Siapa yang tak merasa beruntung dilahirkan di Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan budaya. Memiliki nenek moyang yang sungguh luar biasa dengan berbagai warisan budaya bernilai luhur dan patut untuk dilestarikan. Sebagai bentuk jati diri bangsa dan segenap cipta, rasa dan karsanya mereka ciptakan berbagai hal yang bermanfaat bagi generasi berikutnya.
Sungguh bersyukur sekali menjadi generasi yang merasakan manfaatnya dan mendapat pengalaman berharga. Warisan budaya Bangsa Indonesia sebagai warisan intelektual dan sebuah refleksi sosial masyarakat seperti bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, cerita rakyat, nyanyian rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, kepercayaan rakyat, arsitektur rakyat, musik rakyat, dan sebagainya.
Permainan rakyat inilah yang seringkali disebut sebagai permainan tradisional.
Namun, perkembangan zaman dan teknologi turut membawa pergeseran kebiasaan dan aktivitasnya. MAGER (Malas Gerak) merupakan sebuah istilah yang sangat familiar bagi generasi millenial dan generasi Z saat ini. Istilah MAGER, sebuah kebiasaan menjadikan alasan untuk tidak beraktifitas fisik atau motorik lainnya karena lebih asyik berinteraksi dengan gadget, nongkrong dengan wifi, nonton youtube hingga bermain game online.
Generasi yang semakin malas melakukan apa-apa, malas beranjak dari tempat yang membuat mereka nyaman berjam-jam tanpa interaksi sosial ini biasa disebut generasi MAGER. Berbagai kemudahan yang saat ini dirasakan baik teknologi maupun fasilitas dan media layanan membuatnya menjadi salah satu penyebab malas gerak. Semua aktivitas cukup dilakukan melalui kedua jempol tangannya tanpa perlu beranjak kemana-mana.
(Sumber)
Kemajuan teknologi ini tentu memberi efek baik maupun buruk, tergantung bagaimana menyikapinya. Ketika salah menyikapi tanpa kontrol maka akan berdampak buruk loh, salah satunya mager dengan gagdetnya.
Quote:
Perlu diketahui juga, gaya hidup mager ini sangat berhubungan dengan risiko penyakit mematikan seperti diabetes tipe dua, beberapa jenis kanker, dan masalah kardiovaskular lainnya.
Dikutip Okezone dari BBC, Kamis (6/9/2018), temuan WHO tak terbatas hanya pada negara berkembang dan miskin, tetapi juga negara dengan penghasilan tinggi seperti Amerika Serikat dan Inggris. Peneliti dari World Health Organization (WHO) melihat data internal dari 358 populasi di 168 negara dengan total 1.9 juta jiwa.
Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Lancet Public Health di mana dijelaskan bahwa jumlah penduduk yang malas gerak di negara kaya meningkat dari 32 persen pada 2001 menjadi 37 persen pada 2016. Sementara di negara dengan pendapatan rendah, angkanya tetap stabil yaitu 16 persen.
Mereka yang termasuk dalam kelompok kategori kurang gerak biasanya hanya 150 menit gerak santai atau 75 menit gerak cepat dalam waktu satu minggu. Sementara itu, perempuan di semua tempat kecuali Asia Timur dan Asia Tenggara, kurang aktif bergerak dibanding laki-laki.(Sumber)
Kondisi seperti ini berawal dari ketidaktahuan akan permainan tradisional yang sudah jauh berkembang sebelum mereka lahir. Sementara permainan tradisional sebenarnya selalu berkaitan dengan alam sekitar. Kekayaan alam, kekayaan lingkungan, kedamaian dan kekayaan rasa yang membentuk sebuah masyarakat yang sadar akan kepentingan generasinya melalui tahapan bermain. Alam hakikatnya menyediakan fasilitas dan media mainan yang tak terbatas bagi anak.
Quote:
Agar tak terserang kebiasaan mager, yuk kita kenali beberapa permainan tradisional berikut :
1. Benthik
Permainan bentik ini biasanya dilakukan oleh 5 orang atau lebih. Para pemain dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok jaga dan kelompok main. Permainan ini menggunakan bambu/bilah. Yang satu panjang dan yang satu pendek. Memainkanya, bambu yang pendek ditempatkan di tanah yang sudah dilubangi dengan arah melintang menyerupai jembatan. Lalu bambu yang panjang dimasukan dalam lubang dan mengangkat bamboo yang kecil sehingga melambung. Pemain yang jaga menangkap bambu tersebut.
Apabila tertangkap mendapatkan poin. Lalu bambu yang panjang ditaruh di atas tanah yang berlubang tadi. Apabila berhasil mengenai bambu yang panjang maka pemain yang main menjadi kalah dan bergantian menjadi jaga.
Nilai terkandung pada permainan tradisional bentik ini merangsang perkembangan emosional.
Beberapa ahli mengatakan bahwa generasi sekarang cenderung banyak yang mengalami kesulitan emosional seperti mudah tersinggung, mudah merasa murung dan kesepian, mudah cemas, mudah marah dan bertindak agrsesif, kurang menghargai sopan santun.
Kegiatan bermain bentik yang tergolong permainan bebas ini memberikan banyak kesempatan kepada anak mengekspresikan perasaannya secara bebas, baik perasaaan senang, takut, kecewa, marah dan khawatir. Bahkan masalah-masalah yang tidak dapat dikatakannya sering kali diungkapkannya melalui bermain.Jika perasaan-perasaan tersebut tidak dapat tersalurkan maka anak akan hidup dalam ketegangan dan jiwa akan tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan penyimpangan perilaku yang tidak dapat diterima oleh lingkungannya yang berarti akan terjadi pula keterlambatan aspek-aspek pengembangan lainnya.
2. Dakon atau congklak
Permainan ini tidak hanya sering dilakukan oleh anak-anak dari masyarakat biasa. Namun permainan ini dulu juga dilakukan oleh puteri raja dalam keraton Dalam keraton biasanya menggunakan kecik (biji sawo). Selain biji sawo juga bisa menggunakan kerikil. Setiap lingkaran diberi kerikil 5 buah. Kecuali lingkaran yang berada disamping. Lingkaran itu dibiarkan kosong karena untuk menempatkan hasilnya. Permainan ini dimainkan oleh dua orang secara bergantian.
Bagi perkembangan kognitif, permainan tradisional “dakon” yang menuntut pemainnya berpikir logis matematis, merancang strategi, memenuhi rasa ingin tahunya, meningkatkan kemampuan bahasa melalui bergaul dan bermain dengan teman sebaya. Dari sinilah kecakapan bahasa berkembang. Ia dapat memahami apa yang diberitahukan kepadanya dan dapat merespon.
3. Egrang
Egrang merupakan sebuah alat permainan yang berasal dari bambu. Batang bambu dengan ketinggian tertentu di pasangi bambu yang lebih pendek secara melintang yang digunakan sebagai tempat pijakan. Setelah itu egrang digunakan untuk berjalan.
Dibutuhkan ketekunan dan banyak latihan agar seseorang bisa menaiki egrang. Orang yang baru pertama mencoba egrang pasti akan kesusahan dan terjatuh, karena sangat membutuhkan keseimbangan tubuh.
Biasanya anak-anak bermain egrang dengan mengadakan semacam lomba lari, tetapi menggunakan egrang. Siapa yang paling cepat, dia adalah pemenangnya.
4. Benteng-bentengan
Permainan benteng-bentengan bisa dikatakan lebih spesial daripada permainan sebelumnya. Hal ini dikarenakan permainan benteng-bentengan pernah dimasukkan dalam kurikulum pelajaran olahraga. Permainan membutuhkan banyak pemain dan dibagi menjadi dua kelompok.
Setiap kelompok memiliki tiang sebagai pos dan benteng. Target permainan ini adalah menguasai benteng lawan.Dengan segala kreativitasnya, pemain akan maju ke wilayah lawan dan berusaha menyentuh lawan. Jika lawan sudah tersentuh dalam keadaan di luar zona aman, ia dinyatakan sebagai tawanan.
Untuk memudahkan menguasai benteng lawan, maka harus banyak yang dijadikan sebagai tawanan. Kelompok yang berhasil menduduki benteng lawan dinyatakan sebagai pemenang.
5. Engklek atau angkling
Permainan Engklek atau Angkling merupakan permainan yang dilakukan dengan cara berjalan dengan satu kaki pada petak-petak berbentuk kotak yang digambar di atas tanah. Ada berbagai jenis petak permainan dalam Angkling atau Engklek, yakni bentuk gunung, kincir, huruf L, dan lain-lain.
Aturan bermain dari Angkling atau Engklek adalah pemain melempar koin atau serpihan genting pada kotak-kotak yang telah digambar di tanah secara berurutan, dari petak yang paling dekat dengan pelempar. Pada kotak yang ditandai koin atau serpihan genting, pemain tidak boleh menginjaknya dan harus melewati petak tersebut.
Saat kembali ke garis awal, pemain tersebut harus mengambil kembali serpihan genting tersebut dan melanjutkan melempar ke kotak berikutnya. Permainan ini dapat dilakukan dengan minimal jumlah pemain dua orang. Selain melatih ketangkasan, permainan ini juga melatih keseimbangan dan konsentrasi.
(Sumber)
Disadari atau tidak, dari permainan-permainan tradisional diatas sudah mengajarkan pembelajaran Multiple Intelligence (kecerdasan majemuk) pada anak-anak.
Permainan Tradisional yang ada di berbagai belahan nusantara ini dapat menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak dalam pembelajaran multiple intelligence, seperti :
- Aspek motorik : Melatih daya tahan, daya lentur, sensorimotorik, motorik kasar, motorik halus.
- Aspek kognitif: Mengembangkan imaginasi, kreatifitas, problem solving, strategi, antisipatif, pemahaman konstekstual.
- Aspek emosi: Kontrol emosi, ,mengasah empati, pengendalian diri.
- Aspek bahasa: Pemahaman konsep-konsep nilai.
- Aspek sosial : Menjalin relasi, kerja sama, melatih kematangan sosial dengan teman sebaya dan meletakan pondasi untuk melatih keterampilan sosialisasi berlatih perab dengan orang yang lebih dewas/masyarakat.
- Aspek spriritual : Menyadari keterhubungan dengan sesuatu bersifat Agung.
- Aspek ekologis : Memahami pemanfaatan elemen-elemen alam sekitar secara bijaksana.
- Aspek nilai-nilai/moral : Menghayati nilai-nilai moral yang diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi selanjutnya
Sebagaimana Munif Chatib, seorang pakar multiple intelligences, menganjurkan guru-guru dan orang tua mengajarkan kembali permainan tradisional. Permainan-permainan ini disamping mempunyai pendidikan akan kearifan lokal bangsa juga mengandung pendidikan karakter yang penerapannya secara langsung dilakukan oleh anak-anak.
Quote:
Pengertian Kearifan Lokal (Local Wisdom) dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 katayaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Sedangkan bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving). Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal).
Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture). Seperti telah dikemukakan oleh Bosch, yang penting ialah mengambangkan kreativitas para pelaku budaya sendiri sehingga dapat menumbuhkan “ Kearifan Lokal“ ketika menghadapi terjangan pengaruh kebudayaan asing
Sumber : Rosidi Ajip, Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Sunda. ( Bandung : PT Kiblat Buku Utama, 2009 )
Usaha untuk memajukan budaya bangsa sekaligus mengembangkan potensi multiple intelligences anak melalui permainan tradisional, memang tidak instan bagaikan lari sprint, melainkan perlu perjuangan panjang bak lari marathon jarak jauh. Namun selayaknya juga kita mengembangkan Pantang menyerah, jangan malas berusaha, dan konsisten.
Sehingga tiba saatnya anak akan bahagia dengan dunianya, karena kebahagiaan di masa kecil turut menentukan kualitas hidupnya di masa depan. Artinya kita masih punya waktu untuk menghadirkan permainan-permainan tradisional untuk anak-anak kita.Tinggal keputusan ada pada orang tua, sekolah dan guru.
Sumber : JURNAL PSIKOLOGI JAMBI VOLUME 2, NO 2, OKTOBER 2017
Akankah anak-anak kembali diperkenalkan dengan permainan-permainan tradisional ini atau membiarkan malas gerak?
Untuk itu perlu ditekankan kembali, atau penting mengenalkan kembali permainan tradisional kepada putra-putri Indonesia tidak hanya pada saat peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, tapi menjadi bagian yang terintegrasi pada kurikulum pendidikan sehingga anak-anak dapat lebih mengenalnya.
Hal ini diharapkan akan menjadi dukungan bagi pemerintah Indonesia untuk dapat memajukan masyarakat serta pendidikan nasional, yang berakar pada kebudayaan Nasional (Pasal I ayat 2 Undang-Undang No 20 tahun 2003), yang mengandung pengertian bahwa penyelanggaraaan pendidikan nasional anak selalu berpijak pada bumi dan budaya Indonesia serta kearifan lokal.
Selain itu, permainan tradisional ini dapat dihidupkan kembali dan dimulai dari lingkungan pendidikan. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi salah satu upaya positif dalam melestarikan nilai-nilai kearifan lokal pada permainan tradisional, sebagai sebuah identitas budaya nasional Indonesia. Semoga pemerintah siap tanggap dengan membangun sistem sosialisasi setiap nilai-nilai kearifan lokal terutama pada masyarakat perkotaan.