Sumber Gambar

Sebuah video yang viral di media sosial menunjukkan aksi seorang relawan dan simpatisan dari pasangan calon presiden Ganjar-Mahfud yang sangat kecewa karena hanya diberi uang sebesar Rp10 ribu setelah mengikuti kampanye akbar. Dalam video tersebut, relawan tersebut membandingkan bahwa pasangan calon presiden Prabowo memberikan uang sebesar Rp50 ribu kepada para relawannya.

Relawan tersebut merasa kecewa dan menyebut bahwa pemberian uang tersebut tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Mereka seharusnya mendapatkan uang transportasi dan konsumsi sebesar Rp50 ribu per orang, namun kenyataannya hanya diberi Rp10 ribu. Relawan tersebut mengeluhkan bahwa mereka telah menghabiskan waktu mulai dari pagi hingga sore untuk ikut kampanye, namun nilai yang diberikan sangat tidak memadai.

Saat ditanyai mengenai hal tersebut, Ketua Tim Pemenangan Daerah (TPD) Ganjar-Mahfud Provinsi Sulsel, dr Udin Sahputra Malik memberikan penjelasan bahwa pemberian uang sebesar Rp10 ribu merupakan pengganti uang transportasi. Namun, penjelasan tersebut tidak dapat menghentikan kekecewaan relawan tersebut.

Kekecewaan relawan dan simpatisan Ganjar-Mahfud ini menunjukkan pentingnya pengelolaan dan distribusi dana kampanye yang tepat. Dana kampanye yang mencukupi dan transparan menjadi hal yang sangat penting agar relawan dan simpatisan tetap termotivasi untuk berpartisipasi dalam kampanye. Jika dana yang diberikan tidak sesuai dengan harapan atau tidak cukup, hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan pada pasangan calon yang mereka dukung.


Sumber Gambar

Hal ini juga menunjukkan perlunya adanya kesepakatan yang jelas antara pasangan calon dan relawan mengenai pemberian uang transportasi dan konsumsi. Kesepakatan ini harus dijaga agar tidak terjadi ketidakpuasan dan konflik yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Dalam praktiknya, kampanye politik sering kali membutuhkan dana yang besar. Belanja untuk iklan, pernak-pernik kampanye, dan biaya operasional lainnya dapat mencapai miliaran rupiah. Beban finansial ini menimpa partai politik dan para calon wakil rakyat, terutama jika mereka ingin melakukan kampanye yang masif untuk meningkatkan elektabilitas mereka.

Namun, pertanyaannya adalah apakah seharusnya kampanye dibayar? Apakah ini mencerminkan praktek yang sehat dalam demokrasi?

Di satu sisi, ada pendapat yang menyatakan bahwa pembayaran untuk kampanye dapat memberikan keadilan bagi semua peserta Pemilu. Dengan membayar kampanye, partai politik dan calon wakil rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh dukungan dan suara dari masyarakat. Ini juga dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana kampanye, karena partai politik dan calon wakil rakyat harus melaporkan pengeluaran mereka.

Namun, di sisi lain, praktik pembayaran untuk kampanye politik juga membawa risiko korupsi dan politik uang. Pada kenyataannya, praktik politik uang sering kali masih terjadi dalam proses Pemilu kita. Terlebih lagi, jika pembayaran untuk kampanye semakin tinggi, hal ini dapat memperkuat keberadaan "cukong" dalam dunia politik. Para calon wakil rakyat dapat menjadi tergoda untuk melakukan kebijakan yang menguntungkan "cukong" mereka jika mereka mendapatkan dukungan finansial.


Sumber Gambar

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mencari solusi yang dapat menjaga prinsip-prinsip demokrasi sekaligus mengurangi risiko korupsi dalam proses Pemilu. Pengaturan pembatasan belanja kampanye yang jelas perlu dibuat, dengan pengawasan yang ketat agar partai politik dan calon wakil rakyat tidak berlebihan dalam menghabiskan dana kampanye. Sanksi yang tegas juga perlu diterapkan bagi mereka yang melanggar aturan tersebut.

Sebagai simpatisan atau relawan, perlu diingat bahwa dukungan dan partisipasi dalam kampanye adalah sebuah bentuk pengabdian tanpa pamrih. Namun, tetap penting bagi pasangan calon untuk memperhatikan dan menghargai kontribusi yang diberikan oleh relawan dan simpatisan.


Sumber: Sumber Gambar