YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
[SFTH) Aku dan Orang-orang dari Neraka


Sebagai seorang cowok, apa sih yang kalian pikirkan ketika harus tinggal di rumah kost berhantu? Pindah atau memutuskan bertahan? 


Mungkin sebagian cowok penakut di luar sana akan memutuskan untuk mencari rumah kost-an baru. Itu tidak berlaku bagiku. Bukan karena aku pemberani atau sok pemberani. Namun, karena tak ada pilihan lain. Dompet tipis, dan aku baru diterima kerja. Terlebih ini pertama kalinya aku merantau di kota ini. 


Sempurna sudah.

Tak ada alasan untuk pindah. Aku bertahan, walau bukan hanya hantu yang harus kuhadapi, tapi juga sekumpulan manusia-manusia aneh yang mengklaim diri mereka sebagai penguasa kegelapan. Penganut aliran sesat. Pemuja iblis!



*****



Malam itu sekitar jam sembilan malam, aku tiba di Surabaya. Sengaja aku berangkat sore dari Kediri karena enggan terjebak panas-panasan di dalam bus ekonomi. Dengan aplikasi ojek online dari terminal Bungurasih, aku menuju ke Pasar Turi. Untuk selanjutnya ke Kertopaten, tempat tujuanku. 


Rumah kost-an yang dimaksud tampak berdiri kokoh di antara bangunan-bangunan lainnya. Meski begitu, area itu terlihat sedikit suram, entah karena lampu teras yang mati atau karena pepohonan yang terlalu rimbun di depannya. Hawa negatif langsung muncul, seperti kata Mbak Eka, rumah kost-an ini memang sedikit berhantu. Ya, sedikit. Sungguh sebuah perkataan yang lebih seperti bujukan alih-alih penghiburan. 


Apapun itu, pokoknya hadapi saja! 


Tok! Tok! Tok! 


"Assalamualaikum." 


Aku mengetuk selot pintu gerbang dengan keras. Berharap tak membuat bising apalagi mengganggu istirahat si empunya kost. Tak dikunci, sih. Tapi, masa iya main terobos? 


Cklek! 


Terdengar suara seseorang menaril gerendel dan detik berikutnya pintu rumah itu terbuka. Di dalam rumah sedikit terang, walau tetap tak sepadan dengan luasnya rumah. Namun, aku masih bisa melihat bahwa sosok yang menghampiriku adalah seorang ibu-ibu berambut gimbal dan mengenakan pakaian tidur. 


"Siapa?" Alih-alih menjawab salamku, wanita itu malah balik bertanya. 


"Saya Daniel, Bu. Dari Kediri." 


"Daniel?"

"Nggeh. Yang kemaren sudah memesan salah satu kamar di rumah kost ini, atas nama Mbak Eka." 


Kost ini memang Mbak Eka yang mencarikan. Kakak perempuanku itu sudah lumayan lama tinggal di Surabaya, apalagi sejak berpisah dengan suaminya. Mbak Eka pula yang mendapatkan pekerjaan untukku. Walau tak tahu pekerjaan seperti apa, asal menghasilkan uang pokoknya sikat saja. Daripada tinggal di rumah malah jadi aib keluarga. Bujang nganggur? Mau jadi apa! 


"Owh, Nak Daniel, toh?" Wanita itu seperti mengingat sesuatu. 


"Leres, Bu." (Benar, Bu). 


"Mari-mari masuk, Nak. Tunggu di sini sebentar. Ibu ambil kunci kamarnya dulu." 


Beberapa saat kemudian Ibu itu keluar sambil membawa serentengan kunci. 


"Aduh, Ibu agak lupa sama kunci kamarmu," keluhnya sambil memilah-milah kunci. "Maklum, sudah tua." 


"Boleh saya pinjam semuanya, Bu." Aku berinisiatif. "Nanti kalo sudah ketemu dengan yang cocok, sisanya saya kembalikan." 


"Ya sudah kalo gitu, Nak Daniel bawa saja semua. Besok saja mengembalikannya, Ibu soalnya mau istirahat ini. Lagi nggak enak  badan. Oh, ya jangan lupa besok sekalian bawa fotokopi ktp ya, Nak Daniel." 


"Nggeh, Bu. Kalo gitu saya permisi." 


"Eh, tunggu!"

"Ya?"

"Memangnya Nak Daniel sudah tahu di mana letak kamarnya?"

"Eh, belum Bu, hehe."

Aku cengengesan menyadari kesalahan sendiri. 


"Ya sudah yuk Ibu antarkan. Kamar Nak Daniel ada di lantai dua." 


Wanita berkata sambil mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Beliau membawa sebuah senter kecil yang aku tak tahu buat apa. Setelah mendekati anak tangga menuju lantai dua, baru aku mengerti apa gunanya senter tadi. 


Tangga menuju lantai dua gelap gulita. Entah memang sengaja tak memakai penerangan atau lampunya pada mati. Ibu Kost menyalakan senter lalu berjalan mendahului. 


"Lampunya mati ya, Bu?" Aku bertanya basa-basi, demi mengurangi rasa bergidik yang disebabkan oleh suasana gelap dan sunyi. 


Namun, usahaku untuk memerangi rasa takut sia-sia karena ibu itu tak menjawab. Dia terus menaiki tangga dengan sedikit tergesa. Suara sandal tepleknya keplak-keplak menggema memenuhi lorong tangga. 


Selanjutnya aku hanya bisa menguatkan diri dan hati. Kembali mengingat perkataan Mbak Eka bahwa rumah kostan ini memang berhantu. Walau klaimnya 'sedikit', tetap saja namanya hantu pasti bisa menciptakan rasa takut dalam pikiran manusia. 


Aku cowok. Tidak boleh lemah terhadap hantu atau apapun itu! 


"Nah, sudah sampai." Ibu Kost akhirnya membuka suara ketika telah menapaki sisa tangga terakhir. 


Aku memandang berkeliling. Kamar atas terdiri dari dua baris saling berhadapan. Masing-masing baris terdiri dari empat kamar. Jadi total ada delapan kamar. Di sisi kiri dariku, lampu menyala di depan pintu tiga kamar. Sementara pintu paling ujung terlihat gelap. Begitu melihat sisi kanan yang berhadapan dengan sisi kiri, aku syok berat. Keempat pintunya gelap. Tak ada satu pun penerangan di depan kamar-kamar itu. Semoga kamarku bukan di antara empat kamar itu. 


"Bu, kok lampu di sini juga mati?" Aku kembali bertanya karena tak tahan lagi. 


"Ibu tidak tahu. Ibu jarang naik ke lantai dua," katanya, setengah berbisik. "Sudah ya, Ibu turun dulu. Tanya-tanyanya dilanjut besok pagi saja kalau sudah terang. Oh ya, kamar Nak Daniel ada di deretan kanan. Yang paling ujung ya." 


"Hah?" Aku berseru, tak memercayai apa yang baru saja kudengar. 


"Ibu permisi dulu." 


"Eh, tapi Bu ...." 


Aku tak sempat melanjutkan perkataanku karena wanita itu sudah terlebih dulu melesat menuruni tangga. Terdengar suara berisik dan langkah terburu yang ditimbulkan kakinya. 


Aku masih melongo di tempat. Bingung harus berbuat apa. Tempat ini begitu sepi. Benar-benar menawarkan kengerian tersendiri di benak para penghuninya. Betah sekali mereka hidup gelap-gelapan seperti ini! 


Aku merogoh ponsel dan menyalakan lampu flash kemudian berjalan menuju deretan kamar di sisi kanan. Sampai pada pintu pertama, aku menemukan saklar di dekat pintu. Kuarahkan lampu flash ke plafon. Ada sebuah lampu terpasang di sana.

Dengan sedikit takut, kutekan saklar lampu. 


Ctek! 


Lampu menyala. Kelegaan memenuhi hatiku. Aku mulai berpikir mungkin kamar ini tidak ada penghuninya, jadi tidak ada yang menyalakan lampu. Atau mungkin penghuninya belum pulang dari bekerja sejak pagi, jadi otomatis lampu tak menyala. 


Aku melakukan hal yang sama pada pintu kedua dan ketiga. Terakhir, pintu keempat. Calon kamarku. Keempat lampu menyala. Sekali lagi aku mengembuskan napas lega. 


Detik berikutnya aku segera sibuk memasukan kunci satu persatu untuk menemukan mana yang cocok. Setelah lebih dari separuh kunci kucoba, akhirnya ada yang cocok. Saat hendak masuk, aku mendengar suara gerendel pintu yang ditarik. Detik berikutnya, tiga pintu kamar di sebelahku berderit. Suara deritnya memecah keheningan malam hingga membuat bulu kuduk berdiri. Ketiganya membuka secara bersamaan. 


Aku menelan ludah demi melihat tiga sosok yang keluar dari masing-masing pintu. Dari bawah sinar lampu aku tampak kepala-kepala mereka yang plontos, mata yang lebih gelap, kulit pucat dan bibir gelap. Kemudian tubuh yang kurus dibalut pakaian serba hitam. Dan walaupun mata mereka tampak gelap, aku bisa melihat bahwa ketiganya sedang menatapku. Dengan raut wajah yang penuh amarah. 


Apakah mereka manusia? 


Ctek! 


Kemudian sosok-sosok itu menghilang ditelan gelap. Setelah mematikan lampu di depan kamar masing-masing, kemudian ketiganya membanting pintu dengan suara keras. Meninggalkanku yang masih berdiri kaku di sini sambil memegangi serenteng kunci dengan perasaan syok luar biasa. 


Butuh beberapa menit untuk menetralisir degub di jantungku. Setelah kemudian tersadar akan bahayanya berdiri di luar kamar di tengah malam begini. Aku pun bergegas masuk dan mengunci pintu dari dalam. Seketika aku langsung tersedak. 


Aroma apa ini? Apa ada bangkai tikus yang mati di kamar ini? Aku refleks menutup hidung dan mulut menggunakan masker, kemudian berusaha menyingkirkan debu-debu dan sarang laba-laba yang bergelantungan di mana-mana? 


Ini kamar kost atau gudang, sih? Pemiliknya pasti jarang mengunjungi kamar ini. Dan mungkin kamar ini sudah lama tak ada penghuninya. Memangnya siapa yang mau tidur berdampingan dengan orang-orang aneh nan horor itu? 


Pantas saja kamar ini harganya murah. Separo harga dari kamar yang ada di lantai bawah. Kalau nanti sudah gajian lebih baik aku pindah ke kamar bawah saja lah. Barangkali di bawah ada yang kosong. Sementara, biarlah aku bertahan di sini. 


Aku membersihkan debu yang menempel di perabot dalam kamar itu. Walaupun kamar ini tak terlalu luas, tapi lumayan lengkap dengan adanya sepasang meja kursi dan kompor di ujung ruangan. Di sisi kiri, terdapat satu dipan kecil dengan kasur keras menempel di dinding. Bantalnya sudah bau tengik dengan sprei yang mungkin sudah setahun tak dicuci. 


Aku benar-benar menyerah dengan kamar ini. Kubuka pintu kamar mandi di sebelah wastafel, berharap ada pengharapan di sana. Closet jongkoknya cukup bersih. Dilengkapi dengan gayung dan ember berukuran sedang. Kuulir kran air dan menyala dengan air yang bersih. Aman. 


Setelah bersih-bersih dan membongkar tas -- ah rasanya tak perlu dibongkar karena kamar ini tak ada lemari -- kuputuskan untuk mandi. Setelah sebelumnya menyemprot seluruh sudut ruangan dengan parfum demi menetralisir bau. 


Di sela-sela suara kran yang bergemericik, tiba-tiba aku mendengar suara orang bersiul. Aku mematikan kran demi memastikan pendengaranku sendiri. Itu benar-benar suara siulan. 


Siapa gerangan orang yang bersiul malam-malam begini? 


Semakin lama suara siulan itu semakin dekat, seolah memang sedang mendekati kamarku. Aku menoleh berkeliling, memastikan tak ada lubang di dinding kamar mandi. Kemudian cepat-cepat menyelesaikan mandi. 


Keluar dari kamar mandi, aku dikejutkan dengan suara langkah yang mendekat. Hingga langkah itu terhenti tepat di depan kamarku. Suara siulan itu pun ikut berhenti. Kemudian .... 


Ctek! 


Ruangan kamarku menjadi gelap gulita. Begitupun di luar sana. Bagaimana bisa? Padahal yang ditekannya adalah saklar di luar, di dekat pintu? Apa kabelnya terhubung. 


Aku gegas mencari ponselku kemudian menyalakan lampu flash. Kuarahkan lampu ke segala arah demi mencari saklar lampu. Tidak ada. Kamar ini tak mempunyai saklar lampu di dalam. Begitu pun dengan kamar mandi. 


Kemudian aku teringat saat pertama kali masuk tadi, semua lampu memang sudah menyala begitu aku menyalakan lampu depan. Jadi? Kamar model apa yang hanya memiliki satu saklar lampu. Di luar pula! 


Merasa gusar dengan keadaan yang sama sekali tak baik ini aku bergegas menuju pintu dan membukanya secara sembarangan. Tak peduli apakah si penyiul itu hantu atau manusia, pokoknya aku harus melayangkan protes. Setidaknya, aku harus meluapkan amarah! 


Namun, sial. Begitu membuka pintu, orang tersebut telah pergi. Aku bisa melihat bayangannya dalam gelap, menuju tangga di sebelah kamarku. Eh, ada tangga menuju lantai tiga! Apakah ada kamar lagi di atas sana? 


Aku hendak mengikuti orang itu, tetapi urung. Sosok itu melangkah cepat menaiki tangga yang gelap. Membuat nyaliku menciut. Sempat terpikir untuk mengarahkan flash ke arah tangga, tetapi urung juga. Aku takut membayangkan sosok berwajah seram akan menghampiri lalu mencekik leherku. 


Kebanyakan menonton film horor, ya beginilah akibatnya! 


Malam yang cukup panjang dan pengap. Saklar tak bisa kembali kunyalakan entah apa sebabnya. Ruangan kamar terasa gerah dan menakutkan. Terpaksa kunyalakan flash semalaman agar tak terlalu gelap. Kelelahan, akhirnya rasa kantuk datang juga. 


"Aaaaaaaaaa .....!" 


Entah berapa lama tertidur, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara teriakan. Siapa yang berteriak? Yang pasti bukan tiga orang aneh di sebelahku, karena suara yang kudengar adalah suara seorang perempuan. 


Aku terbangun gelagapan. Merasa terganggu. Lebih syok lagi karena lampu kamarku kini sudah menyala. Kuambil ponsel yang sudah sekarat lalu mengisinya. 


Tok! Tok! Tok! 


"Tolong! Buka pintu! Tolong!" 


Terdengar suara perempuan memukul-mukul pintu kamarku dari luar. Membuatku berjengit ketakutan.

Siapa perempuan itu? 







Diubah oleh YenieSue0101 30-05-2023 05:44
namakuve
pilotproject715
arieaduh
arieaduh dan 30 lainnya memberi reputasi
31
8.5K
109
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
#56
Bagian 10


"K-kamu bukannya sudah mati?" Sebuah pertanyaan konyol muncul begitu saja dari mulutku. Bagaimana tidak? Aku jelas-jelas melihatnya menggelepar dikelilingi para Godil setelah salah satu dari mereka mengiris pergelangan tangannya. Melihat wajahnya yang penuh balutan plester dan perban sekarang membuatku teringat kembali peristiwa mengerikan pada malam itu. Saat itu adalah pertama kalinya aku melihat pembunuhan di depan mata. Kemudian teringat pada Seto. Ah, di mana keparat itu sekarang berada? 


"Mereka menyelamatkanku," kata lelaki itu seraya mengedikkan kepala ke arah Mayang. 


"Jadi maksudmu, mereka yang menjuluki dirinya sebagai Pasukan Anti Godil ini menyelamatkanmu?" ulangku. 


"Ya. Sama seperti kamu yang kami selamatkan," terang Mayang. "Jadi jelas, kan? Kami membentuk pasukan tidak serta merta agar terlihat keren. Kami adalah juru selamat bagi kalian. Tugas kami adalah memerangi kebrutalan Godil dan menyelamatkan para sanderanya. Oh, bukankah aku sudah menjelaskannya dari awal? Apakah dirimu yang memutuskan untuk menelusup di kandang Godil dan memberanikan diri meneriaki mereka 'pembunuh' ini tak ada minat sedikit pun untuk berperang melawan mereka? Apakah kamu tetap akan menjadi pramuriadang di balik kata-kata 'lahir dari keluarga normal' dan 'anak baik' yang kamu sebut-sebut di awal tadi?" 


"Siapa yang pramuriadang?" Aku bertanya lirih, lebih kepada diri sendiri. Kini aku benar-benar terpojok. Aku harus bergabung jika ingin terlihat gentle. Ah, bukan. Mereka memiliki tujuan yang jelas yaitu memerangi kejahatan. Itu bagian terpentingnya. Lagipula aku sudah telanjur menjadi Godil, meski tak bisa kuterima. Jadi satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah bergabung dengan organisasi aneh ini. Aku jijik membayangkan diriku sendiri memakai jubah dan menyembah-nyembah iblis. 


"Kenapa kita nggak lapor polisi saja?" kataku akhirnya. "Kita serahkan semua ke polisi. Biar mereka yang menangani. Polisi akan dengan cepat menggerebek markas mereka." 


"Kamu yakin polisi di negara kita bisa bertindak cepat begitu kita melapor?" 


"Tentu saja." Aku berkata bodoh. 


"Kamu tinggal di planet Mars, ya?" Mayang berkata sinis. 


"Hah?" 


"Jaman sekarang nggak ada polisi yang mau bertindak jika tak ada duitnya. Itu satu fakta yang harus kamu ketahui. Jadi percuma saja lapor. Mereka nyaris tak bisa diandalkan. Semua hanya akan menjadi laporan yang menumpuk di meja dan kemudian hilang entah." 


Aku melongo mendengar penjelasannya. Tidak kusangka Mayang yang cengeng dan kekanakan akan menjadi secerdas dan sekritis ini. 


"Dan lagi," lanjutnya. Masih dengan kalimat yang garang dan meletup-letup. "Godil itu sudah lama berdiri. Membernya pun sangat banyak tersebar di berbagai tempat. Bukan tidak mungkin salah satu dari mereka ada yang polisi, bahkan pejabat pemerintah. Tak usah jauh-jauh deh. Misalnya kamu mau melaporkan peristiwa di atas atap kemaren pada Pak Kost ataupun ketua RW, itu pun juga tak mungkin. Karena Pak Kost kita juga member Godil!" 


"Hati-hati menyebar identitas orang." Si Botak datang menyela. 


"Cuma mau menjelaskan beberapa hal kecil pada calon anggota pasukan, kok!" Mayang berkata sewot. 


"Setidaknya setelah mengetahui fakta ini, memerangi mereka dengan cara 'normal' sudah tak mungkin lagi. Jadi, kamu masih mau memberi bantahan?" 


Kali ini Mayang menatapku. Membuatku menjadi salah tingkah. Mungkin apa yang dia katakan ada benarnya. Jadi, apakah aku harus bergabung dengan organisasi gelap ini? 


"Kuberi kamu waktu tiga hari untuk berpikir," kata Mayang akhirnya. "Setelah kondisimu benar-benar baik, kamu boleh keluar dari sini. Tetapi perlu diingat, di luar kita nggak dekat. Jadi, jangan menyapa. Dan jangan coba-coba untuk berani menceritakan perihal kami kepada orang lain!" 


Usai mengatakan kalimat keji, gadis itu pergi meninggalkan ruangan bertirai. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu membuka dan kembali menutup dengan bunyi keras. 


Untuk beberapa saat aku berdiri tertegun. Kupandangi lelaki yang kemarin nyaris mati itu, yang kini bisa tersenyum walaupun wajahnya penuh plester. Sebuah jarum infus menancap di pergelangan tangannya yang tak terluka. Si Botak tampak sibuk mengatur laju tetesan cairan infus di botolnya. 


"Jadi, kamu seorang dokter?" tanyaku akhirnya. Mengalihkan perhatianku dari Mayang yang telah pergi.


Si Botak menoleh dan memandangku kasihan. "Dulunya." 


"Kenapa berhenti menjadi dokter?" Aku bertanya lagi. 


"Karena sudah tidak membuka praktek." Dia menjawab asal. 


"Jadi, yang kamu lakukan sekarang ini ilegal dong?" Aku menyerbu. 


"Bisa jadi."


Seenteng itu dia menjawab hal yang berkaitan dengan nyawa manusia.


"Ngomong-ngomong, pas awal kita bertemu waktu itu kenapa wajah kalian tampak mengerikan seperti hantu?" 


"Itu hanya perasaanmu saja." 


"Oh ya, kenapa sekarang cuma ada kamu di sini? Di mana dua orang lainnya." 


"Sedang berburu Godil di luaran," kata si Botak santai. Dia masih asyik menata peralatan dan obat-obatan di meja rak sebelah ranjang pasien. 


"Ngomong-ngomong lagi kenapa sekarang kamu jadi banyak bicara dan menyapa orang. Bukanlah kalian sudah tidak pernah interaksi dengan orang lain? Apakah dua saudaramu juga banyak bicara sepertimu?" 


"Kamu yang banyak bicara!" hardiknya, membuatku sedikit kaget. "Berhenti bertanya dan cepat bereskan sampah ini!" 


"Apa kamu kurus karena hidup tanpa cinta?" godaku. 


Lelaki itu mendelik sebal. Aku tertawa puas. Kupunguti plastik-plastik dan jarum suntik bekas pakai ke dalam kantong kresek hitam. Lalu membuangnya ke tong sampah di pojok ruangan. 


*****



Empat puluh delapan jam aku tinggal di ruangan itu. Dan menjadi akrab dengan mereka. Bahkan aku sudah sempat berkenalan dan menyapa dua orang botak lainnya. Tetapi mereka tak mau menyebutkan siapa nama mereka, sehingga aku terpaksa menamainya Botak Satu, Botak Dua dan Botak Tiga. Mereka bukan kembar, hanya penampilan saja yang sama. Jadi, mudah membedakannya. Yang kutemui pertama kali, kunamakan Botak Satu. Rupanya dia yang paling muda dari tiga bersaudara. Jadi wajar, jika amarahnya suka meletup-letup. 


Yang jarang kutemui adalah Mayang. Gadis itu hanya datang untuk memberi informasi-informasi seputar pergerakan mereka yang tak kupahami. Dia terus saja menatap sinis padaku. Dia tak menyapaku apalagi mengajakku bicara. Seolah lupa dulu pernah merengek minta tolong dan menerobos kamarku di malam hari. Eh, apakah itu juga bagian dari rencana mereka? Hmm, yang ini perlu kuusut. 


Sungguh aneh rasanya tinggal di ruangan tertutup tanpa jendela dengan penerangan minim itu. Lebih aneh lagi sejak di sini aku sama sekali tidak pernah mendengar suara-suara dari luar. Apakah dinding ini kedap suara? 


Meski tak terlalu luas, tetapi ruangan ini memiliki cukup banyak perabotan. Ada dua ranjang, satu set meja kursi, lemari bahkan peralatan memasak di dapur minimalis. Pada suatu dini hari, Botak Dua masuk dan membawa bahan-bahan makanan lalu sibuk memasak di dapur. Dia memberiku makan secara cuma-cuma seolah aku ini pasiennya. Dokter dan koki, perpaduan yang pas untuk dua botak itu. Dan ruangan ini lebih mirip seperti rumah sakit misterius saja. 


"Kamu bisa keluar hari ini," kata Botak Dua. Dengan gaya dokternya, dia memeriksa tubuhku. 


"Aku harus keluar dari pintu mana?" tanyaku polos. 


"Pintu mana saja, bebas." 


"Tidak terkunci seperti kemaren, kan?" 


"Dia akan membukakannya untukmu." Botak Dua menunjuk Botak Satu yang sibuk menelepon. 


"Oh, dia sang juru kunci," gumamku. 


"Apa?" 


"Bukan apa-apa." 


Si juru kunci menutup telepon dan mengambil sebuah buntalan kemudian menyerahkan padaku. 


"Apa ini?" Aku bertanya heran. 


"Baju kerja." 


"Hah?" 


"Ayo kuantar keluar." Botak Satu mengusirku. 


"Eh, tunggu! Aku belum pamitan sama mas-mas yang sakit di sana," protesku. 


"Tidak perlu. Nanti juga ketemu lagi. Ayo!" Dia menyeret lenganku. Kasar. 


Aku terpaksa menurut karena takut mereka akan menghajarku seperti waktu itu. Meski kurus, tenaga mereka sangat kuat. Apalagi aku barusaja bangkit dari sekarat nyaris mati. Bahkan tubuhku belum pulih sepenuhnya. 


Botak Satu membuka pintu dengan kunci ajaibnya, dan mendorong tubuhku keluar. Kemudian pintu menutup kembali dengan kasar. Ugh! Dia sedikit jutek rupanya. Aku harus berhati-hati jika berhadapan dengannya. 


Dua hari tak merasakan udara terbuka membuatku terkesima dengan sepoi angin yang menerpa wajahku. Rasanya, tubuhku menjadi segar kembali. Sepertinya matahari tengah berada pada titik tertinggi karena udara begitu hangat. Kupejamkan mata sesaat untuk merasakan kebebasan ini. Kemudian setelah berbalik dan membuka mata, aku terpana dengan penampakan di depan mata. 


Ini ... adalah kost-kost anku! Aku baru saja keluar dari pintu salah satu kamar di sini! 


Dan itu adalah kamar Botak bersaudara yang bersebelahan dengan kamarku. Jadi, selama ini aku tinggal di dalam kamar mereka? Tiga pintu itu, tiga kamar itu menyatu tanpa dinding penyekat! 


Apa-apaan ini?



namakuve
simounlebon
itkgid
itkgid dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup