dmegaAvatar border
TS
dmega 
Ketika Tuhan Mengambil Titipan-Nya



"Assalamualaikum, mbak Ayu" aku mengetuk pintu dengan tergesa-gesa.

Beberapa saat tak ada jawaban aku mulai tidak sabar. Kembali aku mengetuk dengan lebih keras.

"Assalamualaikum. Mbak Ayu bukain pintunya donk, aku mo minta tolong."

Pintu terbuka menampilkan sosok cantik dengan muka bantalnya"Eh, kamu Put ganggu tidurku aja. Ayo buruan masuk."

"Makasih mbak" setelah masuk aku langsung duduk. Sedangkan yang punya rumah tiduran di sofa yang terletak di depanku.

Aku mengamati sekeliling tempatnya nyaman jauh berbeda dengan kawasan kos yang aku tinggali. Entah kos ataupun kontrakan tapi yang aku lihat hanya ada 1 kamar berhadapan dengan dapur dan kamar mandi. Ruang tamunya pun cukup untuk 1 set sofa. Pasti harga sewanya mencapai 1 juta lebih apalagi sejuknya AC bikin betah.

Saking asyiknya dengan pikiranku aku jadi lupa tujuanku datang kesini. Hingga suara mbak Ayu terdengar,"Put, kq malah bengong to. Katanya mo minta tolong, jadi gak? Kalo enggak, aku mo nerusin tidur nih."

Aku tersadar dari lamunanku, lalu menunduk. Agak ragu sebenernya takut kecewa karna pulang dengan tangan kosong.

Perlahan aku menghirup nafas dalam, kmudian dengan satu tarikan nafas aku mengucapkan"Anakku sakit, aku butuh uang buat ke dokter. Aku minta tolong mbak buat minjemin."

Hening.

Aku masih menunduk, menunggu keputusan mbak ayu untuk menolongku. Tapi tak terdengar satu suara pun. Apa mungkin ketiduran lagi ya, begitu pikirku. Kuberanikan mengangkat kepala dan tak ada siapa pun di atas sofa. Aku bingung kenapa tiba-tiba mbak Ayu menghilang.

Saat akan berdiri, mbak Ayu keluar dari kamar lalu meletakkan beberapa lembar uang seratusan.
"Segitu cukupkan, hanya itu hasilku semalem. Bawa aja semua yang penting Dewi sembuh dulu."

Aku hanya menatap tumpukan uang yang ada di atas meja. Kaget tentu saja. Sudah lama aku tidak melihat lembaran uang berwarna merah dengan jumlah cukup banyak sejak suamiku tepatnya mantan suamiku pergi.

"Heran dah, demen banget nglamun. Nih...cepet pulang trus bawa Dewi ke dokter"tiba-tiba tumpukan uang sudah berpindah ke tanganku.

Setelah kuhitung ada 10 lembar, tanpa sadar aku menggelengkan kepala"Tapi mbak ini terlalu banyak, aku mungkin gak akan bisa balikin dengan cepat. Aku ambil 500 aja ya, mudah-mudahan masih ada sisa. Biar hutangku gak terlalu banyak."

"Ya udah terserah kamu."sambil nerima 5 lembar uang yang aku kembalikan.

"Makasih banget ya mbak, aku bakal berusaha buat balikin cepet. Kalo gitu aku pulang dulu." mbak Ayu nganter sampai pintu sambil tersenyum.

Dari rumah mbak Ayu aku langsung berjalan sambil berlari menjemput Dewi yang aku titipin di tempat mak Minah. Mak Minah adalah tetangga kosku yang selama ini membantu mengasuh Dewi selama aku bekerja sebagai buruh cuci. Hanya pekerjaan itu yang bisa aku lakukan. Maklum aku hanya lulusan SMP sedangkan di Jakarta sangat sulit mendapat pekerjaan yang layak tanpa ijazah tinggi.
***

Sejak 4 hari yang lalu Dewi mengalami demam. Meski sudah minum obat dari bidan tapi demamnya tetap naik turun. Sesuai saran dari bidan yang bertugas di polindes aku membawa Dewi ke klinik buat cek darah. Aku gak terlalu paham sebenernya, tapi demi kesembuhan Dewi apa pun pasti aku lakukan.

Setelah 15 menit berada di angkot kami sampai di RSIA Harapan Kasih. Saat berada di dalam aku mulai panik sebab Dewi makin tinggi demamnya. Aku berlari menuju petugas yang berjaga di IGD sambil menggendong Dewi. Petugas itu pun memanggil perawat dan mengambil alih Dewi untuk mendapat penanganan lebih lanjut.

Petugas tersebut memberiku formulir pendaftaran. Lalu menjelaskan prosedur serta biaya yang harus aku bayar. Mulai dari biaya tes darah di laboratarium termasuk biaya penanganan oleh dokter. Total semuanya adalah 475ribu rupiah. Setelah membayar aku masuk untuk menemani Dewi yang menangis sambil menunggu hasil tes darah keluar. Aku berdo'a semoga Dewi tidak mengidap penyakit yang serius.

Seorang wanita dengan seragam dokternya mendekati ranjang dengan membawa selembar kertas. Pasti itu hasil tes darah Dewi, aku sungguh harap-harap cemas.

"Bu berdasarkan hasil lab, ananda Dewi positif DB atau Demam Berdarah. Untuk itu harus menjalani rawat inap demi kesembuhannya. Perawat akan segera mempersiapkan ruang perawatan. Kalau begitu saya permisi dulu", dokter lalu berjalan menuju pasien yang lain.

Aku tak kuasa untuk tidak menangis. Dewi baru berusia 3 tahun harus dirawat karena penyakit Demam Berdarah. Belum lagi biaya rumah sakit yang tentunya tidak sedikit. Darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu.

Tak berapa lama datang perawat untuk memasang infus. Bukan hal mudah sebab Dewi menangis serta meronta minta dilepaskan. Setelah terpasang infus perawat lalu mendorong ranjang Dewi keluar dari IGD menuju kamar perawatan.

Kacau itu yang aku rasakan. Tak tau lagi siapa yang bisa aku minta pertolongan. Hutang mbak Ayu aja entah kapan bisa aku lunasi.

Tiba-tiba terdengar dering handphone dari tasku. Ternyata mbak Ayu yang telfon.
Quote:

Aku makin bingung, di satu sisi pengen dapet duit secepetnya tapi hatiku menolak. Hingga suara perawat mengagetkanku, "Bu, ini resep yang harus ditebus. Saya tunggu sampai jam 3 sore nanti."

"Nduk piye Dewi?"mak Minah datang dengan tas ditangannya.

Mak, aku titip Dewi ya. Aku harus cari uang buat nebus obat" setelah kucium kening anakku aku segera keluar untuk menelfon mbak Ayu.
***

Sesuai janji aku menunggu jemputan dari mbak Ayu. Sebelum berangkat mbak Ayu memberiku sejumlah uang untuk menebus obat terlebih dahulu. Dia juga menyuruhku berganti pakaian yang sudah dia bawa, lalu pergi menggunakan taxi. Di dalam taxi aku dipoles dengan make up. Risih memang rasanya kaku dan tebal. Selama perjalanan aku terus berdoa memohon ampun atas tindakanku.

Sampai di tujuan mbak Ayu langsung mengajak ke ruangan tertutup namun cukup luas. Mungkin ini yang disebut room. Di dalam ada 3 pria usia kisaran 35 tahun. Jantungku berdebar bahkan keringat dingin mulai membasahi tubuhku saat salah satu dari mereka menarikku untuk duduk di sofa.

Batinku bergejolak, ingin lari tapi teringat anakku yang terbaring di Rumah sakit. Demi Dewi, ya benar semua ini demi Dewi.

Dua jam berlalu, aku mengamati penampilanku di depan cermin dalam toilet sungguh memalukan. Lalu berpindah pada beberapa lembar uang yang masih aku genggam. Demi Dewi, lagi-lagi mantra itu yang aku rapalkan.

Aku kembali ke rumah sakit menggunakan ojek online. Sampai di dalam kamar rawat Dewi, tak ada seorang pun di sana. Aku panik dan bertanya pada perawat, dia bilang bahwa kondisi Dewi kritis dan sekarang berada di ICU. Katanya aku juga harus menemui dokter untuk membicarakan kondisi anakku.

Kakiku lemas saat keluar dari ruang dokter. Dari pemeriksaan Dewi memang terlambat mendapat penanganan hingga trombositnya makin menurun. Dewi juga sempat mimisan dan saat ini tak sadarkan diri.

Langsung kupeluk mak Minah yang duduk di kursi tunggu ICU. Kami menangis, sama-sama takut kehilangan Dewi. Terbersit di pikiranku untuk memindahkan Dewi ke rumah sakit yang lebih bagus. Tapi masalahnya lagi-lagi tentang uang. Lalu aku teringat dengan tawaran pria pelanggan tempat karaoke tadi. Dia memberiku kartu nama jika aku bersedia menjadi teman tidurnya.

Apa aku harus benar-benar menjual diri? Tapi pria itu siap memberi berapa pun yang aku minta. Sedangkan saat ini aku butuh uang yang banyak. Demi Dewi aku akan melakukan apa pun.

Setelah menelfon dan menentukan tempat, aku kembali pamit kepada mak Minah. Aku ingin segera bertemu pria itu menjalankan tugas lalu menerima bayaran. Tak lagi aku pedulikan dosa besar. Hati nuraniku tak lagi mampu menyadarkannku. Pikiranku hanya dipenuhi uang, uang dan uang.

***

Sampai di rumah sakit waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku langsung menemui petugas administrasi untuk melunasi tunggakan biaya sebelum pindah ke rumah sakit yang lebih besar.
Semuanya beres aku bergegas ke ruang ICU untuk menemui Dewi. Sampai di depan ruang ICU aku melihat dokter serta perawat masuk dengan terburu-buru. Aku bingung dengan apa yang terjadi. Sedangkan mak Minah sudah kembali menangis.

Saat dokter keluar aku langsung menanyakan tentang Dewi "Dokter gimana dengan Dewi? Saya ingin memindahkan ke rumah sakit yang lebih besar."

Mohon maaf bu, Tuhan berkehendak lain. Ananda Dewi sudah kembali kepada pemiliknya" ungkap dokter dengan perasaan bersalah.

Aku langsung terduduk di lantai. Dewiku telah pergi. Kudengar tangisan mak Minah memeluk sambil menguatkanku. Tak lagi ada air mata yang keluar, rasanya terlalu cepat dan menyesakkan.

Aku memang ibu yang gagal. Harusnya aku bisa menjaga amanah Tuhan dengan baik. Bukan malah melakukan dosa atas nama cinta. Apa pun alasannya, bukankah dosa selamanya akan menjadi dosa? Ini pasti hukuman Tuhan atas dosa besar yang aku lakukan. Tuhan marah hingga akhirnya mengambil Dewi yang memang dititipkan kepadaku. Tuhan..izinkan aku bertaubat dan kembali ke jalan-Mu.

Quote:
actandproveAvatar border
anasabilaAvatar border
abellacitraAvatar border
abellacitra dan 18 lainnya memberi reputasi
19
8.4K
110
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan