Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Vieee111Avatar border
TS
Vieee111
Keberuntungan dan Kisah Tiga Saudara

Malam ini, suasana salah satu gubug bambu di desa Kenanga begitu riuh. Di dalamnya, tampak Pak Bondan, kepala keluarga yang menghidupi anak-anak dan istrinya dengan mengayuh becak, sedang asyik menikmati siaran berita dari radio tua miliknya.

Di ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang makan, tampak Mak Rini sedang sibuk menjahit dengan mesin jahit tua warisan neneknya. Sesekali, wanita paruh baya itu mengangkat kepala, memijat tengkuk lehernya sebentar, lalu kembali menekuni jahitan di depannya.

"Makkk!"
Terdengar jeritan si bungsu dari depan televisi.

"Kenapa, Nak?" tanya Mak Rini sembari mengangkat kepala. Ditatapnya anak perempuan yang paling kecil. Gadis berkepang dua itu balas menatap dengan mata berkaca-kaca.

"Lihat! Televisinya dipenuhi semut lagi."

Mak Rini mengerutkan kening, lalu menatap layar televisi 14 inci yang tidak menampilkan gambar apapun selain titik-titik hitam putih dan suara gemerisik.

"Pak, televisinya itu, lo. Dibetulkan dulu. Emak banyak jahitan ini."

Pak Bondan yang sedang menikmati rokoknya menatap tajam, tanda sedang tidak ingin diganggu.

Merasa tidak diacuhkan, gadis paling kecil di keluarga itu mulai merajuk. Ia bergegas membanting pintu kamar sekuatnya.

"Ada apa ini?" tanya sebuah suara lembut. Rania, anak kedua berjalan pelan, tersenyum entah pada siapa. Tubuh kurusnya yang masih mengenakan mukena mendekati Mak Rini.

"Itu, adikmu ngambek lagi. Mau nonton televisi tapi ndak ada gambarnya."

Rania tersenyum, lalu berjalan pelan menuju kamar adiknya.

"Nduk ...."
Rania melangkah masuk saat menyadari pintu di depannya tidak dikunci.

"Sabar, ya. Nanti kalau uang tabungan Mbak Rania sudah banyak, kita beli televisi dan antena baru, ya. Supaya kamu bisa nonton televisi seperti teman-temanmu."

"Iya, tapi kapan?"

"Sabar, ya."

"Makanya, Mbak. Cari uang yang banyak. Kalau tiap hari cuma jualan gorengan, uangnya gak banyak-banyak. Aku sudah bosan."

"Iya. Sabar, ya."

Rania mengembuskan napas. Dadanya bergemuruh. Diusapnya kepala adik satu-satunya yang sangat ia sayangi. Ia sudah berjanji pada diri sendiri, bahwa ia akan membahagiakan sang adik, semampunya.

"Ya sudah, kamu tidur, ya. Ini sudah malam."

"Ya, Mbak."

Rania kembali berjalan pelan, keluar dari kamar Naura, adik kecilnya yang masih berusia tujuh tahun.

"Sudah malam, istirahat dulu, Mak!"
Rania menghentikan langkahnya saat mendengar mesin jahit Emak masih berbunyi.

"Sedikit lagi. Ini baju Pak Johan mau dipakai besok pagi. Kasihan kalau tidak jadi."
Mak Rini menimpali sambil sesekali terbatuk.

"Pak! Sudah jangan merokok lagi, kasihan Emak batuk terus!"

"Berisik sekali kamu ini. Sudah sana pergi!"
Pak Bondan yang merasa terganggu menatap galak ke arah Rania.

Gadis itu tertatih menuju kamarnya yang menjadi satu dengan kamar kakak perempuannya.

"Belum tidur, Mbak? Ada pesanan tulisan lagi?"

Gadis di belakang meja itu mengangguk, lalu tersenyum.

Rania diam-diam mengamati. Gadis tiga belas tahun yang terpaksa putus sekolah itu mengembuskan napas perlahan. Dalam hati ia begitu bangga dengan kakaknya. Meski pendengarannya terganggu, kakaknya sangat berbakat menulis. Ia banyak belajar dari kakaknya. Betapa hidup ini tidak selalu bisa menjadi yang kita inginkan.

Rania mengempaskan tubuh ke atas dipan bambu yang dialasi kasur tipis. Ia kembali teringat akan impiannya menjadi seorang pramugari. Impian yang harus dikuburnya dalam-dalam. Impian yang rela ia korbankan untuk sang adik.

Naura, adiknya ingin sekali menjadi seorang dokter. Dan demi impian kebanggaan adiknya itu, Rania bahkan dengan suka rela mendonorkan sepasang matanya pada Naura yang terlahir buta.

Setidaknya, ia bisa menjadi orang yang sedikit berguna untuk orang yang sangat disayanginya.

"Ran, ada lomba hafalan Al- Qur'an di Jakarta. Hadiahnya cukup besar. Lima juta rupiah."

Rania yang pura-pura tidur terlonjak kaget. Lima juta rupiah? Itu lebih dari cukup untuk membelikan televisi dan antena baru. Bahkan sisanya bisa ia gunakan untuk biaya sekolah Naura.

"Jakarta, Mbak?" tanya Rania terbata.

"Iya."

"Jauh ...."

"Bagaimana kalau Mbak temani?"

"Hah? Lalu uangnya?"

"Pakai tabunganku dulu. Perihal membeli laptop bisa ditunda. Bagaimana?"

"Serius, Mbak?"

"Tentu saja."

Rania meraba dinding, menghampiri Seina kakaknya, lalu memeluknya.

"Terima kasih, Mbak."

"Sama- sama."
Seina balas memeluk Rania, sambil tersenyum menatap naskah tulisan yang siap dikirimkannya.

Purworejo, Oktober 2018
0
133
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan