thedreamcrusherAvatar border
TS
thedreamcrusher
#CatatanPerjalanan Sumpur Nagari Seribu Rumah Gadang


Perjalanan kali ini menuju salah satu Nagari yang indah dan terkenal di Sumatera Barat, Nagari ini mempunyai julukan seribu rumah gadang. Bagi yang tidak tahu, rumah gadang adalah rumah adat masyarakat minangkabau, yang memiliki ciri khas atap bergelombang, biliak, tiang, kudo-kudo, dan rumah gadang juga mempunyai berbagai macam jenis seperti:

1. Gonjong Ampek Baanjuang



2. Gonjong Anam



3. Gonjong Sibak Baju



4. Gajah Maharam



5. Gonjong Limo



6. Surambi Papek



7. Batingkek



Bepergian ke nagari sumpur guna untuk pembelajaran, dimana saya dan kawan-kawan seperkuliahan mengambil mata kuliah sosiologi gender dan dosen merekomendasikan untuk kuliah lapangan. Sebenarnya ada banyak opsi lokasi yang diberikan, namun melihat potensi yang ada di Nagari Sumpur, kami sepakat bahwa disana lebih menarik untuk dikunjungi, sekaligus membawa salah satu kawan dari Madura yang sedang melaksanakan pertukaran pelajar untuk bisa lebih mengenal adat budaya serta ikoniknya Nagari Minang.

Perjalanan dimulai pagi hari sekitar 6 pagi saya sudah bergegas menuju titik kumpul, betapa terkejutnya disana sudah ada dosen dan beberapa kawan yang sedari tadi sudah datang duluan. Setelah semuanya datang ada sekitar total 8 – 10 orang yang ikut kuliah lapangan ini, barulah kami berangkan sekitar jam 8 pagi, melewati batas kota dengan pemandangan yang elok dimata. Kebetulan saya satu mobil dengan pak dosen ini, yang cukup terkenal killer di kalangan mahasiswa jurusan saya. 

Tapi beliau memang punya segudang ilmu dan pengalaman yang membuatnya tahu nama-nama daerah di sumatera barat ataupun daerah diluar provinsi sumbar. Beliau bercerita itu semua memang karena pengalamannya selama menjadi mahasiswa hingga menjadi dosen berpergian ke suatu daerah untuk penelitian, jadi bukan hanya nama daerah tersebut yang diketahui tetapi adat, budaya, dan ikonik dari tempat yang ia singgahi tersebut sudah ada diluar kepalanya. 

Sepanjang jalan beliau punya sensitivitas ingatan yang kuat dari setiap daerah yang kami lewati, sangat beruntung karena menambah pengetahuan saya juga selama berpergian dengan beliau, Ia mengatakan bahwa bepergian tanpa tahu seperti apa dan bagaimana lokasi yang ingin dituju sangat merugikan, bisa saja melewatkan hal-hal menarik disana dan belum tentu kita akan kembali lagi ketempat itu dalam kurun waktu yang lama. Maka dari itu saya menyempatkan googlingmencari informasi dan berita seputar lokasi yang hendak dituju yaitu sumpur. Dan memang saja daerah ini terkenal akan wisata nya dengan jenis wisata budaya kampung Minang, bahkan Bapak Menteri Pariwisata Sandiaga Uno pernah memberikan penghargaan di sana sebagai Desa Wisata Terbaik tahun 2021


Penghargaan dari Menteri Pariwisata


Tak terasa perjalan sudah cukup panjang, kami beristirahat sebentar mencari sarapan di daerah Lubuk Aluang, Pak dosen kami sendiri yang menyarankan makan disana, karena ketika keluar kota, Ia memang sering sarapan disini, dan beruntungnya kami, beliau membayarkan semua makanan yang kami makan, jadi ada lah sedikit uang yang terhemat untuk bekal dua hari satu malam menginap.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati daerah Sicincin, Kayu Tanam, dan kemudian memasuki Kabupaten Tanah Datar yang dimana setelah itu munuju Kota Padang Panjang. Selama perjalanan berlangsung, tidak terlepas dari bercengkrama dengan Pak dosen, Ia juga adalah alumni di jurusan saya berkuliah saat ini, jadi saya dapat menanyakan kepada beliau baik seputar perkuliahan ataupun kegiatan-kegiatan kemahasiswaan. 

Setelah cerita panjang lebar, kami sudah memasuki kawasan kecamatan batipuh selatan yang merupakan kecamatan dari nagari sumpur, sekedar informasi bahwa sebutan nagari di sumatera barat setara dengan kelurahan yang ada di kota-kota, dan lebih kecil lagi seperti RW disebut Jorong/Korong.

Tak lama setelah melewati Kantor Camat Batipuh Selatan, kami langsung melesat menuju Nagari Sumpur dan lokasi pertama kami tuju adalah kantor wali nagarinya. Sepanjang perjalanan dapat terasa bahwa hujan baru saja singgah di tempat ini, yang mana masih menyisakan hawa dinginnya jalanan dan udara sekitar yang memberi bau khasnya hujan serta dilengkapi kesejukan. Ketika memasuki daerah Nagari Sumpur kita disambut dengan banyaknya pohon sawo, seolah memberi tanda bahwa kita sudah sampai di tempat tujuan.

Sesampainya di kantor wali nagari sumpur, kedatangan kami seolah memberi kejutan, karena memang kondisi kantor wali sedang runyam sebab akan ada rapat anggaran belanja desa untuk satu tahun kedepan, namun bapak wali nagari masih menyambut kami dengan hangat layaknya tamu diberi minum dan cemilan, lantas kami langsung menyampaikan maksud dan tujuan untuk datang ke nagari ini serta tak lupa dilengkapi oleh surat izin kampus yang menandakan bahwa kegiatan yang kami lakukan legal dan dapat dipertaggungjawabkan.

Setelah sedikit perbincangan dengan wali nagari, seorang pemuda paruh baya datang menemui kami, ia adalah ketua kelompok sadar wisata (Pokdarwis) desa wisata nagari sumpur. Beliau sudah dihubungi oleh dosen kami sekitar 3 hari yang lalu untuk mempersiapkan segala hal seperti tempat tinggal, makan, biaya, dan lain-lain. Ia langsung mengantarkan kami menuju penginapan agar bisa sedikit mengistirakatkan badan dan menurunkan barang bawaan, hingga tidak jauh dari kantor wali nagari sampailah kami di salah satu penginapan yaitu rumah gadang. 


Penginapan


Penginapan kami bukan sembarangan penginapan, seperti rumah atau villa biasa yang di tempati oleh wisatawan, ini adalah rumah adatnya masyarakat minang, dan ini juga kali pertamanya saya sendiri merasakan tidur di rumah gadang, melihat interior-interiornya dari dalam, mengeksplor bilik-bilik atau biasa disebut kamar.


Interior Rumah Gadang


Walaupun dari kecil saya lahir dan tumbuh di tanah minang, tetapi kehadiran rumah gadang sendiri sangat jarang ditemui di kota-kota, hanya beberapa tempat saja, dan itupun ada yang diperuntukkan sebagai museum, penginapan, dan ada juga yang terbengkalai karena keturunan keluarga tersebut sudah pergi merantau, sangat jarang saat ini ditemui peruntukkan rumah gadang sebagai rumah yang memang ditempati oleh banyak keluarga didalamnya sekaligus, ini juga sebagai efek dari kemajuan dzaman.

Bahwa rumah gadang dahulu sebagai rumah yang berfungsi untuk menampung keluarga besar, yang tinggal didalamya biasanya adalah ayah, ibu, anak, menantu, serta cucu. Dan karena di minang menganut sistem matrilineal, anak laki-laki yang sudah menikah biasanya akan tinggil dirumah keluarga istrinya, dan bagi yang masih lajang atau belum menikah akan tinggal di surau (mushola), sejarahnya adalah anak bujang di minang yang hidup di surau di harapkan dapat belajar nilai-nilai agama, nilai budaya seperti silat, randai, tambuah (alat musik tradisional minang), dan sekaligus bekerja, jadi mereka diharapkan dapat menimba ilmu secara langsung dan bersama-sama.
 
Berhubung jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, kami langsung bersiap untuk solat dan setelah itu bergegas mencari makan. Alangkah malangnya, nasi yang kami beli ternyata belum matang sepenuhnya atau disini biasa disebut badatuih, nasi yang masih keras dan kurang enak untuk dimakan. Alhasil mau tidak mau tetap harus dihabiskan karena perut lapar sudah tak tertahankan.


Mencari tempat makan siang


Makan siangpun selesai, dilanjutkan dengan berdiskusi mengenai langkah selanjutnya selama kuliah lapangan ini berlansung, agar kedatangan kami disini tidak menjadi tidak menjadi sia-sia, setidaknya ada satu atau dua pengetahuan baru yang bisa didapat. Topik diskusi yang ingin dicari yaitu bagaimana pembagian kerja baik secara domestik ataupun publik  dari keluarga para petani yang hidup disini, dan kriteria informannya adalah istri yang turut bekerja sebagai petani. 

Dari informasi yang kami dapat dari bapak wali nagari tadi, bahwasanya mayoritas penduduk mereka disini bekerja sebagai petani, dan ada juga yang nelayan karena daerah sumpur dekat dengan danau singkarak, tangkapan para nelayan itu biasanya ikan bilih (ikan bilis), karena ikan tersebut banyak ditemui di danau singkarak dan juga danau maninjau Sumatera Barat, serta ada juga yang berjualan atau mempunyai usaha bisnis sendiri, tetapi memang pada umumnya adalah petani.

Pak dosen memberikan kami arahan dalam menyusun metode pengumpulan data melalui wawancara yang tepat dan benar. Jadi wawancara yang dilakukan tidak ngasal dan menghasilkan informasi bermanfaat. Kami kemudian terbagi menjadi dua kelompok dan langsung bubar mencari informan. Kami kemudian bertanya-tanya ke penduduk sekitar dimana saja rumah yang keluarganya petani, setelah diberi tahu salah satu rumah petani yang pas untuk diwawancarai, kami datang kesana dan kemudian disambut oleh seorang anak perempuan, dan Ia mengatakan bahwa orang tuanya masih belum pulang, kemungkinan pulangnya setelah maghrib. 

Sehabis mendapatkan kabar tersebut, saya dan kawan-kawan kelompok langsung putar arah menuju penginapan, sekalian jalan-jalan kaki, menikmati indahnya pemandangan. Sebelum sampai di penginapan, kami melihat anak-anak sedang bermain volli, lantas jiwa muda yang setengah kelelahan ini memberontak ingin ikutan. Bermainlah kami dengan mereka, yang seharusnya datang menimba ilmu, malah bermain-main tanpa ragu.


Bermain Voli di Sore Hari


Adzan maghrib kemudian berkumandang, pertanda kami harus segera kembali ke penginapan, untuk solat dan bersih-bersih badan. Untuk rumah yang berskala luas, rasanya sepi sekali karena hanya di huni oleh 8 orang laki-laki saja, dan yang perempuan berada di penginapan sebelah bersama dengan ibuk-ibuk pengurus rumah tersebut. Setelah maghrib, kami kemudian bergegas kumpul kembali untuk segera menemui informan, karena takut nantinya tidak bisa ditemui lagi maka kami terpaksa tunda makan malam setelah wawancara selesai.


Ruang tidur laki-laki


Beruntungnya kami, ibuk yang kami cari dari tadi sore ternyata sudah dirumah dan menyambut kami untuk melakukan sesi wawancara, beliau sangat ramah memaparkan satu persatu jawabannya, ibuk tersebut juga bercerita bahwa hasil panen sekarang ini baik padi atau hasil kebun lainnya tidak seperti dulu, dulu keuntungan sangat tinggi dengan modal yang sedikit, sekarang modal yang dibutuhkan harganya semakin naik seperti bibit, biaya pengangkutan, upah buruh pekerja, biaya peralatan tani, dan lain-lain. 

Kemudian, yang menarik dari sesi wawancara ini adalah ibuk tersebut memberitahukan bahwa Ia bertani di lahan milik keluarga suaminya, jadi Ia bukanlah pemilik lahan tersebut malainkan hanya pekerja saja yang nantinya jika sudah panen akan diberi gaji oleh suaminya. Hal ini terjadi karena di Minangkabau lahan atau tanah yang disebut dengan tanah pusako tinggi, diwariskan turun temurun kepada anak kemenakan perempuan, secara kepemilikan tanah atau lahan tersebut adalah milik keluarga di pihak perempuan bukan laki-laki, karena laki-laki di Minang mempunyai budaya merantau untuk bekerja, sementara perempuan tinggal mengurusi rumah dan anak-anak. 

Maka dari itu untuk memberdayakan kaum perempuan Minang, mereka diberikan hak kepemilikan tanah kaum atau tanah pusako tinggi tersebut, hal ini sekaligus berguna untuk berjaga-jaga jika perempuan tadi ditinggal oleh suaminya, sehingga Ia masih punya sesuatu untuk membiayai anak-anaknya.

Informan kami juga tidak segan menunjukkan beberapa hasil panen kebunnya hari ini, seperti didalam suatu ruangan dirumahnya banyak tergantung bawang-bawang di dinding ataupun langit-langit rumah, guna untuk mengeringkannya.

Setelah selesai berbincang, kami pun berterimakasih dan balik ke penginapan untuk makan malam. Selesai makan malam, perbincangan babak dua dilanjutkan, mulailah beberapa kawan yang membahas isu-isu sosial hari ini dengan pak dosen, saya mengikuti perbincangan itu hanya sebentar karena mata sudah tak tertahan kantuk, terlebih lagi besok harus bangun pagi diskusi hasil wawancara dan tahap pembuatan analisisnya.

Pagi pun tiba, diantara yang lainnya saya bangun nomor dua, dan yang pertama jelas saja pak dosen yang sudah selesai dengan solat subuhnya. Saya pun turut menyusul solat subuh, dan setelah itu menyusul bangun salah seorang kawan. Karena baru hanya kami berdua yang terbangun, pak dosen pun mengajak mencari sarapan, sekaligus ia menceritakan sedikit banyaknya pengatahuan tentang nagari ini.


Jalan-jalan pagi melewati sungai


Mencari sarapan


Nagari ini adalah tanah kelahiran dari salah satu penulis terkenal yaitu Muhammad Radjab dengan bukunya Semasa Kecil di Kampung. Buku tersebut bercerita tentang pengalaman masa kecilnya di tanah Minangkabau tepatnya di Nagari Sumpur, buku ini terbagi menjadi 3 buah buku dengan topik yang berbeda-beda yaitu Semasa Kecil di Kampung 1 (Anak Danau Singkarak), Semasa Kecil di Kampung 2 (Mengaji di Pesantren), dan Semasa Kecil di Kampung 3 (Melawat ke Sulit Air).

Muhammad Radjab bukan hanya seorang penulis, tetapi ia juga seorang jurnalis, memulai karir tersebut dengan minat membacanya yang luar biasa sejak kecil. Minat membacanya yang tinggi tersebut membuatnya juga menguasai sejumlah bahasa asing seperti Jerman, Inggris, Belanda, Jepang, dan Perancis. 


Rumah Muhammad Radjab dahulu


Pada tahun 1934 ia mulai menulis untuk salah satu surat kabar di Kota Padang yaitu Harian Persamaan Padang, setelah itu karena merasa masih ingin terus berkembang dan hasrat untuk mendapatkan pengetahuan lebih, ia mulai merantau ke Jakarta atau Batavia. 

Pada saat itu ia masih aktif mengirim tulisan di surat kabar Persamaan Padang, hingga pada tahun 1935 Radjab pindah ke Bandung dan bekerja sebagai redaktur di majalah bulanan Persatuan Hidoep, kemudian bekerja di kantor berita Domei yang sebelumnya bernama Antara di bagian karangan, setelah lulus tes menerjemahkan berita bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

Selama masa pendudukan Jepang Radjab terus bekerja di Domei. Bahkan setelah Proklamasi, dan namanya kembali menjadi Antara, menerbitkan Indonesia Bulletin yang isinya diambil dari berita-berita Antara, hingga akhir hayatnya bekerja di kantor berita miliki pemerintah tersebut. Ia juga sempat berkelana kian kemari menulis buku-buku lainnya yang terkenal seperti Dongeng-dongeng Sulawesi Selatan, hasil perjalanannya ke provinsi itu, dan buku Perang Paderi yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1954.

Ia (Pak Dosen) juga menceritakan konflik yang ada di nagari ini dengan nagari sebelahnya, tak heran Ia begitu mahir mendapatkan informasi walau hanya satu hari berada disini, karena sore kemarin pada saat main voli, saya melihat beliau duduk disalah satu warung dengan para warga, dan juga ia menyempatkan datang ke salah satu pengepul buah sawo dekat penginapan.

Ia juga bercerita bahwa masyarakat disini tidak menyebutnya dengan buah sawo, tetapi manila, yap betul ibu kota dari negara Filipina. Sejarahnya dahalu pada tahun 1812, bibit sawo yang dikirim oleh pemerintah kolonial dari Filipina diarahkan untuk ditanam di wilayah Sumpur, melewati Bukittinggi, Singkarak, dan akhirnya sampai di Sumpur. 

Di Sumpur, Pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan penduduk setempat untuk menanam sawo di halaman rumah mereka, dengan hasil panen harus disetor kepada Belanda. Tujuan utama dari inisiatif ini adalah untuk menyediakan pasokan nutrisi bagi penduduk Belanda, termasuk anggota tentaranya. Kedatangan bibit ini dan tujuannya menandai bahwa buah sawo, yang memiliki warna coklat, menjadi bagian dari konsumsi kelas elit pada masa penjajahan. Maka dari itu sebutan buah sawo terkhusus di daerah Padang Panjang adalah Manila, walaupun di daerah lain Sumatera Barat ada juga yang menyebutnya dengan buah saus.

Setelah sarapan, berkumpul sebentar membahas hasil temuan yang nantinya akan dikumpulkan dalam bentuk artikel jurnal. Pak dosen juga menyampaikan rasa terimakasih dan maaf sebagai penutup dari mata kuliah ini, beliau adalah salah satu dosen yang saya kagumi dari segi pemikiran dan cara mengajarnya yang serius dalam memberikan ilmu, walaupun memang sebagian mahasiswa kurang suka karena sifatnya yang perfeksionis, namun tentu semua itu mempunyai tujuan, Ia hanya ingin mahasiswa yang didiknya mempunyai cara yang sama dengannya dalam memaknai sebuah fenomena sosial, membongkar suatu hal yang sudah mapan, mengetahui sesuatu dibalik kenyataan.

Setelah beberapa kata penutup dari pak dosen mengenai mata kuliah ini, kami lantas bersegera mengemas barang bawaan untuk bersiap pulang. Tak lupa beberapa jepretan foto dilakukan bersama, mengingat momen seperti ini tidak akan ada yang kedua kalinya. Kami kemudian berpamitan dengan pemilik rumah dan juga ketua Pokdarwis yang sudah melayani kami selama menginap disini.

Perjalanan pulang begitu cerah, tidak seperti waktu kedatangan yang disambut oleh dinginnya hawa hujan, sehingga sekarang kami dapat singgah sejenak melewati dan melihat keindahan danau singkarak. Untuk mengisi kekosongan selama perjalanan saya kembali membuka obrolan dengan pak dosen, seputar segala hal terutama mengenai sejarah nagari, pengalaman-pengalaman beliau semasa menempuh pendidikan, terkait tugas akhir, dan lain sebagainya berupa sebuah saran serta nasihat kepada saya dan kawan-kawan. 

Cengkrama kami semakin larut dan sampai akhir nya lelah sudah tak tertahan, sebagian dari kawan-kawan mulai tertidur, sementara saya yang berada disebelah pak dosen menahan kantuk dengan sesekali bertanya membuka obrolan kecil, karena segan meninggalkan beliau sendirian dalam keheningan. Setelah itu kami sampai di titik kumpul untuk kemudian menyebar pulang ke rumah masing-masing.

Perjalanan ini luar biasa berdampak bagi diri saya sendiri, bahwa dimanapun kita berada ketahui terlebih dahulu tempat yang hendak dituju, serta bangun komunikasi baik dengan masyarakat sekitar untuk mendapatkan informasi-informasi yang bermanfaat dan dapat menguntungkan kita di kemudian hari nantinya. Suatu perjalanan yang teramat berkesan selama perkuliahan


Bermalam di Sumpur

bukhorigan
bagasdiamara269
bagasdiamara269 dan bukhorigan memberi reputasi
2
73
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
jalu_79Avatar border
jalu_79
#1
Lai Rancak bana ko.... Lanjut gann
thedreamcrusher
thedreamcrusher memberi reputasi
1
Tutup