- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 01:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
24.9K
Kutip
308
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
benbela
#147
Quote:
Bab 13 : Retno Amuk
Mobil terus berguncang-guncang menghentak permukaan jalan yang kasar. Suara binatang malam semakin riuh, sementara lolongan anjing kian sahut-menyahut. Di atas kepala kami, daun-daun bergemirisik ditiup angin dan ranting-ranting bergoyang pelan.
Selama beberapa saat aku hanya mematung, benar-benar tak bisa bergerak. Sekujur badan membeku. Bahkan, mulutku rasanya terkunci hanya untuk sekedar berteriak. Napasku memburu dan jantungku berdebar-debar tidak karuan.
Kami tercengang sewaktu ada darah mengalir dari kolong mobil. Darah membasahi permukaan jalan yang kotor dan penuh debu. Lampu depan dan belakang mobil terus berkedip tanpa henti sementara bunyi klakson kian cumiakkan telinga.
"Retno…! Dimana Retno…?!" pekik bu Lastri.
Kami tersadar, Retno tidak berada diantara kami.
"Dibyo, jangan-jangan itu…" seru Galih.
"Iya, ayo!"
Aku dan Galih bergegas berjongkok, mengintip ke kolong mobil. Kutepis rasa takut dan menyorotkan senter handphone meski bulu kudukku merinding. Begitu melihat pemandangan yang mengerikan di bawah situ, aku langsung terlonjak. Aku terduduk, pantatku hempas di atas jalan keras. Bahkan handphone yang kupegang terlempar.
Bu Lastri meraih handphoneku tadi menyerahkan kembali. Kami berdua kemudian mengintip ke kolong mobil, menyusul pak Wardoyo dan Galih yang sudah duluan. Bu Lastri menutup mulut demi menahan jerit, di hadapan kami ada Retno yang sedang menelungkup. Kepala dan bahunya bergoyang pelan di kolong mobil yang sempit. Darah segar tampak menutupi mukanya.
"Ret…Retno…ini bapak sama ibu, nak…" bujuk pak Wardoyo.
Retno mendongak, menatap kami dengan senyum. Mulutnya belepotan darah dan di celah mulutnya ada potongan daging yang menjuntai. Di hadapannya, ada seekor anjing kampung dengan kepala retak dan biji mata keluar serta mulut menganga meneteskan darah. Anjing kampung yang terlindas mobil kami.
Anjing malang itu tergeletak dan Retno dengan tenang merobek perutnya dengan mulut, menjilati darah, serta menelan dagingnya. Isi perut binatang itu berhamburan dan ususnya terburai.
Sluurrp…
Usus itu Retno seruput hingga masuk semua ke dalam mulut.
Kecuali bu Lastri yang langsung menjauh untuk memuntahkan isi perut, kami bertiga sekuatnya menahan mual.
Pak Wardoyo berbuat nekat. Setelah melepas jaket, Ia merayap seraya terus membujuk Retno untuk keluar. Saat itulah kusadari lelaki itu memendam kepedihan. Suaranya terdengar putus asa dan matanya berkaca-kaca.
"Pak, hati-hati, pak," seru Galih.
Pak Wardoyo terus merayap di kolong yang sempit tanpa memikirkan keselamatannya. Aku membantunya dengan menyorotkan senter handphone.
"Gggrrhhh…."
Retno mengeram, kedatangan sang ayah membuatnya marah. Urat di wajah dan lehernya menyembul dan tatapannya nyalang bak srigala. Retno sekonyong-konyong mencakar ayahnya sendiri, pak Wardoyo kaget hingga kepalanya terantuk kolong mobil.
Crees…
Pipi pak Wardoyo berdarah, ia meringis. Posisi yang sempit menyulitkan gerakannya. Retno kian beringas, kepanikan semakin menjadi. Pak Wardoyo terancam, Retno kian kesetanan. Retno mengamuk, ia mulai merayap. Tangannya membentuk cakar, menimbulkan bunyi gesekan yang ngilu saat menyentuh cor semen yang terkelupas karena ulahnya.
"Lih…! Bantu aku! Lih…!"
Aku berteriak, meraih kaki pak Wardoyo dan berusaha menariknya keluar. Galih hanya diam, tak bergerak dengan napas yang tersengal. Tak kupedulikan Galih yang hanya melongo, segera kuseret pak Wardoyo secepatnya.
Sreeet…
Bu Lastri membantuku meski dengan air mata berlinang. Kami berhasil menyeret pak Wardoyo keluar tepat sebelum Retno merobek pipi dan meremukan rahangnya. Begitu lepas dari kolong mobil, bergegas Pak Wardoyo merangkak mundur lalu terduduk. Ia meringis karena perih. Dagu, siku, serta telapak tangannya lecet mengeluarkan darah.
Belum sempat mengambil napas, kami lagi-lagi terperanjat. Retno sudah ada di hadapan kami dalam posisi merangkak. Ia bergerak perlahan seraya mengeram. Matanya melotot sempurna dan mulutnya meneteskan liur.
"Reettnoo aayuungkuuh…Reettnoo aayuungkuuh…"
Retno bicara dalam bahasa yang tak kumengerti. Suaranya serak dan menyeramkan. Retno menatapku tajam, tatapan yang mengintimidasi dan menciutkan nyali.
Celaka, kini ia mengincarku.
Retno melompat, jarinya yang membentuk cakar diacungkan kedepan. Dan… .
Bruuk…
Retno terguling, hempas ke badan jalan yang keras, Galih berhasil menerjang dan membekapnya. Namun sial bagi Galih, Retno dengan mudah melempar tubuhnya. Galih tersungkur, mengerang kesakitan.
Retno kembali bergerak, kali ini ia meloncat ke atap mobil. Ia lalu melompat-lompat seperti anak kecil sambil tertawa. Suaranya berat dan membuat gendang telinga terasa sakit.
Aku bergegas berlari, memapah Galih yang terkapar. Galih terpincang dan pelipisnya berdarah. Mulutnya tak berhenti mengucapkan sumpah serapah.
"Wes, meneng!" bentakku.
Galih tak menggubris, ia tetap memaki meluapkan emosi. Pak Wardoyo tercengang sedang bu Lastri kian terisak, Retno bertingkah ganjil. Berdiri di atas atap mobil, Retno kencing di celana sambil tertawa. Air kencing mengalir melalui celah celana kain dan membasahi atap mobil. Retno lantas berjongkok lalu menjilati air kencingnya sendiri.
Sluurrp…sluurrp…
*****
Kami benar-benar tak tahu harus berbuat apa dan dilanda putus asa. Dipanggil berkali-kali Retno bergeming. Ia tetap tenang menjilati tetes demi tetes air kencingnya yang merembes hingga kaca depan. Kami mendekat perlahan dengan perasaan campur aduk, antara takut juga miris.
Kami balik badan, di kejauhan terdengar suara knalpot sepeda motor meraung-raung. Lampu depan motor yang tak terlalu terang terlihat mendekat, meliuk-liuk menembus gelap malam.
Kami menarik napas lega sewaktu tahu siapa yang datang. Ternyata mina Kurik dan menantunya si Ilham. Belum sempat motor berhenti sepenuhnya, mina Kurik melompat. Ilham gelagapan, motor bergerak liar lalu menyeruduk semak belukar. Pak Wardoyo bergegas menolongnya dan menarik motornya agar kembali ke badan jalan.
Mina Kurik melangkah hati-hati, mengawasi Retno dengan seksama.
"Aweh ikau? Narai gawim si hite?"
Entah apa yang ditanyakan mina Kurik, tapi Retno tak merespon. Ia malah duduk anteng, menjilati sisa-sisa air kencing di telapak kakinya. Kesal karena tak digubris, mina Kurik mengambil sebuah kerikil lalu melemparnya kedepan dan tepat mengenai kepala Retno.
"Aarrrrgghhhh."
Mina Kurik kaget, Retno berpaling seraya mengeram. Mina mundur dua langkah, Retno mengambil posisi merangkak.
"Keluar! Jangan ganggu dia!"
Retno justru terbahak dengan suara serak, sementara lampu mobil terus mati menyala dan suara alarm tak berhenti berbunyi.
"Bawi jituh ayungkuh…ha… ha…ha…"
Meski tak mengerti yang ia ucapkan, dugaanku setan yang ada di tubuh Retno tak mau pergi. Suara tawanya menggema dan membuat bulu kuduk merinding. Matanya yang melotot kian memancarkan amarah. Mulutnya yang belepotan darah menyeringai, memamerkan irisan daging yang nyangkut di giginya.
Mina Kurik justru menatap tajam ke arah Retno, seolah menantang meski ia tampaknya juga deg-degan. Mungkin karena merasa geram, Retno mengambil ancang-ancang untuk menerjang. Kami yang melihat menjadi gugup, takut kalau-kalau Retno menerkam mina Kurik.
Mina Kurik bergerak cepat, mengeluarkan sesuatu dari tas rotan yang ia panggul. Sebuah benda berupa tali berwarna hitam yang terbuat dari jalinan sabut kelapa. Sebuah benda yang belakangan kuketahui disebut tali haduk. Mina menghempas-hempas tali itu ke permukaan jalan, mengeluarkan bunyi seperti letupan petasan.
Retno bergerak mundur sambil terus mengeram. Mulutnya menyeringai dan giginya bergemelutuk sementara liurnya menetes di celah bibir. Retno bergerak ke kiri dan kanan, mencari celah untuk menyerang.
Akhirnya mina Kurik memberanikan diri maju ke depan hendak mencambuk tapi Retno dengan gesit menghindar dan melompat ke belakang mobil. Kami bergegas mengepung Retno, menutup celahnya untuk kabur.
Retno mendengus, deru napasnya terdengar kencang. Ia lagi-lagi tertawa, menatap kami satu-persatu.
"Kalau ingin gadis ini kembali, maka yang kalian dapati hanyalah mayatnya."
Retno kemudian duduk dengan cara yang aneh dan kami tak tahu apa yang hendak ia lakukan. Tanpa diduga, Retno mulai mencekik lehernya sendiri. Kepalanya miring ke kanan, lidahnya terjulur dan matanya melotot.
"Heeekk… heekk…"
Retno mulai tersedak, kuku jarinya yang tajam menembus kulit leher dan darah mulai mengalir. Sekuat tenaga, Retno hendak mencongkel batang tenggorokannya sendiri.
Terjadi kegaduhan, kami langsung berlari untuk mencegahnya membunuh diri sendiri. Kami menarik tangannya tapi kalah kuat. Sungguh mencengangkan, tenaga enam orang dewasa tidak apa-apanya dibanding kekuatan Retno yang bertubuh kurus. Harusnya, tenaga Retno bukanlah masalah bagi kami, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Justru kami yang dibuat kelelahan menarik tangannya.
Braaakk…
Dengan mudah Retno melempar kami satu-persatu ke segala arah. Aku terpental beberapa meter, hempas lalu terguling di badan jalan. Dadaku terasa remuk akibat tendangannya. Pelipisku berdarah dan bibirku pecah. Tangan dan sikut juga lecet akibat tergesek permukaan jalan.
Aku berusaha bangkit tapi tenagaku telah habis. Bahkan untuk menggerakkan tangan pun sudah tak mampu lagi. Aku benar-benar terkulai tak berdaya.
Beberapa meter di depan, Retno telah terbaring dalam posisi tangan masih mencengkram leher. Tubuhnya melenting dan wajahnya kian memerah. Matanya melotot sempurna sementara liur bercampur darah menetes melewati lidah yang terjulur.
"Reeeettttnnnnoooo…!!!" pekikku dengan air mata berlinang.
Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menangis, menyaksikan orang yang paling berarti dalam hidupku sedang melepas ajal.
Dari arah hutan, anjing liar melolong panjang dan bersahutan, seolah memberi kabar kematian kepada penghuni perbukitan.
…bersambung…
Makasih sudah membaca. Sampai Jumpa lagi di malam senin. Tabe 😇🙏
jenggalasunyi dan 28 lainnya memberi reputasi
29
Kutip
Balas
Tutup