- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
RAHASIA YANG TERUNGKAP
TS
sabilaathea
RAHASIA YANG TERUNGKAP
Ini cerpen, bukan curhat
Jangan copas buat tugas sekolah ataupun tugas kuliah yaa
Kalo ada tugas mending bikin ndiri. Anggap aja cerpen ini buat referensi tugas kalian
Cerpen ini pernah dimuat di majalah sekolah ane
Jangan copas buat tugas sekolah ataupun tugas kuliah yaa
Kalo ada tugas mending bikin ndiri. Anggap aja cerpen ini buat referensi tugas kalian
Cerpen ini pernah dimuat di majalah sekolah ane
Spoiler for cerpen:
Aku terdiam dan termenung memikirkan kejadian semalam. Tadi malam aku ke Rumah Sakit Harapan hanya untuk membeli obat di apotek rumah sakit tersebut. Tadinya aku tidak mau membeli obat di situ karena konon katanya Rumah Sakit Harapan menyimpan sebuah rahasia yang masih belum terungkap. Kabarnya, pasien-pasien di rumah sakit ini sering mendengar suara teriakan padahal tidak ada yang berteriak, suara tangisan bayi dari kamar mandi, suara kerukan pada pintu kamar mayat, dan pokoknya… suara-suara aneh yang bisa membuat bulu kuduk berdiri ! Dan suara itu selalu terdengar ketika jam 12 malam. Kejadian ini membuat para pasien merasa terganggu dan malah banyak yang ingin pindah ke rumah sakit lain.
Karena aku sering mendengar kabar itu, aku menjadi takut untuk ke rumah sakit tersebut. Tetapi demi adikku, aku memberanikan diri ke rumah sakit tersebut karena hanya apotek di rumah sakit itulah yang buka 24 jam dan memang adikku pernah diperiksa di rumah sakit itu. Ketika itu malam-malam aku pergi sendirian dengan sepeda motor milik ayah.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba motorku mogok. Bengkel pun tidak ada di mana-mana. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek berpakaian lusuh yang tidak tahu dari arah mana datangnya. Lalu aku menghampirinya,
“Maaf, Kek. Saya mau tanya,”
“Mau tanya apa?” jawab kakek itu dengan muka datar dan misterius.
“Mmm… apa di sekitar sini ada bengkel, Kek?”
Kakek itu hanya mengangkat tangan dan jari telunjuknya menunjuk ke arah utara. Aku hanya diam sejenak karena merasa ada yang aneh pada kakek itu dan aku merasa merinding.
“Iii…ya, Kek. Terima kasih, Kakek” , ucapku dengan sedikit tersenyum. Kakek itu hanya menganggukan kepala saja. Lalu kakek itu berjalan begitu saja melewatiku dengan sedikit menundukkan kepala. Tetapi ketika ku perhatikan, sepertinya kakek itu pandangannya tidak wajar dan… kakinya tidak menyentuh tanah ! Aku melotot kaget melihatnya. Aku berlari terbirit-birit dan mengambil motorku. Karena ketakutan dan panik, aku menghidupkan motorku. Ternyata motorku bisa dijalankan tanpa ku sadari.
Sesampai di Rumah Sakit Harapan, aku langsung memarkirkan motorku di parkiran motor. Sebelum masuk, aku melihat sekeliling. Bangunan rumah sakit itu terlihat sudah tua. Dindingnya sudah banyak yang berjamur, tiang bangunan yang sedikit keropos, lantainya banyak yang rusak, dan atapnya banyak yang berlubang.
Aku langsung menuju ke resepsionis untuk menanyakan letak apotek rumah sakit tersebut. Untunglah di resepsionis ada dua orang perawat dan seorang satpam. Satpam itu sedang asyik mengobrol dengan salah satu perawat, sedangkan perawat yang satunya lagi terlihat putih pucat dan diam terpaku. Satpam dan salah satu perawat itu yang sedang asyik mengobrol itu sepertinya tidak menyadari dengan sikap temannya yang aneh itu. Lalu aku bertanya dengan mereka yang asyik mengobrol,
“Ada yang bisa saya bantu?”, tanya salah satu perawat yang asyik mengobrol tadi.
“Letak apotek rumah sakit ini di mana ya, Suster?”, tanyaku langsung tanpa basa-basi karena aku ingin cepat-cepat pulang.
“Dari sini, Anda jalan lurus saja sampai pertigaan. Di pertigaan nanti belok kanan. Dari situ lurus saja sampai ujung. Di situlah letak apoteknya,” jelas perawat itu. “Ada lagi, Mbak?”
“Tidak, Suster. Terima kasih ya, Suster”, ucapku dengan tersenyum dan sedikit membungkuk sebagai tanda terima kasih.
“Tapi, hati-hati saja ya, Mbak”, suster itu memperingatkan. Aku menyipitkan mata berpikir apa maksud dari peringatan itu. Apa di sana akan muncul hantu secara tiba-tiba?, pikirku.
“Iya, Suster. Saya akan berhati-hati. Terima kasih atas peringatannya.”
“Ya sama-sama, Mbak.”
Lalu pandanganku mengarah pada perawat yang bersikap aneh itu. Perawat itu terlihat cantik. Tetapi sikapnya yang mencurigakan. Sudah putih pucat, diam terpaku, dan perawat itu seperti orang kesurupan. Tiba-tiba perawat itu menoleh ke arahku cepat dan tatapannya sangat tajam. Aku kaget dan takut melihatnya. Tiba-tiba hawa dingin menghampiri. Bulu kudukku mulai berdiri karena tatapan itu. Langsung saja aku mengalihkan pandanganku.
Aku melewati jalan yang sudah ditunjukkan oleh perawat tadi. Suasananya hening, sepi, dan menyeramkan. Aku langsung teringat dengan kabar yang mengatakan bahwa kalau suara aneh mulai terdengar ketika jam 12 malam. Hal ini berarti para hantu mulai bermunculan ketika jam 12 malam. Aku menghentikan langkahku dan segera mengambil ponselku untuk melihat jam. Jam di ponselku menunjukkan pukul 11 malam. Berarti satu jam lagi suara aneh akan terdengar. Karena itu aku mempercepat langkahku.
Di perjalanan, aku menemukan seorang laki-laki memakai baju pasien duduk di kursi roda. Laki-laki itu hanya menundukkan kepala sehingga wajahnya tidak begitu kelihatan. Aku membangunkan laki-laki itu. Tiba-tiba salah satu bola matanya keluar dan ternyata pipinya hancur berantakan. Banyak keluar darah dan bercucuran kemana-mana. Tangannya juga berdarah-darah di bagian pergelangan tangan. Aku berteriak sekeras-kerasnya lalu berlari secepatnya ke arah apotek.
Sesampai di apotek, aku terengah-engah karena kecapekan setelah berlari-lari.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya apoteker itu.
“Saya mau membeli obat ini,” aku menunjukkan catatan kecil daftar obat yang mau dibeli. “Apa semua obat ini ada, Pak?”
“Sebentar ya, Mbak. Saya carikan dulu, sepertinya semua obat ini ada.”
“Kalau bisa secepatnya ya, Pak. Saya sedang buru-buru.”
“Iya, Mbak. Tenang saja,” jawab apoteker itu santai.
Sambil menunggu aku mengatur napasku dan duduk di kursi yang sudah disediakan. Tidak sengaja aku melihat bayangan putih lewat begitu saja dari kejauhan. Apa aku tadi salah lihat ya? Ah, mungkin aku salah lihat. Ya pasti salah lihat ! , pikirku. Bayangan putih itu lewat lagi. Bulu kudukku mulai berdiri lagi dan ketakutan mulai muncul di dalam diriku. Tiba-tiba apoteker itu berteriak dari dalam.
“Aaaaaaaaa…….!!!”
“Ada apa, Pak? Apa yang terjadi?” teriakku.
Apoteker itu tidak menjawab. Hanya hening. Lama kemudian apoteker itu menjawab, ”Tidak apa-apa. Tenang saja.” Kali ini apoteker itu menjawab dengan suara datar. Lalu apoteker itu muncul dengan beberapa obat.
“Obatnya ada semua, Pak?” tanyaku.
“Semuanya ada”, jawab apoteker itu dengan muka datar dan suara datar. “Harganya 70.000.”
Lalu aku mengambil uang dari dompet. Kuberikan uang itu pada apoteker sambil aku mengambil obatnya. Apoteker itu hanya diam. Aku mulai curiga. Sikapnya sama seperti perawat tadi padahal awalnya apoteker itu baik-baik saja. Dan wajahnya pun putih pucat.
“Oh ya, tadi kenapa Bapak berteriak?” tanyaku dengan rasa penasaran.
“Saya baru saja dibunuh oleh seseorang,” jawabnya datar.
Aku menutup mulutku dengan tangan kananku sambil bergerak mundur.
“Jadi Bapak sudah mati? Bapak sedang bercanda, kan?”
“Benar. Saya sudah mati.”
Aku bergerak mundur lagi hingga terjatuh lalu aku berdiri dan berlari. Sampai akhirnya aku terjatuh lagi karena tersandung. Aku mencoba untuk berdiri. Belum sempat berdiri, di depanku muncul seseorang dari lorong gelap. Lalu aku melihat orang di depanku itu dari bawah ke atas. Kulihat wajahnya. Aku mengenal wajah itu. Ternyata orang itu adalah dr. Ari. Dia adalah kekasihku. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.
“Bangunlah,” ucapnya dengan suara halus sambil mengulurkan tangannya. Aku menerima uluran tangannya dan dia membantuku berdiri. Lalu ia memelukku sangat erat. Lalu aku menangis.
“Kamu kemana saja selama ini?” tanyaku sambil terisak-isak.
“Maafkan aku, Nindy”, jawabnya yang masih memelukku.
Tidak sengaja aku melihat ke bawah. Melihat kakinya tidak menyentuh tanah. Aku melotot tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya lalu mendorongnya.
“Siapa kamu? Berani-beraninya kamu menyamar sebagai dokter Ari !” tanyaku sambil berteriak.
“Nindy, aku benar- benar Ari, kekasihmu”, jawabnya meyakinkan.
“Bohong ! Buktinya, kakimu tidak menyentuh tanah !”
Raut mukanya berubah menjadi murung. Aku baru menyadari kalau wajahnya putih pucat seperti perawat dan apoteker tadi.
“Aku juga sudah meninggal dunia. Sama seperti orang yang kamu temui tadi, Nindy. Maafkan aku kalau pertemuan kita seperti ini.”
Aku menangis lagi karena syok mendengarnya dan juga masih tidak percaya akan terjadi seperti ini.
“Jangan menangis, Nindy. Bila kamu menangis, aku pun menangis”, ucapnya menenangkanku sambil berjalan mendekatiku.
“Menjauhlah,” ucapku pelan.
“Tenang, Nindy. Aku tidak akan menyakitimu.”
“Mengapa kamu bisa begini?”
“Ketika di Singapura, aku meminta untuk pindah tugas ke Indonesia. Setelah itu, aku diterima di rumah sakit ini. Aku sengaja tidak memberitahumu dulu kalau aku sudah di Indonesia, ingin membuat kejutan untukmu. Tetapi di hari pertama, aku harus lembur. Di malam hari, ketika di ruang kerja, tiba-tiba saja perampok masuk dan membunuhku”, jelasnya panjang lebar dengan muka murung.
“Benarkah? Apa sekarang kamu ingin balas dendam?”
“Ya, kamu benar, Nindy. Tetapi aku sudah balas dendam dengan cara yang sama.”
“Apa maksudmu? Kamu membunuh perampok itu?”
“Ya, perampok itu sudah kamu temui. Orang yang memakai kursi roda itu adalah perampok yang telah membunuhku.”
“Lebih baik sekarang kembalilah ke asalmu. Aku sudah merelakanmu pergi”, ucapku dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih Nindy atas semuanya yang telah kamu berikan padaku selama ini. Sekarang aku bisa kembali dengan tenang. Sekali lagi aku minta maaf, Nindy. Janganlah menangis agar aku bisa kembali dengan tenang.”
Aku tidak bisa menahan tangisanku. Air mataku meluncur begitu saja di pipiku. Lalu aku menghapus air mataku agar ia bisa kembali dengan tenang.
“Ya, sekarang pergilah”, ucapku dengan tenang.
“Ingatlah, aku akan selalu menyayangimu. Sebentar lagi ayahmu akan datang ke sini dan menjemputmu.” Lalu ia berjalan ke lorong gelap dan menghilang. Lalu aku mendengar suara orang berjalan di belakangku dan memanggil namaku. Lalu orang itu menghampiriku dan ternyata adalah ayahku.
“Nindy, kenapa kamu lama sekali? Kamu tidak apa-apa, kan? Ibumu mengkhawatirkanmu”, tanya ayahku dengan cemas.
“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan khawatir”, jawabku dengan senyum kecil.
“Tapi kamu kelihatannya habis nangis ya?”
“Aku tidak apa-apa, Ayah. Tenang saja.”
“Ya sudah. Kamu sudah membeli obat?”
“Sudah, Ayah.”
“Sekarang kita pulang ya, Nindy agar ibumu tidak khawatir.”
“Baiklah.” Lalu aku menggandeng ayahku yang sudah tua. Aku berbalik menoleh ke arah lorong gelap itu. Ari tersenyum padaku, aku pun ikut tersenyum melihatnya dan aku meletakkan jari telunjukku di depan bibirku sebagai tanda bahwa aku akan merahasiakan rahasia yang belum terungkap.
Karena aku sering mendengar kabar itu, aku menjadi takut untuk ke rumah sakit tersebut. Tetapi demi adikku, aku memberanikan diri ke rumah sakit tersebut karena hanya apotek di rumah sakit itulah yang buka 24 jam dan memang adikku pernah diperiksa di rumah sakit itu. Ketika itu malam-malam aku pergi sendirian dengan sepeda motor milik ayah.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba motorku mogok. Bengkel pun tidak ada di mana-mana. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek berpakaian lusuh yang tidak tahu dari arah mana datangnya. Lalu aku menghampirinya,
“Maaf, Kek. Saya mau tanya,”
“Mau tanya apa?” jawab kakek itu dengan muka datar dan misterius.
“Mmm… apa di sekitar sini ada bengkel, Kek?”
Kakek itu hanya mengangkat tangan dan jari telunjuknya menunjuk ke arah utara. Aku hanya diam sejenak karena merasa ada yang aneh pada kakek itu dan aku merasa merinding.
“Iii…ya, Kek. Terima kasih, Kakek” , ucapku dengan sedikit tersenyum. Kakek itu hanya menganggukan kepala saja. Lalu kakek itu berjalan begitu saja melewatiku dengan sedikit menundukkan kepala. Tetapi ketika ku perhatikan, sepertinya kakek itu pandangannya tidak wajar dan… kakinya tidak menyentuh tanah ! Aku melotot kaget melihatnya. Aku berlari terbirit-birit dan mengambil motorku. Karena ketakutan dan panik, aku menghidupkan motorku. Ternyata motorku bisa dijalankan tanpa ku sadari.
Sesampai di Rumah Sakit Harapan, aku langsung memarkirkan motorku di parkiran motor. Sebelum masuk, aku melihat sekeliling. Bangunan rumah sakit itu terlihat sudah tua. Dindingnya sudah banyak yang berjamur, tiang bangunan yang sedikit keropos, lantainya banyak yang rusak, dan atapnya banyak yang berlubang.
Aku langsung menuju ke resepsionis untuk menanyakan letak apotek rumah sakit tersebut. Untunglah di resepsionis ada dua orang perawat dan seorang satpam. Satpam itu sedang asyik mengobrol dengan salah satu perawat, sedangkan perawat yang satunya lagi terlihat putih pucat dan diam terpaku. Satpam dan salah satu perawat itu yang sedang asyik mengobrol itu sepertinya tidak menyadari dengan sikap temannya yang aneh itu. Lalu aku bertanya dengan mereka yang asyik mengobrol,
“Ada yang bisa saya bantu?”, tanya salah satu perawat yang asyik mengobrol tadi.
“Letak apotek rumah sakit ini di mana ya, Suster?”, tanyaku langsung tanpa basa-basi karena aku ingin cepat-cepat pulang.
“Dari sini, Anda jalan lurus saja sampai pertigaan. Di pertigaan nanti belok kanan. Dari situ lurus saja sampai ujung. Di situlah letak apoteknya,” jelas perawat itu. “Ada lagi, Mbak?”
“Tidak, Suster. Terima kasih ya, Suster”, ucapku dengan tersenyum dan sedikit membungkuk sebagai tanda terima kasih.
“Tapi, hati-hati saja ya, Mbak”, suster itu memperingatkan. Aku menyipitkan mata berpikir apa maksud dari peringatan itu. Apa di sana akan muncul hantu secara tiba-tiba?, pikirku.
“Iya, Suster. Saya akan berhati-hati. Terima kasih atas peringatannya.”
“Ya sama-sama, Mbak.”
Lalu pandanganku mengarah pada perawat yang bersikap aneh itu. Perawat itu terlihat cantik. Tetapi sikapnya yang mencurigakan. Sudah putih pucat, diam terpaku, dan perawat itu seperti orang kesurupan. Tiba-tiba perawat itu menoleh ke arahku cepat dan tatapannya sangat tajam. Aku kaget dan takut melihatnya. Tiba-tiba hawa dingin menghampiri. Bulu kudukku mulai berdiri karena tatapan itu. Langsung saja aku mengalihkan pandanganku.
Aku melewati jalan yang sudah ditunjukkan oleh perawat tadi. Suasananya hening, sepi, dan menyeramkan. Aku langsung teringat dengan kabar yang mengatakan bahwa kalau suara aneh mulai terdengar ketika jam 12 malam. Hal ini berarti para hantu mulai bermunculan ketika jam 12 malam. Aku menghentikan langkahku dan segera mengambil ponselku untuk melihat jam. Jam di ponselku menunjukkan pukul 11 malam. Berarti satu jam lagi suara aneh akan terdengar. Karena itu aku mempercepat langkahku.
Di perjalanan, aku menemukan seorang laki-laki memakai baju pasien duduk di kursi roda. Laki-laki itu hanya menundukkan kepala sehingga wajahnya tidak begitu kelihatan. Aku membangunkan laki-laki itu. Tiba-tiba salah satu bola matanya keluar dan ternyata pipinya hancur berantakan. Banyak keluar darah dan bercucuran kemana-mana. Tangannya juga berdarah-darah di bagian pergelangan tangan. Aku berteriak sekeras-kerasnya lalu berlari secepatnya ke arah apotek.
Sesampai di apotek, aku terengah-engah karena kecapekan setelah berlari-lari.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya apoteker itu.
“Saya mau membeli obat ini,” aku menunjukkan catatan kecil daftar obat yang mau dibeli. “Apa semua obat ini ada, Pak?”
“Sebentar ya, Mbak. Saya carikan dulu, sepertinya semua obat ini ada.”
“Kalau bisa secepatnya ya, Pak. Saya sedang buru-buru.”
“Iya, Mbak. Tenang saja,” jawab apoteker itu santai.
Sambil menunggu aku mengatur napasku dan duduk di kursi yang sudah disediakan. Tidak sengaja aku melihat bayangan putih lewat begitu saja dari kejauhan. Apa aku tadi salah lihat ya? Ah, mungkin aku salah lihat. Ya pasti salah lihat ! , pikirku. Bayangan putih itu lewat lagi. Bulu kudukku mulai berdiri lagi dan ketakutan mulai muncul di dalam diriku. Tiba-tiba apoteker itu berteriak dari dalam.
“Aaaaaaaaa…….!!!”
“Ada apa, Pak? Apa yang terjadi?” teriakku.
Apoteker itu tidak menjawab. Hanya hening. Lama kemudian apoteker itu menjawab, ”Tidak apa-apa. Tenang saja.” Kali ini apoteker itu menjawab dengan suara datar. Lalu apoteker itu muncul dengan beberapa obat.
“Obatnya ada semua, Pak?” tanyaku.
“Semuanya ada”, jawab apoteker itu dengan muka datar dan suara datar. “Harganya 70.000.”
Lalu aku mengambil uang dari dompet. Kuberikan uang itu pada apoteker sambil aku mengambil obatnya. Apoteker itu hanya diam. Aku mulai curiga. Sikapnya sama seperti perawat tadi padahal awalnya apoteker itu baik-baik saja. Dan wajahnya pun putih pucat.
“Oh ya, tadi kenapa Bapak berteriak?” tanyaku dengan rasa penasaran.
“Saya baru saja dibunuh oleh seseorang,” jawabnya datar.
Aku menutup mulutku dengan tangan kananku sambil bergerak mundur.
“Jadi Bapak sudah mati? Bapak sedang bercanda, kan?”
“Benar. Saya sudah mati.”
Aku bergerak mundur lagi hingga terjatuh lalu aku berdiri dan berlari. Sampai akhirnya aku terjatuh lagi karena tersandung. Aku mencoba untuk berdiri. Belum sempat berdiri, di depanku muncul seseorang dari lorong gelap. Lalu aku melihat orang di depanku itu dari bawah ke atas. Kulihat wajahnya. Aku mengenal wajah itu. Ternyata orang itu adalah dr. Ari. Dia adalah kekasihku. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.
“Bangunlah,” ucapnya dengan suara halus sambil mengulurkan tangannya. Aku menerima uluran tangannya dan dia membantuku berdiri. Lalu ia memelukku sangat erat. Lalu aku menangis.
“Kamu kemana saja selama ini?” tanyaku sambil terisak-isak.
“Maafkan aku, Nindy”, jawabnya yang masih memelukku.
Tidak sengaja aku melihat ke bawah. Melihat kakinya tidak menyentuh tanah. Aku melotot tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya lalu mendorongnya.
“Siapa kamu? Berani-beraninya kamu menyamar sebagai dokter Ari !” tanyaku sambil berteriak.
“Nindy, aku benar- benar Ari, kekasihmu”, jawabnya meyakinkan.
“Bohong ! Buktinya, kakimu tidak menyentuh tanah !”
Raut mukanya berubah menjadi murung. Aku baru menyadari kalau wajahnya putih pucat seperti perawat dan apoteker tadi.
“Aku juga sudah meninggal dunia. Sama seperti orang yang kamu temui tadi, Nindy. Maafkan aku kalau pertemuan kita seperti ini.”
Aku menangis lagi karena syok mendengarnya dan juga masih tidak percaya akan terjadi seperti ini.
“Jangan menangis, Nindy. Bila kamu menangis, aku pun menangis”, ucapnya menenangkanku sambil berjalan mendekatiku.
“Menjauhlah,” ucapku pelan.
“Tenang, Nindy. Aku tidak akan menyakitimu.”
“Mengapa kamu bisa begini?”
“Ketika di Singapura, aku meminta untuk pindah tugas ke Indonesia. Setelah itu, aku diterima di rumah sakit ini. Aku sengaja tidak memberitahumu dulu kalau aku sudah di Indonesia, ingin membuat kejutan untukmu. Tetapi di hari pertama, aku harus lembur. Di malam hari, ketika di ruang kerja, tiba-tiba saja perampok masuk dan membunuhku”, jelasnya panjang lebar dengan muka murung.
“Benarkah? Apa sekarang kamu ingin balas dendam?”
“Ya, kamu benar, Nindy. Tetapi aku sudah balas dendam dengan cara yang sama.”
“Apa maksudmu? Kamu membunuh perampok itu?”
“Ya, perampok itu sudah kamu temui. Orang yang memakai kursi roda itu adalah perampok yang telah membunuhku.”
“Lebih baik sekarang kembalilah ke asalmu. Aku sudah merelakanmu pergi”, ucapku dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih Nindy atas semuanya yang telah kamu berikan padaku selama ini. Sekarang aku bisa kembali dengan tenang. Sekali lagi aku minta maaf, Nindy. Janganlah menangis agar aku bisa kembali dengan tenang.”
Aku tidak bisa menahan tangisanku. Air mataku meluncur begitu saja di pipiku. Lalu aku menghapus air mataku agar ia bisa kembali dengan tenang.
“Ya, sekarang pergilah”, ucapku dengan tenang.
“Ingatlah, aku akan selalu menyayangimu. Sebentar lagi ayahmu akan datang ke sini dan menjemputmu.” Lalu ia berjalan ke lorong gelap dan menghilang. Lalu aku mendengar suara orang berjalan di belakangku dan memanggil namaku. Lalu orang itu menghampiriku dan ternyata adalah ayahku.
“Nindy, kenapa kamu lama sekali? Kamu tidak apa-apa, kan? Ibumu mengkhawatirkanmu”, tanya ayahku dengan cemas.
“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan khawatir”, jawabku dengan senyum kecil.
“Tapi kamu kelihatannya habis nangis ya?”
“Aku tidak apa-apa, Ayah. Tenang saja.”
“Ya sudah. Kamu sudah membeli obat?”
“Sudah, Ayah.”
“Sekarang kita pulang ya, Nindy agar ibumu tidak khawatir.”
“Baiklah.” Lalu aku menggandeng ayahku yang sudah tua. Aku berbalik menoleh ke arah lorong gelap itu. Ari tersenyum padaku, aku pun ikut tersenyum melihatnya dan aku meletakkan jari telunjukku di depan bibirku sebagai tanda bahwa aku akan merahasiakan rahasia yang belum terungkap.
Diubah oleh sabilaathea 16-05-2014 13:08
anasabila memberi reputasi
1
1.6K
Kutip
4
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan