Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Novena.LiziAvatar border
TS
Novena.Lizi
Raja Kesultanan Riau Lingga Sampaikan Titah Tanggapi Kasus Pulau Rempang Terkini
Raja Kesultanan Riau Lingga Sampaikan Titah Tanggapi Kasus Pulau Rempang Terkini, Berikut Isinya

Kamis, 14 September 2023 13:31 WIB


Kolase Budayawan, Prof. Dr. Dato Abdul Malik, M.Pd dan Warkah Titah Raja Kesultanan Riau-Lingga, Duli Yang Mahamulia Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Hendra Syafri Riayat Syah ibni Tengku Husin Saleh 

BANGKAPOS.COM - Raja Kesultanan Riau Lingga Sultan Hendra Syafri Riayat Syah menyampaikan titah terkait kasus Pulau Rempang terkini.

Konflik di Pulau Rempang tersebut ditanggapi serius Raja Kesultanan Riau-Lingga, Duli Yang Mahamulia Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Hendra Syafri Riayat Syah ibni Tengku Husin Saleh.

Titah Raja Kesultanan Riau Lingga ini tertulis dalam warkah berjudul 'Menjunjung Adat Menjulang Daulat' yang disampaikan Budayawan, Prof. Dr. Dato' Abdul Malik, M.Pd.

Dalam titah yang diterbitkan di Pulau Penyengat Indera Sakti pada Selasa, (12/9/2023), Sultan Hendra Syafri Riayat menekankan lima hal terkait konflik Repang-Galang.

Keturunan Prajurit Kesultanan Melayu Bintan

Hal pertama adalah status masyarakat Rempang dan Galang.

Mereka ditegaskannya bukan pendatang.

Masyarakat Pulau Rempang yang kini mendiami kampung-kampung itu merupakan keturunan prajurit dari Kesultanan Melayu Bintan yang kemudian berganti menjadi Kesultanan Riau-Lingga yang sudah ada sejak abad 11.

Leluhur mereka dijelaskan Prof Abdul Malik merupakan prajurit yang sudah mendiami Pulau Rempang sejak masa Kesultanan Sulaiman Badrul Alam Syah I sejak tahun 1720.

Selanjutnya, mereka pun ikut berperang bersama Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau I pada tahun 1782 hingga 1784.

Begitu juga dalam Perang Riau II bersama Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) pada tahun 1784 hingga 1787.

"Jadi mereka bukan pendatang, masyarakat yang tinggal di Pulau Rempang itu adalah keturunan dari prajurit Kesultanan Melayu Bintan atau Kesultanan Riau-Lingga saat ini," ungkap Prof Abdul Malik dihubungi pada Selasa (12/9/2023) dikutip dari Warta Kota.

Tanah Pemberian Sultan-sultan Melayu

Hal kedua yang ditekankan Sultan Hendra Syafri Riayat adalah status tanah kampung-kampung mereka.

Kampung-kampung itu dijelaskan dalam titah merupakan pemberian Sultan-Sultan Melayu sejak berabad-abad lampau.

Tanah itu diberikan atas jasa para prajurit melawan penjajah Belanda.

Kampung-kampung itu diungkapkan Prof Abdul Malik merupakan basis pertahanan di Selat Kesultanan Melayu Bintan.

Ketika Sultan Mahmud Syah III berhasil memangkan pertempuran laut melawan VOC dan Belanda pada 13 Mei 1787, para prajurit yang berasal dari Kalimantan Utara, Johor, Malaka dan Sumatera itu menggabungkan kekuatan.

Mereka menjadikan ratusan pulau-pulau di Kepulauan Riau itu sebagai basis pertahanan.

Berdasarkan arsip sejarah Inggris, lanjutnya, dikisahkan ada sebanyak 8.000 prajurit yang berpatroli di lautan.

Sedangkan 20.000 lebih prajurit berpatroli di darat, di pulau-pulau seperti Rempang dan Galang.

Sedangkan 44.000 pasuka lebih menjaga Kesultanan Melayu Bintan.

"Jadi bagaimana mereka mau dipaksakan mengosongkan kampungnya, misalnya orang Betawi di Jakarta, mereka diusir keluar Jakarta, kemudian Jakarta diisi oleh orang asing seluruhnya, mana mau mereka, tak mungkin lah," ungkap Prof Abdul Malik.

Perjanjian dengan Pemerintah

Dalam titah selanjutnya, Sultan Hendra Syafri Riayat menekankan luasnya lahan di Pulau Rempang dan Galang.

Masyarakat Rempang dan Galang pun disampaikan sangat terbuka atas pembangunan.

Hal tersebut dibenarkan Prof Abdul Malik.

Dipaparkannya, masyarakat Rempang dan Galang katanya sudah terikat perjanjian dengan pemerintah ketika Pulau Rempang masuk ke wilayah Batam, Kepulauan Riau pada tahun 1999.

Ketika itu, pemerintah berjanji akan melibatkan masyarakat dalam pembangunan.

"Sebenarnya, Pulau Rempang ini sebelumnya masuk ke wilayah Kabupaten Bintan, tetapi di tahun 1999 Pulau Rempang dimasukan ke wilayah Batam karena memang jaraknya dekat dengan Batam," ungkap Prof Abdul Malik.

"Lalu dalam perjanjiannya dengan masyarakat pada waktu itu kalau ada pembangunan di Rempang dan Galang, masyarakatnya tetap di situ berintegrasi dengan pembangunan itu, bukan dipindahkan. kok sekarang tiba-tiba akan dipindahkan?" tanyanya.

"Yang jadi pertanyaan kok invesrtornya mau pulaunya keseluruhan, tanah yang ada itu 17.000 hektar lebih kurang, penduduk yang sekarang bermukim itu tidak sampai 300 hektar. Ada 16.000 hektar lebih itu kosong," tegasnya.

Bebaskan Warga Rempang dan Galang

Dalam poin keempat, Sultan Hendra Syafri Riayat dalam titahnya sangat menyesali peristiwa yang terjadi.

Bentrokan antara aparat dengan masyarakat yang terjadi pada Kamis, 7 September 2023 dan Senin, 11 September 2023 seharusnya tidak perlu terjadi.

Sebab, konflik yang terjadi mencederai psikologis dan fisik masyarakat, khususnya anak-anak Rempang-Galang.

"Peristiwa ini melukai masyarakat, khususnya anak-anak. Bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis mereka," jelas Prof Abdul Malik.

"Karena senyatanya pembangunan dan investasi itu tujuan akhirnya adalah kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya," tambahnya.

Harapan Sultan Hendra Syafri Riayat

Atas peristiwa yang terjadi, Sultan Hendra Syafri Riayat berharap kejadian memilukan berupa ancaman, tekanan, penyiksaan, dan tindakan negatif lainnya terhadap rakyat Kepulauan Riau tidak kembali terjadi.

Alasannya Kontribusi Kesultanan Riau-Lingga atau Kepulauan Riau sangat besar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk mencederai hati-sanubari kami Bangsa Melayu di Tanah Tumpah Darah kami sendiri.

"Mereka sadar akan sejarah panjang, jauh sebelum bangsa ini merdeka maupun setelah bangsa ini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia," ungkap Prof Abdul Malik.

"Nilai heroisme ini yang luar biasa, mengapa tidak kita hargai. Itu kan anak-anak veteran perang yang mepertahankan bangsa dan negara kita sehingga terwujud Indonesia," bebernya.

Dirinya pun mempertanyakan banyak terkait rentetan peristiwa yang terjadi, termasuk soal pengosongan Pulau Rempang.

Pertanyaan itu muncul lantaran seluruh pulau dikosongkan dari pribumi untuk dibangun seluruhnya oleh pihak asing.

"Saya dalam kapasitas sebagai orang Indonesia, bukan sebagai pakar budaya jadi curiga, ini ada apa? Semuanya mau dimasukkan orang asing ini ada apa? kok nggak boleh ada orang pribumi di pulau itu? investasi seperti apa itu? Mau dijadikan apa?" tanya Prof Abdul Malik. (dwi)

https://bangka.tribunnews.com/2023/0...sinya?page=all
Diubah oleh Novena.Lizi 15-09-2023 07:05
muhamad.hanif.2
madjoeki
madjoeki dan muhamad.hanif.2 memberi reputasi
2
769
77
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
sebelumnyasudahAvatar border
sebelumnyasudah
#10
Klaim bahwa penduduk tersebut adalah pemilik lahan turun temurun karena dihibah oleh pihak kesultanan karena jasa leluhur mereka :
1. Apa dasar bukti klaim bahwa mereka adalah keturunan leluhur yang seperti di klaim ?
2. Ada bukti kepemilikannya ?
3. Siapa itu kesultanan yang bisa membagi2 tanah ? Apakah mereka seperti penduduk suku naga langit penghuni Mariejois ?
4. Ada disinggung soal data dari luar negeri sebagai dasara argumen. Data darimana ? apakah kredibel dan bisa di buktikan ? Atau data tersebut hanya karangan semata ?
5. Investornya di permasalahkan setelah ada konflik. Kalau investornya bermasalah dengan hak kepemilikian, kenapa tidak tuntut saja ke pengadilan daripada mencoba mengkaitkan dengan SARA ?


Kalau boleh tau, itu tanah yang di klaim milik kesultanan antah berantah ini asal dapatnya darimana ? dari perintah Tuhan ?
aldonistic
muhamad.hanif.2
noone9966
noone9966 dan 3 lainnya memberi reputasi
2
Tutup