- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 01:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
24.9K
Kutip
308
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
benbela
#156
Quote:
Bab 14 : Tali Haduk
Tidak, perjuanganku tidak boleh sia-sia.
Kukumpulkan sisa tenaga, aku bangkit meski tertatih. Aku berlari terpincang dan menepis semua rasa sakit di sekujur badan. Kulihat mina Kurik dan Ilham sudah berjibaku, berusaha melepas cekikan Retno di lehernya sendiri.
"Bantu pegang kakinya!" seru mina Kurik panik.
Dengan sigap aku memegang kedua kaki Retno yang menghentak-hentak. Selang beberapa saat, Galih dan pak Wardoyo sudah membantu disusul bu Lastri. Lima orang dewasa kini memegang tangan dan kaki Retno yang terus berontak, sementara mina Kurik mulai membaca doa.
Mina Kurik bersenandung, melantunkan doa suci dalam bahasa sangiang, bahasa para leluhur. Jarinya yang kurus ditempelkan di jidat Retno. Cekikan Retno mulai melemah dan tubuhnya terlihat kelelahan. Tidak ingin menyiakan kesempatan, kami segera meraih tangan Retno. Namun sungguh sial, Galih malah terpeleset dan tubuhnya menghantam mina Kurik.
Keduanya terjatuh dan lantunan doa mina Kurik terhenti. Retno kembali menemukan kekuatan, ia kembali berontak. Ia bahkan berusaha menggigitku dan Ilham yang memegang tangannya. Ia berteriak, meronta dan berusaha mencakar dan menendang serampangan.
"Tali, pakai tali!" teriak mina.
Kuraih tali haduk yang tergeletak di samping, sekuat tenaga mengikat tangan dan kaki Retno. Mina Kurik sudah di sebelahku, kembali melantunkan doa pengusir roh jahat. Dibantu Ilham, kami akhirnya berhasil mengikat tangan dan kaki Retno sedangkan Galih hanya bisa terbaring.
Mina Kurik yang kelelahan akhirnya terduduk di samping Retno yang sudah tak leluasa bergerak. Meski tangan dan kakinya terikat kuat, Retno masih berusaha berontak. Retno bahkan meludahi mina Kurik, mungkin karena kesal upayanya bunuh diri menjadi gagal.
"Mateimunu ikau Kurik! Matei ikau! Matei ikau!"
Retno kembali memaki dengan bahasa yang tak kumengerti. Sepertinya ia sangat marah dengan ulah wanita itu. Namun, mina bergeming. Ia dengan tenang menyeka ludah di wajah sembari mengatur napasnya yang tersengal.
Plaakk…!
Kami terkejut, mina Kurik tiba-tiba menampar pipi Retno dengan keras. Bukannya kesakitan, Retno justru tertawa. Setelah meludahi mina Kurik sekali lagi, tubuhnya melemah seperti orang mengantuk.Tangan kerasnya terkulai jatuh tanpa tenaga. Dadanya kembang kempis teratur matanya terpejam. Retno kini tergolek tak berdaya.
"Matikan alarm mobil itu, berisik," keluh mina yang masih terduduk.
*****
Melihat Retno dalam keadaan pingsan, kami langsung memasukkan tubuhnya ke dalam mobil tanpa membuka ikatan. Bu Lastri segera mengambil tisu dan membersihkan wajah anaknya yang belepotan cipratan darah. Air matanya tak berhenti jatuh melihat keadaan anaknya yang memprihatinkan.
Pak Wardoyo yang hendak duduk terperanjat, mina Kurik mencengkram kerah bajunya. Ia kebingungan, mina Kurik menatapnya penuh amarah. Ia hampir jatuh diseret paksa keluar. Bu Lastri yang sedang merawat Retno hanya bisa terperangah.
"Apa yang kau lakukan? Berapa 'baju' yang kau bawa, hah?!"
"Ba-baju apa?" Pak Wardoyo kebingungan.
"Jangan pura-pura!" sentak mina Kurik.
Wanita paruh baya itu menyingkap paksa baju pak Wardoyo yang tertutup jaket. Ia meraba bagian pinggang, tapi benda yang ia cari rupanya tidak ada di situ. Mina Kurik bertambah gusar hingga pipinya merah padam.
"Sudah kubilang jangan berani keluar malam untuk bepergian jauh. Benda apapun yang kau pegang, tidak akan cukup untuk melindungi putrimu. Malah memancing yang lain untuk mengetesmu."
Pak Wardoyo tak berkutik. Ia hanya diam mendapatkan kata-kata penuh amarah dari mina Kurik.
Aku dan Galih merangsek maju, memisahkan kedua orang tua itu.
"Sudah…tidak penting. Kita harus membawa Retno secepatnya ke desa," bentakku penuh emosi. Tak kuhiraukan lagi sopan santun, saat ini yang lebih penting adalah menyelematkan Retno secepatnya.
Mina Kurik melemah, menatap kami bergantian. Tatapannya berhenti pada Galih.
"Kau ikut menantuku naik motor," tunjuknya pada Galih, "dan kau yang nyetir," perintahnya padaku.
Mina Kurik mendekati Ilham, menyerahkan sesuatu dari tas rotan yang ia panggul. Ia mengeluarkan sebuah belati khas Dayak, sebuah benda yang kemudian kukenal dengan sebutan dohong.
"Nak, hati-hati. Jangan ragu menggunakannya."
Ilham mengangguk lalu menyelipkan benda itu dipinggang seraya melirik Galih dengan sorot mata tajam.
Aku menatap Galih dan ia mengangkat kedua pundaknya dengan mata mendelik. Ia sepertinya bingung tapi tak mau menanggapi. Ia lantas menyusul Ilham yang sudah menyalakan mesin motor.
Sejurus kemudian, kami sudah beriringan menuju desa. Di depan, motor meliuk-liuk menghindari lubang, bergerak menembus gelap malam.
Duduk di samping, mina Kurik menatap nanar ke depan. Entah apa yang ia pikirkan, aku hanya fokus menyetir mobil mengikuti Ilham dan Galih di depan.
Setelah beberapa menit, gerbang desa sudah terlihat di depan mata. Ucapan selamat datang tertulis di papan melintang dengan ornamen khas suku Dayak. Kami melaju dengan kecepatan sedang, melewati rumah-rumah penduduk yang diterangi cahaya lampu temaram.
*****
Sekitar pukul 9 malam kami tiba di rumah Ilham. Sebuah rumah sederhana yang berbahan kayu ulin, ciri khas rumah pedesaan di Kalimantan. Halamannya juga cukup luas, tidak seperti rumah di kota yang sudah rapat dan jarang memiliki pekarangan.
Para tetangga sepertinya sudah tertidur pulas, tidak ada orang yang bealu lalang yang kami temui. Suasana desa benar-benar sepi bak kampung mati. Suara jangkrik dan burung hantu terdengar lantang, membuat suasana desa yang sepi terasa kian suram.
Aku memarkir mobil di bawah pohon rambutan yang tak berbuah, di samping mobil keluarga berwarna hitam. Mungkin mobilnya Ilham. Ilham yang sudah duluan tiba bersama Galih membunyikan klakson motor, memberitahu penghuni rumah bahwa kami sudah datang.
Seorang wanita muda yang mengenakan jilbab membuka pintu. Ternyata istrinya Ilham. Ia terperangah melihat kami menggotong Retno dengan tangan dan kaki terikat. Ia gelabakan membuka pintu selebarnya, lalu sibuk keluar masuk kamar dan ruang tamu seraya membawa bantal, guling dan kasur dibantu sang suami.
Retno yang belum sadarkan diri kami baringkan di atas kasur. Istrinya Ilham memperkenalkan diri dengan sopan.
"Kumala. Panggil aja Mala," ujarnya ramah.
Ia kemudian bergegas ke dalam kamar lalu datang lagi membawa kotak P3K. Sambil menunggu apa yang bakal dilakukan mina Kurik selanjutnya, kami membersihkan luka masing-masing. Aku menggigit bibir menahan perih, sewaktu alkohol dan kapas menyentuh luka di lutut.
"Mina, apa ikatannya dibuka saja? Sepertinya Retno sudah tenang," usul Galih sambil meringis.
"Kalau ia mengamuk lagi, kau sanggup menenangkannya?" sahut mina gusar.
Galih menelan ludah, setelah itu ia tak bicara lagi.
"Retno harus menjalani ritual papandui, dimandikan di atas lesung tunggal. Raganya harus dibersihkan dulu dari wangi darah yang bisa mengundang kambe, para mahluk halus. Jika ia kuat, malam ini kita bisa mangariau. Menjemput rohnya dari alam jata. Jika tidak, terpaksa kita tunda sampai ia benar-benar sehat," ungkap mina Kurik seraya menyiapkan sirih pinang untuk ia kunyah.
"Alam jata?" tanya bu Lastri.
"Alam bawah, alam tempat tinggal para arwah bergentayangan dan mahluk halus."
Bu Lastri hanya pasrah dengan apa yang dilakukan mina Kurik. Bagaimanapun juga, hanya wanita itu harapan kami saat ini.
"Kalian sebaiknya cuci muka dan kaki dulu di belakang. Lurus saja ke dapur, buka pintunya. Ada tempat jemur pakaian, di situ ada keran," lanjut mina Kurik.
*****
Usai membersihkan badan, kami berkumpul di ruang tamu menikmati hidangan tuan rumah. Retno masih terbaring dalam kondisi memprihatinkan. Bu Lastri dengan telaten membersihkan wajah dan kaki anaknya yang kotor menggunakan air hangat.
Mala bolak-balik ke kamar, memastikan bayinya tertidur pulas. Aku tahu ia cemas, keadaan Retno bisa saja mengganggu anaknya yang belum genap berumur tiga tahun.
Di belakang, mina Kurik tengah menyiapkan keperluan ritual papandui. Tidak seperti di Jawa menggunakan kembang tujuh rupa, bahan yang digunakan mina sangat sederhana. Ia hanya menggunakan beberapa lembar daun sawang serta kembang mayang.
Selain itu, juga ada beberapa lembar kain putih dan sarung tapih bahalai yang sudah tersusun rapi. Pakaian ganti Retno juga disiapkan, disusun di pojok agar tidak terkena cipratan air.
Kata mina, bahan yang diperlukan sudah ia siapkan sebelumnya. Hanya saja, ia tidak menyangka kami datang lebih cepat dari yang direncanakan.
Aku dan Galih membantunya menggotong lesung menuju area paling belakang rumah tempat dimana mencuci dan menjjemur pakain. Area belakang ini cukup luas, layaknya teras tapi tertutup seng sekeliling sebagai tembok. Beberapa tali untuk menjemur pakaian tampak membentang. Air yang mengalir juga sangat jernih karena dialirkan langsung dari sungai menggunakan selang panjang.
*****
Sementara mina Kurik mulai melakukan persiapan ritual papandui, para lelaki menggotong Retno ke bagian belakang. Sungguh janggal, tubuh Retno teramat berat. Seolah-olah ada mahluk tak kasat mata sedang duduk di perutnya. Kami berempat sampai ngos-ngosan mengangkatnya. Bahkan, tubuh kami telah banjir keringat.
"Gila! Berat banget. Padahal tadi ringan saja, kenapa sekarang mendadak berat?!" keluh Galih.
Bu Lastri dan Mala bergegas membantu, sementara mina Kurik masih sibuk di belakang. Kami melangkah sempoyongan, seperti mengangkat benda yang beratnya ratusan kilo. Aku terengah-engah dan hampir tak sanggup lagi.
Hampir saja aku menjerit, melihat ada anak kecil tiba-tiba berlari dan berhenti tepat di depan dapur. Aku menarik napas lega, ternyata cucunya mina Kurik. Bocah itu hanya berdiri di antara dapur dan lorong ruang tamu. Ia mengisap jari mungilnya, menatap ayahnya sambil tertawa khas anak kecil. Mungkin, melihat ayahnya kesusahan menggotong Retno adalah pemandangan lucu baginya.
Hanya beberapa langkah sebelum melewati pintu belakang, tiba-tiba terdengar bunyi berderit. Suara daun jendela dapur dan pintu depan yang bergerak-gerak tertiup angin. Udara di dalam rumah mendadak terasa sangat dingin padahal jelas sekali tidak ada AC.
Dari arah luar, suara burung hantu tak henti-hentinya memanggil. Suara itu terdengar kian dekat, persis di samping rumah. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara anjing melolong panjang. Kami semakin gugup dan berusaha mempercepat langkah, sadar ada yang tak beres. Di belakang, mina Kurik berteriak menyuruh kami agar lebih cepat.
Braak…
Kami terlonjak kaget, pintu belakang terbanting. Retno terlepas dari tangan dan mengeluarkan bunyi benturan keras di lantai.
"Buka…! Buka…!" pekik mina Kurik panik. Pintu belakang ia gedor-gedor hingga daun pintu bergetar hebat.
"Dib… Retno…" ungkap Galih dengan napas berat.
Tergeletak di lantai, Retno telah membuka mata. Ia tersenyum misterius dengan raut wajah seram. Kepalanya bergoyang pelan sedangkan tali haduk yang mengikat tangan dan kakinya sudah terlepas. Kami semua berdiri terpaku bagaikan kena hipsotis. Tubuh dan kaki benar-benar tak bisa digerakan.
Di belakang, mina Kurik terus menggedor-gedor pintu dan berteriak panik. Pintu berguncang-guncang hebat membuat dinding dapur bergetar. Panci dan penggorengan yang tergantung di dinding berjatuhan dan menimbulkan bunyi yang menyakitkan gendang telinga.
Aku merinding, menyaksikan Retno berdiri perlahan dengan rambut acak-acakan. Ia menoleh ke arah kami sesaat, menyeringai mengerikan lalu melangkah pelan ke rak pisau dan meraih yang paling tajam. Retno kemudian menatap anaknya Ilham dengan sorot mata menyala-nyala.
Bocah malang itu tak kuasa menahan takut, ia menangis kencang. Kami semua menahan napas saat jarak Retno dan bocah kecil itu hanya sisa selangkah. Pisau yang ia genggam diangkatnya ke atas, kilatannya yang terkena cahaya lampu menyilaukan mata.
Di samping, Ilham menjerit panik dan Mala berteriak histeris dengan air mata becucuran.
Sraat…
Semua tercekat, Retno menghunjamkan pisaunya.
…bersambung…
Sampai jumpa malam jumat. Tabe😇🙏
Yang ingin support atau baca duluan, bab 15-16 tersedia di link di bawah ini 👇
https://karyakarsa.com/benbela/mantr...-bab-15-dan-16
jenggalasunyi dan 26 lainnya memberi reputasi
27
Kutip
Balas
Tutup