Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

rosemary911Avatar border
TS
rosemary911
Konteks Kafir dan Sikap NU


Baru-baru ini, kata kafir semakin mengundang perhatian banyak orang, menyusul hasil Munas alim-ulama NU di kota Banjar pada 1 Maret 2019 lalu yang merekomendasikan digantinya istilah kafir dengan non-muslim. Akhirnya saya tuliskan ini agak sedikit panjang.

Quote:


Dari akar kata yang sama, kita mengenal kata kifarat. Misalnya, "membayar kifarat" sebagai penutup dosa atas suatu kesalahan, atau penutup kekurangan pelaksanaan rukun dari salah satu ritual ibadah. Kita juga menyerap kata kāfūr, yang berarti kapur atau bedak (misalnya kapur tulis; kapur barus). Bisa jadi kata kāfūr adalah bentuk tunggal dari kawāfīr.

Spoiler for salonkecantikan:


Di Negara Arab, kata kawāfīrsekarang berarti salon kecantikan. Dugaannya, dinamakan begitu karena di salon orang berhias menutupi tubuh dengan pakaian indah (dress up). Di salon juga diberikan perawatan wajah dan beberapa bagian tubuh dengan make up, membalutnya dengan bedak, lipstick, dan lainnya sehingga menutupi bawaan aslinya.

Mengapa satu kata memiliki banyak arti seperti ini? Alasannya sederhana.

Quote:


Dari makna dasar “menutup” tadi, kata “kafir” kemudian terus berkembang ke makna yang lain, sebagaimana yang kita temukan di dalam Alqur’an dan sejumlah puisi Arab. Di dalam Alqur’an sendiri, terkadang kata kafir digunakan dengan makna “menutup-nutupi nikmat Tuhan.” Karenanya ada istilah kufur nikmat. Terkadang juga Alqur’an menggunakannya untuk makna “menutup-nutupi kebenaran wahyu yang dibawakan oleh Nabi Muhammad saw.” atau "menutupi kebenaran kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi sebelum penutup para Nabi dan Rasul ini." Masing-masing dari pemaknaan ini banyak contohnya dalam Alqur’an, dan bisa dilacak melalui Al-Mu’jam al-Mufihris li Alfāzh al-Qur’an al-Karīm.

Kata kafir karenanya, di dalam Alqur’an masih berupa kata pinjaman (majaz; metaphor) yang tak pelak menyisakan persoalan.

Quote:


Bagaimana bisa, Ali yang sejak kecil beriman dan menerima dakwah Nabi dianggap kafir? Walau banyak termuat di dalam Alqur’an, faktanya kata kafir masih ambigu maknanya. Pertanyaannya kemudian, apa batasan-batasan kafir? Siapa sebenarnya yang masuk ke dalam kategori kafir?

Bagi sebagian, terutama kelompok Khawarij, beriman saja tidak cukup. Orang beriman bisa digolongkan kafir kalau melakukan dosa besar. Dan turun dari jabatan sebagai akibat menerima tahkim adalah termasuk dosa besar karena tidak menjalankan ketetapan Allah.

Di lain pihak, kelompok Syi’ah yang masih tetap setia dengan Ali juga menganggap kafir setiap mereka yang berseberangan dengan Ali. Syi’ah meyakini, kepemimpinan yang menjadi bagian pokok agama adalah hak Ali bin Abi Thalib. Karenanya, Khawarij disebut kafir karena telah membelot; Mu’awiyah adalah kafir karena telah merebut kekuasaan Ali, begitu juga dengan Abu Bakar, Umar, Utsman, serta siapapun yang menentang Ali, semuanya bagi Syi’ah dianggap sebagai kafir.

Alqur’an memang sudah jauh sebelumnya menggunakan kata kafir, tetapi kafir belum menemukan maknanya secara ajeg di ranah aqidah. Dan meski persoalannya kian rumit, namun setidaknya konflik internal di tubuh umat Islam ini telah melatarbelakangi perumusan yang lebih komprehensif tentang makna kafir, dan mengarah secara lebih luas pada pembahasan tentang persoalan-persoalan teologi lainnya. Walau bagaimanapun, harus diakui bahwa umat Islam sedikit-tidaknya berhutang kepada kaum Khawarij dan Syi’ah dalam kaitan ini. Konflik inilah dalam sejarah yang melatarbelakangi munculnya ilmu Kalām atau Teologi Islam. Singkat kata, belakangan setelah rukun-rukun iman mendapatkan rumusannya, kata kafir secara umum kemudian dikontraskan dengan kata mukmin (orang yang beriman), sebagaimana yang bisa dipahami dari isyarat-isyarat Alqur’an. Dalam konsep Ahlus Sunnah wal Jama'ah, pelaku dosa besar jika telah beriman dengan rukun-rukun iman tidak disebut kafir.

Sementara itu, pada saat yang relative sama kata kafir pun bergerak maknanya secara istilah untuk menyebut orang yang di luar penganut agama Islam. Ini menemukan relevansinya secara politik ketika kekuasaan dipegang umat Islam, di mana konsep tentang Negara pada saat itu masih mengenal istilah Negara Islam (dār al-Islām) dan Negara yang memerangi Islam (dār al-Harb). Tidak sama seperti yang kita jalankan sekarang.

Maka terhadap warga Negara penganut agama selain Islam dibuat klasifikasi kafir menjadi kafir dzimmī, kafir harbī, dan lainnya. Klasifikasi ini tampaknya didasarkan pada hadis Nabi yang menyebut kata dzimmī, yaitu penganut agama lain yang tidak memusuhi Islam. Nabi Muhammad saw. melarang keras untuk menyakiti seorang dzimmī seperti dalam sabda beliau: “Siapa yang menyakiti seorang dzimmī, maka akulah musuhnya. Dan siapa yang menjadi musuhku, aku akan memusuhinya di hari Kiamat.” Harus ditekankan di sini bahwa Nabi tidak pernah menyebut kāfir dzimmī, melainkan hanya dzimmī, yang mempertegas bahwa istilah kāfir dzimmī adalah istilah yang muncul jauh belakangan setelah Nabi saw.

Melihat perkembangan makna dari kata kāfir dan keragamannya, maka dalam perspektif ilmu bahasa kata tersebut masuk ke dalam kategori musytarak lafzhi, atau polisemi. Suatu kata akan dikategorikan musytarak ketika ia memiliki lebih dari satu makna.

Quote:


Para linguis sepakat bahwa makna dari kata yang musytarakitu akan ditentukan oleh konteks (siyāq). Kontekslah yang berperan menetapkan makna yang tepat dari berbagai pilihan makna. Karenanya, memahami kata kafir tidak boleh dilepaskan dari konteksnya.

Jadi, apa yang sering kita pahami sebagai kafir saat ini adalah konstruk yang lahir dari konteks teologi di kalangan para ulama Kalām dalam sejarah perkembangan ilmu ini. Kata kafir telah menjadi istilah teknis yang mengalami “penyempitan makna” (tadhyīq al-ma’nā), sebagaimana banyak kita temukan dalam istilah-istilah fikih. Karenanya memahami seluruh kata kafir dalam ayat-ayat Alqur’an sebagai “non-muslim” adalah jelas suatu kekeliruan. Sebab masing-masing ayat terkadang memiliki konteksnya yang berbeda.



Dalam konteks berteologi, menyebut orang lain yang tidak se-iman atau di luar Islam dengan kafir adalah benar, sebagaimana rumusan para teolog. Hanya saja ini akan berbeda dengan konteks bernegara, di mana menyebut teman yang beragama lain dengan sebutan kafir tidaklah tepat. Yang demikian ini, seperti yang dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad saw. Kaum Yahudi dan juga Nasrani yang hidup berdampingan dengan umat Islam tidak disebut dengan kafir oleh Nabi, sebagaimana juga Alqur’an tidak pernah menyebut mereka dengan sebutan ini.

Konteks ayat-ayat Alqur’an dalam penyebutan kafir adalah kepada para penentang dakwah Nabi, seperti kaum Quraisy atau kelompok yang menginginkan Nabi bernegosiasi soal agama agar mencampur keyakinan Islam dengan keyakinan mereka (seperti dalam surat Al-Kāfirūn). Inilah yang kiranya bisa dipahami dari sikap NU dalam hasil Musyawarah Nasionalnya beberapa waktu kemarin.

NU menawarkan konteks lain di luar teologis, yaitu konteks bernegara. Kita semua, di tengah perbedaan suku, bahasa, dan juga agama, adalah sama-sama warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lalu apakah dengan begitu NU berarti menolak Alqur’an?; atau setidaknya menolak hasil kesepakatan para ulama Kalām?

Yang mungkin dapat dikatakan, tidak menggunakan istilah kafir untuk menyebut selain umat Muslim tidak kemudian berarti menolak hasil ijtihad para ulama; apalagi menolak yang datang dari Alqur’an. Justru sebaliknya, menggunakan istilah non-Muslim sebagai ganti dari kata kafir dalam konteks bernegara kiranya lebih aman untuk tidak mengacaukan makna kafir yang telah terikat dengan konteks aqidah dan fiqihnya itu.

Quote:


Wallahu a’lam..



sumber : ini
gambar: doc pribadi, google image, instagram
0
1.1K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan