Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

afryan015Avatar border
TS
afryan015
Penghianatan Jin Leluhur


BAB 1

Pagi hari itu dimana awal hari sudah dibuka dengan cuaca yang begitu mendung, padahal jam baru menunjukan pukul 05.30, dengan cuaca yang seperti ini membuatku sangat tidak bergairah untuk melakukan apapun di pagi hari ini, ku Tarik lagi selimut yang sudah aku singkirkan dari tubuhku.

“Loh, mas kok malah tidur lagi, katanya mau jalan - jalan terus mampir kerumah mbah Margono?”tanya istriku keheranan.

“sebentar nduk, mas jadi malas mau keluar, lihat cuaca diluar jendela sudah mendung seperti itu”jawabku meringkuk sambil membelakangi istriku.

“oalah mas, cuaca kok dijadikan alasan buat males bangun tho, setidaknya kalo nggak jadi jalan – jalan keluar mbok yo bantuin aku beres – beres rumah ini lho”ucap istriku sambil menyapu kamar.

“iya nduk, sebentar ya, mas lagi bener – bener males banget, tunggu 5 menit lagi, nanti mas bantuin, mas juga perasaannya lagi nggak enak banget”ucapku bernego waktu pada nya.

“ya sudah nanti tapi bantuin beberes ya mas, dan yang udah terjadi ya sudah mas jangan disesali, pokoknya harus semangat lagi”ucap istriku memberi semangat.

Setelah kejadian beberapa saat lalu memang membuatku menjadi terlihat sedikit lesu, ditambah mulai saat ini “dia” sudah benar – benar tidak akan menemuiku lagi, karena tugas yang diberikan kepadanya sudah selesai, mungkin “dia” masih bisa menemuiku namun tapi sepertinya sudah tidak bisa seperti dulu karena ucapan perpisahan waktu itu yang sangat terasa begitu mendalam bagiku.

Kini aku hanyalah Ryan pemuda penakut seperti di awal ceritaku yang lalu, ya!! Itulah aku sekarang, harus memulai semua dari awal lagi, mempelajari semua ilmu yang pernah aku rasakan dulu, bakat itu memang masih ada, namun sekarang seolah kembali ke titik terendah dimana aku hanya bisa merasakan kehadiran sosok, dan setiap akan ada kehadiran suatu sosok, itu pasti ditandai dengan kepalaku yang tiba -  tiba merasa pusing atau sakit.

“tok tok tok”suara ketukan pintu terdengar dari ruang tamu.

Siapa lah pagi – pagi seperti ini sudah bertamu, apa tidak merasa malas dengan suasana mendung seperti ini, pikirku dalam hati sambil meringkuk diselimuti tebalnya selimut.

Tak lama setelah ketukan pintu itu, istriku pun membukakan pintu untuk menyambut tamu yang berkunjung itu, tak berselang lama pintu pun ditutup kembali dan istriku kembali kekamar untuk memberikan kabar.

“mas mbok ndang bangun tho”istriku menyuruhku untuk segera bangkit dari Kasur nyamanku.

“siapa tho nduk yang datang barusan?”tanyaku masih dalam posisi meringkuk di hangatnya selimut

“itu rewangnya mbah Margono, katanya mas disuruh kesana sama mbah Margono, udah tho makanya buruan bangun”istriku memberitahu dengan sedikit kesal karena kau tidak lekas bangkit dari Kasur.

“iya iya ini aku bangun, tumben banget mbah Margono menyuruhku kesana sepagi ini”dengan terpaksa aku bangun dengan malasnya

 Aku segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan mukaku, dalam hati sedikit heran karena tidak biasa biasanya mbah Margono menyuruhku untuk datang sepagi ini, karena biasanya dipagi hari seperti ini dia masih bermeditasi hingga nanti paling tidak pukul 09.00 baru bisa aku temui.

Setelah selesai dari kamar mandi aku pun mengganti pakaian ku dengan yang lebih wangi, biarlah belum mandi yang penting bauku tidak mengganggu yang lain nantinya, setalah rapi aku langsung pergi kerumah mbah Margono.

Kubuka gerbang rumah mbah Margono, terlihat sangat sepi seperti biasanya, sama sekali tidak ada tanda – tanda ada aktifitas didalam rumah maupun, sambil melihat kesekelilingi kudekati pintu utama rumah untuk kemudian aku ketuk.

“tuk tuk tuk”aku mengetuk tapi seperti bukan mengetuk pintu, dan saat aku melihat ke arah pintu ternyata….

“Apa sih yan, jidat mbah diketuk gini, kamu pikir ini pintu?”ucap mbah Margono yang ternyata sudah membuka pintu tanpa ku sadari, sehingga yang ku ketuk adalah kening mbah margono.

“ya Allah mbah maaf, serius maaf, nggak niat aku mbah, la mbah Margono buka pintu nggak ada suaranya”ucapku meminta maaf pada mbah Margono.

“Ya udah nggak papa, ayo buruan masuk, aku aku mau ngobrol sama kamu”ucap mbah Margono menyuruhku masuk.

Suasana rumah mbah Margono masih sama seperti yang dahulu, lembab dan terasa ramai walau dirumah ini hanya ditinggali hanya dia saja, namun aku yakin Ningrum masih ada disini walau aku tidak bisa melihatnya untuk saat ini.

Aku sedikit menanyakan tentang keberadaan Ningrum di sekitaran sini karena aku merasakan sedikit aura keberadaannya, mbah Margono pun mengatakan dia sekarang sedang melihatku denga senyuman haru, aku balas senyum walaupun aku tidak bisa melihatnya sekarang.

Setalah sampai diruang tengah mbah Margono menyuruhku untuk duduk, dan diapun memberikan beberapa nasehat mengenai apa yang terjadi padaku, dia memintaku untuk tidak terlalu terpuruk dengan apa yang sudah terjadi dikejadian besar kala itu, ditambah lagi dengan waktu yang berdekatan setelah kejadian itu ibuku harus meninggalkan ku untuk selamanya.

Mbak Margono pasti sudah tahu separah apa aku terpuruk untuk saat ini, ujian yang diberikan oleh-Nya begitu bertubi tubi, dalam keadaan sedang diberi nasehat, ditengah ucapannya aku memotong “mbah kulo niki sakniki pun kiyambakan, mboten enten sinten sinten, bapak ibu sampun mboten enten, terus “sek niko”……”tanpa terasa karena emosi yang sedang kurasakan aku tidak bisa melanjutkan ucapanku.

Setelah menunggu keadaanku tenang, mbah Margono kembali melanjutkan nasehatnya, kali ini dia sambil bertanya padaku “meh tekan kapan?”namun aku hanya terdiam dengan kepala tertunduk, “sepisan meneh tak takon, meh tekan kapan ha?” tanya mbah Margono yang kali ini dengan nada sedikit meninggi, namun aku masih belum bisa menjawab pertanyaannya, aku takut menjawab karena masih diselimuti emosi.

“Kenapa nggak dijawab pertanyaan ku, sekali lagi aku tanya, MAU SAMPAI KAPAN KAMU MAU SEPERTI INI???!!!”kali ini mbah Margono bertanya dengan nada benar benar marah sambil membanting asbak ke arah meja kaca didepannya, dan otomatis membuat meja tersebut pecah berantakan.

“TERUS AKU INI KAMU ANGGAP APA, kamu ngomong sudah tidak punya  siapa siapa terus aku ini dianggep apa? Kamu udah mbah anggap cucu sendiri le, terus anggep aku ini simbahmu juga, walaupun aslinya tidak seperti itu”dengan suara bergetar mbah Margono berkata, dan tanpa disadari akupun meneteskan air mata. 

Sejenak setelah mbah Margono berkata demikian, kita sama sama saling terdiam diruang tengah itu mencoba menenangkan dirikita masing masing, kaki mbah Margono terlihat bergetar mungkin sedang mencoba untuk menenangkan emosinya yang sedang meluap karena tingkahku ini.

Ku coba mengatur nafas sembari memikirkan kata – kata mbah Margono yang baru saja disampaikan, iya memang benar kedua orang tuaku memang sudah tidak ada, kemudian “mereka” aku mencoba menghilangkan pikiran tentang “mereka” karena jika terus memikirkannya kondisiku terutama mentalku akan terus seperti ini.

Tapi mau bagaimanapun itu memang sangat lah susah, kehilangan orang tua dengan jeda waktu yang tidak begitu jauh itu serasa kehilangan seluruh dunia, ditambah lagi salah satu diantara “mereka” gugur saat kejadian besar itu, bagaimana aku tidak tersiksa mentalnya.

Cukup lama kami saling diam ditemani pecahan kaca – kaca yang berserakan dilantai, karena suasana cukup canggung untuk saat ini, aku mencoba untuk membuat suasana sedikit cair dengan meminta maaf kepada mbah Margono, iya, dia memang benar, masih ada dia yang hampir setiap hari dan setiap waktu menjenguku setelah kepergian ibuku, dan memang dia sangat perhatian kepadaku.

“sudah lah, nggak usah minta maaf, aku paham rasa yang kamu rasakan sekarang, tapi jangab kebablasan, diniamu nggak berheti di situ saja, jalan hidupmu masih panjang, pikirkan hidupmu, kasihan orang tuamu disana”ucap mbah Margono memberikan nasihat.

“tapi mbah, serius, aku minta maaf, aku lupa masih ada mbah Margono, aku minta maaf mbah”dengan nada bergetar aku meminta maaf pada mbah Margono.

“udah, sini mendekat, nggak papa, yang sabar, kamu harus jadi orang yang kuat, masalah bakatmu bisa di asah lagi”mbah Margono mencoba menenangkan ku.

“nggak mbah, maaf, aku sudah cukup segini saja, aku pingin normal saja, sudah cukup aku melihat orang yang dekat denganku gugur, aku sudah tidak mau mengenal dengan hal yang seperti itu”jawabku memberi tanggapan pada mbah Margono.

“apa nggak sayang yan, auramu itu bagus dan kuat, sayang kalau tidak dimanfaatkan, tapi ya aku nggak bisa maksa, kalau memang itu keputusanmu yan jalani saja”dengan bijaksana mbah Margono merestui keputusanku itu.

Iya memang berat sebenarnya untuk melepas itu semua, namun bagiku semua yang sudah aku lalui selama ini sudah cukup, aku mau menjalani hidup normal seperti dulu, tidak mengenal sosok – sosok aneh seperti kemarin.

Setelah suasana kembali mencair, dan aku berjanji untuk memulai kehidanku seperti dulu lagi, mbah Margono bangkit dari duduknya dan hendak menuju kearah dapur untuk mengambil sapu dan membersih kan pecahan kaca yang berserakan dilantai, sebenarnya aku sempat menawarkan diri supaya aku saja yang mengambil sapu dan membersihkan pecahan kaca itu, dilain karena sopan santunku kepada mbah Margono, pecahan kaca itu juga disebabkan karena aku membuat mbah Magono marah.

Saat mbah Margono mulai melangkah, ternyata ada pecahan kaca yang membuat langkah kaki nya selip hingga membuat mbah Margono terpeleset.

“eh eh eh, aduh, lah malah dadi lecet”ucap mbah Margono tersungkur dilantai.

Aku pun dengan sigap langsung membantu mbah Margono untuk segera bangkit dari lantai, dengan perlahan aku mengangkat tubuh mbah Margono untuk berdiri lagi, “pelan – pelan mbah, awas ada yang lecet atau nggak”sambil melihat tubuh  nya memastikan dia tidak apa – apa, ya walau sudah dipastikan tidak akan lecet sih, karena kemampuan yang dia miliki.

“udah - udah yan, aku bisa sendiri, sudah sana duduk dan dimakan jajannya”mbah Margono menyuruhku untuk duduk kembali setelah berhasil bangkit.

“lah mbah disuruh makan apa, la jajannya saja toplesnya ikut pecah tuh”sambil nunjuk toples yang juga berantakan di lantai.

“yo salahmu sendiri, buat aku marah, yo sudah seadanya saja itu dilantai kamu makan”ucap mbah Margono sedikit menekan sambil tertawa.

Sambil tersenyum akupun mengarahkan tanganku ke arah makanan yang berantakan dilantai untuk dibersihkan dan dikumpulkan sehinga bisa dimakan lagi, tanganku terus memungut makanan itu sambil sesekali melihat kearah mbah Margono dan baru ku sadari, sarung yang dipakainya ternyata robek dibagian belakangnya, dan itu cukup panjang dari pantan hingga turun kebawah setelah dengkul, aku hanya tersenyum saja melihat sarung yang dikenakan nya itu karena memperlihatkan celana bagian dalam dengan motif bergaris biru putih.

Tak lama setelah mengambil sapu didapur, mbah Margono pun kembali keruang tengah untuk membersihkan pecahan kaca, namun setelah kulihat kearah raut muka mbah Margono terlihat sedikit aneh, seolah dia sedang menahan sebuah rasa.

Aku merebut sapu yang digenggamnya, supaya aku saja yang menyapu kaca kaca ini, dan tidak ada perlawanan dari mbah Margono saat itu, namun dia malah bertanya padaku, “yan, kamu merasakan hawa dingin apa nggak sih, aku kok dingin banget ya?” tanya mbah Margono sedikit keheranan, langsung saja aku menjawab biasa saja, karena memang tidak merasakan dingin, dan sambil menyapu pecahan kaca aku memberi tahu mbah Margono bahwa sarung bagian belakangnya robek cukup lebar dan memang berasa dingin karena yang tersisa hanya jelana motif garis itu saja.

“waduh ciloko, onderdilku kkelihatan, walah udah aku ganti sarung dulu, lanjutkan ya nyapunya yang bersih” ucap mbah Margono bergegas menuju kamarnya.

Sedikit demi sedikit serpihan kaca yang berantakan dilantaipun mulai terkumpul, dari dalam kamar, mbah Margono mengajaku berbicara, dalam pembicaraan itu dia mengatakan permintaan maaf, karena sebenarnya urusan dia memanggilku kerumahnya ini adalah untuk berpamita.

Ya, dia ada rencana untuk pergi beberapa waktu ke sebuah gunung untuk kembali menguatkan ilmu yang dimilikinya, dia berkata bahwa kejadian besar kala itu membuatnya sadar bahwa apa yang dia miliki atau kuasai sekarang masihlah sangat standar dan masih ada makhluk atau musuh yang lebih hebat dari dia, itu yang membuatnya memiliki tekad untuk menguatkan ilmunya.

Aku yang baru saja dikuatkan olehnya, tiba – tiba serasa diruntuhkan lagi, bagaimana tidak, dia mengatakan kalau aku masih punya dia, tapi kenapa disaat bersamaan dia malah mengatakan akan pergi dan belum jelas waktu yang akan dia gunakan disana sampai kapan.

Mbah Margono masih terus berbicara dari dalam kamarnya, tanpa mengetahui aku sudah mulai terdiam menggenggam sapu yang tadi aku gunakan untuk membersihkan kaca. Dan tak lama pun dia keluar dari kamarnya dan langsung melihat kearahku.

“udah lho yan, aku tetep ada buat kamu, kamu nggak usah khawatir, kalau sudah selesai urusanku, aku langsung pulang, terus prang yang pertama akan aku temui ya kamu, cucuku, udah nggak usah sedih tho”ucap mbah Margono sambil mendekat kearahku.

“tapi mbah, kok ndadak banget mau bepergiannya lho, aku baru saja merasakan senang karena masih ada mbah Margono”dengan tertuntuk aku menjawab ucapan mbah Margono.

“yang tenang lho yan, aku ini pergi juga untuk siapa?, ini ya untuk kamu, aku bakal menjaga kamu pakai ilmuku besok”ucap mbah Margono meyakinkan.

“……………” aku hanya tertunduk dan diam sambil berfikir.

“udah lho percaya sama mbah, kita ini sudah banyak melalui banyak hal bersama, makanya aku mau cari ilmu buat kita bisa bersama terus, ya? Tenang aku bakal terus ada sampai tuhan misahkan”mbah Margono terus meyakinkanku.

Tapi setelah dipikir pikir, apa yang dikatakan mbah Margono ada benarnya juga, aku kembali ke titik nol dinama aku hanya bisa merasakan kehadiran sosok yang berada di sekitaranku, dan aku sama sekali tidak bisa melakukan apapun.

Dengan pertimbangan yang kuat, aku pun mengijinkna mbah Margono untuk pergi kemana yang dia mau, namun aku meminta satu janji darinya, aku hanya meminta untuk mbah Margono harus kembali untuk bertemu denganku, aku tidak mau kehilangan orang terdekatku lagi.

Setelah aku mengijinkan, mbah Margono kembali masuk kedalam kamarnya entah mau melakukan apa lagi, namun dengan wajah sumringahnya dia terlihat sangat semangat, mungkin karena sudah mendapat ijin dariku kali ya.

Lalu akupun menanyakan pada mbah Margono kapan sekiranya dia akan berangkat untuk pergi ketempat yang dia tuju, namun jawaban yang bagiku mengesalkan terucap dari mulut mbah Margono.

Bagaimana tidak membuatku kesal, saat aku menanyakan kapan dia akan berangkat, dengan enteng dia mengatakan, “lah ini udah siap, sebentar lagi berangkat, yang penting kan sudah dapat restu dari cucuku ini”tak lupa senyum dari bibirnya dilempar kepadaku. Dalam hatiku sedikit ngedumel, dari tadi datang dibuat naik turun terus moodnya, dan tanpa sadar aku mengucap “wooo dasar wong gendeng” namun dengan suara yang lirih.

Diubah oleh afryan015 26-01-2024 12:16
c4kr4d3w4
aguzblackrx
delet3
delet3 dan 29 lainnya memberi reputasi
30
10.7K
203
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
afryan015Avatar border
TS
afryan015
#68
BAB 15
     
Sunyi tanpa ada suara sedikitpun, aku sempat keheranan bagaimana bisa suara teriakan yang dari tadi terdengar saat Via belum datang dan terdengar terus menerus kini benar benar hilang, andaikan itu memang suara dari pasien lain pastilah suara batuk dari pasien itu masih terdengar walaupun tidak sesering waktu awal tadi.


Tidak mau ambil pusing, mumpung Via sudah berada disini, aku ingin segera mengistirahatkan tubuhku ini, lelah sangat aku rasakan, begitu juga pegal akibat kecelakaan tadi, dan untuk kaki ku yang remuk sudah tidak kurasakan lagi.


“Nduk mas tidur dulu ya, badan mas rasanya nggak enak banget”ucap ku sambil memejamkan mata.


“Iya mas nggak papa tidur dulu saja, aku tahu kamu kelelahan”jawab Via yang sedang merapikan barang bawaan.


Mungkin karena aku saking lelahnya, tak perlu waktu yang lama akhirnya aku tertidur, didalam tidurku aku terbangun disebuah kampung yang sepertinya tidak asing, aku benar benar mengenal kampung ini, ya ini kampung halaman bapak, dan aku sedang berada dikursi kayu panjang terbuat dari rotan yang berada di ruang tengah dari rumah nenek ku.


Seseorang keluar dari kamar yang berada sejajar dengan kursi kayu panjang ini berada, sosok yang sangat aku kenal dan aku sangat merindukannya,


“Bapak?!”ucapku keheranan melihat sosok yang keluar dari kamar itu.


“Piye le kahananmu, ngapuro yo le, mergo bapak koe keno musibah terus seko masa lalune bapak”ucap bapak tersenyum dan duduk disampingku.


“Mboten pak, sek enten malah kulo sek ngapunten kalih bapak, Rien mboten paham sek bapak ajarke”jawabku sambil mencium tangannya.


“Kuwi dudu salahmu le, sek salah bapak, bapak ra ngomong opo gunane sek tak warahke mbien, rapopo saiki ono mbah Margono sek bakal ngajari koe, karo ilingo omonge bapak, sesok koe bakal ketemu guru lia sak liane mbah Margono, karo guru kuwi koe bakal biso luweh paham opo sek bapak ajarke mbien, koe bakal di warahi sejatine urip”ucap bapak ku menjelaskan.


“Guru sak sanese mbah Margono, sinten niku pak?”tanyaku padanya.


“Koe bakale ngerti dewe, saiki durung wektune”jawabnya singkat.


“Jin sek sak niki ngoyak kulo niku janjane sinten pak, terus pripun kulo ngalahake jin niku?”tanyaku pada bapak karena aku ingin segera terbebas dari gangguan jin itu.


“Jin kuwi kudu cepet dikalahne, njaluk tulungo karo mbah Margono, dekne biso ngalahke jin iku, koyone bapak west ahu cerita bab jin iki karo dekne, kudu di iling, soyo suwi jin iki ono, bakal soyo akeh jin sek dekne ajak gawe ganggu keluargane dewe, termasuk koe, terus jin iki yo bisa ngasut jin sek ono nengumahe dewe kanggo nyelakake keluargane dewe, koe kudu cepet ngalahke”terang bapak.


Bapak menjelaskan, sebenarnya jin itu adalah salah satu jin yang ingin ikut dengan bapak, jin yang ingin menjadi murid bapak, namun dia memiliki ambisi besar, hingga demi mengikuti bapak dia tidak segan segan membuat siapapun yang dirasa menghalangi bapak dan ingin berbuat buruk pada bapak akan langsung digarap olehnya, entah dengan melukainya, mengganggunya, bahkan dia segan untuk merenggut nyawa siapapun yang membuat masalah dengan bapak.


Bahkan sebenarnya bapak tidak menginginkan jin itu untuk berbuat hal yang sedemikian rupa, bapak mempersilahkan saja kalau ingin ikut, namun bapak enggan untuk memberikannya sesaji, dia tidak suka memberi jamuan atau makanan pada jin yang ingin mengikutinya, silahkan ikut tapi bapak tidak mau memberikan apapun pada mereka.


Dan karena tindakan yang dilakukan oleh jin itu terlalu agresif, bapak sempat melarangnya untuk mengikutinya, tapi yang terjadi jin itu malah semakin membabi buta tak peduli siapapun baik itu yang menganggu bapak atau bukan, siapapun yang dekat dengan bapak akan digarapnya.


Hingga pada akhirnya bapak mempersilahkan jin itu untuk mengikutinya, dengan perjanjian dia tidak boleh melukai siapapun lagi, tapi bapak sebenarnya mengetahui dia pasti akan mengingkari janji itu, hingga sampai akhirnya bapak membiarkan jin itu mengikutinya, namun bapak tidak pernah mengajarkan secara langsung, terserah dia mau belajar apapun yang jelas bapak hanya mengerjakan kesehariannya seperti biasa.


Setelah beberapa bulan bahkan tahun, hal yang sudah bapak perkirakan terjadi, sosok jin itu menjadi diluar kendali bapak, dia mencoba mempraktekan apa yang pernah dia perhatikan dari bapak, dia menyerang seseorang yang dirasa sedikit mengganggu bapak waktu itu hanya karena hal sepele, padahal bapak sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut, dan pada akhirnya bapak yang menyembuhkan orang yang diserang itu.


Hingga pada akhirnya, karena kelakuan dari jin ini, bapak pernah sampai didatangi beberapa dukun atau kyai yang mengenalnya, mereka sengaja mendatangi bapak untuk membicarakan soal jin pengikut bapak ini, beberapa dukun sempat protes dengan tindakan jin itu, karena walaupun dukun itu tidak menyenggol bapak dalah hal kerjaan, tapi jin itu tetap menyerang dukun itu, mereka tidak berani kembali menyerang bapak karena mereka paham dengan tingkatan ilmu yang masih jauh dari bapak.


Bapak pun hanya meminta maaf atas hal yang telah terjadi, dan bapak berjanji akan mengurus jin tersebut, sebetulnya bapak sudah diam diam ingin menyegel jin itu, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakannya, sarana yang digunakan adalah sebuah batu berwarna putih bercorak coklat yang terlihat indah dalam bentuh bongkahan kecil, dan aku baru mengingat, ya itu adalah batu yang aku lihat didalam kantong kain waktu itu saat berberes kamar.


Dalam penjelasannya dia mengatakan segel akan perlahan terkikis jika batu itu keluar dari lingkungan rumah yang sudah bapak tanami pusaka untuk mengurung dan meredam kekuatan sekaligus auranya.


Dan singkat cerita dari yang bapak utarakan adalah ternyata jin itu sudah merekrut atau lebih tepatnya menghasut beberapa jin disekitar desa dan saat bapak akan melakukan penyegelan dari jin itu prosesinya tidak lah mudah karena bapak juga harus berhadapan dengan grombolan lain, kebetulan saat itu bapak mendapat bantuan dari pasukan putih yang dulu pernah aku temui.


Pada akhirnya bapak berhasil menyegel sosok jin itu pada batu yang sudah di persiapkan tadi, dan beberapa jin yang tidak mau kembali tempatnya dan tetap kekeh untuk menyerang dan membebaskan jin yang sudah tersegel, terpaksa dibinasakan oleh pasukan putih yang membantu bapak.


Aku berfikir, berarti lingkungan tempat tinggalku sudah dari dulu banyak jin jin kuat, pantas sejak aku kecil hingga kini sering merasakan aura aura kuat dari bangsa tersebut, namun mungkindisaat sekarang ini sedikit berkurang karena beberapa sudah dibinasakan saat kejadian tersebut, dan yang tinggal kini adalah jin yang masih bisa di atur, pantas saja bapak hingga akhir hayatnya bisa dibilang sesepuh desa karena mengenal seluk beluk desa ini.


Setelah penjelasan yang diberikan bapak, kitapun sempatkan untuk ngobrol biasa, namun dari kamar yang berada didepan kursi kayu ini, muncul seseorang yang mengajak bapak untuk segera pergi karena sudah waktunya dan sudah cukup apa yang di jelaskan.


“Le, ayo uwis, Ryan mesti wes paham kudu kepiye”ucap seseorang yang muncul dari balik gorden kamar itu.


“Njih bu, yo wes yan gek ndang sehat, iling pesene bapak, ndang rampungi, sepurone bapak mbien ra binasake jin kuwi”ucap bapak bangkit dari posisi duduknya dan berjalan menuju orang yang menyuruhnya untuk menyudahi pertemuan ini.


“Loh simbah?”tanyaku terkejut, sosok itu adalah nenek ku, setelah sekian lama tidak mengunjungiku dimimpi, kini dia mengunjungiku Bersama bapak.


“Piye yan keadaanmu, gek ndang sehat yo, bapak ibumu saiki wes adoh seko koe, nanging tenang wae bapakmu bakale ngekei perhatian seko kene bareng karo simbahmu iki, saiki simbah karo bapak kudu lungo sek, koe gek ndang mari”ucap simbah memberi nasehat lalu menggandeng tangan bapak dan berlalu pergi kedalam kamar itu.


Rasa kangen yang masih aku rasakan membuatku mengejar mereka masuk kedalam kamar itu, namun yang kudapati malah aku terhentak dan bangun dari tidurku, rasa pegal dikakiku yang diperban mulai terasa, Via juga ikut terkejut melihatku terbangun dengan mataku yang ternyata basah tanpa aku sadari.


Via yang tadi masih mengerjakan sholat subuh, setelah selesai langsung menghampiriku dan bertanya padaku mimpi apa yang baru saja dialami.


“Gimana mas, kamu kenapa? Kamu ngimpi ketemu ibu?”tanya Via sambil mengusap mataku.


“Bukan nduk, mas ketemu simbah sama bapak, mas kangen sama mereka”jawabku sambil memandang keatas.


“Sudah, sudah nggak papa wajar kalua kamu kangen, doain mereka aja nanti ya, ini kamu sekarang mau sholat apa nggak?”ucap Via menenangkan ku.


“Ah kamu ini nduk, yo jelas tetap sholat lah, tolong ambilin air buat mas wudhu nduk sama kainnya juga”aku meminta Via untuk mengambilkan air untuk berwudhu.


Setelah selesai ber wudhu dan melaksanakan kewajiban sholat ku, aku mulai bercerita tentang maksud bapak menemuiku tadi dalam mimpi, bapak berpesan untuk aku segera menyelesaikan masalah mengenai jin yang saat ini mengganggu kita, dan aku juga menceritakan kalau aku kecelakaan seperti ini juga karena perbuatan dari jin itu.


Tak berselang lama, Adi wilaga dan juga Shinta datang disaat pagi itu, kedatangan mereka berdua sepertinya membuat takut seluruh penghuni rumah sakit ini, bagaimana tidak saat tadi belum ada mereka, aku melihat hampir penuh kaca jendela kamarku ditontong para makhluk yang berada diluar, tapi begitu mereka datang, semua seolah kocar kacir ingin segera pergi.


Mereka berdua datang memberi laporan padaku, ternyata selama semalaman sejak Shinta pergi berpamitan padaku, dia mengajak Adiwilaga untuk mencari sosok jin yang berani mencelakai aku, namun selama mereka mencari disekitar wilayah ini, disekitar rumah, dan hampir kepelosok yang memungkin kan dia untuk bersembunyi namun tidak satu tempatpun berhasil menunjukan keberadaannya.


Aku paham dengan hal ini, mungkin sejalan dengan apa yang dikatakan bapak di mimpi tadi, jin itu sudah memanipulasi pikiran jin lain untuk menyembunyikan dirinya, sehingga dia tidak mudah untuk ditemukan.


Saat jam menunjukan pukul enam pagi, ada seorang suster masuk ekruang perawatanku, dia mengecek tabung infus yang tergantung disebelahku yang ternyata hampir habis, dan selain mengecek kondisiku, dia juga mengatakan pada Via kalau operasi akan dilakukan nanti sekitar jam sepuluh pagi. Dan suster itu pun juga mengatakan bahwa aku tidak boleh makan dan minum dulu alias berpuasa, dan hal itu juga yang tadi malam sempat diucapkan pada suster yang mengantarkanku ke bangsal perawatan ini.


Sambil menunggu jadwal waktu operasi yang aku jalani, aku meminta Via untuk membiarkanku memejamkan mata sebentar untuk fokus berkomunikasi dengan Shinta dan Adiwilaga.


“Sial, kami semalaman mencari sosok jin itu sama sekali tidak terlihat”ucap Shinta merasa kesal.


“Lebih baik kita terus berjaga, aku merasa dia ada dendam tersendiri pada penerus dari bapaknya den Ryan, makanya dari kemarin yang diincar adalah Den Ryan”ucap Adiwilaga memberi saran.


“Itu sudah pasti Adiwilaga, aku tidak mau kecolongan seperti kemarin, apa lagi sampai berhasil melukai cowok cengeng ini”jawab Shinta, sambil mencubit pipiku.


“………”aku hanya diam sambil melirik tajam pada nya.


“hehe apaan sih nglirik tajem gitu, kan jadi takut”gelagat Shinta menggodaku sambil sok bersembunyi dibalik tubuh Adiwilaga.


“Dasar kamu ini Ta, dari dulu tidak berubah, tidak pernah bosan untuk selalu menggodaku”ucapku dengan sedikit tersenyum.


“Jelas lah, aku tidak akan berubah sama sekali, aku akan tetap menjadi diriku”ucapnya sombong.


Mendengar ucapan Shinta, aku jadi teringat apa yang di beritahu oleh bapak saat berada di alam mimpi tadi, Jin itu bisa menghasut sesame jin untuk membelot dari apa yang sudah dia percaya sebelumnya, menjadi percaya dengan apa yang dikatakan jin itu.


“Oh iya, akum au memberi kalian berdua peringatan, dan ingat kata kata ku ini”ucapku pada mereka berdua.


“Apakah itu den Ryan, kami akan mendengarnya dan mengingat apa perkataanmu”ucap Adiwilaga mendekat padaku.


“Ingat, jin itu memiliki kemampuan untuk menghasut kalian, tidak perduli sekuat apapun kalian, apabila lengah dalam hasutannya sudah akan dipastikan kalian pasti akan mempercayainya dan berbalik mendukungnya, aku harap kalian berhati – hati”ucapku memberi perigatan pada mereka.


“Tentu den Ryan kami akan selalu berjaga dan berhati hati akan hasutan ataupun serangan yang mungkin akan menyerang kita”ucap Adiwilaga merespon peringatanku.


“haha, jin busuk seperti itu tidak akan pernah bisa menghasutku, dan aku pastikan sebelum dia menghasut, sudah aku hajar dia terlebih dahulu, atau bahkan sudah aku binasakan dia”ucap Shinta dengan percaya diri.


“Baguslah kalau kalian bisa mengantisipasi hal itu, tapi aku sedikit khawatir pada jin centil sok kemayu ini apakah bisa benar benar selamat dari godaan atau hasutan jin itu”ucapku mengejek Shinta.


“ih apaan sih udah jelas bisa lah, akan ku hajar dia habis habisan” ucapnya sambil membuang muka kearah jendela rumah sakit.


Saat aku sedang terpejam dan berbicara pada Adiwilaga dan Shinta, terdengar suara pintu kamar rawatku terbuka dan ada suara seorang suster masuk berbicara pada Via, dia mengatakan jadwal operasinya akan dimajukan di jam Sembilan pagi, dan sekarang sudah jam delapan, mendengar itu tiba tiba aku menjadi gugup,entah kenapa dan rasanya ingin pergi ke kamar mandi untuk kencing.


Aku membuka mataku bertepatan dengan suster itu keluar dari kamar rawatku, aku meminta Via untuk membawakan pispot untuk aku buang air kecil, dia pun langsung sesegera mungkin untuk mengambilkannya dan membantuku untuk buang air kecil, tidak memungkin kan untuk ku buang air kecil dikamar mandi.


Saat aku akan membuka celanaku dan kencing, aku baru sadar, Shinta masih dengan santainya melihat kearahku tanpa ada halangan dan seolah menunggu aku membuka celana dengan ekspresi polosnya, aku memberikan kode pada Adiwilaga untuk membawanya keluar, dan langsung dikerjakan oleh Adiwilaga, terlihat wajah jengkelnya Shinta yang sedikit membuatku tersenyum.


Singkat cerita tak Terasa waktu untuk operasi telah tiba, ranjang yang aku gunakan untuk tidur mulai didorong untuk keluar ruangan menjuku ke tempat operasi, Shinta dan yang lainnya ikut mengantarku ke ruang operasi, disana aku mendengarkan kata dokter bahwa bius yang akan dilakukan hanyalah bius local saja, jadi kesadaranku masih ada, aku langsung menolak hal itu, dan meminta untuk bius total saja aku tidak mau melihat proses operasinya dan juju raku takut dengan operasi bedah ini adalah pertama kali dan ku harap menjadi satu satunya operasi yang aku jalani.


ariefdias
delet3
erman123
erman123 dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Tutup