- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 06-05-2024 10:33
supri.kantor666 dan 143 lainnya memberi reputasi
144
192.7K
Kutip
3.1K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1292
Part 53 - Tak Sampai Hati
Spoiler for Part 53 - Tak Sampai Hati:
Sepagi ini, di awal hari, hati terasa berat dan gelisah saat tau bahwa Marshall akan bertemu dengan Tata. Rasanya campur aduk, dan sulit dijelaskan; ada perasaan sakit layaknya ratusan jarum menusuk ke dalam hati, menciptakan rasa cemburu yang tak terbendung. Ya walaupun gua lah yang mengusulkan pertemuan itu, tapi tetap saja baru membayangkan mereka akan bertemu aja udah bikin hati nggak nyaman.
Gua menghela nafas panjang, mendongak kemudian kembali menjatuhkan tubuh di atas ranjang. ‘Gua nggak boleh begini. Kan gua sendiri yang udah ngasih saran ke dia buat ketemu sama Tata. Kenapa sekarang malah gua yang jadi cemburu?’ Gua membatin dalam hati.
“Ah, Bodo lah…” Gumam gua pelan, lalu meraih bantal untuk menutupi kepala.
Tapi, setiap kali gua mencoba mengalihkan pikiran ke tempat lain. Bayangan dan sosok mereka berdua terus bergelayutan di dalam pikiran; membayangkan mereka berdua ngobrol, apakah mereka akan mengenang masa lalu? apakah mereka akan menertawakan lelucon yang hanya mereka yang mengerti? Pikiran-pikiran itu menghantui pikiran, bikin tambah gelisan dan cemas yang berlebihan.
Gua meraih ponsel, mencari nama ‘Gadis Karbol’ di daftar kontak dan mulai menghubunginya. Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suara manis-nya terdengar menyapa gua; “Halo…”
“Halo, Ta…”
“Ya…”
“Lo mau ketemuan sama Marshall, kan?” Gua langsung mengajukan pertanyaan, enggan bertele-tele.
“Iya, kenapa?” Tata balik bertanya.
“Gapapa, cuma mau mastiin aja”
“Apa yang perlu kamu pastiin?” Tanyanya lagi.
“Mastiin kalo lo nggak terlalu dekat dengannya…”
“Iya”
“Mastiin kalian berdua nggak ngobrolin masa lalu yang menyenangkan”
“Hmmm, iya…”
“Dan, Mastiin kalau lo nggak nyoba deketin dia lagi” Gua menambahkan.
“Wah, kalau itu sih, aku nggak bisa janji Pop” Jawabnya tenang.
“Ck! Ah, udahlah. Percuma ngomong sama lo” Seru gua lalu bersiap mengakhiri panggilan. Namun, sebelum benar-benar berakhir, terdengar Tata kembali bicara.
“Aku bisa janji kalau dia bakal baik-baik aja setelah ketemu sama aku…” Ucapnya lalu mengakhiri panggilan.
Gua menjatuhkan ponsel, bangkit dan duduk di tepi ranjang. Menatap kosong ke arah pintu kamar yang masih tertutup rapat, mencoba untuk tetap tenang dan meyakinkan diri sendiri kalau Marshall nggak bakal berpaling. Namun, rasa-rasanya sulit untuk memadamkan api cemburu yang sudah membara, yang semakin lama semakin besar, yang menggerogoti hati.
Sempat terbesit untuk menghubungi Marshall dan mencegah mereka untuk bertemu. Tapi gua sadar, gua nggak boleh egois, gua harus kasih mereka berdua kesempatan untuk menyelesaikan hal-hal yang belum terselesaikan.
Gua kembali menenggelamkan kepala di antara tumpukan bantal dan guling kemudian mulai berteriak agar suaranya nggak terdengar hingga ke bawah.
“Argh…” .
Masih dalam keadaan hati yang campur aduk, gua berusaha bersikap wajar. Meraih handuk dan bersiap untuk mandi.
“Ke kantor Pop?” Tanya nyokap begitu melihat gua sudah turun dengan berkalung handuk.
“Nggak” Jawab gua singkat.
“Tumben mandi” Gumam Nyokap sambil terkekeh.
Selesai mandi dan sarapan, gua kembali ke atas, ke dalam kamar, membuka layar laptop dan buku catatan; mulai bekerja dan sambil mencuri-curi waktu melanjutkan skripsi.
Tentu saja sulit memfokuskan diri untuk multitasking dengan kondisi seperti ini; gelisah. Jadi, gua memutuskan menyingkirkan dahulu skripsi dan fokus pada pekerjaan. ‘Nanti malam aja deh, lanjutin skripsinya’ Batin gua dalam hati.
—
Beberapa jam kemudian, gua sudah mulai larut pada angka analisa di layar laptop. Membuat gua sedikit melupakan rasa gelisah yang sejak tadi enggan hilang. Tiba-tiba, ponsel berdering, gua menatap ke arah layarnya yang menampilkan nama ‘Mamah Marshall’.
‘Waduh, ada apa nih?’
Gua menghela, mencoba mengatur nafas, berdehem sebentar, barulah menjawab panggilan.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, Poppy…” Sapa Nyokapnya Marshall dari ujung sana. Suaranya terdengar sedikit serak seperti habis menangis.
“Iya Tan…” Jawab gua.
“Pop, kamu tau kalau Marshall sekolah lagi, kejar paket C?” Tanyanya.
“Tau, Tan. Kenapa?”
“Gapapa, Tante abis telpon Marshall. Dan dia baru cerita. Tante sedih deh dengernya”
“Lho, kenapa sedih Tan. Kan bagus dong kalau Marshall masih mau lanjutin sekolah” Gua memberi jawaban dengan nada suara sepositif mungkin.
“Iya, tapi kan…” Bicaranya terhenti, lalu samar terdengar suaranya mulai terisak.
Gua lantas mulai menghiburnya dengan menceritakan hal-hal positif yang sudah Marshall perbuat selama ini. Tentu saja nggak menyebutkan kalau anaknya itu pernah bekerja sebagai tukang bangunan; takut ia malah nanti tambah sedih.
Di akhir obrolan, nyokapnya Marshall bicara; “Tante pengen deh, ngeliat tempat Marshall…”
“...”
“... Kamu tau rumah kontrakannya kan, Pop?” Tanyanya, menambahkan.
“Tau, Tan…” Jawab gua singkat.
“Boleh kirimin alamatnya Pop” Pintanya.
“Boleh dong. Nanti abis ini aku kirim via chat ya Tan”
“Eh, atau kamu ikut aja. Sabtu kamu libur kan?”
“Mmm, libur sih Tan, Tapi…” Belum selesai gua bicara, nyokapnya Marshall memotong kalimat, seakan nggak menerima penolakan.
“Yaudah tapi jangan bilang-bilang Marshall ya, Pop”
“Oh.. ok Tan” Gua menjawab singkat.
Setelahnya, Nyokap Marshall terus mengajak gua ngobrol ngalor ngidul tentang banyak hal. Ingin mengakhiri panggilan, tapi hati ini rasanya nggak enak. Nggak biasa-biasanya gua terjebak dalam situasi seperti ini, karena gua orang yang blak-blakan dan tentu saja bisa langsung keluar momen-momen obrolan kayak sekarang. Tapi, entah kenapa saat ini gua seperti terhipnotis sampai kehilangan keberanian.
Setengah jam berikutnya, Akhirnya nyokap Marshall mengakhiri panggilan. Gua menarik nafas panjang dan mulai menjatuhkan tubuh pada sandaran kursi, menatap ke arah layar laptop yang kini berisi ketikan huruf asal yang kerap gua lakukan saat tengah bicara di telpon.
Jam pada layar ponsel menunjukkan hampir pukul 1 siang. Gua bahkan melewatkan makan siang karena telepon dari nyokapnya Marshall.
Setelah selesai makan siang, gua kembali duduk di kursi di dalam kamar.
Mencoba mengumpulkan ulang konsentrasi yang hilang dan kembali bekerja.
Saat baru saja gua mulai bekerja, ponsel kembali bergetar, disusul muncul notifikasi pada layarnya. Gua mengabaikan notifikasi tersebut, berniat untuk menyelesaikan pekerjaan lebih dulu, baru setelahnya beralih ke pesan tersebut. Namun, rasa penasaran nggak bisa dilawan. Gua menyerah, meraih ponsel dan mulai membaca pesan tersebut.
Pesan dari Tata yang isinya sebuah swafoto dirinya tengah duduk sendirian dengan latar undakan anak tangga. Dari foto tersebut gua dengan mudah mampu menebak kalau ia tengah atau habis menangis tapi seperti terpaksa tersenyum.
‘Kenapa lo?’ Gua membalas pesannya.
‘Gpp’ Balasnya singkat.
‘Kalo gpp, ngapain ngirim foto?’ Gua kembali mengirim balasan.
Tak ada balasan darinya.
Tak kunjung mendapat balasan darinya, dan karena sudah berhasil bikin gua penasaran, gua mengirim pesan kepadanya; ‘Ta! Marshall mana?’
‘Ada dibawah, lagi ngobrol sama nyokap’ Balas Tata.
‘Ngobrol apa?’
‘Rahasia’
‘Ah tai lo’
‘Ntar aku kabarin kalo dia udah pulang’
Gua menggenggam ponsel kuat-kuat, sambil menggeram. Sepertinya Tata memang sengaja ingin membuat gua terbakar cemburu. Sementara, gua disini nggak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menunggu dengan hati yang berdebar-debar, berharap bahwa pertemuan itu akan segera berakhir dan Marshall segera kembali ke gua dengan perasaan yang lebih kuat dari sebelumnya. Tapi, hingga sampai saat itu, masa iya gua harus terus bertahan menghadapi rasa cemburu.
Setelah berjam-jam tersiksa dengan rasa cemburu akhirnya sebuah pesan dari Tata membuat ada rasa kelegaan di dalam hati; 'Dia baru aja pulang'.
Ingin rasanya gua langsung menghubungi Marshall, tapi ia pasti masih berada dalam perjalanan. Jadi, gua memutuskan menunggu sebentar sebelum nanti menghubunginya.
Setelah hampir setengah jam, dan gua sudah nggak punya lagi sisa kesabaran untuk mendengar cerita darinya, gua memutuskan menghubungi Marshall, nggak peduli ia sedang di jalan atau sudah tiba dirumah.
‘Gimana pertemuannya? Aman?’ Gua mengirim pesan sebelum menelponnya.
‘Nanti gua telp. Sekarang lagi di kereta’ Balas Marshall melalu pesan.
Gua berdecak sebentar, kemudian melempar ponsel ke atas ranjang, kembali duduk di kursi meja belajar, melanjutkan pekerjaan. Sambil menunggunya hingga tiba di rumah.
Setelah hampir satu jam berikutnya, barulah Marshall menghubungi gua. Kini ia sudah berada di rumah.
“Eh, gimana Sal, ceritain dong” Gua memintanya untuk bercerita. Tentu saja perkara pertemuan mereka berdua.
Marshall lalu mulai bercerita, mulai dari pertemuan dengan Tata di kedai kopi, bahkan hingga obrolannya dengan nyokapnya Tata.
“Gila kali yak. Ngelunjak banget jadi orang” Gua langsung berseru, yang tanpa sadar membuat isi makanan di dalam mulut gua tersembur keluar ketika mendengar Marshall bercerita tentang ucapan Tata; ‘Masih adakah kemungkinan aku balik lagi. Nggak, nggak, jangan terlalu jauh deh, Sal. Aku juga nggak mau terlalu ngelunjak untuk berharap bisa bersama kamu lagi. Aku cuma mau tetap bisa berhubungan sama kamu. Jadi, teman pun gapapa’.
“... Duh, mana besok minggu gua ada sesi foto bareng dia lagi” Gua mengeluh, teringat akan jadwal sesi foto kami berdua yang selalu ‘berdampingan’.
“Ya kalo nggak mau ketemu, nggak usah dateng” Marshall memberikan saran.
“Yaah, tapi kan sayang” Gua menjawab, tentu saja maksud ucapan gua adalah ‘sayang dengan bayarannya yang lumayan’.
“Sama! Gua juga sayang” Marshall memberi respon dengan sebuah candaan. Namun, karena gua kaget dengannya yang tiba-tiba bercanda, dan nggak bisa langsung merespon dengan tertawa.
“Hah! Gimana-gimana?”
Kami lalu saling terdiam.
“Minta jadwal lain aja kalau nggak, bisa nggak?” Marshall buka suara, memberikan saran lagi.
“Hmmm.. Patut dicoba” Jawab gua.
Kami berdua lalu menghabiskan malam sambil terus berbincang, berbagi cerita. Gua duduk di kursi, menghadap ke arah laptop di atas meja belajar; mengerjakan skripsi. Sementara, di ujung sana Marshall tengah mengerjakan ilustrasi. Sesekali terdengar samar suara ketukan pensil digitalnya. Rasanya seperti kami berdua tengah berada di dunia yang sama, tetapi terpisah oleh jarak fisik yang terasa begitu jauh.
Selesai ngobrol dengan Marshall, gua lalu mengirim pesan ke salah satu Telco untuk meminta perubahan jadwal pemotretan. Permintaan tersebut lalu disetujui dengan satu syarat; Jangan datang terlambat. Karena sesi foto gua berada di awal hari, maka terlambat sebentar saja bakal berdampak ke sesi-sesi berikutnya. Nggak pikir lama, gua lantas mengamini syarat tersebut.
Kemudian, mengirim pesan ke Nyokapnya Marshall kalau besok gua akan ada sesi pemotretan jadi nggak bisa turut serta dengannya untuk mengunjungi Marshall. Sekaligus menyertakan alamat lengkap rumah kontrakan tempat tinggalnya.
Namun, Nyokapnya malah mengusulkan ide lain; ‘Gapapa, Pop. Kirim alamat studio-nya aja. Nanti tante jemput disana, terus kita bareng-bareng ke rumah Marshall’
‘Mati!’ gumam gua dalam hati.
Bukan, bukannya gua nggak suka dan nggak mau harus bersama-sama dengan nyokapnya mengunjungi Marshall. Hanya saja, gua rasa-rasanya masih terlalu canggung dan malu jika harus berdua saja dengan orang yang belum lama dikenal.
—
Besoknya, pagi-pagi sekali, gua sudah menerjang dinginnya udara pagi Jakarta dengan ojek online yang membawa gua ke studio.
Setibanya di sana, nggak menunggu lama, salah satu Telco langsung mengajak gua ke ruang ganti, menyiapkan wardrobe dan memberikan selembar kertas berisi salinan moodboard tentang pose yang harus gua tampilkan nanti. Gua mengangguk, mempelajari salinan tersebut sambil duduk tepat di hadapan cermin meja rias yang terang benderang.
“Aih, Cantiknya si Poppy…” Goda salah satu kru foto yang dikenal dengan nama Daus.
Gua tersenyum dan memposisikan diri di tengah-tengah area foto, kemudian mulai berpose. Setelah beberapa kali berganti wardrobe, kali ini gua mengenakan kaos berwarna merah dan topi, berpose sebagai ‘pelayan resto’.
Saat masih di tengah sesi, gua melihat sosok perempuan berdiri di antara kerumunan. Sosoknya mudah dikenali karena selain tinggi, ia juga cantik; Tata.
“Ok sip, ganti baju terakhir Pop” Seru Monic si penata gaya.
Gua beranjak dari lantai beralas kertas putih penuh lampu, keluar dari kerumunan, bergegas menuju ke arah ruang ganti.
“Lo reschedule juga?” Tanya gua ke Tata saat kami berpapasan di kerumunan para kru dan model lainnya.
“Iya…” Tata menjawab santai.
“...”
“... Kamu kenapa reschedule Pop?” Tata lalu bertanya, sambil terus mengikuti gua ke dalam ruang ganti.
“Gapapa, besok ada acara soalnya” Gua menjawab.
“Oh..”
“Mau ngopi nggak?” Tiba-tiba Tata memberi penawaran, seakan ingin mencoba mencairkan obrolan.
Terkenal sebagai orang yang ‘ogah-rugi’, gua jelas langsung menerima tawarannya; “Mau. Tapi jangan yang pait”.
Lalu, dengan ponselnya Tata mulai membuka aplikasi ojek online dan memesan kopi dalam jumlah yang nggak sedikit. ‘Ah mungkin untuk para kru lainnya juga’ Gua membatin dalam hati.
“Eh, Pop.. Kemarin kamu jadi telepon Marshall?” Tata kembali bertanya setelah selesai melakukan pesanan.
“Jadi”
“Terus dia cerita apa?” Tanyanya lagi.
“Semuanya”
“Apa?”
“Ya ngapain gua cerita sama lo, aneh. Kan lo yang abis ketemu sama dia” Gua memberi jawaban, nggak mengerti dengan maksud dan tujuannya menanyakan hal tersebut. Ingin menambah rasa cemburu gua atau hanya sekedar mengecek dan mengkonfirmasi apakah Marshall benar-benar menceritakan semuanya ke gua.
Gua duduk menghadap tepat di hadapan cermin meja rias yang terang benderang, bersiap kembali di makeup. Sambil di makeup, gua menatap Tata melalui pantulan cermin dan mulai menanyakan hal-hal yang diceritakan Marshall. Sengaja ingin membuatnya tau kalau Marshall memang sudah menceritakan semuanya ke gua.
“Marshall janjiin apa ke lo kemarin?” Tanya gua.
“Mmm.. janji? Janji apa?” Tata merespon, dari ekspresi wajahnya gua bisa menebak kalau saat ini ia tengah berpura-pura.
“Alah, belagak bego lagi lo” Ucap gua.
Setelahnya, Tata mengubah arah pembicaraan dan mulai bertanya tentang pertanyaan lain seputar sesi foto.
Selesai dengan makeup, selesai pula obrolan kami berdua. Gua berdiri dan bersiap kembali ke studio; “Gua take dulu bentar, ntar kita ngobrol lagi”.
“Oke” Jawabnya singkat.
—
Gua menyelesaikan sesi dengan wardrobe terakhir, terlihat ponsel gua berkelap-kelip di atas meja rias ketika baru saja masuk ke dalam ruang ganti. Gua meraih ponsel dan menatap layarnya yang menampilkan nama ‘Nyokap Marshall’.
“Halo, ya Tan?” Sapa gua.
“Halo, Pop. Tante di depan studio nih, Kamu dimana? Di dalem ya, tante masuk ya?” Jawab Nyokapnya Marshall yang bicara tanpa memberi kesempatan gua menjawab.
“Eh, nggak usah Tan. Aku udah selesai, sebentar lagi keluar” Jawab gua, sambil mulai membereskan barang-barang dan memasukkannya ke dalam tas. Masih dengan ponsel di telinga, gua keluar dari ruang tunggu dan berkeliling studio mencari Tata.
Saat ini, gua nggak mau Tata bertemu dengan nyokapnya Marshall yang berada diluar. Takut, jika ia tersakiti hatinya kalau sampai mendapati gua pergi dengan Nyokapnya Marshall. Iya, biar benci dengannya, gua tetap nggak mau perasaannya yang sudah tersiksa menjadi semakin kalut. Jadi, sebisa mungkin gua mau menahannya tetap berada di dalam studio. Tapi, gua nggaj berhasil menemukannya di dalam studio.
Sambil menahan bagian speaker ponsel yang masih terhubung dengan nyokapnya Marshall, gua bertanya ke salah satu kru yang berada di dalam studio; “Liat Tata nggak?” yang lalu diresponnya dengan menunjuk ke arah luar.
‘Waduh!’ batin gua dalam hati, lalu bergegas keluar. Sementara, nyokapnya Marshall masih terus menanyakan keberadaan gua melalui sambungan telepon.
Begitu tiba di luar, gua langsung mendapati Tata tengah berdiri di depan nyokapnya Marshall yang seperti sengaja memunggunginya. Enggan, nyokapnya semakin membuat hati Tata semakin terluka, gua buru-buru mendekat. Cara paling tepat yang terpikirkan hanya; membawa nyokap dan bokapnya Marshall pergi dari sini.
“Halo Tan, Halo Om…” Sapa gua ke mereka.
“...”
“... Udah lama?”
“Baru aja kok..”
“Langsung aja yuk..” Ajak gua untuk segera pergi dari sana.
Sementara, Tata berpaling ke arah gua. Ia berdiri dan menyodorkan gelas plastik berisi kopi. “Pop, ini kopi kamu…” Ucapnya. Gua mendongak, menatap ke arahnya, ke wajahnya yang terlihat penuh tekanan.
Gua sengaja nggak mengambil kopi darinya. Mencoba mengalihkan perhatiannya dari perlakuan nyokapnya Marshall. Lalu menyusul keduanya masuk ke dalam mobil yang langsung membawa gua pergi dari sana. Gua menoleh dan menatap ke arah Tata yang masih berdiri di halaman area parkir studio, memandang ke arah mobil yang kami tumpangi.
—
Di dalam mobil yang kami tumpangi, Nyokapnya Marshall langsung ngedumel; kesal.
“Ngapain si anak itu disana, Pop?” Tanyanya.
“Iya, tan. Kita soalnya satu agensi” Gua menjawab.
“Terus, berarti kamu kenal dong sama dia?” Tanyanya lagi.
“Iya, kenal lewat Marshall” Jawab gua.
“Hah!?” Mendengar jawaban gua barusan, nyokapnya terlihat terkejut dan langsung menoleh ke arah gua.
“...”
“... Jadi, Marshall juga udah ketemu sama dia?” Tanyanya dengan nada sedikit tinggi, sementara tangannya menunjuk ke belakang.
Melihat sikap istrinya yang dirasa berlebihan. Bokapnya Marshall dengan cepat menenangkannya. “Udah, Mah.. Udah, Sabar…”
Nyokapnya lalu menarik nafas, mencoba menenangkan diri. Sementara, gua yang duduk di belakang mulai memberi petunjuk arah jalan menuju ke rumah kontrakan Marshall.
Beberapa kali gua hendak memberi info ke Marshall tentang datangnya gua bersama orang tuanya melalui pesan singkat. Namun, selalu gagal karena sibuk meladeni pertanyaan nyokapnya tentang Tata dan pertanyaan bokapnya tentang arah jalan. Jadi, gua putuskan untuk nggak memberitahunya; ‘Biar sekalian surprise lah’ batin gua dalam hati.
Setelah hampir satu jam, kami akhirnya tiba di rumah Marshall. Gua keluar dari mobil dan langsung mendapati Ketu tengah berbincang dengan Nina di teras depan rumah. “Ssstt.. Tu, Ketu.. Marshall mana?” Tanya gua dengan sedikit berbisik.
Ketu berdiri lalu memperagakan gerakan tidur.
“Bangunin…” Seru gua, yang lalu direspon olehnya dengan segera berlari masuk ke dalam.
Sementara, bokap dan nyokapnya keluar dari mobil lalu berdiri tepat di depan rumah kontrakan sambil memberi tatapan ke arah rumah. Keduanya terlihat saling bicara sambil sesekali menunjuk ke arah bangunan, seperti tengah mengajukan komplain.
Ketu kembali ke bawah sambil berlari, ia lalu bicara; “Baru bangun, Pop”
“Buset!”
Saat hendak masuk lebih dulu, nyokap dan bokap Marshall memanggil gua.
“Pop, tunggu…” seru nyokapnya dan menyusul masuk, mengabaikan Ketu dan Nina yang kini berdiri di sudut teras.
Kami bertiga masuk ke dalam.
“Duduk dulu Tan, aku panggilin Marshall-nya dulu ya” ucap gua kemudian bergegas ke atas.
Namun nyokapnya menolak.
“Tante ikut, sekalian mau lihat kamarnya” ucapnya.
Kami lalu naik ke atas. Sambil berjalan, nyokapnya terus mengajukan pertanyaan ke gua, pertanyaan-pertanyaan seputar rumah ini; “Ini kost-kostan ya, Pop?”, “Sewa sebulannya berapa, Pop?”, “Itu tadi mas-mas yang didepan yang jaga kost?”.
Gua yang bingung harus menjawab pertanyaan yang mana hanya terdiam dan tersenyum sambil terus melangkah.
Tepat saat gua berdiri di ujung anak tangga terakhir di lantai dua, terlihat Marshall tengah berjalan menuju ke arah kamar mandi. Dengan rambut acak-acakan dan bajunya yang kusut, Ia terlihat ‘berantakan’.
Ia tertegun begitu melihat gua, pandangannya lalu ia alihkan ke arah belakang gua. Dimana nyokap dan bokapnya kini sudah menyusul gua.
—
Gua menghela nafas panjang, mendongak kemudian kembali menjatuhkan tubuh di atas ranjang. ‘Gua nggak boleh begini. Kan gua sendiri yang udah ngasih saran ke dia buat ketemu sama Tata. Kenapa sekarang malah gua yang jadi cemburu?’ Gua membatin dalam hati.
“Ah, Bodo lah…” Gumam gua pelan, lalu meraih bantal untuk menutupi kepala.
Tapi, setiap kali gua mencoba mengalihkan pikiran ke tempat lain. Bayangan dan sosok mereka berdua terus bergelayutan di dalam pikiran; membayangkan mereka berdua ngobrol, apakah mereka akan mengenang masa lalu? apakah mereka akan menertawakan lelucon yang hanya mereka yang mengerti? Pikiran-pikiran itu menghantui pikiran, bikin tambah gelisan dan cemas yang berlebihan.
Gua meraih ponsel, mencari nama ‘Gadis Karbol’ di daftar kontak dan mulai menghubunginya. Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suara manis-nya terdengar menyapa gua; “Halo…”
“Halo, Ta…”
“Ya…”
“Lo mau ketemuan sama Marshall, kan?” Gua langsung mengajukan pertanyaan, enggan bertele-tele.
“Iya, kenapa?” Tata balik bertanya.
“Gapapa, cuma mau mastiin aja”
“Apa yang perlu kamu pastiin?” Tanyanya lagi.
“Mastiin kalo lo nggak terlalu dekat dengannya…”
“Iya”
“Mastiin kalian berdua nggak ngobrolin masa lalu yang menyenangkan”
“Hmmm, iya…”
“Dan, Mastiin kalau lo nggak nyoba deketin dia lagi” Gua menambahkan.
“Wah, kalau itu sih, aku nggak bisa janji Pop” Jawabnya tenang.
“Ck! Ah, udahlah. Percuma ngomong sama lo” Seru gua lalu bersiap mengakhiri panggilan. Namun, sebelum benar-benar berakhir, terdengar Tata kembali bicara.
“Aku bisa janji kalau dia bakal baik-baik aja setelah ketemu sama aku…” Ucapnya lalu mengakhiri panggilan.
Gua menjatuhkan ponsel, bangkit dan duduk di tepi ranjang. Menatap kosong ke arah pintu kamar yang masih tertutup rapat, mencoba untuk tetap tenang dan meyakinkan diri sendiri kalau Marshall nggak bakal berpaling. Namun, rasa-rasanya sulit untuk memadamkan api cemburu yang sudah membara, yang semakin lama semakin besar, yang menggerogoti hati.
Sempat terbesit untuk menghubungi Marshall dan mencegah mereka untuk bertemu. Tapi gua sadar, gua nggak boleh egois, gua harus kasih mereka berdua kesempatan untuk menyelesaikan hal-hal yang belum terselesaikan.
Gua kembali menenggelamkan kepala di antara tumpukan bantal dan guling kemudian mulai berteriak agar suaranya nggak terdengar hingga ke bawah.
“Argh…” .
Masih dalam keadaan hati yang campur aduk, gua berusaha bersikap wajar. Meraih handuk dan bersiap untuk mandi.
“Ke kantor Pop?” Tanya nyokap begitu melihat gua sudah turun dengan berkalung handuk.
“Nggak” Jawab gua singkat.
“Tumben mandi” Gumam Nyokap sambil terkekeh.
Selesai mandi dan sarapan, gua kembali ke atas, ke dalam kamar, membuka layar laptop dan buku catatan; mulai bekerja dan sambil mencuri-curi waktu melanjutkan skripsi.
Tentu saja sulit memfokuskan diri untuk multitasking dengan kondisi seperti ini; gelisah. Jadi, gua memutuskan menyingkirkan dahulu skripsi dan fokus pada pekerjaan. ‘Nanti malam aja deh, lanjutin skripsinya’ Batin gua dalam hati.
—
Beberapa jam kemudian, gua sudah mulai larut pada angka analisa di layar laptop. Membuat gua sedikit melupakan rasa gelisah yang sejak tadi enggan hilang. Tiba-tiba, ponsel berdering, gua menatap ke arah layarnya yang menampilkan nama ‘Mamah Marshall’.
‘Waduh, ada apa nih?’
Gua menghela, mencoba mengatur nafas, berdehem sebentar, barulah menjawab panggilan.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, Poppy…” Sapa Nyokapnya Marshall dari ujung sana. Suaranya terdengar sedikit serak seperti habis menangis.
“Iya Tan…” Jawab gua.
“Pop, kamu tau kalau Marshall sekolah lagi, kejar paket C?” Tanyanya.
“Tau, Tan. Kenapa?”
“Gapapa, Tante abis telpon Marshall. Dan dia baru cerita. Tante sedih deh dengernya”
“Lho, kenapa sedih Tan. Kan bagus dong kalau Marshall masih mau lanjutin sekolah” Gua memberi jawaban dengan nada suara sepositif mungkin.
“Iya, tapi kan…” Bicaranya terhenti, lalu samar terdengar suaranya mulai terisak.
Gua lantas mulai menghiburnya dengan menceritakan hal-hal positif yang sudah Marshall perbuat selama ini. Tentu saja nggak menyebutkan kalau anaknya itu pernah bekerja sebagai tukang bangunan; takut ia malah nanti tambah sedih.
Di akhir obrolan, nyokapnya Marshall bicara; “Tante pengen deh, ngeliat tempat Marshall…”
“...”
“... Kamu tau rumah kontrakannya kan, Pop?” Tanyanya, menambahkan.
“Tau, Tan…” Jawab gua singkat.
“Boleh kirimin alamatnya Pop” Pintanya.
“Boleh dong. Nanti abis ini aku kirim via chat ya Tan”
“Eh, atau kamu ikut aja. Sabtu kamu libur kan?”
“Mmm, libur sih Tan, Tapi…” Belum selesai gua bicara, nyokapnya Marshall memotong kalimat, seakan nggak menerima penolakan.
“Yaudah tapi jangan bilang-bilang Marshall ya, Pop”
“Oh.. ok Tan” Gua menjawab singkat.
Setelahnya, Nyokap Marshall terus mengajak gua ngobrol ngalor ngidul tentang banyak hal. Ingin mengakhiri panggilan, tapi hati ini rasanya nggak enak. Nggak biasa-biasanya gua terjebak dalam situasi seperti ini, karena gua orang yang blak-blakan dan tentu saja bisa langsung keluar momen-momen obrolan kayak sekarang. Tapi, entah kenapa saat ini gua seperti terhipnotis sampai kehilangan keberanian.
Setengah jam berikutnya, Akhirnya nyokap Marshall mengakhiri panggilan. Gua menarik nafas panjang dan mulai menjatuhkan tubuh pada sandaran kursi, menatap ke arah layar laptop yang kini berisi ketikan huruf asal yang kerap gua lakukan saat tengah bicara di telpon.
Jam pada layar ponsel menunjukkan hampir pukul 1 siang. Gua bahkan melewatkan makan siang karena telepon dari nyokapnya Marshall.
Setelah selesai makan siang, gua kembali duduk di kursi di dalam kamar.
Mencoba mengumpulkan ulang konsentrasi yang hilang dan kembali bekerja.
Saat baru saja gua mulai bekerja, ponsel kembali bergetar, disusul muncul notifikasi pada layarnya. Gua mengabaikan notifikasi tersebut, berniat untuk menyelesaikan pekerjaan lebih dulu, baru setelahnya beralih ke pesan tersebut. Namun, rasa penasaran nggak bisa dilawan. Gua menyerah, meraih ponsel dan mulai membaca pesan tersebut.
Pesan dari Tata yang isinya sebuah swafoto dirinya tengah duduk sendirian dengan latar undakan anak tangga. Dari foto tersebut gua dengan mudah mampu menebak kalau ia tengah atau habis menangis tapi seperti terpaksa tersenyum.
‘Kenapa lo?’ Gua membalas pesannya.
‘Gpp’ Balasnya singkat.
‘Kalo gpp, ngapain ngirim foto?’ Gua kembali mengirim balasan.
Tak ada balasan darinya.
Tak kunjung mendapat balasan darinya, dan karena sudah berhasil bikin gua penasaran, gua mengirim pesan kepadanya; ‘Ta! Marshall mana?’
‘Ada dibawah, lagi ngobrol sama nyokap’ Balas Tata.
‘Ngobrol apa?’
‘Rahasia’
‘Ah tai lo’
‘Ntar aku kabarin kalo dia udah pulang’
Gua menggenggam ponsel kuat-kuat, sambil menggeram. Sepertinya Tata memang sengaja ingin membuat gua terbakar cemburu. Sementara, gua disini nggak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menunggu dengan hati yang berdebar-debar, berharap bahwa pertemuan itu akan segera berakhir dan Marshall segera kembali ke gua dengan perasaan yang lebih kuat dari sebelumnya. Tapi, hingga sampai saat itu, masa iya gua harus terus bertahan menghadapi rasa cemburu.
Setelah berjam-jam tersiksa dengan rasa cemburu akhirnya sebuah pesan dari Tata membuat ada rasa kelegaan di dalam hati; 'Dia baru aja pulang'.
Ingin rasanya gua langsung menghubungi Marshall, tapi ia pasti masih berada dalam perjalanan. Jadi, gua memutuskan menunggu sebentar sebelum nanti menghubunginya.
Setelah hampir setengah jam, dan gua sudah nggak punya lagi sisa kesabaran untuk mendengar cerita darinya, gua memutuskan menghubungi Marshall, nggak peduli ia sedang di jalan atau sudah tiba dirumah.
‘Gimana pertemuannya? Aman?’ Gua mengirim pesan sebelum menelponnya.
‘Nanti gua telp. Sekarang lagi di kereta’ Balas Marshall melalu pesan.
Gua berdecak sebentar, kemudian melempar ponsel ke atas ranjang, kembali duduk di kursi meja belajar, melanjutkan pekerjaan. Sambil menunggunya hingga tiba di rumah.
Setelah hampir satu jam berikutnya, barulah Marshall menghubungi gua. Kini ia sudah berada di rumah.
“Eh, gimana Sal, ceritain dong” Gua memintanya untuk bercerita. Tentu saja perkara pertemuan mereka berdua.
Marshall lalu mulai bercerita, mulai dari pertemuan dengan Tata di kedai kopi, bahkan hingga obrolannya dengan nyokapnya Tata.
“Gila kali yak. Ngelunjak banget jadi orang” Gua langsung berseru, yang tanpa sadar membuat isi makanan di dalam mulut gua tersembur keluar ketika mendengar Marshall bercerita tentang ucapan Tata; ‘Masih adakah kemungkinan aku balik lagi. Nggak, nggak, jangan terlalu jauh deh, Sal. Aku juga nggak mau terlalu ngelunjak untuk berharap bisa bersama kamu lagi. Aku cuma mau tetap bisa berhubungan sama kamu. Jadi, teman pun gapapa’.
“... Duh, mana besok minggu gua ada sesi foto bareng dia lagi” Gua mengeluh, teringat akan jadwal sesi foto kami berdua yang selalu ‘berdampingan’.
“Ya kalo nggak mau ketemu, nggak usah dateng” Marshall memberikan saran.
“Yaah, tapi kan sayang” Gua menjawab, tentu saja maksud ucapan gua adalah ‘sayang dengan bayarannya yang lumayan’.
“Sama! Gua juga sayang” Marshall memberi respon dengan sebuah candaan. Namun, karena gua kaget dengannya yang tiba-tiba bercanda, dan nggak bisa langsung merespon dengan tertawa.
“Hah! Gimana-gimana?”
Kami lalu saling terdiam.
“Minta jadwal lain aja kalau nggak, bisa nggak?” Marshall buka suara, memberikan saran lagi.
“Hmmm.. Patut dicoba” Jawab gua.
Kami berdua lalu menghabiskan malam sambil terus berbincang, berbagi cerita. Gua duduk di kursi, menghadap ke arah laptop di atas meja belajar; mengerjakan skripsi. Sementara, di ujung sana Marshall tengah mengerjakan ilustrasi. Sesekali terdengar samar suara ketukan pensil digitalnya. Rasanya seperti kami berdua tengah berada di dunia yang sama, tetapi terpisah oleh jarak fisik yang terasa begitu jauh.
Selesai ngobrol dengan Marshall, gua lalu mengirim pesan ke salah satu Telco untuk meminta perubahan jadwal pemotretan. Permintaan tersebut lalu disetujui dengan satu syarat; Jangan datang terlambat. Karena sesi foto gua berada di awal hari, maka terlambat sebentar saja bakal berdampak ke sesi-sesi berikutnya. Nggak pikir lama, gua lantas mengamini syarat tersebut.
Kemudian, mengirim pesan ke Nyokapnya Marshall kalau besok gua akan ada sesi pemotretan jadi nggak bisa turut serta dengannya untuk mengunjungi Marshall. Sekaligus menyertakan alamat lengkap rumah kontrakan tempat tinggalnya.
Namun, Nyokapnya malah mengusulkan ide lain; ‘Gapapa, Pop. Kirim alamat studio-nya aja. Nanti tante jemput disana, terus kita bareng-bareng ke rumah Marshall’
‘Mati!’ gumam gua dalam hati.
Bukan, bukannya gua nggak suka dan nggak mau harus bersama-sama dengan nyokapnya mengunjungi Marshall. Hanya saja, gua rasa-rasanya masih terlalu canggung dan malu jika harus berdua saja dengan orang yang belum lama dikenal.
—
Besoknya, pagi-pagi sekali, gua sudah menerjang dinginnya udara pagi Jakarta dengan ojek online yang membawa gua ke studio.
Setibanya di sana, nggak menunggu lama, salah satu Telco langsung mengajak gua ke ruang ganti, menyiapkan wardrobe dan memberikan selembar kertas berisi salinan moodboard tentang pose yang harus gua tampilkan nanti. Gua mengangguk, mempelajari salinan tersebut sambil duduk tepat di hadapan cermin meja rias yang terang benderang.
“Aih, Cantiknya si Poppy…” Goda salah satu kru foto yang dikenal dengan nama Daus.
Gua tersenyum dan memposisikan diri di tengah-tengah area foto, kemudian mulai berpose. Setelah beberapa kali berganti wardrobe, kali ini gua mengenakan kaos berwarna merah dan topi, berpose sebagai ‘pelayan resto’.
Saat masih di tengah sesi, gua melihat sosok perempuan berdiri di antara kerumunan. Sosoknya mudah dikenali karena selain tinggi, ia juga cantik; Tata.
“Ok sip, ganti baju terakhir Pop” Seru Monic si penata gaya.
Gua beranjak dari lantai beralas kertas putih penuh lampu, keluar dari kerumunan, bergegas menuju ke arah ruang ganti.
“Lo reschedule juga?” Tanya gua ke Tata saat kami berpapasan di kerumunan para kru dan model lainnya.
“Iya…” Tata menjawab santai.
“...”
“... Kamu kenapa reschedule Pop?” Tata lalu bertanya, sambil terus mengikuti gua ke dalam ruang ganti.
“Gapapa, besok ada acara soalnya” Gua menjawab.
“Oh..”
“Mau ngopi nggak?” Tiba-tiba Tata memberi penawaran, seakan ingin mencoba mencairkan obrolan.
Terkenal sebagai orang yang ‘ogah-rugi’, gua jelas langsung menerima tawarannya; “Mau. Tapi jangan yang pait”.
Lalu, dengan ponselnya Tata mulai membuka aplikasi ojek online dan memesan kopi dalam jumlah yang nggak sedikit. ‘Ah mungkin untuk para kru lainnya juga’ Gua membatin dalam hati.
“Eh, Pop.. Kemarin kamu jadi telepon Marshall?” Tata kembali bertanya setelah selesai melakukan pesanan.
“Jadi”
“Terus dia cerita apa?” Tanyanya lagi.
“Semuanya”
“Apa?”
“Ya ngapain gua cerita sama lo, aneh. Kan lo yang abis ketemu sama dia” Gua memberi jawaban, nggak mengerti dengan maksud dan tujuannya menanyakan hal tersebut. Ingin menambah rasa cemburu gua atau hanya sekedar mengecek dan mengkonfirmasi apakah Marshall benar-benar menceritakan semuanya ke gua.
Gua duduk menghadap tepat di hadapan cermin meja rias yang terang benderang, bersiap kembali di makeup. Sambil di makeup, gua menatap Tata melalui pantulan cermin dan mulai menanyakan hal-hal yang diceritakan Marshall. Sengaja ingin membuatnya tau kalau Marshall memang sudah menceritakan semuanya ke gua.
“Marshall janjiin apa ke lo kemarin?” Tanya gua.
“Mmm.. janji? Janji apa?” Tata merespon, dari ekspresi wajahnya gua bisa menebak kalau saat ini ia tengah berpura-pura.
“Alah, belagak bego lagi lo” Ucap gua.
Setelahnya, Tata mengubah arah pembicaraan dan mulai bertanya tentang pertanyaan lain seputar sesi foto.
Selesai dengan makeup, selesai pula obrolan kami berdua. Gua berdiri dan bersiap kembali ke studio; “Gua take dulu bentar, ntar kita ngobrol lagi”.
“Oke” Jawabnya singkat.
—
Gua menyelesaikan sesi dengan wardrobe terakhir, terlihat ponsel gua berkelap-kelip di atas meja rias ketika baru saja masuk ke dalam ruang ganti. Gua meraih ponsel dan menatap layarnya yang menampilkan nama ‘Nyokap Marshall’.
“Halo, ya Tan?” Sapa gua.
“Halo, Pop. Tante di depan studio nih, Kamu dimana? Di dalem ya, tante masuk ya?” Jawab Nyokapnya Marshall yang bicara tanpa memberi kesempatan gua menjawab.
“Eh, nggak usah Tan. Aku udah selesai, sebentar lagi keluar” Jawab gua, sambil mulai membereskan barang-barang dan memasukkannya ke dalam tas. Masih dengan ponsel di telinga, gua keluar dari ruang tunggu dan berkeliling studio mencari Tata.
Saat ini, gua nggak mau Tata bertemu dengan nyokapnya Marshall yang berada diluar. Takut, jika ia tersakiti hatinya kalau sampai mendapati gua pergi dengan Nyokapnya Marshall. Iya, biar benci dengannya, gua tetap nggak mau perasaannya yang sudah tersiksa menjadi semakin kalut. Jadi, sebisa mungkin gua mau menahannya tetap berada di dalam studio. Tapi, gua nggaj berhasil menemukannya di dalam studio.
Sambil menahan bagian speaker ponsel yang masih terhubung dengan nyokapnya Marshall, gua bertanya ke salah satu kru yang berada di dalam studio; “Liat Tata nggak?” yang lalu diresponnya dengan menunjuk ke arah luar.
‘Waduh!’ batin gua dalam hati, lalu bergegas keluar. Sementara, nyokapnya Marshall masih terus menanyakan keberadaan gua melalui sambungan telepon.
Begitu tiba di luar, gua langsung mendapati Tata tengah berdiri di depan nyokapnya Marshall yang seperti sengaja memunggunginya. Enggan, nyokapnya semakin membuat hati Tata semakin terluka, gua buru-buru mendekat. Cara paling tepat yang terpikirkan hanya; membawa nyokap dan bokapnya Marshall pergi dari sini.
“Halo Tan, Halo Om…” Sapa gua ke mereka.
“...”
“... Udah lama?”
“Baru aja kok..”
“Langsung aja yuk..” Ajak gua untuk segera pergi dari sana.
Sementara, Tata berpaling ke arah gua. Ia berdiri dan menyodorkan gelas plastik berisi kopi. “Pop, ini kopi kamu…” Ucapnya. Gua mendongak, menatap ke arahnya, ke wajahnya yang terlihat penuh tekanan.
Gua sengaja nggak mengambil kopi darinya. Mencoba mengalihkan perhatiannya dari perlakuan nyokapnya Marshall. Lalu menyusul keduanya masuk ke dalam mobil yang langsung membawa gua pergi dari sana. Gua menoleh dan menatap ke arah Tata yang masih berdiri di halaman area parkir studio, memandang ke arah mobil yang kami tumpangi.
—
Di dalam mobil yang kami tumpangi, Nyokapnya Marshall langsung ngedumel; kesal.
“Ngapain si anak itu disana, Pop?” Tanyanya.
“Iya, tan. Kita soalnya satu agensi” Gua menjawab.
“Terus, berarti kamu kenal dong sama dia?” Tanyanya lagi.
“Iya, kenal lewat Marshall” Jawab gua.
“Hah!?” Mendengar jawaban gua barusan, nyokapnya terlihat terkejut dan langsung menoleh ke arah gua.
“...”
“... Jadi, Marshall juga udah ketemu sama dia?” Tanyanya dengan nada sedikit tinggi, sementara tangannya menunjuk ke belakang.
Melihat sikap istrinya yang dirasa berlebihan. Bokapnya Marshall dengan cepat menenangkannya. “Udah, Mah.. Udah, Sabar…”
Nyokapnya lalu menarik nafas, mencoba menenangkan diri. Sementara, gua yang duduk di belakang mulai memberi petunjuk arah jalan menuju ke rumah kontrakan Marshall.
Beberapa kali gua hendak memberi info ke Marshall tentang datangnya gua bersama orang tuanya melalui pesan singkat. Namun, selalu gagal karena sibuk meladeni pertanyaan nyokapnya tentang Tata dan pertanyaan bokapnya tentang arah jalan. Jadi, gua putuskan untuk nggak memberitahunya; ‘Biar sekalian surprise lah’ batin gua dalam hati.
Setelah hampir satu jam, kami akhirnya tiba di rumah Marshall. Gua keluar dari mobil dan langsung mendapati Ketu tengah berbincang dengan Nina di teras depan rumah. “Ssstt.. Tu, Ketu.. Marshall mana?” Tanya gua dengan sedikit berbisik.
Ketu berdiri lalu memperagakan gerakan tidur.
“Bangunin…” Seru gua, yang lalu direspon olehnya dengan segera berlari masuk ke dalam.
Sementara, bokap dan nyokapnya keluar dari mobil lalu berdiri tepat di depan rumah kontrakan sambil memberi tatapan ke arah rumah. Keduanya terlihat saling bicara sambil sesekali menunjuk ke arah bangunan, seperti tengah mengajukan komplain.
Ketu kembali ke bawah sambil berlari, ia lalu bicara; “Baru bangun, Pop”
“Buset!”
Saat hendak masuk lebih dulu, nyokap dan bokap Marshall memanggil gua.
“Pop, tunggu…” seru nyokapnya dan menyusul masuk, mengabaikan Ketu dan Nina yang kini berdiri di sudut teras.
Kami bertiga masuk ke dalam.
“Duduk dulu Tan, aku panggilin Marshall-nya dulu ya” ucap gua kemudian bergegas ke atas.
Namun nyokapnya menolak.
“Tante ikut, sekalian mau lihat kamarnya” ucapnya.
Kami lalu naik ke atas. Sambil berjalan, nyokapnya terus mengajukan pertanyaan ke gua, pertanyaan-pertanyaan seputar rumah ini; “Ini kost-kostan ya, Pop?”, “Sewa sebulannya berapa, Pop?”, “Itu tadi mas-mas yang didepan yang jaga kost?”.
Gua yang bingung harus menjawab pertanyaan yang mana hanya terdiam dan tersenyum sambil terus melangkah.
Tepat saat gua berdiri di ujung anak tangga terakhir di lantai dua, terlihat Marshall tengah berjalan menuju ke arah kamar mandi. Dengan rambut acak-acakan dan bajunya yang kusut, Ia terlihat ‘berantakan’.
Ia tertegun begitu melihat gua, pandangannya lalu ia alihkan ke arah belakang gua. Dimana nyokap dan bokapnya kini sudah menyusul gua.
—
Gin Blossoms - Hey Jealousy
mmuji1575 dan 41 lainnya memberi reputasi
42
Kutip
Balas
Tutup