jonioktoraAvatar border
TS
jonioktora
Belajar Mengelola Keuangan Sejak Usia Muda


SALAH satu gejala yang biasanya terjadi di kalangan anak muda yang sudah berpenghasilan adalah meningkatnya kebutuhan hidup, alias bertambahnya pengeluaran. Padahal, sebelum berpenghasilan sendiri (dari kiriman orang tua), dia bisa hidup dengan "seadanya". Tapi ketika sudah bisa "mandiri", pola hidupnya pun sedikit demi sedikit berubah mengarah pada konsumtif.

Ada bebarapa hal yang bisa dijadikan langkah-langkah untuk mengelola keuangan, terutama bagi kalangan muda agar tidak terjerumus pada paham konsumerisme. Yakni membelanjakan uang untuk kebutuhan yang tidak mendesak.

Pertama, sisihkan 50 persen pendapatan. Artinya, belanjakanlah maksimal 50% dari pendapatan/penghasilan (take home pay). Konsep ini melatih kita untuk selalu hidup di bawah kemampuan maksimalnya. karena tidak selalu roda kehidupan berada di atas, ada kalanya di bawah dan kondisinya terjepit, sehingga penghasilan satu bulan itu bisa untuk hidup dua bulan.

Bisakah? Tentu saja dengan keinginan kuat dan mulai mengubah pola laku hidup kita, konsep pertama bisa dilakukan lewat proses waktu.

Dari konsep di atas, maka minimal 50% penghasilan akan menjadi tabungan (saving). Bisa jadi nominal yang harus disimpan lebih besar daripada yang dibelanjakan. Dengan tabungan atau simpanan ini, maka memicu adanya tindakan berikutnya.

Kedua, investasi. Landasan paling mendasar investasi (di sektor riil) adalah nilai uang yang terus menurun sejalan dengan waktu. Sekalipun besar tabungan, nilai tukar riil jumah yang besar tersebut akan berkurang seiring waktu berjalan. Katakanlah besar bunga atau bagi hasil dari lembaga keuangan maksimal 6% per tahun, sedangkan inflasi tahunan rata-rata 8%, maka nilai uang yang disimpan tersebut secara nilai tukar akan turun 2%.

Selain pertimbangan time value, ada pertimbangan lain, yaitu ikut menggerakan sektor riil dan sosial. Sektor riil merupakan lapangan usaha yang bergerak di tengah masyarakat. Sektor riil tidak berkaitan langsung dengan makroekonomi yang diwakili oleh tingkat pertumbuhan ekonomi, GDP (gross domestic product), neraca pembayaran dll, atau dengan perangkat-perangkatnya semisal bursa saham.

Bisa saja terjadi, GDP sebuah negara tinggi dengan IHSG yang fanstastis tapi sektor riilnya tidak bergairah. Hal itu mungkin disebabkan investasi baru (riil) tidak terjadi dan hanya "permainan" jual/beli saham (atau alat tukar keuangan lainnya) semata.

Alasan sosial investasi, karena biasanya teman atau kerabat dekat yang merintis usaha baru membutuhkan modal usaha atau investasi, di mana lembaga keuangan formal kemungkinan besar akan menilai tingkat kelayakan atau kepercayaan (reliability) yang rendah terhadap usaha-usaha yang baru dirintis tersebut.

Tentu, bukan berarti investor nonlembaga keuangan tidak berhitung risiko. Alangkah sayang jika pengorbanan yang dilakukan dengan konsep 50% tadi diakhiri dengan investasi tiada hasil bahkan hilang pula pokoknya.

Dalam hal investasi pun, yang harus diperhatikan adalah profitability (keuntungan), durability (ketahanan), dan yang paling penting keberkahan.

Jadi, yang lebih penting kini bagaimana menjalankan konsep 50% sehingga mampu menyisihkan uang sebanyak-banyaknya (investasi dalam nominal "kecil", tentu sangat jarang), dan kemudian berpikir untuk investasi.

Pertanyaan-nya kemudian, berapa jumlah minimal penghasilan sehingga konsep 50% bisa berjalan?

Pertanyaan tersebut memberikan jawaban yang subyektif karena "standar" setiap orang berbeda. Misalnya, jika berpenghasilan Rp2,5 juta, Rp500 ribu setidaknya bisa disimpan. Dan jika Rp10 juta, belanja maksimal harus 5 juta.

Namun, ini semua terserah pada personal karena "standar hidup" masing-masing berbeda, antara seseorang single atau married, yang sudah menikah antara dua-duanya bekerja atau salah satu. Angka dua tentu menjadi besar buat mantan mahasiswa rantau yang pernah bisa hidup dengan Rp500 ribu/bulan (diluar biaya kuliah + kontrakan), atau menjadi tak berarti karena Rp2 juta itu juga sudah habis buat BBM mobil.

Namun, disitulah sebenarnya kita harus mengukur diri, di mana sebenarnya kita berada. Esensinya adalah, paradigma dan kepandaian kita dalam mengelola keuangan dan sebisa mungkin menyisihkan sebagian penghasilan.

Dan jangan sampai, seperti pepatah: Besar Pasak daripada Tiang. Penghasilan besar, memang membuka peluang bisa menyimpang lebih besar. Itu benar, tapi tidak selamanya menjamin. Yang lebih pasti, besar penghasilan akan mendorong manusia untuk lebih banyak pengeluaran.
0
758
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan