Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

Ā© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

enyahernawatiAvatar border
TS
enyahernawati
Pesona Desa Adat Suku Sasak Sade, di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat



Rumah Adat Suku Sasak

Assalamualaikum Sahabat Kaskuser semuanya. Hai, hai, hai, jumpa lagi, ya, dengan Enya di cerita jalan-jalan dalam negeri, mengeksplor negara sendiri. Masih tentang Nusa Tenggara Barat.

Bercerita tentang Nusa Tenggara Barat, rasa-rasanya tak afdal, ya, jika kita tak mengulik Pulau Lombok, yang menjadi pintu masuk jika kita ingin ke NTB.

Kemarin-kemarin, Enya sudah menulis beberapa episode tentang wisata di Pulau Sumbawa, khususnya Kabupaten Sumbawa Barat. Dan baru kali inilah Enya menulis tentang Pulau Lombok, padahal, sebagai pintu masuk, sudah berulang kali Enya mampir di sini. Namun ....

Terkini, yang menjadi pusat mata wisatawan, tentu saja Mandalika dengan sirkuit balapnya, yang kata orang adalah sirkuit dengan pemandangan pantai paling indah sedunia. Sudah beberapa kali event balap internasional diadakan di sana. Tentu saja berimbas juga pada ketenaran Pulau Lombok sebagai destinasi wisata. Tul gak?



Namun, cerita Enya kali ini akan sedikit berbeda, karena Enya tidak bercerita tentang kisah jalan-jalan yang ke sana ke mari itu. Akan tetapi, Enya akan mengupas sesuatu yang dari dulu sudah membuat hati Enya sangat penasaran, yakni tentang tradisi dan keunikan budaya penduduk asli pulau ini.

Bersyukur akhirnya Enya mendapat kesempatan itu, berkunjung ke Desa Sade, desa Suku Sasak, penduduk asli Pulau Lombok ini.



***EHZ***

Mendengar kata budaya, sering kali membuat telinga Enya berdiri karena rasa ingin tahu. Karena jujur, dulu, Enya enggak begitu hirau akan hal itu. Mengganggap semua adalah hal biasa karena kita sering berpikir, ah, sudah ada orang lain ini yang akan mengerjakan atau melestarikannya.

Jadi, ya, begitu deh! Enya sering merasa enggak begitu penting untuk tahu. Anak muda, buat apa sih, peduli-peduli amat dengan adat-istiadat dan segala macam tradisinya? Enggak keren banget, 'kan?

Memang, bagi sebagian anak muda saat itu, termasuk Enya, yang keren itu mah, bisa cas cis cus English, Bahasa Mandarin, dance, and so on-lah. Lebih kurangnya, begitu dah, pemikiran Enya pada masa itu. Eh, tapi, gen Z, semoga enggak seperti itulah, ya ....

Akan tetapi ternyata, Enya kemudian merasa sangat kecele, malu hati sekali, ketika di suatu waktu, saat Enya libur SMA, jalan-jalan ke Danau Maninjau di Agam, Sumatera Barat, dan bertemu serta berteman dengan bule asal Eropa yang juga sedang berlibur kuliah di sana. Doi banyak bertanya tentang tradisi dan budaya Minangkabau yang Enya anggap enggak penting tadi.

Asli, malu beud saat dia bilang, "Kamu kok enggak tau, sih, tentang hal itu? Tentang budaya kamu. Asal!"

Etdah. Gimana enggak malu besar kitanya, kalau ternyata doi yang bertanya, padahal dia orang asing, eh, ternyata lebih paham daripada kita yang penduduk asli, yang seharusnya lebih punya wawasan tentang budayanya sendiri. Malu banget, kan .... Ihiks-ihiks-ihiks.

Nah, gimana bisa kita menjadi teman cas cis cus si bule kalau kita aja gak mengerti tentang yang dia tanya. Gak nyambung. Padahal, dia saja datang ke negara kita karena tertarik dengan budayanya, eh, kita, anak muda bangsa, yang diharapkan bakal bisa menjadi corong untuk mempromosikan adat-istiadat dan keunikan negeri sendiri, malah enggak tahu apa-apa. Kumaha, ye, kalau begitu?

Sejak saat itulah, Enya mulai mencari tahu meski tetap masih setengah hati. Yang penting tahu, walau sedikit, ha-ha-ha. Eits! Ini jangan ditiru, ya.

Karena, waktu Enya mendapat rezeki melanglang buana, terutama ketika go international, hal yang paling banyak ditanya orang luar, orang sono, bukanlah tentang diri kita pribadi. Akan tetapi, kebanyakan mereka malah bertanya tentang negara kita; tentang bagaimana keindahan alamnya, bagaimana kebiasaan orang-orangnya, adat-istiadatnya, budaya, dan segala keunikan lain yang ada di negeri kita. Nah, kecele lagi kan kitanya? Ihiks lagi dah, kalau begitu! Huwaaa ....

Yuk, ah, Enya! Kebanyakan preambule, nih. Kapan mau dimulai pengenalan budayanya? Wk-wk-wk.

***EHZ***

Sahabat Kaskuser, mohon maaf dulu, ya, he-he-he. Meski Enya asli Minangkabau, tetapi kali ini Enya enggak bercerita tentang kampung Enya, apalagi tentang Rumah Gadang. Kali ini Enya akan bercerita tentang rumah adat daerah lain yang menurut Enya sangat unik karena masih dihuni dan terpelihara hingga saat ini.

Sering bepergian dan melihat banyak tempat, membuat Enya menjadi semakin tertarik dengan tradisi negeri kita, nusantara tercinta.

Jujur, saat kita tinggal di luar negeri, di rumah orang, lagu "Tanah Airku" karya Ibu Sud, sukses besar membuat kita menangis bombay, tersedu sedan karena rindu, meski hujan emasnya ada di negeri orang itu. Namun, entah kenapa, kok, ya, hujan batu di negeri sendiri yang katanya bisa bikin kepala benjol, hi-hi-hi, tetap saja selalu berhasil bikin hati merasa nelangsa saking kangennya. Gelabah dengan segala suka dukanya.

Itulah yang pernah Enya rasakan. Dan sepertinya, hal itu jugalah yang dirasakan oleh teman-teman diaspora lainnya. Tanya deh, kalau enggak percaya. Weee .... he-he.

Eh, ternyata, Enya masih ngelantur aja, ya. Yuk ah, kita lanjut!

Kali ini, seperti yang Enya bilang tadi, karena Enya sangat tertarik dengan segala sesuatu yang berbau-bau tradisi, maka Enya pun akan mencoba mengenalkan salah satu budaya dari negeri ini, tentang rumah adat Suku Sasak, salah satu suku asli di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Berdasarkan beberapa informasi yang Enya dapat dari penduduk lokal, rumah adat Suku Sasak ini bisa kita temukan di daerah Sembalun, kaki Gunung Rinjani, Lombok Timur, dan juga di Kampung Sade, Lombok Tengah.

Sayang, rumah adat di daerah Sembalun banyak yang rusak dimakan usia. Katanya karena sudah lama tidak dihuni. Otomatis, sudah tidak ada tangan-tangan lagi yang merawatnya. Duuuh, sayang sekali, ya ....

Sementara, rumah adat yang di Kampung Sade masih tetap lestari, menjadi hunian, bahkan juga menjadi salah satu tujuan wisata yang terkenal karena keunikannya. Masyaallah.






Oh ya, kita pasti pernah mendengar bahwa leluhur kita dahulu adalah orang-orang cerdas yang memiliki filosofi dan falsafah sendiri ketika membangun rumah. Entah karena faktor alam, faktor religius, atau pun karena faktor-faktor lainnya.

Sebagaimana kita tahu, rumah-rumah di pesisir akan berbeda bentuk dengan rumah-rumah yang ada di pedalaman. Begitu pula dengan rumah-rumah yang ada di ladang. Pasti akan berbeda pula karakteristiknya. Karena itulah rumah-rumah adat yang ada di negara kita--yang sekarang sudah memiliki 38 provinsi ini--beraneka ragam pula struktur dan bentuk bangunannya.

Dan itu benar, terbukti ketika kami berkunjung ke Desa Sade dan melihat langsung dari dekat kehidupan penduduknya yang masih sangat melestarikan tradisi dari nenek moyang mereka. Baik dari bentuk rumah aslinya, termasuk juga budayanya.




Salah satu budaya unik Suku Sasak dalam perkimpoian adalah Merariq; kimpoi lari atau kimpoi culik. Yaitu suatu tradisi di mana seorang laki-laki harus melarikan atau menculik si gadis calon pengantin terlebih dahulu sebelum melakukan ritual pernikahan. Dan hal tersebut dilakukan berdasarkan aturan main yang telah disepakati bersama melalui lembaga adat. TUGU POHON CINTA adalah tempat pasangan pengantin tersebut melakukan temu janji sebelum melarikan diri.

Spoiler for Tugu Pohon Cinta:


***EHZ***

Ketika kami tiba di Kampung Sade, begitu turun dari kendaraan, kami langsung disambut dan ditemani oleh salah seorang penduduk yang kemudian menjadi guide, menjelaskan tentang adat dan budaya suku mereka. Jangan lupa mengisi buku tamu dulu ya, sebelum masuk.

Serunya, hampir semua rumah memiliki alat tenun. Kita pun bisa melihat kaum ibu yang sedang menenun, yang hasil tenunannya langsung dijual di tempat; berupa baju, kain, selimut, kopiah, tas, dan masih banyak lagi cenderamata lainnya.





***EHZ***

Rumah Adat Suku Sasak

Bentuk rumah adat Suku Sasak merupakan ekspresi masyarakat Sasak dalam hal bangunan tempat tinggal dan tempat menyimpan bahan makanan.

Dalam bahasa Sasak, rumah disebut juga bale, yakni institusi sosial terkecil alias rumah tangga atau balelanggaq.

Bale ini dibangun tidak hanya menurut pembangunan fisik semata, tetapi juga dengan mempertimbangkan aspek non fisik, baik nilai sosial, tradisi, maupun spiritual sehingga suatu perkampungan itu bisa menjadi satu kesatuan alam dan budaya.

Sebagai sistem sosial yang ditata dengan sistem adat, maka bale pun memiliki norma-norma dalam pembagian ruang-ruangnya.

~ Bale Dalem; merupakan ruang sakral yang hanya bisa diakses oleh orang tua.
~ Dalem Bale; ruang pribadi, yang hanya boleh dimasuki oleh anggota keluarga dan kerabat dekat saja.
~ Ampik/sesangkok/teras; yang merupakan ruang semi publik, menjadi pembatas akses balelanggaq dengan orang luar sesuai adat.

Selain itu, rumah tradisional Suku Sasak juga memberi ruang khusus pada aspek spiritual, penyimpanan pusaka leluhur, dan juga tempat untuk kaum perempuan.

Dari pembagian ruang-ruang tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Suku Sasak telah memberikan ruang-ruang penting, salah satunya pemuliaan kepada kaum perempuan.

Secara teknis, balelanggaq ini juga dilengkapi dengan peranti untuk dunia orang tua, anak, laki-laki dan perempuan. Misal; pawon (perangkat dapur) dan nyesek (perangkat menenun) yang merupakan peranti untuk kaum perempuan. Sedangkan perangkat kandang (bare), bajak (tenggale), pertukangan, dan menganyam adalah peranti untuk laki-laki.

Pemukiman Suku Sasak ini juga bersifat terbuka bagi siapa saja yang ingin datang walaupun pemukimannya dikelilingi pagar yang rapat dan hanya memiliki satu pintu.

Oh ya, salah satu peninggalan lama di Suku Sasak ini adalah penggunaan batu menhir sebagai tanda untuk menetapkan suatu pemukiman. Peninggalan ini kata guidenya berasal dari tradisi Austronesia.






Yuk, lanjut lagi cerita tentang rumah adat Sasak .....

Secara umum, pola rumah adat Suku Sasak terdiri dari tiga konsep:

1. Bangunan dengan konsep gabungan; yakni antara gundukan, struktur tiang, dan balok. Dalam hal ini, lantai langsung menyentuh tanah. Umumnya dipakai oleh keluarga petani.

Konsep nomor 1 ini menetapkan bahwa pondasi rumah tidak boleh lebih tinggi dari pondasi masjid yang ada di perkampungan.

2. Konsep bangunan berupa struktur tiang dan balok, yang berupa rumah panggung. Dalam hal ini, lantai rumah tidak menyentuh tanah. Biasanya rumah adat seperti ini ditemukan di daerah pesisir--rumah nelayan.

3. Bangunan berupa struktur tiang dan balok yang di daerah pedalaman. Biasanya rumah ini dipakai oleh para peladang.

Selain dari tiga konsep di atas, ada juga konsep rumah tertentu yang diperuntukkan bagi suatu kalangan seperti; Bale Bonter untuk kelompok menengah dan Bale Gunungrate untuk kelompok bangsawan, para pemimpin masyarakat, atau mereka-mereka yang memiliki fungsi serta jabatan di dalam struktur masyarakat.



***EHZ***

Beberapa tipe rumah atau bale Suku Sasak;

1. Bale Tajuk
Hunian ini dibangun dengan konsep rumah tinggal yang paling sederhana, baik dalam bentuk, struktur, maupun dalam hal ukuran dan bahannya.

Bale ini dibuat dari bambu atau kayu bundar. Anyaman dinding dan pintu dorongnya (lawang gonsor) juga dari bambu. Sementara atapnya dari jerami, bahkan ada juga yang dibuat dari daun tebu atau daun kelapa (gobok). Atap bale tajuk biasanya berbentuk limas.

Pembagian ruang pada bale ini hanya;
1. DALEM BALE, yang digunakan sebagai tempat tidur anak perempuan dan istri, juga sebagai tempat penyimpanan barang berharga.
2. SESANGKOK, yang digunakan sebagai tempat kerja, sekaligus sebagai ruang tidur bagi laki-laki.

Di sini, kaum laki-laki tidak boleh tidur di dalem bale. Selain karena terbatasnya ruang, mereka juga harus bertanggung jawab dan bertugas untuk menjaga keamanan jiwa dan harta benda seluruh penghuninya.

Jika ada kegiatan lain atau untuk menerima tamu, maka bagi yang mampu secara ekonomi akan membuat satu bangunan kecil lagi berupa BERUGAK atau gazebo; yakni bangunan sederhana, semi publik, dan bertiang empat.

Oh ya, rumah Bale Tajuk ini biasanya bersifat sementara saja karena penghuni tidak ingin repot dengan konsep dan ritual dalam membangun rumah.

2. Bale Tani atau Bale Jamaq
Pola bangunan ini umumnya banyak ditemukan di lereng bukit, dibangun menyesuaikan kontur alam dengan atap bagian samping hampir menyentuh tanah. Berdasarkan penamaan tersebut, Bale Tani ini merujuk pada rumah untuk petani, sedangkan Bale Jamaq, rumah untuk masyarakat biasa.

Kerangka atap untuk rumah Bale Tani atau Bale Jamaq ini dibuat lebih tinggi agar bisa berfungsi membentuk ruang. Karena, pada umumnya dinding Bale Tani ini rata-rata rendah, sekitar dua meter saja. Sementara itu, lantai (betaran) bagian dalem bale dibuat lebih tinggi dari sesangkok atau ampik (teras).

Walaupun dengan bentuk dan bahan-bahan yang sangat sederhana, Bale Tani ini sudah memiliki struktur lengkap sebagai hunian, yang memiliki tiga pembagian ruang tadi; bale dalem, dalem bale, dan ampik atau sesangkok.

Oh ya, berugak, selain untuk melakukan aneka kegiatan, biasanya juga digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu.





Berbeda dengan Bale Tajuk tadi. Salah satu upaya pada Bale Tani atau Bale Jamaq untuk menjaga keamanan rumahnya adalah dengan meletakkan seserung atau ranting-ranting bambu di bagian belakang rumah.

Tujuannya adalah; supaya jika ada orang yang menginjak ranting-ranting tersebut, ranting-rantingnya akan berisik sehingga bisa membangunkan si empunya rumah. Hal ini tentu perlu, terutama ketika ada orang yang berniat buruk.

3. Bale Bonter
Bale Bonter merupakan hunian untuk warga yang memiliki fungsi dan status sosial di masyarakat seperti; penghulu, kyai, kepala desa, dan para bangsawan.

Tentu saja bangunan yang dibuat lebih kokoh, berwibawa, dan tidak lagi menggunakan bambu untuk tiangnya, tetapi sudah menggunakan balok kayu. Dindingnya pun ada yang memakai batu bata. Pintunya sudah memiliki ukiran-ukiran. Pondasi Bale Bonter dibangun agak tinggi sehingga membutuhkan anak tangga atau undak-undakan dari tanah untuk naik ke rumah.

4. Bale Gunungrata
Tidak berbeda jauh dengan Bale Bonter, baik bahan ataupun kontruksinya. Perbedaannya hanya pada bentuk atap, yang pada umumnya dihiasi ukiran.

Bangunan ini memiliki tembok pekarangan sehingga setiap orang yang ingin masuk harus menjaga sikap dengan adanya pintu gerbang sebelum menuju pekarangan.

5. Bale Mangina
Bale Mangina adalah hunian masyarakat di kawasan 'daya' (pusat dunia atas) yang biasa ditemukan di daerah Sembalun, kaki Gunung Rinjani. Dibangun dengan konsep vertikal, yakni rumah tinggal yang dirancang untuk keperluan ritual adat dan keagamaan sesuai dengan kapasitas dan status pemiliknya.

6. Bale Balaq
Bale Balaq ini dibangun dengan pola rumah mengikuti faktor lingkungan alam. Dibangun dengan struktur tiang dan balok, ada juga yang ditambah dengan pondasi batu pada tiang-tiangnya.

Biasanya, Bale Balaq ini dibangun oleh masyarakat yang tinggal di pesisir dan di daerah yang rawan banjir. Untuk kawasan ini, pondasi tidak menggunakan tanah karena pondasi tersebut mudah terkikis oleh air pasang ataupun banjir.

Bale Balaq ini juga dibangun untuk penduduk yang berada di daerah kebun, ladang, atau hutan. Biasanya bangunannya berkaitan dengan binatang yang hidup di sekitarnya.

Struktur ataupun pembagian ruang Bale Balaq yang ada di pesisir, berbeda dengan Bale Balaq yang ada di ladang, kebun, atau hutan.

Bale Balaq yang ada di pesisir biasanya bertiang 6 atau 8, dengan atap berbentuk gudangan. Sedangkan atap Bale Balaq di daerah pedalaman berbentuk limasan.

Untuk pembagian ruang, Bale Balaq di daerah pesisir jauh lebih bebas dalam menggunakan pola ruang huniannya.

***EHZ***

Nah, selesai sudah tulisan Enya tentang arsitektur rumah adat Suku Sasak yang Enya lihat. Yang penting, kita jadi tahu sedikitlah, ya. Atau kalau bisa, jika ada rezeki dan kesempatan, langsung saja kita berkunjung, melihat dari dekat rumah aslinya di perkampungan Suku Sasak di Sade ini.

Oh ya, garis besar penjelasan tentang rumah adat Suku Sasak tersebut Enya sempurnakan dengan merangkumnya dari buku "Membaca Arsitektur Sasak" karya H. L. Agus Fathurrahman.




Sesaat sebelum pulang, kami pun diajak menikmati jamuan kopi sore di rumah guide yang menemani kami. Kata sahabat kami--orang asli Lombok--yang juga ikut menemani kami berkeliling Kampung Sade, ajakan minum kopi di rumah mereka itu menunjukkan kebahagiaan mereka atas kedatangan kami. MasyaAllah ....

Kendari, Sulawesi Tenggara, 22 Desember 2023

***EHZ***

Catatan:
Semua foto adalah pic pribadi.

Btw, jangan lupa mampir di thread jalan-jalan Enya yang lain, ya. Wassalam, ciayo ....
Diubah oleh enyahernawati 28-12-2023 13:08
trifatoyah
rxranger
rxranger dan trifatoyah memberi reputasi
2
802
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
trifatoyahAvatar border
trifatoyah
#5
Masya Allah, keren bangetšŸ„°
enyahernawati
enyahernawati memberi reputasi
1
Tutup