mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
penyiksaan warga sipil oleh prajurit TNI di Puncak, Papua – Mengapa terus berulang?
Menelusuri kasus penyiksaan warga sipil oleh sejumlah prajurit TNI di Puncak, Papua – Mengapa terus berulang?

Ilustrasi. TNI membantah memiliki prosedur kekerasan dalam operasi mereka di Papua. Namun merujuk riset akademik, kekerasan aparat terhadap warga sipil, termasuk yang berujung kematian, terus berulang selama puluhan tahun.

Atasan para anggota TNI yang menyiksa seorang warga sipil di Puncak, Papua, berkata kepada BBC bahwa dia tidak mengetahui kasus itu. Pimpinan TNI pun membuat klaim, kasus tersebut dilakukan oleh oknum dan bukan “gambaran perilaku anggota TNI secara keseluruhan“.

BBC News Indonesia menyusun kronologi kasus penyiksaan itu, memeriksa klaim TNI, dan menelusuri kasus-kasus kekerasan serupa di Papua, yang menurut sebuah riset, mayoritas korbannya adalah warga sipil.

Kamu kalau menghadapi situasi terjepit apapun, kamu harus berani. Kamu tembak, jangan ragu-ragu. Kamu jangan takut dengan masalah-masalah pelanggaran HAM,“ kata Jenderal Dudung Abdurachman, pada 11 Mei 2023 di Cianjur, Jawa Barat.

“Tong ngerakeun urang Sunda. Tong sieunan maneh diditu. Tong jadi ayam sayur,“ kata Dudung.

Perkataan dalam bahasa Sunda itu berarti “Jangan bikin malu orang Sunda. Kamu jangan jadi penakut di sana. Jangan jadi ayam sayur.“

Saat mengatakan itu, Dudung menjabat Kepala Staf Angkatan Darat. Dia mengucapkan kalimat itu sebagai pesan untuk prajurit Batalyon Infanteri 300 Braja Wijaya yang akan berangkat ke Kabupaten Puncak, Papua Pegunungan.

Kurang lebih 10 bulan setelah pernyataan Dudung itu, sebuah video memperlihatkan personel batalyon tersebut menyiksa seorang laki-laki Papua yang dituduh milisi pro-kemerdekaan—sebuah tudingan yang belakangan tidak terbukti.

Juru Bicara Markas Besar TNI, Mayjen Nugraha Gumilar, membantah bahwa pernyataan Dudung menjadi salah satu pendorong prajurit Yonif 300 Braja Wijaya melakukan penyiksaan. “Tidak benar,“ ujarnya kepada BBC News Indonesia.



Jenderal Dudung Abdurachman dipotret saat bertemu prajurit Yonif 300 Braja Wijaya di Cianjur, Mei 2023.

Awal Februari lalu, TNI menyatakan penangkapan berujung kematian satu dari tiga orang asli Papua di Kabupaten Puncak yang mereka tuduh milisi pro-kemerdekaan sebagai sebuah “keberhasilan“.

Satu setengah bulan setelah menyatakan “keberhasilan“ itu, pimpinan TNI meminta maaf kepada publik. Kata maaf mereka sampaikan kepada pers di Jakarta usai video penyiksaan terhadap satu dari tiga laki-laki Papua yang mereka tangkap di Kabupaten Puncak itu viral.

Laki-laki bernama Defianus Murib yang disiksa itu tetap hidup usai penyiksaan tersebut, meski kondisi medisnya saat ini urung diketahui.Kepala RSUD Ilaga Elpina Kogoya tidak merespons upaya komunikasi yang dilakukan BBC News Indonesia.

TNI berkeras pada tuduhan mereka bahwa Defianus dan dua laki-laki Papua lain yang mereka tangkap—Alpius Murib dan Warinus Kogoya—adalah milisi pro-kemerdekaan. Usai penyiksaan itu, Defianus dan Alpius dilepaskan. Kepolisian menyatakan bahwa mereka adalah warga sipil.

Sementara itu Warinus tewas dalam kondisi dituduh sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Sejumlah informasi menyebut Warinus tewas setelah disiksa dan diseret oleh aparat sejauh satu kilometer. BBC News Indonesia belum bisa memverifikasi kabar itu.

Menurut klaim TNI, Warinus tewas bukan akibat disiksa prajurit Yonif 300 Braja Wijaya. TNI membuat klaim, Warinus tewas tak lama setelah berupaya melarikan diri dari aparat.

Warinus jatuh dari mobil aparat dalam kondisi tangan diikat, klaim Panglima Kodam Cenderawasih, Mayjen Izak Pangemanan. Ketika jatuh, kata Izak, kepala Warinus membentur batu.

Bagaimanapun, pernyataan “keberhasilan” TNI itu akhirnya berganti menjadi permintaan maaf, meski Mayjen Izak sempat membuat penyangkalan.

Pimpinan militer membuat klaim penyiksaan yang terjadi di Puncak dilakukan oleh oknum dan bukan “gambaran perilaku anggota TNI secara keseluruhan“.



Petinggi TNI memberi keterangan pers di Jakarta, 25 Maret lalu, tentang kasus penyiksaan tentara di Kabupaten Puncak, Papua.

Namun data yang disusun berbasis metodologi akademis dan wawancara terhadap korban maupun aparat berbanding terbalik dengan klaim petinggi militer.

Data hasil riset di Australian National University yang dipublikasi dalam buku berjudul Torture and Peace-building in Indonesia: The Case of Papua menunjukkan, dari setidaknya 431 kasus penyiksaan oleh aparat pada periode 1963-2010 di Papua, hanya dua yang dilakukan terhadap milisi pro-kemerdekaan. Sisanya merupakan penyiksaan terhadap warga sipil—nonkombatan alias orang-orang yang tidak mengangkat senjata.

Data tersebut disusun Budi Hernawan, pakar konflik dan hukum humaniter dari Sekolah Tinggi Teologi Driyarkara. Dia menyimpulkan: penyiksaan aparat terhadap orang Papua berulang kali terjadi. Budi berkata, penyiksaan aparat telah menjadi bagian dari kebijakan pemerintah dan otoritas militer serta terus dibiarkan.

BBC Indonesia menyusun kronologi penyiksaan tentara di Puncak, Papua, terhadap laki-laki bernama Defianus Kogoya. Kami juga mewawancarai warga Puncak, seorang pendeta yang rutin menangani warga korban penyiksaan, serta ahli yang telah mendalami isu Papua selama puluhan tahun. Berbasis wawancara itu, kami memeriksa berbagai klaim yang awal pekan ini dikatakan pimpinan TNI.



Ratusan prajurit TNI mengikuti seremoni militer di Aceh, Desember 2023. Mereka akan berangkat menuju Papua.

Bagaimana penyiksaan di Puncak terjadi?
Komandan Satgas Yonif 300/Braja Wijaya, Letkol Afri Swandi Ritonga, membuat klaim dia mendapat informasi bahwa milisi pro-kemerdekaan berencana membakar puskesmas di Distrik Omukia pada 3 Februari lalu.

“Saya langsung perintahkan jajaran satgas untuk melaksanakan patroli sebagai tindakan pencegahan,” kata Afri seperti dirilis dalam situs resmi TNI pada 5 Februari lalu.

Atas perintah Afri itu, Satgas Yonif 300/Braja Wijaya, Satgas Damai Cartenz dan Satgas Elang IV menyisir Distrik Omukia.

Afri membuat klaim, pada pukul empat sore terdengar tiga tembakan yang diarahkan ke pasukannya. Prajuritnya lantas berlindung dan membalas dengan “memberi tembakan peringatan”.

Afri membuat klaim, eskalasi kontak tembak tidak menurun. Oleh karenanya Afri memerintahkan enam tim untuk mengejar orang-orang yang diduga milisi TPNPB. Afri mengerahkan enam tim itu ke daerah Gome, Omukia, Kepala Air, dan Kunga.

Setelah lima jam kontak tembak dan pengejaran, Afri berkata timnya menangkap tiga laki-laki Papua. Mereka adalah Warinus Murib, Defianus Kogoya, dan Alinus Murib.

Afri menuduh bahwa Warinus adalah milisi TPNPB yang selama ini dicari Polres Puncak. Tuduhan soal status Warinus itu yang dibantah kelompok advokasi seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LBH Papua, dan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Puncak.

Juru Bicara TPNPB, Sebby Sambom, juga membantah Warinus adalah bagian dari kelompoknya.

Dalam keterangannya pada 5 Februari lalu, Afri tidak menyebut bahwa Warinus akhirnya tewas. Dia juga sama sekali tidak menuturkan adanya penyiksaan.

AKPB Bayu Suseno, Juru Bicara Satgas Cartenz, tak lama setelah kejadian itu juga menyebar pernyataan kepada pers. Dia tidak menyebut penyiksaan telah terjadi.

Berbeda dengan Afri, Bayu menyebut Warinus tewas dalam kontak tembak.

Dalam pernyataannya, Bayu menuduh Alinus dan Defianus adalah anggota TPNPB pimpinan Numbuk Telenggen.



Puskesmas di Distrik Omukia, Puncak, Papua, yang diklaim TNI akan dibakar milisi pro-kemerdekaan pada 3 Februari lalu.

Peristiwa di Puncak itu berlalu dan tak dibicarakan publik. Akhir Februari lalu, Afri dan 350 prajuritnya pulang ke markas mereka di Cianjur, Jawa Barat. Kepulangan mereka disambut arak-arakan. Afri mendapat kalungan bunga dalam seremoni itu. Hiasan rumbai-rumbai khas Papua terpasang di kepalanya.

“Alhamdulillah enam KKB tewas di tangan Satgas Raider 300,” kata Afri dalam keterangan tertulis yang disebarkannya kepada pers saat itu. Dia juga menyebut bahwa pasukannya menawan dua orang.

Satu bulan kemudian, antara tanggal 20 dan 21 Maret, dua video beredar di media sosial. Seorang laki-laki Papua tanpa pakaian duduk direndam air di sebuah tong. Beberapa laki-laki lain, salah satunya memakai kaus bertuliskan Raider 300, memukuli orang tersebut. Ada pula yang menyayat-nyayat orang di dalam tong itu dengan belati.

“Ukir-ukir. Enak itu,” terdengar salah satu pelaku penyiksaan mengatakan itu saat belati disayatkan ke tubuh korban.

“Langsung terkelupas, anjing,” kata pelaku lainnya. “Siapa yang dapat bajunya?” ujar pelaku lainnya.

Orang yang dipukuli dan disayat itu adalah Definaus Kogoya. Warinus Murib dan Alinus Murib tak tampak dalam video tersebut.

Saat meminta maaf kepada publik pada 25 Maret lalu, Mayjen Izak menyebut penganiayaan itu terjadi setelah aparat menangkap Defianus dan Alinus di Gome.

“Tapi setelah itu (penganiayaan), mereka dibawa ke puskesmas, diobati, dan dikembalikan ke keluarganya,” kata Izak.

Dalam foto yang dilihat oleh BBC Indonesia, setelah penyiksaan itu Defianus memang dibawa ke fasilitas medis. Namun dia dibaringkan di tempat tidur dengan tangan diikat.

Dalam foto lainnyya, terlihat bahwa wajah Defianus bengkak dan lebam. Matanya benjut dan biru. Guratan seperti bekas sayatan membentang dari pipi kiri, hidung, ke pipi kanan. Sebagian besar rambutnya terkelupas.

BBC Indonesia terus berusaha mengonfirmasi kondisi medis Defianus kepada Direktur RSUD Ilaga, Elpina Kogoya. Namun Elpina, yang juga istri Bupati Puncak Willem Wandik, tak merespon pesan teks maupun panggilan telepon BBC.

Tuduhan AKBP Bayu Seno bahwa Defianus adalah anggota TPNPB juga belakangan tak terbukti. Polres Puncak tidak melanjutkan proses hukum terhadap Defianus dan Alpius. Mereka dilepas dalam kondisi babak belur.



Potret empat personel Yonif 300 Braja Wijaya yang menunjukkan sejumlah barang yang mereka tuding milik Warinus Kogoya, Alinus Murib, dan Defianus Murib.

Jawaban Letkol Afri kepada BBC News Indonesia
Mayjen Izak, di hadapan pers di Jakarta, menyebut penyiksaan terhadap Defianus adalah perbuatan melanggar hukum. Dia membuat klaim, TNI tidak menerapkan prosedur kekerasan dalam pelaksanaan tugas di Papua.

”Kami menyayangkan, ini tidak boleh terjadi. Dalam upaya kami menyelesaikan persoalan dengan cara-cara yang benar, ini sangat disayangkan,“ ujarnya.

Hingga awal pekan ini, kata Juru Bicara TNI Angkatan Darat, 42 prajurit dari Yonif 300 Braja Wijaya telah diperiksa oleh otoritas Polisi Militer Kodam Siliwangi. Dari jumlah itu, 13 di antaranya ditetapkan menjadi tersangka. Kristomei berkata, mereka dimasukkan ke tahanan militer dengan keamanan maksimum.

“Kami akan cek apakah itu atas inisiatif pribadi atau ada perintah dari atasannya,“ kata Kristomei.

“Kami akan lihat bagaimana keterkaitan sebab-akibatnya. Ini akan menentukan hukuman untuk prajurit itu,“ ujar Kristomei.

Atasan para prajurit itu adalah Letkol Afri Ritonga, Komandan Yonif 300 Braja Wijaya. Seperti tertulis pada rilis TNI, Februari lalu, lulusan Akademi Militer tahun 2004 itulah yang memerintahkan patroli militer sebelum penyiksaan terjadi.

Melalui sambungan telepon, BBC News Indonesia bertanya kepada Afri, “Apakah Anda mengetahui ada personel Anda yang melakukan penyiksaan pada 3 Februari lalu?“

“Bagaimana ya saya menjawabnya. Saya berada di lokasi berbeda. Saya tidak tahu penyiksaan itu,“ jawab Afri.

Afri berkata, setelah video penyiksaan itu beredar, “kami kena semua.“

Hingga berita ini dipublikasi, otoritas TNI belum mengumumkan identitas personel Yonif 300 Braja Wijaya yang telah berstatus tersangka.



Komandan Yonif 300 Braja Wijaya, Letkol Afri Swandi Ritonga.

Bukan kejadian pertama di Puncak, Papua
Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Kristomei, berkata lembaganya “membekali prajurit” yang akan dikirim ke Papua. Pembekalan itu, kata dia, diberikan “agar prajurit TNI memenuhi SOP (prosedur operasi standar), rule of engagement, dan hukum humaniter”.

Rule of engagement yang disebut Kristomei adalah regulasi internal TNI bahwa pembelaan diri yang dilakukan tentara harus sesuai dengan eskalasi ancaman yang diperkirakan akan terjadi. Ketentuan ini menentukan apakah tindakan pembelaan diri tentara dapat dibenarkan atau tidak.

“TNI AD tidak pernah mengajarkan tindak kekerasan dalam meminta keterangan,” kata Kristomei tentang penyiksaan tentara terhadap Defianus.

“Ini pelanggaran hukum dan akan kami tindak,” ujarnya.

Juru Bicara Mabes TNI, Mayjen Nugraha Gumilar, meminta agar publik tidak menjadikan penyiksaan terhadap Defianus sebagai gambaran perilaku prajurit TNI di Papua.

“Kejadian seperti ini harus dilihat seperti perkataan pepatah ‘tiada gading yang tak retak’. Tak ada yang sempurna di dunia ini,” ujar Nugraha.

“Kami akui organisasi kami bukan superman, selalu ada titik lemah yang selalu kami perbaiki,” tuturnya.

Bagaimanapun, peristiwa penyiksaan tentara terhadap warga sipil di Puncak, Papua, bukan baru kali ini terjadi.

Pada Februari 2022, seorang anak bernama Makilon Tabuni disiksa hingga tewas oleh sejumlah personel Yonif Mekanis 521 Dadaha Yodha. Sejumlah tentara itu lalu membakar jenazah Makilon di depan Kantor Polsek Sinak.

Dalam peristiwa itu, tentara juga menyiksa enam anak lainnya. Penyiksaan ini dilakukan atas dalih bahwa Makilon dan anak-anak lainnya mencuri senjata.

Kolonel Aqsha Erlangga, yang pada waktu itu menjabat Juru Bicara Kodam Cenderawasih, sempat membantah tentara melakukan penyiksaan terhadap tujuh anak itu. Aqsha menyebut foto-foto terkait penyiksaan yang beredar di media sosial itu sebagai hoaks.

Aqsha bahkan sempat menyebut bahwa Kodam Cenderawasih telah melaporkan orang yang menyebarkan foto-foto itu ke kepolisian dengan UU ITE. Namun proses persidangan akhirnya mengungkap bahwa penyiksaan itu terbukti benar terjadi.

Sebanyak 13 tentara dihukum bersalah dalam kasus kematian Makilon. Pada tingkat banding di Pengadilan Militer Tinggi Surabaya tertanggal 16 Februari 2023, mereka dijatuhi pidana penjara selama 1,5 tahun. Hanya dua di antara mereka yang mendapat vonis pemecatan dari TNI.

Mayjen Gumilar berkata, dua dari 13 pelaku itu sekarang tengah menjalani pemenjaraan. Sementara itu, 11 pelaku lain tidak menerima putusan hakim dan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.



Prosesi kremasi jenazah Makilon Tabuni oleh keluarga dan kerabatnya di Kabupaten Puncak.

Perkara lainnya?
Februari 2023, lima personel TNI AD divonis bersalah dalam kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil di Nduga.

Pengadilan Militer Jayapura menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Mayor Helmanto Fransiskus Dahki, Pratu Rahmat Amin Sese, dan Pratu Rizky Oktaf Muliawan. Adapun Pratu Robertus Clinsman dan Praka Pargo Rumbouw, masing-masing divonis 20 tahun dan 15 tahun penjara. Mereka semua dipecat dari TNI.

Satu tentara lain yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, Kapten Dominggus Kaimana, meninggal di tahanan sebelum mendapat vonis.



Empat tentara divonis bersalah dalam kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap warga Nduga, Februari 2023.

Pada Maret 2023, tujuh tentara dari Yonif 443 Julu Siri divonis bersalah oleh Pengadilan Militer Makassar. Mereka terbukti menyiksa, membunuh, dan membakar jenazah dua warga sipil di Intan Jaya, yaitu Apinus Zanambani dan Luther Zanambani.

Lettu Josua Mangihut Tua, Lettu Febbi Puji Hantara, Serka Baharuddin, dan Kopda Mufajirin Adi Yatma divonis delapan bulan penjara.

Serka Oktapianus Sangga Kalatiku, Serka Muhammad Syamsir, dan Serda Pance Gereuw divonis enam bulan penjara. Seluruh terdakwa ini dihukum pemecatan dari TNI.

Merujuk berkas pengadilan, penyiksaan terhadap Apinus dan Luther terjadi di lobi Koramil 1705-11 Sugapa.

“Terdakwa-2 (Oktapianus) mendudukkan Apinus Zanambani ke kursi, lalu mengikat kedua tangan Apinus menggunakan tas noken milik Apinus agar tidak melarikan diri,” demikian fakta persidangan yang tertulis dalam berkas pengadilan.

“Setelah itu Terdakwa-4 (Pance) memukul wajah Apinus dengan menggunakan tangan kosong berkali-kali, sambil Terdakwa-2 bertanya kepada Luther tentang keterlibatannya dengan kelompok bersenjata di Papua

“Tetapi Luter tidak memberikan jawaban, hanya diam saja sehingga Oktapianus langsung memukul menggunakan tangan, mengenai bibir dan badan, demikian juga pemukulan yang dilakukan oleh anggota yang lainnya yang mengakibatkan Apinus dan Luter luka-luka,” begitu tertulis di berkas pengadilan.

Hakim menyatakan, empat dari tujuh tentara yang diseret ke pengadilan itu membakar jenazah Apius dan Luther untuk menghilangkan jejak kejahatan.

Merujuk vonis hakim dalam perkara ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), menilai Pengadilan Militer Makassar menjatuhkan hukuman yang terlalu ringan.

"Vonis ini kembali menunjukan jika Peradilan Militer hanyalah panggung sandiwara dan pemberian hukum yang ringan bertujuan untuk melindungi para pelaku dan membuat praktik-praktik impunitas terus terjadi hingga sampai saat ini," tulis Kontras dalam pernyataan mereka.

"Tidak diberhentikannya para pelaku dari keanggotaan mereka sebagai personel TNI juga menunjukan bahwa selama ini TNI gagal dalam menunjukan akuntabilitasnya terhadap anggota yang melakukan tindak pidana," tulis Kontras.

Pernyataan serupa dikatakan Kontras untuk vonis pengadilan terhadap para tentara yang membunuh Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya. Hingga tingkat banding, tiga tentara itu "hanya" dijatuhi hukuman penjara satu tahun. Ketiganya adalah Saiful Anwar, Alex Ading, dan Moh. Andi Hasan Basri.



Potret pemakaman Justinus Bagau, Janius Bagau, dan Soni Bagau, warga sipil di Intan Jaya pada Februari 2021. Tentara yang terlibat penyiksaan terhadap mereka divonis penjara.

https://www.bbc.com/indonesia/articl...s/c9ed29vxdjno
lanjutan di bawah
0
238
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
vanlorAvatar border
vanlor
#11
TL;DR

Papua merdeka.

Itu sudah.
Diubah oleh vanlor 02-04-2024 04:55
0
Tutup