Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bendhol104Avatar border
TS
bendhol104
Kekasih Ibuku (Cerpen Misteri)
Ibuku mempunyai kekasih gelap, iya betul kekasih simpanan, untuk sementara hanya aku dan mbak Karti yang tau, sebab orang-orang disekitarku tak mau mempercayai omonganku. Sudah setahun sejak kematian adikku (satu-satunya, hanya mampu bertahan seminggu dari kelahirannya) ibuku berhubungan dengan kekasihnya itu. Aku sendiri memergoki mereka secara tidak sengaja, bermula dari kebiasaan pipis malam yang tak dapat kutahan, ketika melewati kamar ibu, kerap aku mendengar suara ibu seperti sedang bercengkerama dengan seseorang—laki-laki, sedang saat itu ayah tak ada dirumah.  Aku menangkap basah mereka sedang bergurau dari dalam kamar, setiap pukul satu malam, ketika ayah tak ada dirumah.

Pada satu malam, aku tak dapat menahan rasa ingin tahuku, seusai dari kamar mandi, aku mengintip kedalam kamar ibu melalu celah pintu yang merenggang tak sempurna. Ayah tak ada dirumah, kerap tak ada dirumah, pekerjaan memaksanya untuk selalu meninggalkan rumah barang dua-tiga kali dalam seminggu. Lewat celah itulah aku dapat melihat ibu berpacaran dengan laki-laki---ya, kukira memang laki-laki---selain ayahku. Tapi wajah kekasih ibu itu sangat meremangkan bulu roma, demi melihat wajahnya kudukku tegak kaku, tapi anehnya aku tak merasa takut. Kekasih ibuku memiliki wajah mirip serigala, matanya merah nyalang, lubang hidungnya besar, lidahnya menjulur seperti gambaran leak bali, air liur menetes tak henti dari mulutnya yang disangga taring-taring tajam. Aroma tubuh kekasih ibuku anyir tercium, seperti campuran darah dan nanah yang membusuk, hidungku mengendus lalu rasa mual menohok ke ulu hati. Aku melihat ibu duduk dipangkuannya, berciuman rakus seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, air liur yang menetes dari laki-laki itu diteguk dan dijilatnya sampai tandas. Sebelum aku lari karena ingin muntah, sempat kulihat bola mata laki-laki berkepala serigala itu melirikku. Semalaman aku menggigil tak dapat tidur, keringat dingin membasahi badan hingga keselangkangan, aku jijik—bukan takut.

Keesokan harinya aku tarik tangan mbak Karti yang sedang menggoreng ayam didapur, mbak Karti adalah pembantu rumah tangga yang dipekerjakan ayah setelah kematian adikku. Pada mbak Karti aku menceritakan apa yang kulihat, namun ia hanya menggeleng-geleng lalu kembali melanjutkan pekerjaannya—mengacuhkan. Aku kesal merasa tak dianggap, maka aku berteriak padanya bahwa nanti aku akan menyeretnya untuk membuktikan bahwa aku tak berbohong. Tapi aku belum berani menceritakannya pada ayah, aku takut mereka akan bertengkar, lalu saling menyakiti, lalu berpisah, bukankah seperti itu orang dewasa menemukan jalan keluar??, maka aku diam ketika ayah pulang.

Malam kesepuluh sejak pengintipan pertama. Aku sudah tak tahan lagi, pukul satu malam ketika ayah tak dirumah. Aku menyeret mbak Karti dari kamarnya dengan paksa, ia terhuyung, ujung dasternya robek sedikit tersangkut ujung pintu. Aku menyuruhnya mengintip lewat sela pintu tempat biasa aku memergoki ibu bersenggama. Mbak karti menyipitkan mata, aku melihat nafasnya tertahan, lalu kemudian menatapku nanar, ia memegang pundakku dan berkata “jangan bilang ayahmu”. Lalu ia berlalu kembali ke kamarnya, mengabaikan protesku.

Kemudian hari, dipojokan rumah yang sepi mbak Karti memberitahuku alasannya, ia mengatakan untuk sementara tak boleh ada yang tahu, sebab jika terjadi sesuatu antara ibu dan kekasihnya, maka keselamatan jiwa ibuku yang jadi taruhannya. Mbak karti akan menemui seseorang—orang pintar—untuk meminta pendapat terlebih dahulu. Tetapi sebelumnya ia akan berusaha memberitahu ayah terlebih dahulu.

Aku memandang perempuan usia hampir empat puluhan duduk termangu dipekarangan belakang, suara kursi goyangnya berderit-derit menandakan usia. Wajah perempuan itu tirus dan cantik, bulu matanya lentik dan bibirnya setipis kertas. Kulitnya pucat menyamarkan kerutan yang menyeruak samar. Dia adalah gadis yang cantik pada masanya, aku membayangkan beberapa laki-laki berlomba untuk memenangkan hatinya, dan akhirnya ia memilih laki-laki yang paling baik dan tampan diantaranya. Aku menemukan jejak percintaan mereka pada sebagian mata, lekukan bibir, dan lesung pipiku. Wanita cantik itu ibuku, beberapa bulan sejak terakhir mbak Karti dan ayah mempertemukannya dengan “orang pintar”, ibuku jadi terlihat kusam dan murung. Seperti ada sesuatu yang melukai hatinya, sebab aku kerap mendapatinya menangis tanpa isakan. Setiap sore pukul empat, sampai kira-kira lima menit setelah adzan maghrib, ibuku selalu duduk diatas sebuah kursi goyang tua peninggalan nenek--dipekarangan belakang. Pandangan matanya nanar menatap rumpun bambu dan pohon mangga yang tumbuh dipekarangan, entah apa yang dilihatnya, yang jelas aku merasakan aura pilu yang sangat dalam. Apa yang berkecamuk dalam benaknya tak mampu kubaca, namun aku sungguh dapat merasakan kepiluannya, seperti seorang gadis yang ditinggal kekasihnya.

Ibu kerap menggumam, berbicara, tersenyum, bahkan terkekeh sendiri, aku mencari tahu apakah kekasihnya sedang bersamanya.....namun yang kulihat hanya kosong dan kesendirian. Iya, sejak “orang-orang pintar” itu datang kerumah, aku tak lagi mendengar ibu bercengkerama pukul satu, tak lagi mendengar erangan dan desahannya, pun tak lagi melihat tawa pada pupil matanya. Ibu sedurja janda yang baru ditinggal mati suaminya, ibu sedingin bongkahan es dipasar pagi. Ayah, tak mampu berbuat apa-apa. Ia menyayangi wanita itu seperti paru mencintai udara.
Satu hari, ketika ulang tahun ibu, tak ada kue ataupun perayaan. Seorang bidan menyampaikan berita gembira untuk ayahku, ibuku hamil lagi. Ayah tersenyum, mbak karti sumringah, aku tertawa, tetapi ibu diam seribu bahasa. Ayah meminta mbak karti untuk lebih memperhatikan ibu, memenuhi segala keperluan dan keinginan ibu, sebab ayah sangat menginginkan aku tak lagi menjadi anak tunggal, “laki-laki jika boleh memilih” katanya. Tapi ibu tak pernah menginginkan yang macam-macam meski dapat jaminan. Ia hanya meminta untuk selalu diperbolehkan duduk dipekarangan belakang, dari sore sampai maghrib datang. Ayah mengabulkannya, namun meminta ibu setidaknya sebelum adzan maghrib sudah masuk rumah. Sebab kata ayah, detik ketika siang menyerahkan tugasnya pada malam, para roh dan demit kerap serampangan muncul dan datang. Tetapi ibu tak mengindahkan, ibu mengamuk memecahkan beberapa barang dalam rumah, sampai akhirnya ayah terpaksa mengiyakan.

Maka disitulah wanita itu duduk setiap sore, pada kursi goyang tua dipekarangan belakang yang ujungnya dibatasi rumpun bambu dan pohon mangga. Memandang ruang hampa nan jauh dan kosong.
Pada suatu sore, saat kandungan ibu berumur tiga bulan. Aku mendengar suara orang tertawa dan bercakap-cakap dari pekarangan belakang. Mbak karti sedang menengok pamannya yang sakit, ayah seperti biasa tak dirumah karena pekerjaan. Aku yang sendirian menonton teve diruang tengah, segera berlari kebelakang mencari sumber suara. Namun suara itu seketika hilang, ibu tak ada dikursinya. Aku memanggil-manggil namanya tak ada sahutan, suaraku timbul tenggelam oleh suara hembusan angin yang tiba-tiba datang entah dari mana. Lalu pandanganku tertuju pada rumpun bambu disamping pohon mangga. Seolah-olah ada dorongan dan tarikan yang sangat kuat yang berasal dari rumpun bambu yang pekat dan gelap. Aku mendekatinya perlahan, kaki gemetar, mataku awas. Kudukku meremang, jantungku berdegup cepat. Samar kulihat seorang wanita yang setengah telanjang dibalik bilah-bilah, kain bawahnya tersingkap (seperti disengaja) keatas hingga paha sampai kepangkalnya nyata terlihat. Wanita itu menggesek-gesekkan pantatnya yang telanjang pada sebuah bilah bambu berwarna kuning, ia mendesah, ia mengerang. Aku memanggil namanya ketakutan, ketika hampir sedepa jarak antara aku dan ibu, kulihat laki-laki berkepala serigala itu menyetubuhi ibu seperti anjing jalanan. Aku berteriak-teriak histeris, ibu seolah-olah tak mendengar suaraku. Laki-laki berkepala serigala itu mencengkram tubuh ibuku lumat, sinar matanya merah menyala menatapku, taringnya menganga, liurnya tak henti menetes. Aku histeris, tak tahu harus berbuat apa, sebelum kemudian aku luruh karena lemas, sempat kulihat darah segar luruh dari paha ibu. Aku pingsan.

Bau aroma rumah sakit. Rumah sakitkah?? klinikkah?? aku mendapati tubuhku terbaring pada sebuah seprei putih. Aku mengerjap menajamkan pandangan. Sebuah tangan besar kasar menggenggam jemariku. Ketika aku menggumamkan nama ibu, laki-laki itu dengan murung mengabarkan ibu sudah pergi karena pendarahan. Aku tak tahu harus berteriak atau menangis sekerasnya, yang kutahu laki-laki itu memelukku dengan tangis yang pecah. 






yang mau temenan di Instagram gan : @dhanangariono
Diubah oleh bendhol104 06-03-2021 01:27
ummuzaAvatar border
pulaukapokAvatar border
key.99Avatar border
key.99 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
8.8K
47
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan