- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 01:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
24.8K
Kutip
308
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
benbela
#197
Quote:
Bab 19 : Rahasia Dibyo
Sontak kami menjadi kaget mendengar apa yang diucapkan oleh Retno. Terlebih lagi bu Lastri dan Pak Wardoyo, mereka benar-benar kebingungan. Mereka bersikeras bahwa baru pertama kali ke Kalimantan dan selama ini tak tahu keberadaan Retno dimana.
Semua menjadi jelas tatkala Retno menceritakan apa yang telah terjadi sebenarnya. Kala itu baru seketar enam bulan Retno berada di pedalaman Kalimantan dan bekerja di sebuah Bank milik pemda.
Suatu malam sekitar pukul 10, Retno tertidur di ruang tamu dengan kondisi televisi masih menyala. Waktu itu musim penghujan dan sudah sejak sore hujan turun tanpa henti. Di tengah gemuruh atap seng yang tertimpa air hujan, sayup-sayup ia mendengar ada ketukan di pintu. Retno yang baru beberapa menit tertidur kembali terbangun.
Dalam keadaan setengah sadar ia membuka pintu. Begitu pintu terbuka, Retno kaget bukan kepalang. Ia mendapati ayah dan ibunya yang ternyata sedari tadi mengetok pintu. Kedua orang tuanya memegang pelepah daun pisang sebagai payung. Di tangan mereka tercanting lampu semprong sebagai penerang. Wajah mereka pucat dengan senyum yang terkesan aneh. Retno yang telah lama tak bertemu hanya menurut saja saat kedua orang tuanya mengajak pergi.
"Saat itu mereka mengajakku menyusuri jalan di tengah hujan deras. Aku seperti terhipnotis dan tak bisa membantah. Kami terus melangkah hingga akhirnya masuk ke dalam hutan. Aku sempat kebingungan tapi entah kenapa aku benar-benar seperti kerbau dicucuk hidung. Aku menurut saja meski hatiku cemas."
Kata Retno, mereka berjalan di padang gelap menyusuri rimba yang lebat. Hanya bermodalkan cahaya lampu semprong, Retno mengiringi kedua orang tuanya yang terus melangkah tanpa menoleh. Retno mencoba mengajak mengobrol, tapi ayah dan ibunya hanya diam tanpa bicara. Setelah mulai lelah, mereka akhirnya tiba di tepi sungai yang luas.
"Aku sempat keheranan sewaktu mereka ingin membawaku pulang ke Jawa hanya menggunakan sampan. Namun aku lagi-lagi menurut tatkala mereka mengajakku menaiki sampan."
Malam itu, sampan yang mereka tumpangi mulai bergerak terbawa arus. Retno duduk di depan, sedangkan ayah dan ibunya di belakang mengayuh dayung. Ia mulai takut saat sampan mulai terombang ambing di tengah sungai yang luas. Sewaktu menoleh kebelakang, Retno langsung dicekam kebingungan. Ayah dan ibunya sudah tidak ada.
Ia pun mulai menangis seraya menahan gigil. Saat itu ia benar-benar ketakutan dan tak berdaya. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali hanya diam di atas sampan yang hanyut terbawa arus dengan air mata berlinang. Ia mulai memanggil kedua orang tuanya tapi tak ada jawaban.
Retno terperanjat tatkala air sungai telah berubah menjadi genangan darah. Yang lebih mengerikan, sosok perempuan muncul dari dalam sungai dengan kepala retak mengucurkan darah. Sosok itu merangkak perlahan ke dalam perahu, bersimbah darah serta mengeluarkan aroma busuk menyengat. Retno yang dilanda ketakutan langsung menjerit sejadinya.
"Aku menjerit sangat kencang hingga tenggorokanku sakit dan suaraku serak. Anehnya, ternyata aku menjerit di tuang tamu. Aku langsung menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan, rupanya aku benar-benar berada di kontrakan. Aku menarik napas lega dan menyeka air mata yang masih berlinang. Aku tidak berhenti mengucap syukur karena apa yang kualami hanyalah mimpi yang terasa nyata," tutur Retno dengan nada terbata.
Setelah mimpi buruk itu, Retno menjalani hari seperti biasa. Semua terlihat normal. Hanya saja ia sering sakit kepala saat adzan magrib berkumandang. Maka dari itu ia memilih tidur saat sore hari dan baru bangun selepas magrib. Selain itu, ia juga seolah lupa dengan kampung halaman, termasuk kepada orang tuanya.
“Kambe hai, yang mendatangimu adalah kambe hai,” selah mina Kurik, “ mahluk halus yang dikirim untuk menjebak rohmu di dunia arwah.”
Penuturan mina Kurik membuat kami bungkam. Kuperhatikan, pak Wardoyo dan bu Lastri membisu dengan raut wajah aneh. Demi mengungkap gundah di hati, aku akhirnya bertanya meski sedikit ragu.
“Apakah kau mengingatku, tunanganmu?”
Aku menatap Retno lekat-lekat, penuh getar cinta yang membara. Namun, debar itu seketika padam. Sorot mata Retno justru menunjukan bara amarah yang menyala. Kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya membuatku dadaku sesak hingga sudut jantung paling dalam.
“Kau lelaki bajingan! Dasar bajingan! Berani-beraninya kau menanyakan pertunangan kita sementara kau bermain perempun lain!”
Aku terperangah dengan perasaan campur aduk. Otakku tak terima dengan tuduhannya. Yang lain menatapku tajam penuh curiga.
“Ma-maksudmu? Aku tak mengerti?!”
Retno bergeming. Nanar ia menatapku dengan sudut mata berair. Dadanya naik turun dengan degup yang keras.
“Kau… Kau… kenapa kau tega mas? Padahal kita sudah bertunangan, tapi kenapa kau justru tidur dengan wanita lain. Sebentar lagi kita menikah, bisa-bisanya kau main perempuan lain.”
Aku tertunduk lesu tanpa bisa membantah. Suara Retno terdengar serak berseling isak. Perasaan bersalah kini menyelimuti batinku. Aku bungkam dengan perasaan berkecamuk. Aku mengutuki diri sendiri tanpa henti di dalam hati. Apa yang disampaikan Retno bukanlah omong kosong. Semua berawal dari sebuah keisengan yang kukira takkan pernah terbongkar meski kusimpan sangat rapat.
Pikiranku melayang ke peristiwa lima tahun lalu. Kelebatan demi kelebatan memori seolah terpampang jelas di depan mata. Kala itu aku bermain api dengan salah seorang wanita jemaat gereja. Perbuatan iseng yang seharusnya lumrah dilakukan lelaki. Namun kini hanya sesal yang menggelayut di dada.
“Karena itulah aku menghilang untuk menenangkan diri. Aku ingin menjauh darimu untuk selamanya. Aku tak sudi bersuamikan seorang lelaki yang tukang selingkuh. Lelaki bejat sepertimu takkan pernah berubah. Bermain serong adalah penyakit yang takkan hilang. Tatap aku, hei Dibyo!”
Aku mendongak pelan dengan perasaan bersalah. Sorot mata itu terlihat tegar, berapi-api dan menusuk ke ulu hati. Aku tak sanggup berkata-kata dengan bibir gemetar. Dari tatapannya, aku sudah tahu bahwa aku sudah tak layak lagi untuk bersanding dengannya. Sementara yang lain memandangku penuh jijik dan sinis.
“Terus, siapa yang membuatmu terkena panglarangan. Siapa yang mengikat rohmu di sini?” desak mina Kurik.
Retno menggeleng. Jelas sekali ia pun kebingungan.
“Maaf mina, aku benar-benar tak tahu. Yang sekarang kuingat hanyalah perihal kenapa aku nekat pergi dari Jawa tanpa sebab. Selanjutnya, aku benar-benar buntu.”
Mina Kurik menarik napas panjang. Sinar matanya berbinar seolah ada harapan. Katanya, ia akan mendatangi dukun yang telah mengikat roh Retno di alam arwah meski belum tahu siapa yang memiliki permintaan.
“Aku ikut. Aku ingin tahu apa alasannya menjebak Retno di sini,” timpalku. Untuk sementara kutepis perasaan kecewa atas sikap Retno.
“Aku juga ikut,” ucap pak Wardoyo dan Ilham hampir bersamaan.
Mina Kurik menatap kami bergantian lantas mengangguk.
*****
Dengan mencarter sebuah kelotok, kami menyusuri anak sungai Barito menuju sebuah kampung terpencil di dalam sungai. Bu Lastri dan Retno tinggal di rumah Ilham, sedangkan aku, pak Wardoyo dan Ilham mengiringi mina Kurik. Kata mina, kami akan menemui seseorang yang bernama tambi (nenek) Bahau.
Menurut mina, tambi Bahau telah lama mengasingkan diri ke daerah ini. Konon ia terusir dari kampung halamannya karena telah mempraktekan ilmu hitam yang membuat orang lain celaka.
Ternyata tempat yang kami tuju cukup jauh. Berada di daerah hilir ibu kota kabupaten lalu masuk lagi ke dalam anak sungai. Hutan rindang yang hijau beserta aneka hewan liarnya menghiasi sepanjang perjalanan kami. Jujur, aku menikmati perjalanan ini. Rasanya seperti sedang berwisata saja.
Monyet-monyet tampak bergelantungan dan melompat dari dahan ke dahan. Burung-burung pemangsa ikan menukik ke dalam sungai lalu kembali terbang dengan ikan kecil di cakarnya. Sesekali kami berpapasan dengan nelayan yang menjala ikan. Matahari yang terik tidak terasa karena paparan angin yang menerpa wajah. Cipratan air dari sisi kelotok juga membuat badan terasa sejuk.
Semakin ke dalam sungai, alur sungai semakin menyempit. Kelotok bermanuver mulus untuk menghindari batang kayu yang hanyut terbawa arus. Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam, kampung yang kami tuju akhirnya terlihat. Juru mudi melambatkan laju kelotok kemudian menyandarkan pada sebuah lanting (rumah apung) yang berada di paling hulu kampung.
Meski memberi ijin bersandar, pemilik lanting terlonjak kaget mendengar maksud kedatangan kami ke kampung terpencil ini. Ia mengelus dada lalu menggeleng-geleng sewaktu kami mulai melangkah di kayu titian menuju kampung di atas sungai.
Desa yang kami datangi ini ternyata penduduknya sangat sedikit. Rumah-rumah penduduk bisa dihitung dengan jari. Mereka menatap penuh curiga sewaktu kami melangkah ke arah hulu. Seorang warga yang memanggul senapan angin serta memegang sumpit mengawasi setiap gerak kami. Sewaktu kutegur, tatapannya membuatku gentar.
Ilham menarik tanganku, menyuruhku terus melangkah. Karena tak ingin mencari perkara, aku menurut saja. Setelah beberapa menit, jalan desa telah habis dan berganti dengan jalan setapak yang penuh rerumputan.
Kami terus bergerak mengikuti mina Kurik di depan, diiringi nyamuk serta menerobos ilalang setinggi dada. Kami berbelok, kali ini jalannya agak menanjak. Aku tak menyangka kalau tempat yang kami tuju setersembunyi ini.
Kata mina Kurik, penganut ilmu hitam memang suka menyepi dan menjauh dari hiruk pikuk duniawi. Mereka seolah dikutuk tidak bisa menjalani hidup mewah dan memakan makanan enak. Tugas mereka memang menjerumuskan manusia menuju kesesatan. Mereka juga sengaja berdiam di tengah belantara, agar orang yang benar-benar memiliki tekad kuat yang mendatangi mereka.
Setelah sekitar 30 menit berjalan, mina Kurik yang paling depan tiba-tiba berhenti. Ia terpaku, menatap kosong ke puing-puing pondok yang telah menghitam menjadi arang. Sorot matanya padam dan garis kekecewaan mendalam terpancar di wajahnya yang lelah.
Kami yang berada di belakang juga seketika mematung. Kami hanya bisa terpana dengan apa yang kami lihat. Di hadapan kami, terpampamg puing-puing pondok kayu yang telah luluh lantak. Berserakan tertutup rerumputan dan belukar merambat.
Sepertinya, kediaman orang yang kami cari telah habis terbakar beberapa tahun lalu. Tidak ada yang tersisa kecuali lirih jerit kesakitan yang sayup terdengar. Dugaanku, tambi Bahau telah tewas dimakan api, dibakar oleh penduduk yang penuh amarah.
*****
Entah berapa menit kami terdiam, saling pandang dengan berbagai pertanyaan yang menghantui pikiran masing-masing. Mina Kurik tampak terpukul, usahanya menemui jalan buntu. Ia terduduk lemas di atas rerumputan dengan pandangan kosong.
Namun, kami tak bisa berdiam lama-lama. Suara gaduh di belakang membuat kami terlonjak. Rupanya, lelaki yang tadi memanggul senapan angin menyusul bersama beberapa orang warga. Mereka menatap kami penuh kebencian dan amarah yang menggelegak.
Kami membeku sekujur badan, lima orang itu mendekat seraya mencengkram erat gagang mandau yang terikat di pinggang. Jantungku berdegup cepat, orang-orang ini datang dengan maksud jahat.
…bersambung…
Sampai Jumpa Lagi di malam senin. Terima kasih sudah membaca, tabe 😇🙏
jenggalasunyi dan 26 lainnya memberi reputasi
27
Kutip
Balas
Tutup