Pemilu Milik Kita




Pemilu adalah pesta rakyat yang selalu ditunggu oleh bangsa Indonesia. Gegap gempita kemeriahannya mengalahkan pesta akbar sekali pun. Event lima tahunan itu selalu memiliki magnet tersendiri. Besar-kecil, tua-muda, terus membicarakannya sejak beberapa bulan ke belakang.

Para pemilih yang sudah terdata, masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Jika tidak ada dalam daftar pemilih tetap, masih bisa menggunakan hak suaranya dengan membawa e-KTP setempat dan fotokopi kartu keluarga.

Sebagaimana masyarakat awam lainnya, aku tentu sudah punya pilihan sendiri. Berbulan menyaksikan kampanye dan debat kandidat, membuatku mantap untuk menjatuhkan pilihan.

Menjelang hari-H, euforia pemilu kian terasa. Tak sabar lagi rasanya ingin mencoblos kandidat pilihanku. Pemilu ini makin terasa meriah karena kita bukan cuma memilih presiden dan wakil presiden saja. Melainkan juga memilih calon legislatif untuk DPR-RI, DPRD Propinsi, DPRD Kota dan DPD.

Malam sebelum pencoblosan, rasanya tak tenang. Berdebar-debar menanti esok hari. Persis seperti pengantin baru. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Ciee...



Akhirnya pagi pun tiba. Aku bangun dengan bersemangat. Tetangga sudah riuh di luar rumah. Kebetulan tempat pemungutan suara berada tak jauh dari rumahku. Buru-buru aku bersiap menuju TPS. Saat mau keluar rumah, baru nyadar kalau aku tidak mendapat undangan. Waduh, bisa kacau nih!

Sesuai peraturan bahwa masyarakat yang tidak memiliki undangan, diberi kesempatan memilih di atas jam 12 siang. Yah, akhirnya masuk ke dalam rumah lagi. Masih ada waktu untuk beres-beres dan masak.

Sedang asyik masak, tiba-tiba aku teringat. E-ktp-ku dibuat di luar kota tempat aku tinggal sekarang. Isu yang kudengar awalnya, bisa menggunakan e-ktp untuk pemilihan presiden dan wakil presiden saja. Namun, entah kenapa hati tak tenang.

Secepat kilat aku menghubungi salah seorang tetangga yang ada di TPS. Meminta tolong beliau untuk menanyakan apakah bisa memilih jika KTP luar kota. Kemudian beliau mengabari, bahwa bisa jika untuk memilih presiden dan wakik presiden saja.

Okelah, aman. Aku jadi bersemangat lagi.
Bersabar menunggu pukul 12 siang. Saat waktu menunjukkan hampir pukul 12 siang, aku bersiap-siap. Berpakaian rapi, memakai bedak dan pemerah bibir, biar lebih segar lantas membawa semua persyaratan menuju TPS terdekat.


Sumber: liputan6.com

Namun, apa mau dikata. Sesampai di TPS, saat menunjukkan e-KTP-ku, petugas menolak mentah-mentah. Beliau bilang, hanya KTP setempat yang bisa mencoblos. Sempat beradu argumen, akhirnya aku mengalah. Mau diapakan lagi? Masa aku harus berkelahi dengan petugas. Bukannya dapat nyoblos, malah nanti aku kena sidang.



Lantas aku pun pulang dengan hati yang hampa. Bayangkan, sudah berharap bisa nyoblos, ternyata malah zonk. Ini gara-gara info yang kudapat hanya setengah-setengah. Lagipula, aku juga tidak mengerti bagaimana mengurus hak pilih jika tidak terdaftar di DPT dan e-KTP di luar kota domisili.

Ternyata, bukan cuma aku saja yang tidak bisa menggunakan hak pilih. Beberapa TPS di kotaku, bahkan kekurangan kertas suara. Banyak teman dan kerabat yang mengeluh tidak bisa menggunakan hak pilih karena kertas suara habis. Bahkan, yang terakhir kudengar beberapa kota di propinsi tempat aku tinggal pun mengalami kekurangan surat suara.

Bagaimanapun, pemilu sudah berlalu. Tinggal menunggu hasilnya. Siapa pun yang menang, itulah hasil musyawarah seluruh rakyat Indonesia.

Satu pesanku, jangan jadi seperti aku yang tertinggal suaranya. Tak bisa ikut mengayuh bahtera sebab kelalaian dan ketidaktahuan cara untuk bisa menggunakan hak pilih.

Sampai jumpa di pemilu selanjutnya. Semoga suaraku tak lagi tertinggal.