Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tetigaAvatar border
TS
tetiga
Bersedekah dengan Tepat
Tulisan ini disadur dari note teman, semoga bisa bermanfaat....


Ketika saya kuliah dulu, saya selalu beli koran ketika pulang dari kampus di sore hari. Kenapa saya selalu beli sore hari? Pertama karena waktu pagi pasti tidak akan bisa membaca koran karena kuliah atau sibuk buru-buru ke kampus ngerjain tugas baik itu copy paste, kerja sendiri/kelompok, atau cuma nitip nama/absen doank di tugas kelompok emoticon-Stick Out Tongue. Kedua, di rumah tidak pernah langganan koran. Alasan ketiga, harga koran di sore hari sudah turun harga. Keempat adalah kita bisa baca koran sambil tiduran, BAB, ataupun pas makan. Dan alasan terakhir adalah saat itu android dan ipad belum dipakai luas seperti sekarang, masih sebatas laptop yang menjamur.


Penjaja koran sore hari (ilustrasi)


Dari harga koran pagi hari seharga sekitar Rp 3500, saya bisa beli di sore hari seharga Rp 1000 atau Rp 1500 (untuk koran ternama seperti salah satu koran nasional yang sudah berdiri sejak 1965). Buat saya tidak ada istilah berita basi, karena menurut guru sejarah saya pas SMA dulu rangkaian berita yang terjadi akan membentuk sebuah peristiwa sejarah, sejarah akan dipelajari di masa mendatang agar kita menjadi bijak. Setiap pulang pasti selalu saya baca meski kami punya koneksi internet yang tentu lebih update ketimbang koran pagi yang "kesorean" ini. Dari kecil saya memang sudah suka membaca, kami selalu langganan majalah Bobo dulu dan sering membeli komik dragon ball atau doraemon. Sehingga rasanya ada yang kurang kalau tidak membaca (kecuali membaca buku kuliah yang pake bahasa inggris, terlebih ketika ada rumus integral dan diferensial baru akan saya baca ketika ada tugas/quiz ataupun pas UTS dan UAS, haha... tapi kadang saya baca kalau memang benar-benar tidak ada kegiatan sama sekali).


Tumpukan koran itu...


Kebiasaan membaca koran sore itu terus saya lakukan sampai lulus kuliah. Namun semua itu berubah ketika negara api menyerang... (loh). Dikarenakan saya harus merantau untuk njemput rezeki (jangan bilang nyari rezeki, rezeki ada dimana-mana, tapi tiap orang punya lokasi rezeki masing-masing yang harus kita jemput sendiri), saya sudah tidak pernah lagi menyenangkan hati penjaja koran sore hari. Tapi kebiasaan membaca itu terus ada, dan saya lakukan dengan membaca berita lewat laptop sejak jaman kuliah alias online. Sedikit demi sedikit, saya pun bisa mengumpulkan uang untuk membeli sebuah handphone android, menggantikan hape polyponic sehingga saya bisa online dimanapun tempatnya.


Lalu selang berapa waktu, saya akhirnya dapat tempat (pindah tugas) di kota Yogyakarta, tempat saya lahir dan kuliah. Kerinduan untuk membaca koran sore itu terbesit lagi di kepalaku, nostalgia masa kuliah dulu. Namun ternyata sekarang semua sudah berubah, tidak ada lagi penjaja koran sore itu lagi. "Yah paling tidak sekarang aku sudah punya android" pikirku ketika menyadari perubahan perilaku bisnis koran saat ini.

Suatu ketika aku minta cuti, karena aku harus mendaftarkan adikku masuk SMA dengan sistem online tapi juga harus masukin formulir sama kayak waktuku SMA dulu. Dikarenakan NEM adikku mepet untuk masuk tiga sekolah unggulan di kota Jogja, kami wait and see. Karena hari itu hari terakhir pendaftaran dan NEM untuk masuk sekolah unggulan nomer tiga tidak mungkin, kami daftar di SMU negeri yang lain. Selesai proses pendaftaran dan pergi ke SMU bersangkutan, kamipun pulang siangnya. Tidak kusangka di perempatan deket rumah sakit Wirosaban, ada penjaja koran (tapi ko siang jam pulang sekolah) dan yah koran nasional itu sudah ga jualan dgn harga murah sore hari lagi. Tapi karena sudah sudah manggil tu ibu-ibu, kasihan juga kalo ga beli maka saya beli koran lokal seharga Rp 1500. Besok paginya ketika saya berangkat, ada penjaja koran. Saya iseng beli koran yang sama, ternyata harganya sama emoticon-Hammer. Saya sempet bingung, padahal kemarin itu koran siang hari, kenapa harganya sama kayak pagi hari. Tapi saya berpikir positif saja, mengingat sekarang harga-harga mahal. Selang kejadian itu, saya pun lama tidak membeli koran lagi.

**


Hingga pada bulan oktober lalu, saya kedatangan kerabat tepatnya om saya. Dia bekerja di salah satu koran nasional punyanya pak Dahlan Iskan (ayo googling biar tahu apa korannya). Dia mengurusi produksi kertas untuk nanti dijual ke penerbit majalah dan ke advertising, selain memproduksi kertas yang dipakai untuk koran dimana ia bekerja itu sendiri. Pada hari itu dia pergi ke jogja untuk berkunjung ke salah satu cabang lokal koran tersebut, dan juga menghabiskan waktu di malioboro cari baju untuk anak istrinya.


Malioboro


Selepas dari malioboro, saya ajak paman saya itu makan di angkringan di sekitaran kampus UGM (walau sebenernya dia yang traktir). Di sela-sela waktu makan itu, kami berbincang sejenak ngobrol urusan kerjaan dan sebagainya. Dari salah satu obrolan itu, dia bercerita pada Tahun 2010 sempat 10 hari karyawan dirumahkan (berhenti produksi bukan di PHK), dikarenakan pada waktu itu industri kertas digempur oleh produk impor kertas dari China. Katakan saja kita bisa bikin kertas kualitas A dengan harga jual Rp 7.000/kg, maka China bisa bikin kualitas A+ dengan harga jual Rp 6.000/kg. Edan tenan, saya pun yang sudah lama mendengar ajaibnya kemampuan bangsa China pun manggut-manggut. Akhirnya produksi bisa jalan lagi, setelah ada team pemasaran yang turun ke konsumen untuk melakukan perbaikan kualitas agar dapat menyaingi standar kertas China.

Dari obrolan singkat di malam minggu di antara 2 pria (yang sudah pasti bukan emoticon-Betty). Saya merenung, bangsa ini sekarang tantangannya berat. Dari siklus sebuah koran saja bisa menimbulkan efek yang besar. Kalau koran tidak produksi, loper koran tidak jalan, akan menimbulkan pengangguran di kalangan masyarakat tidak mampu dan tidak berpendidikan tinggi.

Besok sorenya ketika saya pulang. Saya kaget pas melihat seperti ini.

Jathilan jalanan


Mungkin di kota kalian tidak ada, tapi di jogja sekarang ini hal tersebut sudah lumrah. Dan kalau pun yang menari itu orang dewasa mungkin masih bisa kita maklumi, tapi beberapa tempat penarinya adalah anak kecil. Tampaknya masyarakat kita tidak kehabisan ide, setelah arus hiburan seadanya "pengamen jalanan" terpinggirkan di kota gudeg ini mereka melirik seni jathilan. Awalnya saya pikir "wow kreatif sekali", namun seiring waktu lama-lama jenuh karena kegiatan yang diulang-ulang dan atraksinya cuma joget seadanya (mungkin lelah kena terik matahari juga).

Kadang saya berpikir, kontras sekali dengan keadaan saya yang mencari uang dgn cara yang dipandang jauh lebih masuk akal dan lebih ada hasilnya untuk dinikmati masyarakat luas. Tapi bukankah aku ini sudah menghabiskan minimal 8 x 2 juta untuk mendapatkan ijazah? Ya, pada awalnya saya pikir demikian, tapi jika ada rezeki saya yakin orang-orang itu bisa jadi sesuatu yang lain. Kadang kita tidak tahu kalau seseorang itu pandai, kita seringkali menilai dari penampilan.

Tiba-tiba terlintas di pikiranku, "hey kenapa tidak beli koran lagi". Ya koran yang menjadi temanku semasa kuliah. Jika kita membeli koran, akan ada pemasukan untuk para loper koran yang saya lihat semakin terpinggirkan oleh koran digital yang dibingkai indah dalam iPad dan android tablet. Lebih bernilai di mata Tuhan kalau seseorang itu berdagang ketimbang selalu meminta-minta. Betul kan?

Sejak saat itu saya putuskan membeli koran di pagi hari setiap hari di tukang koran lampu merah (hari sabtu saya mengantar adik sekolah, minggu saya pengajian habis shubuh bareng bapak ibu). Terkadang ibu saya heran dan nanya, "nak beli koran mlulu buat apa? dah numpuk banyak, kan dah ada internet". Ya saya jawab nantinya koran ini kan bisa diloakan atau untuk bersih-bersih perabot rumah bu.


Anak kecil penjaja koran


Bahkan temen saya mengganggap saya aneh, selalu membeli koran lokal di jalan, dan kenapa ga langganan kan jatuhnya lebih murah. Tapi mereka sendiri ikut membaca koran yang saya bawa.

Mungkin menurut kalian, ini juga aneh? Tidak menurutku, dalam sebulan tidak pernah habis uang untuk beli koran lebih dari Rp 70.000. Itu bahkan lebih murah daripada ketika kita membeli 1 buah pizza ukuran besar di franchise pizza asal amerika.

Dari 70 ribu itu, mungkin kita sudah "bersedekah" seribu, dua ribu, lima ribu, atau bahkan 10 ribu sebagai upah yang diterima oleh penjaja koran tersebut (saya tidak tahu pasti berapa bagi hasilnya). Itu kalau satu orang yang beli, kalau banyak orang? Yang pasti mungkin tidak sebanyak pengemis dan pengamen, serta penari jathilan jalanan. Tapi paling tidak dengan ini membentuk mental untuk terus berusaha, mental pejuang, mental pedagang, mental barokah. Mereka juga punya keluarga untuk dihidupi, mungkin dgn awalnya jualan koran bisa sedikit demi sedikit buka kios kecil, lalu bisa menyekolahkan anak-anak mereka.

**


Ketika koran itu sudah menggunung, biasanya ibuku jual kepada tukang beli rongsokan yang biasa lalu lalang di hari minggu. Dari koran bekas pagi itu pula, kita memberikan sumber pendapatan kepada seorang tukang rongsokan.


Pengepul rongsok


Lalu koran bekas itu dijual lagi dari pengepul ke produsen kertas untuk didaur ulang untuk membuat kertas buram, kertas untuk selebaran.



Lanjut post berikut.........
0
3.3K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan