bigcasperAvatar border
TS
bigcasper
Jokowi Impact
Ane sekedar berbagi sebuah sudut pandang alternatif melihat sepak terjang jokowi di kancah politik. Silahkan agan yang memutuskan emoticon-Salamanemoticon-Salamanemoticon-Shakehand2emoticon-Shakehand2

Sebenarnya terlalu jauh bagi kriminologi untuk bicara mengenai hiruk pikuk perhelatan besar pemilihan umum yang akan segera berlangsung di negara kita ini. Namun, diakui atau tidak, pemilihan umum merupakan momen bagi publik untuk menilai sejauh mana potensi dan kemampuan para politisi untuk melakukan perubahan. Salah satunya memerangi kejahatan para koruptor politik.

Kehadiran Joko Widodo (Jokowi) seakan menarik semua aras diskusi untuk turut bicara tentang politik. Lantas, bagaimana kriminologi bisa tertatik dengan soal Jokowi Impact ini? Logikanya sederhana, kebijakan kriminal tidak hanya persoalan strategi, namun juga kepemimpinan. Menangnya Barrack Obama terhadap rival republikan-nya (yang notabene partai pendukung presiden Bush Jr) adalah contoh yang terlalu kasat mata. Publik Amerika telah dibuat rugi dengan kebijakan anti-teror presiden sebelumnya. Alokasi anggaran terlalu besar untuk perang, selain jatuhnya korban (para tentara) yang masih berusia muda. Pemilihan 2004 adalah momen penghukuman bagi “Bush Gang”.

Meskipun berbeda dan tidak bisa dibandingkan, tapi logika kehadiran Obama mungkin sama dengan kehadiran Jokowi saat ini. Bagi masyarakat, kehadiran Jokowi telah dimaknai sebagai sebuah momentum bagi perubahan. Entah karena masyarakat terlalu bosan dengan satu dekade di bawah presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau memang karena adanya potensi dalam diri Jokowi itu sendiri. Bagi upaya pencegahan korupsi, perlindungan hak wong cilik, atau penghargaan bagi multikulturalisme, Jokowi dianggap memberikan peluang besar.

Di sinilah pintu masuk kriminologisnya. Ongkos politik dan kerugian dalam arti sebenarnya telah terlalu besar ditanggung oleh publik. Konflik cicak-buaya, terlalu dipusingkannya publik dengan silat lidah korupsi Hambalang, dan terakhir korupsi migas, adalah beban politik bagi publik. Korupsi-pun telah menyebabkan kerugian langsung, ketika uang dalam arti sebenarnya pindah tangan secara haram.

Pencegahan kejahatan yang kronik menahun membutuhkan kebijakan dan kepemimpinan yang extraordinary. Dalam satu dekade administrasi SBY, publik bersikap sangat skeptik bahkan cenderung pesimistik dengan upaya negara ini menghilangkan (setidaknya mengurangi) korupsi. Tren kejahatan ini bahkan mencengangkan dalam satu dekade terakhir. Tontonan yang ironik bahkan diberikan oleh elit partai berkuasa ketika terlibat di dalam korupsi masif. Tentu semakin membenamkan kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah mencegah korupsi.
Dunia pencegahan kejahatan, sama halnya dengan dunia politik, pada dasarnya merupakan dunia yang simbolik. Kita memang tidak bisa menutup mata akan sejumlah perubahan yang dilakukan oleh pemerintah berkuasa. Namun, dalam persepsi publik, prestasi ini dinilai tidak sebanding dengan menggilanya korupsi. Kadang di sinilah tidak adilnya dramaturgi politik. Namun, demikianlah realitas zaman di mana masyarakat mulai melek dengan teknologi informasi, zaman ketika tukang becak memiliki akun facebook atau twitter. Kehadiran Jokowi seakan memberi momentum baru untuk dijadikan ‘pentungan’ yang ampuh memukul para koruptor yang telah merugikan masyarakat.

Rasa keadilan masyarakat (sense of justice) itu sangat bersifat subjektif dan simbolis. Namun tidak serta merta bisa dikatakan sepenuhnya tidak memiliki dasar empiris. Kehadiran seseorang yang menjanjikan karenanya hanya akan menambah amunisi bagi “penghukuman” masyarakat. Jokowi mungkin hadir pada saat yang tepat, terlepas dari penilaian terhadap prestasi yang dimilikinya. Dalam bahasa simbolis, Jokowi menjadi “bom” bagi serangan publik yang geram. Demikianlah realitas politik. Demikian pulalah rasionalitas publik.

Lantas bagaimana dengan calon yang lain? Sebenarnya Mahfud MD dan Anis Baswedan, atau calon-calon pemimpin lainnya, mungkin memiliki cara berfikir yang jauh lebih canggih. Namun mungkin Mahfud dan Anis tidak taktis dalam kebijakan, tidak out of the box. Jokowi (bersama Ahok) tidak segan segera memberhentikan pejabat yang membuat kesalahan atau malas. Hal yang dalam persepsi publik mungkin tidak dimiliki oleh Mahfud MD atau Anis Baswedan, atau calon-calon pemimpin lainnya, mungkin memiliki cara berfikir yang jauh lebih canggih. Namun mungkin Mahfud dan Anis tidak taktis dalam kebijakan, tidak out of the box. Jokowi (bersama Ahok) tidak segan segera memberhentikan pejabat yang membuat kesalahan atau malas. Hal yang dalam persepsi publik mungkin tidak dimiliki oleh Mahfud MD atau Anis Baswedan. Dalam pembangunan hukum, Mahfud telah memberikan terobosan yang sangat monumental, khususnya dalam perang terhadap korupsi. Dalam etika politik yang merit, Anis Baswedan mungkin memberikan contoh yang ideal. Namun cara Jokowi mengatasi persoalan lebih kena di hati publik. Bagaimana dengan calon yang lain? Persoalannya mungkin terletak pada trust atau bahkan mungkin publik menganggap yang lain adalah bagian dari masalah.

Pemilihan umum telah dimulai hari ini. Perhelatan yang tidak hanya untuk menghadirkan legislator atau presiden baru, namun juga momen bagi penghukuman masyarakat. Semoga negara ini mendapatkan perubahan yang diharapkan.

sumber : http://cnsjournal.com/2014/03/26/jokowi-impact/
0
1.9K
8
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan