Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

neoconetAvatar border
TS
neoconet
masihkan kita percaya dengan angka statistik pencapaian ekonomi Tiongkok?


Belum lama ini, Dr. Frank Tian Xie dari University of South Carolina Aiken Amerika datang ke Jakarta selama beberapa hari. Kunjungannya digunakan oleh pengamat ekonomi Tiongkok ini untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan komunitas etnis Tionghoa di Indonesia, para akademisi dan pers. Banyak orang yang tersentak dengan realitas ekonomi Tiongkok yang diungkapkan penulis buku "The Dragon's Vault --Economy Behind the Curtain" (berbahasa mandarin) ini.

Tengok saja saat mengisi seminar yang diadakan Perhimpunan INTI di Jakarta pada 14 Desember 2013 dengan tema "Mengungkap Rahasia Sukses Ekonomi Tiongkok", Frank menjadi pembicara tamu dengan pembahas pengamat ekonomi Dr. Faisal Basri. Dan Ping Yowargana, Staf Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian sebagai moderator.

Banyak yang mengira paparan Frank akan menunjukan peluang ekonomi yang bisa dimanfaatkan oleh pengusaha Indonesia dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dalam dekade ini. Sebaliknya Frank lebih banyak mengungkap sisi lain kondisi ekonomi Tiongkok yang belum banyak diketahui orang. Hampir semua orang terheran dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Frank.

Dari awal memberikan kata sambutan, Benny G Setiono selaku Ketua Perhimpunan INTI sebenarnya telah memperkenalkan Dr. Frank Tian Xie sebagai orang yang berpandangan berbeda. "Kali ini kami sengaja mengundang seorang guest speaker dengan pandangan yang mungkin berlainan dari pandangan yang kalian biasa dengar mengenai Tiongkok, terlebih pula dalam segi kemajuan ekonominya. Saya yakin kita semua telah meranjak politically mature dalam menerima pengelihatan pihak lain yang tidak selalu sepandangan dengan persepsi kita sendiri. Kita dapat menerima dan menyaring secara intelligent apa yang sering kita dengar mengenai sukses ekonomi di Tiongkok. Kebersediaan memberi ruang bagi pandangan berlainan, mencerminkan kedewasaan pikiran dan meluasnya wawasan, langkah yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan kemajemukan. Justru inilah prinsip yang diperjuangkan INTI selama ini. Kehidupan telah memberi kita pelajaran bahwa kebenaran itu tidak sederhana dan tidak pernah mutlak," seperti dikirimkan oleh May Swan dari Singapura yang mengikuti seminar tersebut.

Dalam kesempatan itu, Dr. Frank Tian Xie memaparkan sejumlah data statistik resmi yang menunjukan adanya kemajuan fantastis ekonomi di Tiongkok, antara lain tingginya angka Gross Domestic Pruduct (GDP). Seperti diketahui GDP adalah indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur kemajuan perkembangan ekonomi. Namun ia mencurigai bahwa angka statistik yang dipublikasikan oleh pemerintah komunis Tiongkok adalah satu kebohongan besar demi menipu pandangan dunia mengenai sukses ekonominya. Di balik itu semua terdapat fakta menarik terjadinya defisit keuangan pada bank pemerintah dan peredaran uang tunai di masyarakat.

Salah satu bukti yang ditunjukannya adalah Ghost Town yang terdapat dimana mana yang mencerminkan adanya kegagalan besar dalam perkembangan real estate yang selama ini digembar gemborkan keberhasilannya dan ternyata sekali lagi sebagai penipuan besar. Meningkatnya angka bunga pinjaman juga menjadi persoalan tersendiri. Dalam realitasnya, bunga pinjaman sudah mencapai 10 persen. Padahal jika bank tidak memiliki dana cukup, maka akan berbahaya, bisa bangkrut.

Terjadinya defisit dana tersebut bukan hanya terhadap bank milik pemerintah, tapi defisit juga terjadi di bank-bank swasta yang beredar di tengah masyarakat. Meskipun dilakukan penyuntikan dana tapi langkah itu tidak menyelesaikan persoalan secara keseluruhan. Minimnya dana yang dimiiki oleh usaha mikro menengah juga menjadi persoalan terjadinya bubble perkembangan lebih lanjut ekonomi Tiongkok. Sehingga kemudian mereka beramai-ramai meminjam uang ke bank gelap tapi dengan bunga yang tinggi.

Lebih mengejutkan lagi Dr. Frank memprediksi bahwa dalam lima tahun ke depan kekuasaan komunis Tiongkok akan ambruk akibat hancurnya pondasi ekonominya. "Jika dilihat secara meluas, tanda-tanda kemerosotan itu diketahui dari sudut krisis likuiditas di Tiongkok, depresiasi mata uang Remimbi, ledakan hutang pemerintah daerah dan fakta tentang real estate di Tiongkok," ujarnya.

Sontak saja prediksi Frank dipersoalkan sejumlah peserta yang selama ini mengikuti perkembangan ekonomi Tiongkok dari media mainstrem yang dikendalikan penguasa komunis. Mereka pun tidak bisa menerima pandangan berbeda atas realita ekonomi Tiongkok yang lemah.

Lemahnya basis ekonomi

Harus diakui keajaiban ekonomi Tiongkok telah mengantarkan negara itu menjadi kekuatan ekonomi dunia kedua setelah Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonominya rata-rata sekitar 10 persen per tahun pada tiga dekade terakhir. Tahun 2013 ini, pertumbuhan ekonomi Tiongkok melaju kian pesat di kuartal ketiga tahun ini setelah sebelumnya sempat melambat.

Produk domestik bruto-nya tumbuh 7,8% dibanding setahun sebelumnya, berdasarkan data Biro Statistik Nasional Tiongkok. Pada kuartal pertama, angkanya 7,7% sedangkan kuartal kedua melemah menjadi 7,5%. Namun jika dibandingkan per kuartal, pertumbuhan Tiongkok tercatat 2,2% sehingga menyiratkan laju pertumbuhan tahunan 9,1%. Padahal perekonomian Tiongkok tahun lalu "hanya" berekspansi 7,5% yang adalah terburuk sejak 1999.

Para ekonom percaya tahun ini pertumbuhan tahunan Tiongkok akan mencapai 7,5%, walau Beijing telah mengindikasikan bahwa mereka nyaman dengan pertumbuhan yang sedikit lebih lamban. Efek dari pertumbuhan Tiongkok yang lebih lamban diperparah dengan adanya dugaan suap pada sektor produksi obat-obatan, kepanikan di tengah perusahaan susu formula bayi, dan kontrol korupsi pemerintah di sektor barang mewah yang menyulitkan pemberian gratifikasi.

Di Tiongkok, setiap pertumbuhan di bawah 10 % merupakan sebuah sinyal bahwa ekonomi menjadi melempem. Ia satu-satunya negara di dunia yang jika pertumbuhannya kurang dari 8 % dari tahun ke tahun dianggap berbahaya, karena ia bakal memicu keresahan sosial yang menunjukkan dengan gamblang kerapuhan mendasar sistem erkonominya. Padahal sebagian besar negara lainnya di dunia cuma bisa bermimpi mengalami pertumbuhan sebesar itu. Sifat rezim otoriter komunis merupakan titik kerapuhan sistem ekonominya.

Pencapaian yang sejalan dengan cetak biru kebijakan Presiden Xi Jinping ini meredam kecemasan banyak pihak, yang khawatir pasar ekonomi dunia bakal goyah jika ekonomi Tiongkok ini terus melambat. Sebab tidak ada satu bisnis di mana pun di dunia yang tidak merasakan dampak pengaruh Tiongkok, baik sebagai pemasok barang-barang yang murah maupun, yang lebih mengancam lagi, sebagai pesaing yang maha tangguh.

Sebelumnya kecemasan ditujukan pada neraca keuangan dan modal di Tiongkok pada tahun lalu yang mengalami defisit terbesar sejak 1982. Defisit terjadi sebagai efek perlambatan ekonomi domestik dan global sehingga memicu arus dana modal ke luar dari Negeri Panda. Menurut data yang dirilis oleh Lembaga Administrasi Devisa Tiongkok atau State Administration of Foreign Exchange, telah terjadi kesenjangan neraca senilai US$ 117,3 miliar pada 2012.

Angka defisit itu menjadi yang pertama sejak 1998 ketika investor meninggalkan Tiongkok karena krisis keuangan di Asia. Itu artinya, lebih dari $ 117 miliar modal meninggalkan Tiongkok pada 2012, hal ini mengikuti data yang sebelumnya yang menunjukkan sejumlah besar uang haram telah bergerak ke luar dari Tiongkok. Meski demikian, cadangan devisa Tiongkok pada akhir tahun 2012 mencapai 3,31 triliun dollar AS, dan saat ini sudah mencapai US$ 3,7 triliun

Fakta lain, data ekspor terbaru bulan September 2013 secara mengejutkan menunjukkan penurunan permintaan barang buatan Tiongkok dari luar negeri. Fenomena ini menyiratkan ada hambatan di sektor manufaktur, meski beberapa ekonom melihat ada faktor lain yang memicu penurunan itu. Itu menunjukan ekonomi Tiongkok telah mengalami ekspansi yang berbahaya dan mulai goyah akibat kelebihan kapasitas industri, tumpukan utang, dan daya saing yang mulai terkikis.

Kesenjangan sosial juga semakin melebar akibat pencapaian ekonomi Tiongkok yang ambisius. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kekayaan 400 orang terkaya di negeri itu bertambah 150 miliar dolar AS tahun ini. Aset bersih 100 orang terkaya Tiongkok melonjak 44 persen dibandingkan setahun sebelumnya menjadi 316 miliar dolar AS, sedangkan jumlah miliuner melonjak menjadi 168. Itu menandakan kian lebarnya jurang antara orang kaya dan jutaan orang miskin yang bisa memincu ketidakstabilan sosial dan politik.

Tak hanya aset, orang-orang kaya di Tiongkok juga terbukti senang menetap di luar negeri dan menanamkan modal di negara tujuannya. Seperti dikutip dari CNBC pada 26 November 2013, aset berjumlah ratusan miliar dolar dan sejumlah miliarder tinggalkan Tiongkok dan beralih ke negara-negara tujuan investasi lain. Hal itu dibuktikan dari sejumlah penelitian perusahaan konsultasi dan analisa keuangan di beberapa negara. Menurut WealthInsifht, orang kaya Tiongkok memiliki sekitar US$ 658 miliar aset di luar negari.

Fakta lain, bank-bank Tiongkok saat ini dalam keadaan insolvent yang sangat berbahaya bagi ekonominya. Persoalannya bank-bank ini dikuras untuk menutup kerugian yang diderita perusahan milik negara yang berjumlah sekitar 300.000 di seluruh negeri itu. Menurut sebuah analis, lebih dari 50 persen BUMN itu ada dalam keadaan bangkrut sehingga rejim Tiongkok tidak mempunyai pilihan lain selain menuangkan uang ke perusahaan-perusahaan itu, berapa pun yang diminta. Stabilitas politik dipilih ketimbang membiarkan bangkrut atau diprivatisasi.

Tiongkok juga menghadapi gelembung real estate yang dibiayai oleh sistem perbankan bayangan yang tidak diatur, yang belakangan terjepit di antara pengetatan peraturan pemerintah akan kredit dan merosot tajamnya penjualan ekspor. Jika harga real estat akhirnya jatuh, kejutan bagi para investor Tiongkok dapat meruntuhkan sistem perbankan bayangan, mendorong ke bawah banyak bisnis yang lebih kecil, dan menimbulkan pengangguran yang parah.

Bank Dunia pernah mengkuatirkan potensi gelembung (bubble) dalam perekonomian Tiongkok. Sebab fundamental ekonominya lemah. Tiongkok mencapai pertumbuhan dengan pengurasan serius sumber daya ekologi dan kehidupan dan kesejahteraan buruhnya. Dan, jika gelembung ekonomi Tiongkok meletus akan menjadi masalah bagi seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Sebab Tiongkok merupakan salah satu konsumen terbesar di dunia, ia pemegang terbesar utang-utang Amerika, juga produsen utama barang jasa yang diekspor ke seluruh dunia.

Jadi masihkan kita percaya dengan angka statistik pencapaian ekonomi Tiongkok yang gemilang?


sumber
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 0 suara
percaya gak?
percaya
0%
ga percaya
0%
Diubah oleh Kaskus Support 06 28-10-2015 02:46
0
2.9K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan