi. Gue sudah mencoba menguhubunginya, tapi tidak satu pun pesan chatting atau panggilan telepon yang memberikan sedikit kejelasan di mana Elsa berada; Elsa tidak pernah menjawab panggilan telepon dan tidak pernah membaca pesan chatting gue. Gue juga sudah mencarinya ke segala tempat yang berkemungkinan Elsa berada; di kantonya, di kosannya, di rumah-rumah temannya, bahkan di rumah orang tuanya, Elsa juga tidak ada. Satu-satunya kabar yang sampai di telinga gue mengenai Elsa adalah: dia sudah resign dari tempatnya bekerja. Hal itu sungguh membuat gue semakin merasa menyesali apa yang telah terjadi.

28 Januari 2019

"Sa lo di mana?" Gue bertanya entah pada siapa.

"Woi bengong jae". Suara Habibah mengangetkan gue. Habibah adalah rekan kerja gue. Kami berada di satu divisi sebuah perusahaan yang bergerak di bidang retail.

"Sialan lu, untung ga copot jantung gue".

"Lebay, hahah. Ada paket nih buat lo".

"Dari siapa?" Tanya gue.

"Mana gue tau, Riska nitip itu sama gue". Jawab Habibah. Lalu gue membolak-balik mencari informasi dari pengirim paket yang berbentuk persegi empat yang dibalut dengan plastik hitam.

"Ga ada nama pengirimnya". Ucap gue.

"Jangan-jangan bom".

"Mana ada bom enteng gini". Sahut gue sambil mengocok kotak ini; memperkirakan apa isi di dalam kotak ini dari suara-suara benturan benda di dalamnya. Tanpa memperdulikan kemungkinan ancaman berbahaya di dalam kotak ini, gue langsung merobek plastik hitam yang membalut kotak ini hingga terlihat sebuah kotak bekas pembungkus sepatu. Kemudian gue membuka penutup kotak ini.

"Apaan?" Tanya Habibah tak kalah penasaranya.

"Buku". Jawab gue sambil mengeluarkan buku yang ada di dalam kotak ini.

"Buku apaaan? Sejak kapan lo suka baca buku".

"Tau nih, aneh. Salah kali nih… Da Vinci Code" Sahut gue membaca judul buku itu. "Ah ini sih gue pernah nonton filmnya… Nih lo kan suka iseng baca buku". Lanjut gue sambil memberikan buku itu pada Habibah.

Saat Habibah menerima bukunya, ada selembar kertas terjatuh dari buku itu. Gue mengambilnya lalu membaca tulisan yang ada di atas selembar kertas itu.



"Man". Panggil Habibah pelan, sambil memegang bahu gue seperti ingin menenangkan gue yang mungkin terlihat seperti seseorang yang dirundung masalah pelik hingga teriakan hati terdengar Cumiik.

***


Elsa, gue mengenalnya 15 tahun yang lalu. Dalam umur gue yang saat ini menginjak usia 27 tahun, berarti gue sudah mengenal Elsa lebih dari separuh usia gue dan sudah 15 tahun kurang dua bulan ini, tidak ada satupun hari yang gue lalui di mana tidak ada Elsa di dalamnya; gue dan Elsa selalu menyempatkan bertemu walau hanya mempertemukan suara kami dalam panggilan telepon.

Masih jelas diingatan, bagaimana awal perkenalan gue dengan Elsa. Gue yang saat itu sedang duduk memenung diri di tempat yang asing; bingung karena tidak ada seorangpun yang gue kenal saat gue pertama kali menginjakan kaki di sekolah menengah pertama. Elsa menghampiri gue dengan ramah dan riangnya; tidak perduli kami belum saling mengetahui nama masing-masing tapi Elsa tiba-tiba mengajak gue berbicara tentang bagaimana rasa awan di atas kepala kami. Jika diingat saat ini, hal itu tentu sesuatu yang absurd. Namun jika gue mencoba mengembalikan diri gue pada saat itu. Rasanya semua itu adalah hal yang biasa; anak-anak yang belum remaja tidak mempunyai aturan "berbicara hanya pada seorang yang dikenal saja".

Karena keramahan Elsa yang khas sekali anak-anak yang memasuki masa remaja. Tak ayal itu semua membuat gue semakin akrab dengan Elsa. Kebetulan kami sekelas saat itu. Dan kemanapun Elsa pergi, saat itu gue selalu mengikuti. Karena hanya pada Elsa saat itu gue bisa akrab, sementara dengan yang lain entah kenapa rasanya mereka sudah berbicara seperti orang dewasa, atau tumbuh kembang gue dan Elsa yang lambat, entahlah. Yang jelas di bulan-bulan awal gue berada di sekolah menengah pertama gue dan Elsa seperti sudah seperti teman lama.

"Man, kamu ikut ekskul apa?" Tanya Elsa saat itu setelah kami berdua dipanggil guru BP di awal semester kedua karena di semester sebelumnya gue dan Elsa tidak mengikuti satu ekstra kulikuler apapun.

"Gue ga tau, Sa. Apa yah? Lo mau masuk ikut ekskul apa?"

"Aku juga ga tau, Man". Ucap Elsa sambil mengayunkan kakinya bergantian. "Males tau sebenernya… Dari pada ekskul mending main ke rumah kamu metik jambu".

"Tapi kalo ga ikut ekskul kita bisa ga naik kelas, Sa".

"Iyah sih… emmmmm…" Elsa terlihat menimbang sesuatu. "Man, kita ikut ekskul pramuka ajah yuk, mau ga?"

"Engga ah, males, tuh liat ajah. Gue engga bisa baris begitu".

"Yah, Man… Masa aku ikut pramuka sendiri… aku ga ada temennya nanti, Man".

"Yaelah…"

"Man…"

"Apa gini, gue ekskul basket, lo pramuka. Kan sama tuh harinya".

"Yah…"

"Gue males kalo pramuka, Sa".

"Yaudah deh". Elsa menyetujuinya. Dan semenjak hari itu, setiap sabtu kami punya kebiasaan baru. Selesai ekskul biasanya gue dan Elsa menghabiskan waktu di lapangan belakang sekolah, melepas lelah, atau terkadang gue memanjat pohon jamblang dan memetiki buahnya sedangkan Elsa menangkap di bawahnya.

Hingga saat kami naik ke kelas 8 gue dan Elsa terpisah kelas dan jadwal ekskul basket dan pramuka di rubah. Tidak lagi berlangsung di hari yang sama. Hal itu membuat sedikit polemik diantara gue dan Elsa. Dia sedikit marah karena gue menolak saat dia meminta gue bergabung dalam kegiatan pramuka, yang berujung Elsa tidak mau bicara kepada gue walau di saat kami sedang menghabiskan waktu berdua.

"Sa… Elah gue dicuekin mulu".

"…"

"Sa, gue engga bisa pramuka Sa".

"…" Elsa tidak menggubris ucapan gue, dia terus saja membaca bukunya.

"Iya deh. Gue ikut pramuka".

Elsa lalu menutup bukunya dan melompat dari duduknya, lalu menyuruh gue turun dari pohon jamblang yang sedang gue panjat untuk mengambil buahnya.

"Salman! Laki ga boleh ingkar anji. Dosa! Pokoknya kamu aku tunggu hari kamis besok".

"Iye bawel".

"Biarin wlee".

Pada hari kamis itu, sepulang sekolah gue menghampiri Elsa yang sedang mengatur barisan regu anak-anak kelas 7. Elsa menyambut gue dengan riangnya setengah melompat hingga memeluk gue, lalu Elsa memperkenalkan gue dengan Kakak Pembina Pramuka Gugus Depan di sekolah gue. Namanya Kak Idrus. Kak Idrus juga menyambut gue dengan ramah. Tidak seperti dugaan gue selama ini saat melihatnya memberikan materi tentang pramuka dengan sikapnya yang tegas. Ternyata Kak Idrus sangat ramah dan asik serta santai saat berbicara dalam kondisi biasa seperti ini.

Kegiatan pramuka di SMP gue saat itu hanya ekstra kulikuler saja. Bukan keharusaan seperti sekarang. Terlebih saat itu Pramuka kalah pamor oleh ekskul lain seperti sepak bola, basket, cheerleader, dance, atau yang lainnya. Sehingga sedikit sekali peminatnya saat itu. Pun, biasanya pramuka di smp gue saat itu ramai hanya di awal-awal tahun ajaran. Perlahan waktu, satu persatu memilih mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Sehingga biasanya hanya tersisa satu regu saja saat menginjak kelas 8.

Seperti saat itu, diangakatan gue kebetulan hanya tersisa satu regu laki-laki dan satu regu perempuan dan kebetulan juga, regu pada angakatan gue itu kekurangan satu orang. Sehingga bergabungnya gue menggenapi regu tersebut menjadi 10 orang.

Regu gue bernama Black Owl tidak jelas juga siapa yang memberi nama itu. Karena saat gue bergabung nama itu sudah ada. Sedangkan regu Elsa bernama White Jasmine dan nama itu diprakarsai oleh Elsa sendiri dan Elsa juga yang menjadi ketua regunya.

Jujur, saat itu gue kurang menyukai berada di dalam ini. Menurut gue pramuka itu tidak keren. Berbeda dengan saat gue memasukan bola ke dalam keranjang, atau melakukan lay up yang selalu mendapatkan sorak sorai dari cheerleaders atau cewe-cewe lain. Kalau saja bukan karena Elsa, gue tidak akan pernah mau mengikuti kegiatan pramuka ini, pikir gue saat itu.

Tapi seiring bejalannya waktu, gue menyadari satu hal. Pramuka memberikan gue lebih dari sekedar kata keren. Pramuka telah mengajarkan gue kalau makna keren bukan sekedar berapa banyak gue menerima bunga dari apa yang gue lakukan, tapi berapa banyak bunga yang tumbuh dari apa yang gue lakukan. Pramuka tidak sekedar keren. That's an Amazing!

***


Suatu ketika kwartir ranting kecamatan tempat sekolah gue berada sedang melakukan seleksi untuk mengambil dua pasang dari setiap gudep untuk mewakili kwartir ranting kami dalam jambore yang diadakan Kwartir Cabang Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Jika dilihat dari kemampuan, tentu gue sudah pupus harap untuk terpilih; gue tidak hapal sandi semapore, morse, atau sandi-sandi lainnya. Gue juga lambat dalam mengukur tinggi suatu benda lewat rumus phytagoras. Gue juga tidak mahir dalam membuat simpul dan dalam hal apapun yang berkaitan dengan pramuka, rasanya berharap untuk terpilih saja gue tidak berani. Berbeda dengan Elsa, saat itu kami semua yakin, dia bahkan mampu untuk menembus selesi hingga tingkat Nasional. Karena Elsa memang sangat mahir dalam segala hal kepramukaan. Apalagi perihal sandi-sandi, Elsa sudah seperti agen CIA saja saat dia memecahkan suatu sandi-sandi yang tersembunyi.

Tapi entah bagaimana, saat itu gue tepilih untuk mewakili kwartir ranting kami. Dari gudep sekolah gue, terpilih 4 orang. Gue, Elsa dan 2 orang teman seangkatan gue yang bernama Nata dan Karina.

Jambore Kwartir cabang DKI Jakarta saat itu dilaksanakan di Bumi Perkemahan Cibubur. Bersama dari anak-anak dari kwartir lain bersama-sama kami melakukan banyak aktifitas dan dari sekian banyak pilihan aktifitas yang harus diselesaikan. Entah kenapa anggota regu yang lain selalu menempatkan gue dan Elsa pada aktifitas yang sama. Di saat itulah gue mulai merasakan perasaan-perasaan yang tidak biasa. Perasaan-perasaan yang selalu membuat gue memikirkan Elsa di waktu-waktu malam sebelum gue terlelap.

Hingga akhirnya jambore itu selesai. Sesuai dugaan, Elsa terpilih untuk mengikuti jambore Nasional yang edisi kala itu dilaksanakan di Batu Raden Jawa Tengah. Namun menjelang persiapannya, Elsa mendadak jatuh sakit dan dirawat selama beberapa hari yang berdampak tidak diizankanya Elsa mengikuti kegiatan jambore Nasional.

"Untung ajah aku sakit". Ucap Elsa kala itu setelah kondisnya pulih.

"Sakit kok untung".

"Iyah, soalnya aku ga mau ikut jambore nasional kalo ga sama kamu. Ga ada temennya, pasti boring nanti".

"Ihh jangan gitulah. Bisa ikut jambore itu kebangga anak pramuka. Harusnya lo sedih. Gue ajah sedih gue engga kepilih".

"Oh jadi udah suka sama pramuka nih. Udah bukan karena terpaksa lagi. Hahaha".

"Ahh apaan sih, engga kok. Siapa yang suka. Basket tetep nomer satu". Gue mencoba mengelak. Entah kenapa saat itu gue malu sekali untuk mengakui kalau gue sudah sangat menyukai kegiatan pramuka.

"Ahahah, Iya Man, Iya". Sahut Elsa sambil meledek gue dengan ekspresi wajahnya.

***


Setelah lulus SMP dan melanjutkan ke jenjang SMA gue dan Elsa kembali satu sekolah. Sayangnya di SMA kami saat itu kegiatan Pramuka tidak ada. Namun biarpun begitu, gue dan Elsa masih sesekali membantu kegiatan Pramuka di gudep SMP kami. Seperti saat itu kami ikut membantu acara perkemahan gudep SMP kami di kawasan Cibodas.

Gue mengenang malam itu. Satu malam di musim kemarau yang dingin. Lebih-lebih saat itu kami berada di dataran tinggi, entah lah berapa suhu saat itu yang jelas saking dinginya, kopi yang gue seduh dengan air mendidih dengan mudahnya menjadi dingin saat gue diamnkan sebentar.

Malam itu, kebetulan gue sedang mendapat tugas jaga malam. Setelah acara api unggun sebelumnya, semua perserta sudah berada di dalam tendanya masing-masing. Begitu juga panitia yang lain. Hanya gue dan Ridwan teman seangkatan gue saat SMP yang masih berada di luar tenda karena tugas jaga malam itu.

Namun saat mendekati tengah malam, Ridwan mendadak kedinginan hebat. Gue pun menyuruhnya untuk masuk ke dalam tenda saja guna menghangatkan diri.

Tidak lama Ridwan masuk ke dalam tenda. Elsa dan Karina keluar dari tenda mereka. Mereka mendengar percakapan gue dengan Ridwan dan berniat menggantikan Ridwan berjaga malam.

Kami bertiga kala itu duduk di dekat api sisa-sisa api unggun yang sengaja belum gue matikan untuk menemani gue melawan dinginnya malam. Untuk membunuh bosan, malam itu kami bermain tebak-tebakan sandi semapore. Sudah bisa ditebak, gue lah saat itu yang menjadi bulan-bulanan karena gue masih juga belum hafal sandi-sandi.

"Kamu nih, penegak macak apa. Semapur ajah ga bisa". Ledek Elsa.

"Tau lo, Man. Malu sama adek-adek penggalang lo". Timpal Karina.

"Pantes Black Owl ga pernah menang lomba, hihihi". Elsa meledek lagi.

"Yayayaya, ledek terus"

"Hahaha". Elsa dan Karina tertawa.

Setelah lelah tebak-tebakan semapur. Kami lanjut tebak-tebakan anagram. Lagi-lagi gue menjadi bulan-bulanan. Karina pun sama, dia kesulitan untuk menebak anagram yang dibuat Elsa. Mungkin kalau hanya untuk menebak anagram dari satu buah kata, gue juga pasti akan bisa. Namun Elsa saat itu bahkan sudah mahir membuat sebuah anagram menjadi seperti kalimat biasa. Contohnya saat Elsa memberikan kalimata celana sakti ular bisa. Siapa sangka kalau itu adalah anagram dari Elsa cantik luar biasa.

Elsa memang jagonya!

***


Gue membaca kembali surat dari Elsa, menoba mengerti maksud kalimat terakhir dalam surat ini.

Buatlah aku bisa menerima apa yang aku benci.
Maafkan aku, Salman.


"Apa mungkin, selama ini Elsa membenci gue? Tapi kenapa? kalau memang Elsa membenci gue kenapa selama ini dia selalu mau apa-apanya ada gue? Kenapa? Kalau memang Elsa benci gue, kenapa saat kuliah dia sering ngajakin gue camping berdua? Kenapa? Aahhhhhhhh!!" Gue mengaduh dalam hati lalu membenamkan kepala gue diantara kedua tangan.

"Man, sabar Man. Gue yakin Elsa ga benci sama lo. Liat dong, di bawahnya ada catatan dari Elsa 'kuda lari kuasai sukma; rekaan telaga kita' ini maksudnya apa?"

"Ga tau, gue engga tau. Gue engga ngerti bahasa-bahasa puitis. Gue bukan orang yang suka puisi. Mungkin karena itu Elsa benci gue. Gue sama Elsa itu antitesis. Apa yang dia suka sebenernya ga pernah sedikitpun gue suka, apa yang gue suka ga pernah juga dia suka… gue sadar sekarang. Gue sadar…"

"Tapi kalo lo emang antitesis sama dia kenapa lo bisa cinta dia, SEKIAN LAMANYA!!" Sambar Habibah.

"Gue engga tau kenapa gue bisa cinta sama Elsa. Tapi yang jelas, gue mau terus berdua sama dia. Bahkan dalam bengongnya gue, gue engga bisa mikirin siapapun selain Elsa. Elsa segalanya buat gue, bahkan gue rela ngelkuin apapun yang engga pernah gue suka demi Elsa. Apapun! Dan selama ini hidup gue selalu berusaha gimana caranya bikin Elsa bahagia. Karena setiap dia bahagia, gue juga bahagia".

"Hahaha, ga suka puisi tapi lo ngomong macem Rumi ajah. Salman…Salman… susah sih yah Jones. Man! Mungkin lo sama Elsa itu emang antitesis. Tapi lo berdua itu antitesis yang manis yang engga bisa berpadu tapi saling rindu, yang engga bisa menyatu tapi saling butuh. Lo sadar ga, lo tuh udah masuk ke dalam hidupnya. Dan Elsa udah masuk di hidup lo. Kebiasaan kalian saling serap. Mangkanya dia minta diyakinin sama lo. Yakinin Man. Yakinin. Temuin Elsa sekarang".

Seketika gue langsung mengambil tas gue dan langsung menuju ke satu per satu tempat yang gue duga Elsa berada. Namun Elsa tidak berada di mana pun. Hal itu makin membuat gue bertanya-tanya sebenarnya apa maksud semua ini. Lalu gue bertanya pada Riska receptionist di kantor gue perihal pengirim paket itu.

"Paket yang mana, Man?" Tanya Riska terlihat bingung.

"Yang tadi pagi, Ris. Yang bungkusan item".

"Gada paket buat lo dari tadi pagi Salman". Sahut Riska.

"Haaah". Kini gue yang menjadi kebingungan. Lalu gue kembali ke ruangan gue. Hanya ada Habibah yang sedang menatap layar monitor komputer kerjanya. Habibah memalingkan wajahnya saat gue menatapnya dan saat itu juga gue merasakan kalau Habibah menyembunyikan sesuatu.

"Kata Riska ga ada paket buat gue hari ini. Mending lo jujur sama gue. Gimana caranya lo dapet paket itu? Di mana Elsa?" Tanya gue. Habibah lalu melepas kaca matanya dan meletakanya di atas meja.

"Haaah ketauan yah…" Sahut Habibah kemudian menghela nafas. "Sorry, Man. Tapi gue udah janji buat ga ngasih tau. Gue cuma bisa bocorin kalo PS nya bukan puisi tapi anagram".

***


Satu kuartal berlalu, gue masih saja tidak bisa memecahkan anagram itu. Satu kuartal ini juga gue tidak berbicara pada Habibah. Gue marah padanya karena dia masih bersikeras tidak mau memberi tahu gue di mana Elsa berada. Hingga suatu hari dipenggenapan kuartal setelah hari surat itu diberikan pada gue. Gue seperti bisa memecahkam anagram itu, namun gue belum yakin apa itu benar. Lalu gue mencari jawaban kebenaran itu ke rumah orang tua Elsa di Bandung. Di sana gue menemukan jawaban itu dan gue berjumpa dengan Elsa.



Kuda lari kuasai sukma; rekaan telaga kita
Usiaku tidak lama lagi; karena aku sekarat


Setelah Al-Fatiha


Aku tidak bersedih. Bukan aku tidak kehilanganmu, Sa. Aku tidak ingin membuatmu membenci dirimu sendiri. Bagaimana kamu bisa bahagia jika kamu dihinggapi kebencian. Maafkan aku yang terlalu lama mengerti maksudmu, andai saja… ahh… maaf aku menangis, aku hanya tidak percaya aku bisa kehilanganmu secepat ini. Sa, jika kamu bisa mendengarku di sana. Dengarlah aku kamu akan selalu ada di hatiku selamanya. Selamanya hingga aku nanti menyatu dengan kamu dan Semesta; menyusulmu mati dan menyatukan cinta kita yang tidak pernah bisa bertemu dalam dunia di sana; Pangkuan Semesta. Sa, jangan pernah ucapkan selamat tinggal, karena kamu masih akan selalu hidup di dalam ruang heningku. Walau ragamu di dalam sana. Jiwamu akan selalu di sini; di hatiku, selamanya.

Sa, aku pamit. Nanti aku datang lagi.


Kemudian gue mencium kayu yang tertancap di tanah merah yang bertuliskan:

ELSA RIANTI KUSUMA
Binti
ASEP SUTRISNA
Lahir: Jakarta, 5 April 1992
Wafat: 25 Januari 2019


"Jeniusnya kamu bahkan saat kamu sudah tiada, kamu bisa membuatku tidak berdaya; dengan teka-tekimu yang memang dari dulu tidak pernah bisa kuungkap mudah."Ucap gue dalam hati sambil berjalan meninggalkan komplek pemakaman ini.
Diubah oleh nyunwie 20-08-2019 19:07
anasabilaAvatar border
mmuji1575Avatar border
hakkekkyuAvatar border
hakkekkyu dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.2K
1
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan