- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 01:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
24.9K
Kutip
308
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
benbela
#214
Quote:
Bab 20 : Ganti Badan
“Apa yang kalian lakukan di sini?!” sentak lelaki yang membawa senapan angin.
Mina Kurik merangsek ke depan, mengeluarkan buntalan kain berisi tombak. Si lelaki meraih dengan cepat dan membuka bungkusannya. Begitu melihat isinya, si lelaki tercenung. Ia lantas melirik para lelaki lainnya yang dibalas anggukan.
“Nenek yang kalian cari telah mati terpangang di gubuknya tiga tahun lalu.”
Mina Kurik mendengus. Meski berusaha menyembunyikan, tapi ekpresi penuh kecewa tetap terlihat di garis wajahnya.
“Kalian membunuhnya?” selidik mina Kurik.
Si lelaki menggeleng seraya mengembalikan buntalan kain berisi mata tombak.
“Meski kami membencinya, tapi tak ada seorang pun yang berniat mencabut nyawanya. Jujur, kami terlalu takut. Bisa-bisa arwahnya bangkit jadi hantu bergentayangan.”
“Terus, kenapa ia bisa tewas terpanggang?” buru Ilham dengan biji mata menyipit dan dahi mengkerut.
“Tidak ada yang tahu persis,” timpal lelaki lain yang bertubuh lebih pendek, “tak ada seorang pun warga kampung yang tahu pondoknya terbakar. Sepertinya baru ketahuan dua hari kemudian. Itupun karena ada warga yang tak sengaja lewat sini untuk mencari kayu bakar.”
Lima orang warga itu justru berdebat mengenai kematian tambi Bahau. Ada yang bilang ia mati karena bunuh diri, ada yang bilang ia korban pembunuhan. Yang lain bersikukuh ia tewas karena diserang hantu api, seorang lainnya sangat yakin ia meninggal karena nyamuk bakar yang membakar kasur.
Kami yang mendengar justru sakit kepala. Mereka sangat yakin dengan pendapat masing-masing sehingga sepertinya siap berkelahi demi mempertahankan argumen yang ngawur.
“Kalian lapor polisi?” Aku yang jengah akhirnya buka suara.
“Polisi sepertinya tak mau ribet. Lagian, nenek itu tak ada sanak saudara di sini. Tidak ada seorangpun yang merasa rugi akan kematiannya. Ia akhirnya dikuburkan di pemakaman desa. Meskipun kematiannya agak janggal,” ungkap lelaki bersenapan angin.
“Janggal? Janggal bagaimana?” cecar mina Kurik penasaran.
“Dohong menancap di dadanya. Tubuhnya ditemukan dalam keadaan gosong dengan dohong yang menancap di dada. Kemungkinan ia sengaja membakar pondok lalu menancapkan dohong di dada sendiri. Bisa jadi akibat bisikan yang ia dengar. Konon, menjelang kematiannya nenek itu sering mendengar bisikan-bisikan untuk membunuh diri sendiri.”
Mina Kurik tercenung. Dahinya mengkerut karena berpikir keras. Detik berikutnya ia menoleh ke pak Wardoyo dengan tatapan penuh arti.
“Kau benar…luka bakar. Pelakunya adalah seseorang yang memiliki bekas luka bakar. Retno harus dimandikan sekali lagi, tapi kali ini harus di lakukan di air yang mengalir.”
Pak Wardoyo menarik napas sedalamnya sementara ekspresi wajahnya tak bisa kutebak. Kami kemudian permisi, kembali ke rumah Ilham karena hari semakin senja.
*****
Langit sudah gelap total setibanya kami di rumah Ilham. Bu Lastri menyambut kami dengan gelisah sementara Retno masih terkulai di dalam kelambu.
“Bagaimana, mina? Tambi Bahau bersedia menerima tawaranmu?”
“Ia sudah tewas. Kita harus mengadakan ritual ganti badan secepatnya,” jawab mina Kurik sembari terus melangkah.
Aku terbirit mengejar mina Kurik yang melangkah ke dapur.
“Ganti badan? Ganti badan bagaimana?”
Mina Kurik tak menjawab dan terus melangkah. Entah mengapa firasatku tidak enak mendengar penuturannya. Di dapur menyiapkan berbagai sesaji yang diperlukan. Setelah selesai, ia membangunkan Retno dengan memercikan air di wajah.
“Setelah makan malam kita berangkat,” ujar mina Kurik tegas.
*****
Sekitar pukul 11.30 malam kami kembali menyusuri jalan setapak menuju sungai di ujung kampung. Sungai yang kami gunakan untuk menghanyutkan sesaji kala membuang firasat di wajah Retno. Langit tampak cerah dengan taburan cahaya bintang serta bulan purnama yang benderang.
Enam buah senter bergerak menembus malam dengan posisi mina Kurik paling depan sedangkan aku paling belakang. Sepanjang jalan aku khawatir, entah kenapa rasanya ada sepasang mata yang mengawasi. Hati kecilku berbisik bahwa sepasang mata itu bersembunyi di balik kegelapan, memanfaatkan rimbun pepohon. Beberapa kali aku menyorotkan senter ke samping tapi tidak terlihat apa-apa. Hanya terdengar suara langkah kaki tapi entah dimana.
Ilham menegurku, menyuruhku untuk tetap fokus. Katanya kami harus tetap waspada karena keadaan Retno sangat rentan. Saat ini tubuh Retno laksana magnet bagi mahluk halus di sekitar hutan. Aku menelan ludah sembari terus melangkah. Dugaanku pak Wardoyo juga merasakan hal yang sama. Ia terlihat risau dan melirik ke arahku beberapa kali. Ia lantas memelankan langkah sehingga posisinya persis di samping. Baru saja ia hendak mengucap sesuatu tapi tidak jadi.
Mina Kurik ternyata mendadak berhenti, lalu menaruh sesaji dengan hati-hati di atas tanah. Tingkahnya yang ganjil membuat kami ikutan berhenti. Selama beberapa saat ia mematung di tengah jalan. Ia mengedarkan pandang, menyorotkan senter ke rimbun belukar di depan yang berada di sisi kanan. Mina Kurik tiba-tiba menghunus dohong, membuat kami menjadi tegang.
Bu Lastri menoleh ke belakang dengan tatapan khawatir. Retno merapatkan badan di belakang ayahnya, gelisah akan sesuatu yang belum diketahui. Segera saja aku mencium bau bangkai yang sangat busuk, seperti telah mati berhari-hari. Hembusan angin yang menerpa wajah, membuat bau itu semakin menusuk hidung dan membuat perut mual. Aku dan pak Wardoyo memencet hidung untuk menahan bau yang tercium, sedangkan bu Lastri dan Retno menggunakan tapak tangan menutup hidung dan mulut.
"Siapa di sana?"
Mina Kurik tiba-tiba menghardik dan kami yang di belakang mendadak dicekam ketakutan. Tidak terlalu jelas dan hanya samar, tapi sepertinya ada sepasang mata di balik belukar itu.
“Aweh ikau?! narai gawim si hite?!”
Mina Kurik kembali berteriak tapi tak ada jawaban. Mungkin karena kesal, ia mengambil sebongkah batu lalu melempar ke depan. Kami terlonjak kaget, dari balik belukar ada orang yang tiba-tiba melompat. Laki-laki tak waras kemaren, amang Kuyum. Ia berteriak-teriak tak jelas, menunjuk-nunjuk ke arahku yang keheranan.
Mendadak ia berlari kencang ke arah kami sembari cumiik tak jelas. Bu Lastri berteriak kaget, sementara aku dan pak Wardoyo spontan melindungi Retno. Kami berhamburan ke pinggir sementara amang Kuyum terus berlari tak jelas.
“Bojon! Sinting!” hardik mina Kurik seraya mengelus dada.
Semua orang menarik napas lega meski sempat ketakutan. Mungkin sekitar 10 menit kami terdiam di tempat itu karena rasa kaget yang luar biasa. Setelah yakin semua baik-baik saja, mina Kurik menyuruh kami bergegas lantaran malam semakin larut. Entah sudah berapa menit kami melangkah, perasaan sungai yang kami tuju terasa amat jauh. Padahal ketika siang hari, sungai itu terasa sangat dekat.
Kami terus melangkah diiringi suara hewan malam yang cumiakkan telinga. Ranting-ranting bergoyang karena hewan yang berlompatan. Entah tupai atau kelelawar aku tak tahu pasti. Kulihat Retno masih bersikap normal. Tidak ada tanda-tanda ia akan kesurupan seperti sebelumnya.
Jujur aku sedikit menyesal mengikuti mereka hingga sejauh ini. Seharusnya aku pulang saja ke Jawa dan melanjutkan hidup. Seperti yang diungkapkan Galih, usahaku sia-sia dan menemui jalan buntu. Akan tetapi, hati kecilku tidak bisa berdusta. Meski Retno menolak kehadiranku, setidaknya aku akan menemani hingga urusan di tanah Kalimantan ini selesai. Anggap saja untuk menebus kesalahanku.
Tiba-tiba saja aku teringat Galih. Aku belum sempat menjenguknya lagi sejak tadi pagi. Pesanku pun masih centang satu. Semoga saja ia lekas membaik dan urusan malam ini cepat selesai.
Mina Kurik mempercepat langkah seiring gemericik air mulai terdengar. Semua orang tampak gugup hingga akhirnya tepian sungai terlihat samar di bawah sinar cahaya bulan. Mina Kurik terhenti sejenak, mengedarkan pandang. Bulatan cahaya senternya menyorot ke bebatuan besar di tengah sungai. Aku hampir saja menjerit, barisan batu besar yang kokoh kukira sosok hitam yang berdiri di tengah sungai.
Mina Kurik lantas balik badan, menatap Retno sangat dalam.
“Saat aku melantunkan doa suci, aku akan meminta leluhur untuk membantumu keluar dari dunia roh. Namun, semua tergantung tekadmu. Jika kau mendengar senandung, ikuti suara itu. Kau mengerti?!”
Retno terlihat ragu. Napasnya tidak teratur dengan dada kembang kempis.
“Nak, yakinlah, kau pasti bisa. Ada kami di sini,” bujuk bu Lastri.
Setelah menghela napas panjang, Retno akhirnya mengangguk. Ia melirik ke arahku seakan butuh pertolongan.
*****
Di tengah sungai, di atas batu, mina Kurik duduk bersila di depan Retno yang duduk pasrah mengenakan tapih bahalai. Kami duduk melingkar, mendampingi prosesi ritual. Semua senter dimatikan, hanya mengandalkan beberapa lilin serta cahaya bulan sebagai penerang. Aroma kayu gaharu bakar serta dupa menyeruak, membuat keadaan sungai terasa sangat angker.
Aku diam saja ketika mina Kurik mengoles dahi serta telapak tanganku menggunakan kunyit. Hal serupa ia lakukan pada Retno. Keanehan selanjutnya adalah tatkala ia menyerahkan daun sawang yang diolesi kapur kepada masing-masing orang, kecuali kepadaku dan Retno.
“Apapun yang kalian lihat atau dengar, jangan sekali-sekali beranjak dari batu ini. Jangan tunjukkan rasa takut atau terbawa emosi. Tetap bersikap tenang seolah kalian tidak melihat apa-apa. Lebih baik kalian menunduk saja apabila merasa ada yang janggal,” urai mina Kurik panjang lebar.
Aku beberapa kali memegang tengkuk sewaktu mina Kurik mulai melantunkan doa. Kata Ilham, mina Kurik sedang memanggil roh para penghuni sungai, tanah, air, daun, pohon dan hewan liar. Angin berembus pelan menggoyang dedaunan membuat kami dicekam ketakutan. Gemirisik suara dedauan bagaikan suara-suara arwah yang memanggil. Pohon-pohon besar yang berjejer di pinggir sungai terlihat seperti bayangan hitam yang menakutkan.
Aku tersentak tatkala melihat ada sosok berjongkok di pinggir sungai. Sosok itu melompat sewaktu terkena cahaya senter lalu menghilang di balik pohon. Ilham mencolek pinggangku, menyuruh mematikan senter. Mungkin saja aku berhalusinasi akibat terbawa suasana sungai yang terasa menyeramkan.
10 menit berlalu, entah sudah berapa kali Retno merintih tatkala mina Kurik mengguyur tubuhnya dengan air sungai yang dingin. Rintihan demi rintihan yang keluar dari mulutnya berubah jadi isak tangis menyedihkan.
Aku menajamkan kuping, sayup-sayup terdengar suara lolongan anjing dari kejauhan. Semakin lama, suara lolongan terdengar semakin dekat. Semua orang mendadak cemas tapi kata-kata mina Kurik sebelumnya membuat kami terpaksa berdiam diri. Tidak ada seorang pun yang berani bergerak sewaktu rimbun belukar bergemirisik kencang. Kami yang gugup menarik napas sepelan mungkin dengan ekpresi tegang.
Suara lolongan anjing mendadak hilang berganti malam yang sangat hening. Kecuali mina Kurik, kami saling lirik dengan perasaan tak menentu. Kesunyian ini terasa janggal dan tak wajar. Tak ada yang terdengar kecuali gemiricik guyuran air di tubuh Retno yang terus menangis.
Retno mendadak menjerit kencang, kedua bola matanya melotot dan urat lehernya menonjol. Aku bergidik, Retno terlihat mengerikan. Mina Kurik berdiri dengan tingkah yang ganjil. Ia mendadak bersiul. Siul yang sangat panjang dan nyaring hingga membuat gendang telingaku sakit.
“Miinnaaa…minnnaa…! Beeerrrheeenntiii…!”
Aku cumiik seraya menutup kuping, tapi mina Kurik bergeming. Anehnya, yang lain hanya menyaksikan aku menderita kesakitan. Detik berikutnya kurasakan hidungku terasa basah, hangat dan berlendir. Saat itulah aku terbelalak, hidungku berdarah. Tidak hanya hidung, tapi telinga dan mata. Aku tercekat, tenggorokanku terasa sakit dan sulit bernapas. Aku hempas, menggelepar di atas batu yang besar.
“Maaf, Dibyo. Kau harus kujadikan pengganti roh Retno di alam arwah,” ucap pak Wardoyo dengan suara serak dan sorot mata mengerikan.
Aku terbujur kaku di atas batu tanpa bisa bergerak. Mina Kurik memercik-mercik air sungai ke wajahku menggunakan daun sawang seraya membaca mantra. Hawa dingin kini menjalar ke sekujur tubuh, membuatku kian melemah.
Aku hanya pasrah sewaktu mereka melucuti baju dan celana dan menyisakan celana dalam. Selanjutnya mina Kurik mengambil mangkok berisi darah babi dari sesaji dan mulai mengoleskan ke sekujur tubuhku. Aku ingin berontak tapi sia-sia, bahkan teriak pun tak mampu. Dapat kurasakan ada kekuatan gaib yang menghimpit tubuhku hingga dadaku sesak.
“Pakde, sekarang giliranmu,” seloroh mina Kurik dingin.
Aku menatap Ilham, memohon pertolongan tapi ia memalingkan muka. Bu Lastri juga tampak tak berdaya karena tak ada pilihan.
Heekk…!
Aku tercekak, pak Wardoyo mencekik leherku sementara tangan kanannya menggenggam keris. Tatapan matanya menyala-nyala penuh amarah. Aku tak menyangka, lelaki tua ini telah berubah menjadi bengis.
“Maaf, Nak. Kau harus menebusnya. Karena ulahmu Retno menghilang. Dan sekarang kau harus membayarnya,” sentaknya dengan nada berat.
Di tangan kanannya, tergenggam sebuah keris yang diarahkan ke jantungku.
…bersambung…
jenggalasunyi dan 27 lainnya memberi reputasi
28
Kutip
Balas
Tutup