- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 01:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
24.9K
Kutip
308
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
benbela
#224
Quote:
Bab 21 : Bawi Nyaring
Braaak…!
Pak Wardoyo tersungkur bersimbah darah. Pinggangnya robek dengan luka mengangga. Ia menjerit kesakitan lalu terguling ke sungai. Ternyata Galih telah datang dengan sebuah mandau. Ia mengibas mandau ke sana kemari membuat yang lain gelabakan.
“Dibyo, lari!!!”
Galih menarik lenganku, kami berdua lantas berlompatan di atas batu, meninggalkan mereka yang terbengong di belakang. Sesampainya di pinggir sungai, kami berdua berlari sekencangnya hingga keringat membasahi tubuh.
Otakku masih bingung dengan apa yang terjadi, tapi aku tahu mengikuti Galih adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri. Beberapa kali aku terjungkal karena hanya mengandalkan headlamp yang terpasang di kepala Galih sebagai penerang. Anehnya, sedari tadi kami berlari tapi rasanya hanya berputar-putar di situ saja.
“Galih, tunggu! kenapa kita kembali lagi ke pohon ini?”
Galih menghentikan langkah lalu menyorotkan headlamp ke sekitar. Ia terperanjat tak percaya. Kami kembali berlari sekali lagi, tapi lagi-lagi kembali ke titik semula. Saat itu jantungku sudah tak mampu lagi memompa darah ke seluruh tubuh. Kaki juga sudah tak bisa digerakkan karena ototnya menegang.
Aku duduk tersungkur, tak kupedulikan keadaanku yang seperti orang gila. Galih juga sepertinya sudah kelelahan. Tubuhnya basah oleh peluh dan napasnya ngos-ngosan. Ia meringis lantaran perban yang membalut lengan kanannya mengeluarkan darah. Sumpah serapah keluar dari mulutnya, memaki mina Kurik dengan umpatan kotor.
“Sialan! Mina Kurik sialan! Pasti dukun sial itu yang memantrai hutan ini!”
Aku hanya mematung menyaksikan Galih meluapkan amarah. Setelah kelelahan, ia akhirnya duduk di sampingku. Ia terlihat putus asa dengan tatapan kosong.
“Kita menunggu dulu hingga hari terang. Mantra dukun itu akan lenyap saat matahari terbit. Kalau mereka muncul, maka dengan terpaksa kita haru membunuh mereka,” ujar Galih sembari mengatur napas.
“Apa yang terjadi Lih? Kenapa mereka ingin mengurbankan aku sebagai pengganti Retno? Kenapa kau bisa tahu? Aku…aku…”
Aku tak sanggup lagi berucap sedangkan Galih hanya bergeming. Aku menatap Galih, meminta penjelasan. Ia menunduk dengan suara terputus-putus.
“Kau ingat kenapa aku menghilang sewaktu kita aktif di UKM dulu?”
Aku mengernyitkan dahi. Galih sepertinya mulai meracau tak jelas.
“Bukannya kau harus kerja sampingan demi biaya kuliahmu? Apa hubungannya dengan semua ini?”
Galih menggeleng lalu menatapku.
“Karena kita menyukai wanita yang sama.”
Aku kaget bukan kepalang. Ucapan Galih barusan bagaikan petir di siang bolong. Rasanya jantungku berhenti berdetak mengetahui Galih menyukai Retno.
“Lalu, apa hubungannya dengan semua ini?” desakku.
Galih bungkam. Ia menatap kosong ke salah satu pohon besar yang ada di hadapan kami. Setelah saling diam beberapa saat, aku akhirnya mengerti apa yang telah terjadi selama ini.
“Ka-kau yang memberitahu Retno aku selingkuh? Kenapa Lih? Kau tahu bahwa kami akan menikah sebentar lagi. Kenapa kau hancurkan hidupku Lih? Kau sudah kuanggap saudara, kenapa kau setega itu?”
Aku mencengkeram kerah baju Galih, kuguncang sekuatnya. Galih menepis cengkramanku lalu balas melotot.
“Lelaki bajingan sepertimu tak pantas untuk Retno!” jeritnya.
“Lalu, kau yang pantas?! Hah?!”
Buuk…!
Aku hempas dengan bibir pecah. Galih meninju pipiku teramat keras. Aku terbatuk, lalu menyeka darah yang keluar dari hidung dan bibir. Aku lantas tertawa. Tertawa getir.
“Ternyata kau yang mengirimkan panglarangan untuk Retno. Kau yang mengikat rohnya di tanah ini karena ia menolak cintamu, iya kan?!”
Hening.
Galih enggan buka suara tapi aku tahu apa yang telah ia lakukan. Ia yang membantu Retno kabur ke Kalimantan dan membantunya mendapatkan pekerjaan. Namun, rencananya berantakan. Retno yang masih kecewa akibat ulah lelaki sepertiku, menolak cinta Galih. Galih yang merasa pengorbanannya sia-sia berbuat nekat. Ia mendatangi dukun untuk membalas sakit hati kepada Retno.
“Tapi, kenapa kau bunuh tambi Bahau. Kau membakar dukun malang itu bersama pondoknya. Kenapa?”
“Ia menjebakku!” sahut Galih berapi-api.
“Gara-gara ulahnya, aku pun tak bisa pulang ke Jawa. Aku bahkan tak bisa menguburkan ayahku karena terjebak di sini. Rupanya dukun sialan itu tak hanya mengikat roh Retno, tapi juga rohku. Kukira dengan membunuhnya akan melepas semua mantra itu. Namun, ia justru membawa mantra panglarangan itu ke alam kubur,” lanjut Galih.
Aku menghela napas, membetulkan posisi duduk.
“Kenapa kau selamatkan aku? Kenapa tak kau biakan saja mereka menjadikan aku sebagai pengganti roh Retno di alam arwah?”
Galik menggeleng.
“Bagaimana pun juga, aku banyak utang budi padamu dan orang tuamu selama kuliah dulu. Lagi pula, jangan sampai pertemanan kita dirusak oleh seorang wanita. Andaikan aku tahu kontak pak Wardoyo dan bu Lastri, aku takkan pernah menghubungimu.
Aku berharap mereka tewas kecelakaan, tapi rupanya mereka berhasil selamat. Seharusnya Retno tewas karena kebanyakan memakan daging mayat, tapi dukun sialan itu ikut campur membuat semua berantakan,” terang Galih dengan nada datar.
“Dan kau sengaja pura-pura tertidur agar kita kemalaman membawa Retno ke tempat Ilham. Kau juga yang memotong tali haduk itu agar ia mengamuk. Kau licik, Galih!” hardikku penuh emosi.
“Dibyo, buka matamu! Hanya aku yang peduli padamu saat ini. Mereka bahkan ingin menumbalkanmu untuk menyelamatkan Retno!”
Kali ini aku yang terdiam. Aku tak tahu lagi harus menentukan sikap, entah mendukung Galih atau orang tuanya Retno. Meski hati kecilku mengutuk perbuatan Galih, tapi hanya dia yang saat ini bisa membawaku lepas dari kematian.
“Lalu, apa rencanamu setelah ini?”
“Kupikirkan nanti. Yang penting kau selekasnya pergi dari sini dan segera kembali ke Jawa. Aku tak ingin melibatkanmu terlalu jauh. Selanjutnya biar jadi urusanku. Kita harus menunggu hingga matahari terbit. Saat ini biarkan mereka disibukan dengan mencari mayat si tua Wardoyo yang hanyut terbawa arus,” ungkap Galih lemah.
*****
Entah berapa menit aku terlelap karena lelah, aku terbangun karena mendengar suara-suara aneh. Galih rupanya telah waspada dengan menggenggam mandau di tangan. Matanya jelalatan mengawasi sekitar. Menyadari aku terbangun, ia menoleh, memberi kode untuk diam dengan jari telunjuk menempel di bibir.
Galih lantas mematikan headlamp dan kini kami hanya mengandalkan cahaya bulan yang sangat redup menembus cabang-cabang pohon di atas kepala. Aku dan Galih saling bertatapan tatkala sayup-sayup terdengar suara siulan panjang yang melengking. Suara siul itu bergema naik turun diiringi suara jangkrik dan binatang malam yang riuh.
“Mina Kurik…” desisku.
Galih mengangguk dan sikapnya kian waspada. Bulu kudukku merinding sewaktu terdengar suara seperti langkah kaki. Aku mulai membaca doa di dalam hati memohon perlindungan, tapi suara itu tak mau pergi.
Galih kembali menyalakan headlampnya, menyadari suara itu semakin dekat. Namun suara itu menghilang saat cahaya headlamp menyorot ke belukar yang menimbulkan bunyi. Suara siul masih terdengar sementara Galih terus menyorotkan cahaya headlamp kesana kemari memastikan arah suara langkah kaki.
Tatkala cahaya headlamp menyorot cabang pohon di atas kami, Galih mendadak mematung. Aku mendongak, seketika aku juga bergidik ngeri. Rupanya Retno tengah bertengger di salah satu cabang pohon dengan posisi siap menerkam. Wajahnya terlihat menyeramkan dengan mata melotot tajam ke arah kami. Rambutnya terurai acak-acakan dengan tubuh berbalut kain tapih bahalai.
Mulutnya menggeram, mengeluarkan liur bercampur darah kental.
Aku dan Galih mengawasi dengan seksama seraya mundur perlahan. Kami mengatur napas sepelan mungkin agar Retno tidak menimbulkan gerak tiba-tiba. Belum sempat kami kabur Retno langsung menerjang Galih hingga mandaunya terlempar. Galih menjerit kesakitan, meronta-ronta di atas dedaunan yang berserak.
Aku bergidik ngeri melihat Retno menggigit tangan Galih dengan beringas. Darah mulai bercucuran seiring pekik panjang menyayat hati. Aku lagi-lagi terdiam menyaksikan Retno menyeret Galih ke semak belukar. Belukar di depanku bergoyang-goyang diiringi jerit memilukan hati.
Aku yang telah tersadar bergegas meraih mandau yang tergeletak, menerobos belukar setinggi dada dan menebas sekenanya. Aku terperangah, di hadapanku Galih berjibaku mempertahankan nyawa. Galih menyilangkan tangan, mempertahan leher dari mulut Retno yang hanya berjarak beberapa senti.
Aku mengumpulkan keberanian, menghirup udara sebanyaknya ke paru-paru. Kuacungkan mandau setingginya, siap menebas Retno yang bertingkah gila. Namun, mendadak nyaliku runtuh. Aku mematung dengan napas tertahan.
Retno berpaling, melotot ke arahku. Aku yang syok hanya bisa berdiri gemetaran. Ia menjerit kencang, membuat gendang telingaku terasa pecah. Retno menerjang seperti binatang, aku terpental lalu terguling-guling di belukar yang penuh duri. Mandau yang kugenggam entah hilang dimana.
Retno mencekik leherku, membentur-benturkan kepalaku ke tanah berkali-kali. Ia lantas mengambil sebuah batu seukuran bola basket di samping, mengangkatnya tinggi di udara. Aku merinding sejadinya, ia hendak mengayunkan batu itu ke jidatku.
Braak…!
Kayu seukuran lengan menghantam kepala Retno dengan keras. Retno menoleh penuh amarah, ternyata Ilham telah berdiri di samping. Retno melempar batu tapi Ilham berhasil menghindar. Aku berguling menyelamatkan diri sementara Retno menerkam Ilham dengan brutal.
Terdengar senandung doa yang mengalun merdu, Retno mendadak menggelepar. Sebuah senter mendekat ternyata mina Kurik yang melangkah terpincang. Tubuhnya penuh luka gores, dugaanku akibat ulah Retno yang mengamuk sebelum menemukan kami.
Mina Kurik terus mendekat sembari berdoa sementara Retno semakin kesakitan. Ia berguling kesana kemari dengan mulut mengeluarkan darah. Retno susah payah mengatur posisi merangkak, lalu sesuatu di luar dugaan terjadi.
Retno berteriak sangat kencang hingga mina Kurik terduduk menutup kuping. Daun-daun bergoyang dan angin bertiup kencang. Retno berteriak sangat nyaring dengan suara melengking. Semua yang mendengar merintih, merasakan sakit yang luar biasa berdengung di telinga dan kepala rasanya ingin meledak.
Aku menutup kuping sekuatnya tapi suara lengkingan itu tetap menusuk ke dalam telinga. Mulut, hidung dan telinga telah mengeluarkan darah kental. Retno menghentikan teriakannya, menertawakan kami yang menderita. Suara tawanya bergema menciutkan nyali. Retno sepertinya sangat menikmati kesakitan yang kami rasakan. Ia terbahak sangat kencang membuat hewan-hewan malam berhamburan ketakutan.
“Panggil sangiangmu, Kurik. Panggil leluhurmu. Aku tak takut. Ha…ha…ha…!”
Mina Kurik kembali hendak melantunkan doa tapi tenaganya telah habis terkuras. Ia hanya bisa terkapar di atas belukar berduri tajam.
“Retno, iki ibu nduk. Eling, nduk…”
Retno berpaling, menatap bu Lastri yang sedang memapah pak Wardoyo. Retno menyeringai, menatap tajam ke arah orang tuanya yang menghiba. Mendapat kesempatan, aku meraih dohong bertatah emas di tangan mina Kurik dan bergerak secepatnya.
Creess…
Retno terbelalak, tak menyangka belati itu mampu menembus kulitnya. Dohong menancap di punggungnya, Retno menjerit histeris. Penuh amarah ia membanting lalu menendang perutku. Aku terpental memuntahkan darah. Kurasakan tulangku remuk sementar dohong masih tergenggam di tangan.
Retno terus menjerit, mulutnya terbuka sangat lebar hingga rahangnya hampir copot. Darah menyembur baik air mancur dari mulutnya yang menganga lebar. Mungkin karena telah kelelahan, Retno langsung terjatuh tak sadarkan diri.
****
Ilham memapah mina Kurik yang terbatuk darah. Bu Lastri dan Pak Wardoyo mengguncang-guncang Retno yang terkulai lemah. Aku berusaha berdiri, berpegangan pada akar-akar pohon yang menggantung. Aku mengedarkan pandang, mencari keberadaan Galih yang tak terlihat. Setelah terseok-seok, aku akhirnya menemukan Galih meringkuk di bawah pohon besar dengan kondisi mengenaskan. Kuraih headlampnya yang tergeletak meski redup.
Aku memapah Galih, membawanya menjauh dari tempat ini. Akan tetapi sesuatu yang ganjil rupanya baru saja dimulai. Mina Kurik kembali bersiul melengking. Aku yang sudah muak bersikap tak peduli. Aku membawa Galih pergi secepatnya entah kemana saja.
Detik berikutnya aku dan Galih saling tatap keheranan. Kaki kami terasa lengket, menginjak tanah basah yang seperti digenangi air hangat. Saat cahaya headlamp menyorot kaki, jantungku berdetak cepat. Ternyata kami sedang berpijak di atas genangan darah. Mungkin darah yang dimuntahkan Retno tadi. Saat itu aku benar-benar merinding sekujur badan.
Belum juga rasa kaget hilang, kami dibuat ketakutan dengan apa yang kami lihat selanjutnya. Galih sampai gemetar setengah mati. Di balik sorotan cahaya headlamp, dari genangan darah tiba-tiba ada perempuan muncul. Ia muncul sejengkal demi sejengkal, memperlihatkan wajahnya yang mengerikan.
Selama beberapa saat aku terdiam dengan lutut gemetaran. Aku benar-benar syok dan lemas. Berbagai cerita seram tentang hantu kini benar-benar kusaksikan langsung di depan mata.
“Ba-Bawi Nyaring…” desah Galih ketakutan.
Hantu perempuan itu telah muncul separuh badan dengan kepala retak mengeluarkan darah. Darah itu terus mengucur membasahi rambutnya yang terurai panjang. Perempuan itu mulai merangkak hingga seluruh tubuhnya terlihat. Tubuhnya telanjang berbalur darah dengan aroma anyir menyengat.
Aku terduduk lemas, tidak bisa mengucapkan sepatah kata. Tubuhku masih gemetar dan keberanianku berantakan. Mahluk itu menyeringai dengan mata menyala merah. Kembali terdengar siulan, mahluk itu justru mengikik kencang.
Ia meloncat bak macan, menerjang pak Wardoyo dan bu Lastri lalu menjambak Retno dan menyeretnya ke atas pohon. Retno yang lemah bergelayutan di atas pohon yang tinggi.
“Pergi… ayo cepat pergi!” desak Galih menyadarkanku.
Cress…
Galih ternganga, darah kental keluar dari mulutnya.
“Dib..Dibyo…kau?” Galih terbata.
“Demi Retno,” ucapku dengan air mata berurai.
Aku menusuk semakin dalam dohong di pinggangnya dan Galih tersungkur bersimbah darah. Tatapannya kosong dan matanya berkaca-kaca. Ia hendak mengucapkan sesuatu tapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku memalingkan muka, mencabut dohong dengan perasaan berkecamuk.
Buuk..
Retno terjatuh dan tak sadarkan diri. Hantu Bawi Nyaring melesat, menyeret Galih menuju kegelapan malam. Suara rintih kesakitan membahana ke seluruh penjuru hutan terbawa angin yang berembus. Di kejauhan, anjing hutan melolong panjang, seolah mengabarkan berita tentang kematian kepada seluruh penghuni hutan yang berselimut kegelapan.
Aku terduduk lemas penuh penyesalan. Waktu terasa terhenti, semua tiba-tiba kosong dan hampa.
Mina Kurik menepuk pundakku, “kau tak ada pilihan. Kadang kita memang harus berbuat kejam demi kebaikan.”
Aku hanya diam dengan perasaan Getir. Aku mencoba mencari pembenaran tapi tetap saja rasa bersalah menghantui.
*****
Tiga hari setelah menghilangnya Galih, aku sedang merenung di dalam kamar di sebuah penginapan di ibu kota kabupaten. Lamunanku terhenti sewaktu ada yang mengetuk pintu. Sewaktu pintu terbuka, aku kaget bukan main. Ternyata Ilham, mina Kurik, Retno, pak Wardoyo dan bu Lastri telah berdiri dengan ekpresi mencurigakan. Selain membawa banyak barang, mereka juga membawa sebuah koper besar kosong.
“Kapan kau kembali ke Jawa?” tanya Ilham.
“Entahlah…kalau gak besok, mungkin lusa?” balasku sekedarnya.
“Kami butuh bantuanmu untuk menjaga Retno,” timpal mina Kurik.
“Bantuan? Bantuan apa?”
Sebenarnya aku ingin menolak, tapi melihat tatapan Retno yang penuh harap aku tak bisa mengelak. Setelah mempersilakan mereka masuk, mina Kurik menjelaskan apa yang terjadi.
Katanya, mereka akan pulang ke Jawa hari ini tapi tadi pagi amang Kuyum tiba-tiba mengampiri mereka sambil mencak-mencak.
“Ternyata Retno belum sepenuhnya terbebas. Bawi Nyaring telah pergi dari badannya. Ia akan aman setibanya di Jawa. Ia akan hidup normal tanpa ada gangguan. Tapi, mahluk halus lain akan akan berlomba untuk memangsa jiwanya selama perjalanan pulang.”
Aku tak mengerti, mengernyitkan dahi menatap mina Kurik.
“Kau tak perlu risau. Semua akan baik-baik saja selama kita bisa menyembunyikan tubuh Retno sepanjang perjalanan. Kami perlu bantuanmu untuk turut menjaga Retno.”
“Aku tak bisa mengantar karena anak dan istriku butuh aku di sini. Kau hanya cukup bawa badan, sisanya ibu mertuaku yang ngurus,” tambah Ilham.
Aku menarik napas sedalamnya. Setelah menatap Retno, aku mengangguk setuju.
“Baiklah…tak masalah,” jawabku datar.
*****
Pukul 7 malam lewat beberapa menit aku tepekur di depan penginapan. Aku menautkan jemari dengan menggenggam Rosario. Aku mendoakan Galih yang menghilang serta meminta perlindungan agar perjalanan kami selamat.
Selang beberapa waktu, mobil travel yang kami tunggu akhirnya tiba. Seorang sopir dengan tampang kusut menghampiri kami. Ia mengulurkan tangan seraya tersenyum lebar.
“Suriansyah alias Ancah. Saya akan mengantarkan kalian tepat waktu sampai tujuan, he…he…he…”.Sopir itu sumringah seraya menepuk dada.
Selang beberapa waktu, kami sudah berada dalam mobil. Mobil kemudian melesat membelah malam, mengantarkan kami menuju pelabuhan melewati segala mara bahaya yang tak diduga.
TAMAT
Terima Kasih sudah membaca kisah ini hingga tamat. Mohon maap apabila ada kekurangan. Ini adalah trit terakhir saya di kaskus. Tabe 😇🙏
jenggalasunyi dan 26 lainnya memberi reputasi
27
Kutip
Balas
Tutup