Ibu Kota Indonesia yang tidak pernah tercatat sejarah
TS
ssh4ndsom3
Ibu Kota Indonesia yang tidak pernah tercatat sejarah
بسم الله الرحمن الر حيم
Spoiler for no repsol di antara kita:
TS kelupaan sblm-a utk BB....maklum dah tua gan
Bireuen sebuah Kabupaten yang terletak d prov Aceh.
Bireuen berasal dari Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya kebajikan dan yang memberikan nama itu juga orang Arab pada saat Belanda masih berada di Aceh. Kala itu, orang Arab yang berada di Aceh mengadakan kenduri (hajatan) di Meuligoe Bupati sekarang. Saat itu, orang Arab pindahan dari Desa Pante Gajah, Peusangan, lalu mereka mengadakan kenduri. Kenduri itu merupakan kebajikan saat menjamu pasukan Belanda. Orang Arab menyebut kenduri itu Birrun. Sejak saat itulah nama Bireuen mulai dikenal
Bireuen dijuluki sebagai Kota Juang, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga selama seminggu, setelah Yogyakarta jatuh ke tangan penjajah dalam agresi Belanda. Meuligoe Bupati Bireuen yang sekarang ini pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno, dan disini pula Presiden Soekarno mengendalikan pemerintahan. Tapi hingga saat ini, fakta ini tidak pernah di catat dalam sejarah Indonesia, sangat di sayangkan.
Tugu Bate Kureng adalah salah satu tugu yang terletak di jantung Ibukota Bireuen tepatnya di depan Meuligoe Bupati. Diatasnya terdapat batu besar dan telah menjadi lambang kehidupan bagi masyarakat Kabupaten Bireuen. Tugu ini terpancar sebuah ketegaran, ibarat kata “tak lekang di bakar panas, tak lapuk di guyur hujan”
Spoiler for Meuligoe Bireuen:
Meuligoe Bireuen merupakan tempat kediaman Bupati Bireuen, meuligoe ini merupakan salah satu bangunan peninggalan Belanda, Presiden Soekarno pernah mengendalikan Pemerintahan Indonesia dari sini.
Spoiler for Tugu Juang:
Tugu juang merupakan tugu perjuangan rakyat dimasa penjajahan Belanda. Tugu ini adalah kenangan sejarah Aceh. Tugu juang ini terletak di jantung kota Bireuen
Spoiler for tugu Kuta Gle (Tugu Batee Iliek):
Pada masa pergolakan perang melawan Belanda di Batee Iliek terkenal seorang pemimpin pejuang Aceh, Panglima Said yang memimpin perjuangan melawan Belanda di Kuta Gle, Batee Iliek.
Selama 23 tahun benteng Kuta Gle sangat sulit ditaklukkan Belanda, walau mereka dilengkapi persenjataan lengkap. Strategi yang digunakan Panglima Said cukup unik. Pasukan Belanda yang mencoba naik ke bukit Kuta Gle dibiarkan saja. Tapi ketika sebagian besar pasukan Belanda sedang mendaki, pasukan Panglima Said menggulingkan potongan batang kelapa yang telah duluan dipersiapkan dari atas bukit. Akibatnya batang kelapa itu menimpa pasukan Belanda dan mereka terjungkal ke sungai hingga tewas.
Benteng Kuta Gle baru bisa ditaklukkan pada tahun 1901. Seorang “Cuak” (penghianat dlm bhs Aceh) bernama Abu Pang. Ia berkhianat dengan membawa pasukan Belanda melalui jalan lain untuk menyerang benteng Kuta Gle. Oleh Belanda Abu Pang dimasukkan ke dalam sebuah guci agar tidak terlihat warga. Karena pengkhianatan itulah benteng Kuta Glee takluk dan dikuasai Belanda. Panglima Said sendiri waktu itu tewas di tempat bersama sebagian besar pejuang akibat pengkhianatan Abua Pang.
Mengenang peristiwa tersebut, sebuah monumen dibangun di kaki bukit Kuta Gle, tepatnya di ujung timur Jembatan Batee Iliek. Monumen itu kini menjadi tonggak sunyi ditengah keramaian wisatawan lokal yang mengunjungi areal wisata Krueng Batee Iliek setiap harinya. Jarang yang tahu bahwa di tempat rekreasi itu pernah terjadi sebuah pergolakan besar melawan Belanda yang puluhan tahun berusaha menaklukkannya.
Spoiler for makam Syahid / Syuhada Lapan:
Tak jauh dari Kuta Gle, sekitar beberapa belas kilometer ke arah timur. sebuah situs sejarah perjuangan melawan Belanda juga terdapat di Desa Tambue Kecamatan Simpang Mamplam Kabupaten Bireuen. Situs tersebut berupa makam delapan pejuang yang dinamai Syahid Lapan.
Dinamakan makam Syahid Lapan, karena di situ dimakamkan delapan pejuang yang gugur melawan Belanda. Mereka adalah Tgk Panglima Prang Rayeuk Jurong Binje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Balee Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Syehk Lancok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, dan Nyak Ben Matang Salem Blang Teumulek.
Kisah keheroikan para Syuhada Lapan sangat jelas tertulis pada dinding makam. Peristiwa heroik itu terjadi pada awal tahun 1902, para Syuhada Lapan menghadang pasukan marsose. Pasukan pribumi binaan Belanda itu berjumlah 24 orang. Mereka semuanya bersenjata api. Sedangkan pasukan delapan pejuang Aceh tersebut hanya bersenjatakan pedang. Tapi berkat semangat juang yang tinggi, mereka berhasil menewaskan semua marsose tersebut.
Setelah pasukan Lapan berhasil melumpuhkan semua serdadu marsose, lalu mereka mengumpulkan senjata milik penjajah tersebut. Mereka larut dalam euphoria kemenangan. Tanpa mereka sadari tiba-tiba sejumlah serdadu marsose lain datang dari arah Jeunieb memberi bantuan. Kedelapan pejuang itu diserang secara membabi buta dan gugur bersimbah darah.
Jasad para syuhada tersebut kemudian dikebumikan dalam satu liang. Sebab serdadu marsose mencincang-cincang bagian tubuh para pejuang tersebut dengan pedang milik mereka sendiri.
Kini, saban hari makam Syuhada Lapan banyak didatangi orang yang ingin bernazar. Bukan hanya dari Kabupaten Bireuen, tapi juga dari daerah lainnya di luar Kabupaten Bireuen. Setiap hari libur ada saja yang datang untuk melepas nazar, seperi menyembelih sapi atau kambing di Makam itu.
Para pengguna jalan juga selalu berhenti sebentar begitu tiba di depan kuburan Syuhada Lapan untuk memberi sumbangan. Di depan makam memang telah disediakan celengan beton berbentuk miniatur rumah. Konon kabarnya, apabila para pengguna jalan tidak berhenti dan memberi sedekah jika melewati makam tersebut, maka akan mengalami hambatan di perjalanan.
Yang agak unik makam Syuhada Lapan dinaungi sebatang pohon yang rindang, yakni pohon Sala Teungeut (teungeut = Tidur). Dinamakan pohom sala teungeut, karena sekitar pukul 18.00 WIB daun-daun pohon itu menguncup dengan sendirinya, seiring senja datang dan kembali mekar keesokan harinya. Pohon itu tiga tahun lebih muda dari usia makam Syuhada Lapan, sampai sekarang masih tetap kokoh dan kuat.
Spoiler for Rumah Adat dan Makam Tgk Awe Geutah:
Di Desa Awe Geutah,Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, KabupatenBireuen, ada rumah adat asli Aceh yang masih berdiri kokoh walau usianya sudah ratusan tahun lamanya.Namun, dibalik itu banyakyang tidak mengetahui riwayat tentang pendirinya,Teungku ChikAwe Geutah, seorang ulama yang sangat berperan dalam mengembangkan agama Islam di Aceh.
sayangnya jasa-jasa Teungku Awe Geutah seperti terlupakan. Belum ada sejarawan yang menulis riwayat tentang ulama Sufi itu. Kebanyakan mereka hanya datang untuk melihat pesona Rumah Aceh yang masih terpelihara keasliannya sampai kini.
Dikisahkan Cut Teumeuruhom,Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin Muhammad Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian merantau dan menetap di Desa Awe Geutah, sampai dia meninggal disana. Namun tidak diketahui persis-nya tahun berapa dia pertama kali menginjakkan kaki di desa pedalaman Kecamatan Peusangan SiblahKrueng itu. Di batu nisannya pun tidak tertera tahun meninggal ulama besar tersebut.Perjalanannya mencari Awe Geutah sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam yang aman dan damai, Syahdan sekitar abad ke 13 yang lampau, AbdulRahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria saudara kandungnya,dan sejumlah pengikutnya melakukan hijrah.Mereka meninggalkan tanah kelahirannya. Sebab,waktu itu ada pertentanganantar pemeluk agama Islam di sana,meyangkut perbedaan
khilafiyah.
Untuk menghindari perselisihan yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulahAbdul Rahim bersama keluarga dan para pengikutnya berinisiatif melakukan hijrah ke tempat lain.Pencarian untuk mendapatkan negeri yang aman dan tenteram itu,membuat mereka harus menyingggahi beberapa tempat.Pertama Abdul Rahim beserta rombongan mendarat di kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian singgah di pulau Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka menyebutnya pulau Ruja. Di pulau tersebut mereka menetap beberapa saat di Gampong Lamkabeu, Aceh Besar.Merasa belum menemukan tempat yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka melanjutkan lagi pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau lagi melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis. Dia saat itu sudah memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana.Konon kabarnya dia kemudian me-netap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat pengajian.Kelak dia lebih dikenal dengan namaTeungku Chik Tanoh Abee.Sedangkan pengikut rombongan Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan tersebut akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen)
Mereka melihat di situ banyak pelayar yang singgah. Di sana mereka mendapati beberapa saudagar dari India yang melakukan transaksi penjualan pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende. Dia mengaku kepada Abdul Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah menjadi pelabuhan yang maju, dan disinggahi para pedagang dari berbagai negara.Rombongan Abdul Rahim kemudian menetap di Asan Bideun(Sekarang Desa Asan Bideun, Keca-matan Jangka). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk di sana.Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa perempuan setempat, termasuk istrinya, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Itam, pulang mencuci di sungai dengan berkemben (memakai kain yang me-nampakkan bagian dada atas). Melihat pemandangan yang tidak biasanya itu, Abdul Rahim punya firasat lain. Dia berkesimpulan, Asan Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka menetap.Negeri itu sudah dzalim.
Lalu mereka sepakat pindah ketempat lain. Kali ini rombongan terpecah lagi, mereka terbagi tiga kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju Paya Rabo dan menetap di sana(Sekarang Desa Paya rabo masuk wilayah Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara). Kelompok yangdipimpin adiknya yang lain pergidan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Jangka).Sedangkan satu kelompok lagi yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan tersebut sempat menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk setempat.Namun setelah sekian lama menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok untuk dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam berturut-turut, untuk memohon petunjuk dari Allah, Malam pertama setelah AbdulRahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia naik ke sebuah bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk wilayah Desa Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan). Di atas bukit itu Abdul Rahim berdiri menghadap kearah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana, namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon kabarnya, pucuklabu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa Geulanggang Labu,Kecamatan Peusangan Selatan sekarang.Malam kedua, setelah shalat istikharah, Abdul Rahim naik lagi keatas bukit tersebut. Kali ini dia menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam berikutnya dia juga melakukan hal yang sama,dengan menghadap ke arah utara. Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.Baru pada malam keempat Abdul Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke arah timur,pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat tinggal yang permanen.Maka keesokan harinya mereka langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi. Singkat cerita,sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah mereka di sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.Saat itu, di sana masih berhutan belantara.Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang dan bersihkan untuk di- jadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah, setelah capek bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya,apa nama yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu.Ada beberapa nama yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.Seorang di antara mereka, sambil duduk-duduk membersihkan getahr otan yang lengket di tangannya,mengusulkan sebuah nama. “Untukapa capek-capek memikirkan nama.Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu. Usu-lan itu pun diterima Abdul Rahimdan rekan-rekan mereka yang lain.Nah, sejak saat itulah tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe Geutah.
Spoiler for Mesjid Kuta Blang:
dan yang terakhir
Spoiler for Peninggalan Sejarah Bireuen yang Sangat Terawat:
Spoiler for ke TKP:
Spoiler for Lulus Sensor n tlah dpt restu dr pihak terkait: