- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 01:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
24.9K
Kutip
308
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
benbela
#164
Quote:
Bab 15 : Papandui
Selama beberapa detik aku terdiam, mencoba menelaah apa yang terjadi. Teriakan demi teriakan yang tadi bergema seketika menjadi hening. Dunia terasa hampa dan bergerak sangat lambat. Mala menjerit histeris tapi suaranya seolah lenyap. Tidak ada yang bisa kudengar kecuali kesunyian.
Braaak…!
Pintu belakang akhirnya terbuka dan aku kembali tersadar. Mina Kurik merangsek membawa seember air berisi kembang dan daun mayang. Beberapa langkah di depan, Retno menggeram penuh amarah. Pisaunya menancap dalam di dinding kayu, beberapa jengkal di samping kepala anaknya Ilham. Rupanya bocah kecil itu berhasil menghindar, lalu berlari terseok-seok ke ruang tamu dengan jerit tangis.
Byurrr… !
Siraman mina Kurik membuat Retno menjerit. Ia kaget bukan main lalu tersungkur di lantai, menggelepar bagai ikan di darat. Pisau yang ia pegang terlempar. Ternyata air yang digunakan untuk memandikan Retno cukup ampuh. Buktinya, Retno mengalami gejala kejang. Yang agak janggal, tubuhnya mengeluarkan asap diiringi suara desis. Seperti panci panas terkena percikan air.
Saat itu juga kami bagai terbebas dari belenggu tak kasat mata. Tangan dan kaki yang tadi terkunci kini sudah bisa digerakkan. Kami langsung berhamburan mendekati Retno sedangkan Mala dan Ilham terbirit menyusul anaknya dengan linangan air mata dan jerit histeris.
Retno kejang-kejang dengan mulut mengeluarkan liur dan busa. Matanya melotot dan tubuhnya menghentak-hentak.
"Cepat, bawa dia kebelakang!" sentak mina Kurik dengan ekspresi panik.
*****
Retno berhasil kami gotong dan didudukkan di atas lesung tunggal tanpa masalah berarti. Tatapannya kosong seperti orang linglung. Mulutnya juga tak berhenti berguman tak jelas. Kain tapih bahalai disampirkan di pundaknya, menutupi bagian atas tubuhnya, melapisi pakaian yang ia kenakan. Sedangkan tangan dan kakinya terikat kain putih.
"Tinggalkan kami. Papandui perempuan hanya boleh disaksikan oleh perempuan," terang mina Kurik.
Aku, Galih dan Pak Wardoyo terpaksa menjauh, meninggalkan mina dan bu Lastri di teras belakang. Sedangkan Mala dan Ilham sepertinya masih sibuk di dalam kamar, menenangkan anaknya yang trauma.
Mina Kurik menutup pintu dan kami menunggu dengan cemas. Lima menit berlalu, hanya terdengar bunyi guyuran air. Semua tampak normal, hingga akhirnya terdengar suara rintih kesakitan. Entah apa yang terjadi di belakang sana, Retno mulai menangis. Tangis yang awalnya terdengar lirih, kian lama kian terdengar nyaring. Suaranya mendayu menyayat hati, seperti memendam penyesalan yang mendalam.
Otakku mulai mencerna kejadian barusan. Aku yakin sekali, ikatan tangan Retno tidak mungkin terlepas begitu saja. Seolah tersadar, aku segera bangkit.
"Kemana?" tegur Galih.
Aku hanya diam, melangkah tergesa menuju ruang tamu. Pikiranku saat itu adalah keranjang sampah yang ada di pojokan. Di tempat itulah tadi mina Kurik membuang tali haduk seraya mengucapkan sumpah serapah. Tak perlu waktu lama, benda yang kucari akhirnya ketemu. Segera kuacak dengan tangan, kupilah di antara tumpukan bungkus rokok, tas kresek serta bungkus indomie.
Aku terpana, benda yang kucari akhirnya ketemu. Potongan tali haduk seukuran dua jengkal. Namun, ujungnya tampak janggal. Terlalu rapi jika diputus secara paksa. Jelas sekali, tali haduk ini bukan putus begitu saja, tapi ada yang sengaja memotongnya menggunakan benda tajam.
Pertanyannya, siapa?
"Ngapain, Dib?"
Aku terperanjat, Pak Wardoyo sudah ada di belakang. Entah saja kapan ia mengikuti, aku tidak mendengar suara langkah kakinya.
"A-anu, pak, mencari rokok. Kayaknya rokokku tak sengaja terbuang. Kayaknya tadi masih ada tiga batang, tapi kotaknya sudah keburu kubuang," jawabku gelagapan.
Pak Wardoyo mendelik, menyadari aku berbohong. Ia menatap curiga, dan aku berhati-hati menyembunyikan apa yang kutemukan ke bawah tumpukan sampah.
"Ya sudah, nanti isap rokok saya saja kalau mau. Rokok orang tua, gudang garam."
Pak Wardoyo berbalik lalu kembali melangkah ke arah dapur. Aku menatap punggungnya yang ringkih, rasanya mustahil jika ia menghalangi Retno untuk kembali ke Jawa. Apalagi, perbuatan Retno sangat membahayakan orang lain. Bahkan, ia hampir saja merenggut nyawa seorang bocah kecil.
Namun, jika demi menyelamatkan Retno agar tidak menjadi tumbal pesugihan, bisa saja ia berbuat tega mengorbankan orang lain.
Aku melangkah pelan kembali ke dapur. Pikiranku berkecamuk. Pertanyaan berikutnya adalah tentang motif.
Siapa yang paling diuntungkan jika Retno gagal pulang ke Jawa?
Aku menatap Galih yang tengah asyik berbincang dengan pak Wardoyo. Tadi dialah yang paling dekat dengan posisi tangan Retno sementara aku yang memegang kaki. Bisa saja, di saat kami dilanda kepanikan ia dengan cepat memotong ikatan Retno, entah dengan pisau lipat atau semacamnya. Namun, jika Galih pelakunya, kenapa ia harus repot mengabarkan pada kami tentang keberadaan Retno di Kalimantan.
Semakin dipikir, semakin otakku tak waras. Saat ini, aku hanya bisa berharap apapun yang dilakukan mina Kurik akan membuahkan hasil.
*****
Malam semakin larut dan udara terasa bertambah dingin. Rumah berdinding kayu ini ternyata tak cukup untuk menahan udara dingin dari luar. Di belakang, suara tangis Retno kemudian berubah menjadi tawa dengan suara berat. Kami yang menunggu di dapur merinding, suara tawa itu terdengar begitu mengerikan. Begitu mengintimidasi dan menciutkan nyali. Dari luar rumah, suara burung hantu terus memanggil dan anjing melolong kian lantang.
Sreek… sreek…
Kami sedikit kaget lalu saling pandang, meja dapur mulai berguncang pelan, bergoyang miring ke kiri dan kanan. Piring dan gelas yang tersusun di atasnya perlahan bergetar. Aku merasa janggal, kenapa meja itu bisa bergerak sendiri, persis adegan di film horor.
Braaak…!
Meja itu tiba-tiba terlempar, meluncur deras ke arah kami yang sedang duduk menunggu di depan pintu pembatas belakang. Tanpa sempat menghindar, rekfleks aku menyilangkan tangan tapi sia-sia.
Braakk… ! Prang… prang..!
Aku tersungkur, merasakan sakit di pergelangan tangan dan jidat. Pak Wardoyo merintih dan Galih cumiik. Sebuah meja kini menindih kami bersama pecahan beling. Di belakang, Retno terbahak sangat kencang diiringi geraman kemarahan. Suara tawanya kemudian melemah lalu perlahan berganti rintih kesakitan.
Ilham berlari dari dalam kamar lalu tercengang melihat meja terbalik serta pecahan piring dan gelas berserakan di lantai. "Wah, kacau. Biniku bakal ngamuk," serunya cemas.
Setelah menjelaskan apa yang terjadi, kami kemudian membersihkan pecahan piring dan gelas menggunakan sapu dan serok.
*****
Tepat pukul 12 malam, pintu belakang akhirnya terbuka. Mina Kurik dan bu Lastri mengernyitkan dahi, melihat keadaan dapur berantakan. Mendengar cerita kami, mereka hanya bisa menarik napas seraya menggeleng. Berdiri di tengah, Retno mengenakan piyama tidur. Ia tampak begitu mempesona meski wajahnya terlihat masih pucat seperti orang sakit. Aroma wangi bunga mayang menyeruak dari tubuhnya yang bersampir tapih bahalai.
Ia melangkah pelan, berpegangan pada mina Kurik dan bu Lastri.
Aku hendak membantu tapi keburu dicegah. Bahkan, pak Wardoyo pun dilarang menyentuh anaknya. Kami hanya mengekor di belakang, menyaksikan mina menuntun mereka menuju kamar yang ditempatinya. Sesuai arahan mina Kurik, Retno dan bu Lastri tidur di kamar yang ditempati mina Kurik. Ia sendiri akan tidur bersama cucunya dan Mala, sementara Ilham tidur bersama kami di ruang tamu.
"Bila ada yang janggal, jangan pernah keluar dari kelambu. Paham?!" ucap mina.
"Iya, mina. Terima kasih banyak sudah membantu," balas bu Lastri.
*****
Kami tidur seadanya di ruang tengah, beralas karpet dan berbantal jaket. Ilham telah mematikan lampu, hanya mengandalkan cahaya dari lampu dapur yang dibiarkan tetap menyala. Galih dan Ilham sudah mendengkur sedangkan pak Wardoyo mengkerut bagai udang.
Entah kenapa aku begitu sulit tertidur meski sudah sangat mengantuk dan lelah. Begitu memejam mata, aku melihat ada bayangan wajah yang mengerikan sedang menatapku. Pandangan yang awalnya gelap lalu muncul titik putih yang berputar-putar. Titik itu lama-lama membesar hingga membentuk wajah mengerikan. Wajah dengan mulut menganga lebar, sementara kulitnya melepuh seperti direbus dalam air mendidih.
Aku akhirnya membuka mata, mengusir bayangan wajah tadi. Anehnya, begitu menutup mata, wajah seram tadi langsung muncul. Kejadian ini terus berulang sewaktu menutup mata hingga membuat kepalaku terasa sakit.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menutup mata setengah. Aku tidak benar-benar terpejam tapi juga tidak membuka mata sepenuhnya. Selain itu, punggung tangan kiri kugunakan untuk menutup mata, berharap akhirnya aku bisa tertidur. Cara ini ternyata cukup ampuh, kelebatan wajah itu tidak muncul lagi.
Namun, sayup-sayup aku mendengar suara langkah kaki di teras depan. Jelas sekali yang kudengar bukanlah suara tikus atau kucing, tapi suara orang sedang melompat-lompat. Papan lantai yang terbuat dari kayu ulin menimbulkan suara berderak, berpindah-pindah dari satu titik ke titik lain. Aku merinding, tidak mungkin ada manusia yang melompat-lompat di teras rumah orang di tengah malam buta seperti ini.
Aku bergeming di tempat, pura-pura tidur. Aku yakin yang kudengar hanyalah buah dari ketakutanku saja.
*****
Saat membuka mata ternyata matahari sudah tinggi. Aku sedikit malu karena bangun kesiangan. Aku segera duduk, meraih arloji yang tergeletak di samping. Jam menunjukkan pukul 8 lewat 12, pertanda sudah sangat siang di daerah perbukitan seperti ini. Kulihat, pak Wardoyo dan Galih tidak ada di tempat.
Ilham menghampiriku yang baru saja duduk untuk mengumpulkan nyawa. Ia berjalan terbungkuk, sang anak bergelayut manja di punggung. Ia lantas menyerahkan handuk serta beberapa lembar pakaian.
"Cepat mandi dan kenakan pakaianku untuk sementara. Baju dan celana yang kau pakai harus secepatnya dibakar."
"Galih dan pak Wardoyo dimana, bang?" tanyaku seraya menyambut barang yang ia serahkan.
"Mereka tadi pagi-pagi sekali pergi ke kota kabupaten untuk mengambil pakaian. Mungkin sebentar lagi mereka akan kembali."
"Oowh…"
Aku mengangguk, lantas melangkah menuju kamar mandi di belakang, meninggalkan Ilham yang bermain dengan anaknya. Di dapur, Retno, Mala dan bu Lastri tengah sibuk menyiapkan sarapan. Bu Lastri terlihat sulit bergerak, daster mina Kurik yang ia kenakan ternyata kekecilan.
Entah kenapa hatiku berdebar sewaktu beradu mata dengan Retno. Ia melirik, lalu kembali membuang muka. Ia tampak salah tingkah, bukan lagi marah. Aku tahu, desir itu masih ada di sorot matanya yang sayu.
"Jangan melamun! Cepat mandi!"
Sentakkan mina Kurik yang sekonyong-konyong muncul di belakang membuatku terlonjak kaget. Aku bergegas menuju kamar mandi dengan wajah merah padam.
*****
Aku dan Ilham terbatuk di halaman depan, membakar pakaian yang semalam kukenakan. Di pembakaran, terdapat pakaian Retno dan bu Lastri yang sudah menghitam dilalap api. Asap berwarna hitam membubung ke udara, meliuk-liuk ditiup angin.
Baju dan celana yang kupinjam dari Ilham ternyata kebesaran terutama di bagian pinggang. Aku harus memegang bagian kancing agar tidak melorot, sungguh tak nyaman.
Sembari menatap api yang membara, aku dan Ilham bicara panjang lebar tentang berbagai hal, sekedar basa basi agar suasana cair.
"Bang, untung saja tadi malam aku main ke area SD. Cuma di situ ada sinyal. Niatnya mau youtube-an, eh ada WA dari pakde. Habis itu aku cepat-cepat pulang dan kasih tau ibu mertuaku. Kalau gak, hii…bisa-bisa kalian mati di makan hantu," ungkap Ilham panjang lebar.
"Memangnya hantu bisa makan manusia?"
"Rohnya yang dimakan. Makanya, kalau orang sakratul maut, wajah mereka pasti ketakutan. Mereka sedang melihat hantu-hantu pada ngumpul. Hantu-hantu itu pada rebutan pengen makan rohnya. Konon, hantu paling doyan makan jempol kaki manusia. Katanya sih, jempol kaki manusia itu mereka lihatnya kayak anggur. Kalau kuping kayak apa ya? Kayak kerupuk, kali. Hii…"
Aku menelan ludah mendengar cerita Ilham yang justru membuat nyali menjadi ciut. Suasana pedesaan yang sepi membuat keadaan tambah mencekam. Andai aku tidak melihat langsung peristiwa yang dialami Retno, cerita Ilham hanya kuanggap sebagai angin lalu.
"Sudah, mas. Jangan cerita hantu lagi. Bikin parno saja."
Ilham tertawa dan kami pun membahas topik lain agar tidak terlalu tegang, membahas pekerjaan.
"Dahulu pernah kerja di perusahaan, bang. Tapi kemudian dirumahkan. Katanya sih harga batu bara sedang anjlok, makanya banyak karyawan lokal dirumahkan. Janjinya sih cuma tiga bulan nanti dipanggil lagi. Eh, lebih setahun ga ada panggilan. Yaudah usaha apa aja yang penting halal," lanjut Ilham panjang lebar.
Dari ceritanya, ternyata Ilham punya dua mobil yang dititipkan ke travel. Satunya ia pegang sendiri, satunya dibawa orang lain. Selain itu, ia juga punya tiga gedung walet yang sudah mulai menghasilkan.
Aku pun bercerita panjang lebar kenapa aku dan orang tuanya Retno bisa jauh melanglang buana kemari. Hingga akhirnya, karena penasaran aku pun bertanya hal yang agak pribadi dan sedikit sensitif.
"Eh, mas, maaf ya. Jenengan kan muslim, terus mina itu apa ya, Kaharingan?"
"Ohh.. Iya bang, saya muslim. Saya Dayak pesisir sungai. Sebagian besar kami menganut Islam, hanya sebagian kecil menganut agama leluhur. Ibu mertuaku Dayak bukit yang kebetulan banyak non muslim. Selain Kaharingan, mereka ada yang Protestan dan sebagian kecil Katolik. Bang Dibyo mungkin kaget kalau tahu aku punya ipar protestan."
"Hah?! Serus?"
Ilham mengangguk.
"Terus, itu gimana mas, kalau ada acara adat atau keluarga?"
"Maksudnya, masalah hidangan?"
"Iya mas. Kan muslim gak boleh makan babi."
"Kalau ada acara adat ya dipisah. Yang muslim ada tempat khusus makanan halal. Yang nyediakan juga sesama muslim."
"Oh…" jawabku datar, tak tahu harus merespon bagaimana lagi.
Selagi asyik mengobrol, aku dan Ilham dikagetkan dengan kedatangan seorang lelaki paruh baya yang merangsek masuk ke halaman. Wajahnya kusam, bajunya compang-camping dan rambutnya gondrong acak-acakan. Mungkin orang gila atau tak waras.
Entah datang dari mana, ia melangkah terburu seperti sedang dikejar hantu. Tanpa basa-basi, ia menunjuk-nunjuk ke arahku menggunakan sebuah ranting yang ia pungut. Matanya melotot penuh amarah. Suaranya cempreng tapi menggelegar, membuat para tetangga berhamburan keluar rumah. Sebagian lagi mengintip dari teras masing-masing.
"Matei ikau, Jawa! Matei ikau! Matei ketoh inginan kambe. Aweh ji mandohop iye, matei buah rapak bawi nyaring!"
Aku dan Ilham melongo, melihat ia terus melontarkan kata-kata penuh amarah. Usai meluapkan emosi, lelaki aneh itu meludah ke tanah lalu beranjak pergi begitu saja. Aku terpaku dengan tingkahnya yang ganjil. Entah apa yang ia katakan, Ilham tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bahkan, napasnya mulai terdengar tak teratur.
"Apa katanya, bang? Siapa dia?"
Selama beberapa detik Ilham mematung, seolah tak sadar aku ada di situ. Setelah kutepuk pundaknya, barulah ia gelagapan menjawab pertanyaanku.
"I-itu amang Kuyum. Ia sedikit tak waras dan jarang bicara. Namun, begitu ia bicara, penduduk kampung pasti mendengarkan kata-katanya. Apa yang ia sampaikan selalu menjadi kenyataan."
"Memangnya, apa yang ia sampaikan barusan?"
Ilham menarik napas, menatap ke arahku yang penasaran. Ia hendak menjawab tapi kalimatnya segera ditahan. Kata-kata yang sudah di ujung lidah urung terucap. Ia enggan menjawab, takut membuatku khawatir. Aku terus mendesak, tapi Ilham tetap bungkam dengan wajah pucat.
"Hal buruk…katanya ada hal buruk."
Aku langsung balik badan, mencari asal suara. Ternyata mina Kurik sudah berdiri di teras, menatap nanar lelaki tadi yang menjauh. Wajahnya memucat dan jemarinya meremas ujung baju hingga lecek.
Entah apa yang membuatnya begitu ketakutan,
lantai papan tempatnya berpijak berderak, menahan tekanan dari tubuhnya yang gemetar hebat.
…bersambung…
jenggalasunyi dan 30 lainnya memberi reputasi
31
Kutip
Balas
Tutup