Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

joko.winAvatar border
TS
joko.win
Pakar Hukum Sebut MK Tak Berwenang Tangani Dugaan Pelanggaran TSM Pemilu 2024
Jakarta, Beritasatu.com - Guru Besar hukum konstitusi Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, Andi Asrun merespons adanya upaya gugatan terhadap dugaan pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Andi, gugatan tersebut bukanlah wewenang MK melainkan ranah dari Bawaslu sebagai pihak pengawas pemilu.

"Jadi berkaca kepada Undang-Undang Pemilu dan juga yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, maka pemeriksaan pelanggaran-pelanggaran pemilu yang bersifat TSM bukan ranahnya Mahkamah Konstitusi, tetapi seharusnya dibawa ke Bawaslu," ujar Andi Asrun dalam acara diskusi Forum Doktor yang digelar di Hotel Fermont, Jakarta

Andi juga menyinggung keberadaan para mantan ketua MK yang ada di masing-masing paslon penggugat, yakni Hamdan Zoelva di paslon nomor urut 1 dan Mahfud MD di paslon nomor urut 3.

Andi yakin kedua tokoh ini tentu sependapat MK tak memiliki wewenang untuk menindaklanjuti gugatan soal pelanggaran pemilu TSM.

"Berkaca pada dua tokoh ini, mereka punya keyakinan pelanggaran TSM bukan tepatnya di MK, tetapi Bawaslu," tandas Andi.

"Kalau seandainya dibawa ke MK, maka itu adalah suatu pekerjaan sia-sia, pekerjaan mubazir dan juga artinya mereka membawa pelanggaran TSM ke MK adalah menunjukkan sikap yang inkonsisten ya, paradoks konstitusional, tidak memahami hukum acara MK," tambahnya.

Senada dengan Andi Asrun, pakar hukum tata negara, Margarito Kamis juga menyebut penanganan pelanggaran atau kecurangan secara TSM merupakan ranah Bawaslu, bukan MK.

Terkait hal itu, kata Margarito, harus dibuktikan secara spesifik jika kecurangan atau pelanggaran yang terjadi memang benar-benar memengaruhi hasil pemilu, bukan cuma soal selisih suara saja.

Menurut Margarito, salah satu yang harus dibuktikan adalah adanya kesalahan penghitungan, bukan soal prosedur.

"Kecurangan-kecurangan itu lebih karena pada salah hitung misalnya begitu ya, bukan karena prosedur pelaksanaannya. Kalau Anda mau jadikan prosedur sebagai vokal poin dalam permohonan ini, itu menjadi salah. Mengapa? Karena undang-undang memerintahkan soal-soal itu dibawa ke Bawaslu bukan ke Mahkamah Konstitusi itu ya," jelasnya.

Selama ini, Margarito mengungkapkan, kubu paslon nomor urut 1 maupun 3 terkecoh dengan hasil Sirekap milik KPU yang bukan menjadi acuan surat suara sah hasil penghitungan pemilu.

"Saya lihat teman-teman di kubu 1 dan 3 itu terkecoh dengan memberi fokus pada Sirekap itu. Padahal Sirekap bukan satu-satunya, bukan soal yang menjadi dasar lahirnya angka (suara) itu, KPU kan sudah bikin disclaimer di website Sirekap itu. Bahwa Sirekap cuma alat bantu percepatan agar memberikan transparansi informasi kepada publik berupa unggahan foto formulir C1 plano sama seperti Situng tahun 2019. Bedanya di Sirekap ditambahkan teknologi scan OCR untuk membaca angka di C1 plano itu. Secara hukum disebut dalam dislaimer KPU yang menjadi entitas adalah hasil rekapitulasi berjenjang, jadi mesti pastikan di hasil rekapitulasi, jangan pusing dengan Sirekap itu. Nanti ditertawakan hakim-hakim MK kalau masih ngotot permasalahkan aplikasi Sirekap," pungkas Margarito.


Lalu, bagaimana tata cara penyelesaian permasalahan Pemilu yang diatur di dalam Undang-Undang Pemilu?

UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur soal pelanggaran Pemilu, sengketa proses Pemilu dan perselisihan hasil Pemilu.

UU tersebut membagi pelanggaran ke beberapa jenis serta siapa yang akan menanganinya sebagaimana dimuat dalam pasal 455, berikut isinya:

a. pelanggaran Kode Etik KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/ Kota, diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota kepada DKPP;
b. pelanggaran administratif Pemilu diproses oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS sesuai dengan kewenangan masing-masing; dan
c. pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang bukan pelanggaran Pemilu, bukan sengketa
Pemilu, dan bukan tindak pidana Pemilu:
1. diproses oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS sesuai dengan kewenangan masing-masing; dan/atau
2. diteruskan kepada instansi atau pihak yang berwenang.


UU tersebut juga membuat uraian lebih lanjut terkait lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan berbagai jenis pelanggaran. Berikut isinya:

Pasal 457
(1) Pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 diselesaikan oleh DKPP.
(2) Pelanggaran kode etik PPLN, KPPSLN, dan Panwaslu LN diselesaikan oleh DKPP.

Pasal 461
(1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran administratif Pemilu.

Pasal 463
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran administratif Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 460 yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif, Bawaslu menerima, memeriksa, dan merekomendasikan pelanggaran administratif Pemilu dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.

Berikutnya, UU Pemilu juga mengatur soal sengketa Pemilu. Adapun yang dimaksud sengketa Pemilu, berdasarkan pasal 466, ialah sengketa yang terjadi antar-peserta Pemilu dan sengketa peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat keputusan KPU, KPU Provinsi, ataupun KPU kabupaten/kota.

Lalu, siapa yang berhak menangani sengketa Pemilu?

Pasal 468
(1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa proses Pemilu

Jika penyelesaian sengketa Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi partai serta penetapan calon tetap oleh Bawaslu tidak diterima para pihak, maka dapat dilakukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam pasal 469.

UU Pemilu juga mengatur soal perselisihan hasil Pemilu. Dalam UU tersebut, perselisihan hasil pemilu itu terdiri dari beberapa jenis, yakni:

Pasal 473
(1) Perselisihan hasil Pemilu meliputi perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.

(2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.

(3) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Lalu, siapa yang berwenang menangani perselisihan hasil Pemilu? Berikut aturan dalam UU Pemilu:

Pasal 474
(1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, Peserta Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi.

Pasal 475
(1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan Calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.

UU Pemilu juga mengatur soal tindak pidana Pemilu. Penanganan dugaan tindak pidana Pemilu dilakukan oleh Polisi atas laporan yang diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan.


https://www.beritasatu.com/bersatu-k...sm-pemilu-2024






Diubah oleh joko.win 22-03-2024 06:30
dragunov762mm
gabener.edan
seher.kena
seher.kena dan 2 lainnya memberi reputasi
3
652
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
dragunov762mmAvatar border
dragunov762mm
#3
Terkait hal itu, kata Margarito, harus dibuktikan secara spesifik jika kecurangan atau pelanggaran yang terjadi memang benar-benar memengaruhi hasil pemilu, bukan cuma soal selisih suara saja.

"Saya lihat teman-teman di kubu 1 dan 3 itu terkecoh dengan memberi fokus pada Sirekap itu. Padahal Sirekap bukan satu-satunya, bukan soal yang menjadi dasar lahirnya angka (suara) itu, KPU kan sudah bikin disclaimer di website Sirekap itu.Bahwa Sirekap cuma alat bantu percepatan agar memberikan transparansi informasi kepada publik berupa unggahan foto formulir C1 plano sama seperti Situng tahun 2019. Bedanya di Sirekap ditambahkan teknologi scan OCR untuk menampilkan angkanya. Secara hukum yang menjadi entitas adalah hasil rekapitulasi, jadi mesti pastikan di hasil rekapitulasi, jangan pusing dengan Sirekap itu," pungkas Margarito.

emoticon-Matabelo
Lah kalo gak puas dgn keputusan Bawaslu,
Bukannya harus ke MK jugaemoticon-Bingung
Di skip 01&03 proses tersebut.emoticon-Big Grin

Yang lebih koplak dan di luar nurul itu kawan ane,
Pemilih 01 dan minang overproud,
Dia bilang hasil hitung manual KPU dicocok-cocokkan mendekati hasil hitung cepat (QC).emoticon-Gilaemoticon-Cape d... (S)

emoticon-Ngakak (S)emoticon-Ngakak (S)
sweetjulia
sudarmadji-oye
gabener.edan
gabener.edan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup