YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
[SFTH) Aku dan Orang-orang dari Neraka


Sebagai seorang cowok, apa sih yang kalian pikirkan ketika harus tinggal di rumah kost berhantu? Pindah atau memutuskan bertahan? 


Mungkin sebagian cowok penakut di luar sana akan memutuskan untuk mencari rumah kost-an baru. Itu tidak berlaku bagiku. Bukan karena aku pemberani atau sok pemberani. Namun, karena tak ada pilihan lain. Dompet tipis, dan aku baru diterima kerja. Terlebih ini pertama kalinya aku merantau di kota ini. 


Sempurna sudah.

Tak ada alasan untuk pindah. Aku bertahan, walau bukan hanya hantu yang harus kuhadapi, tapi juga sekumpulan manusia-manusia aneh yang mengklaim diri mereka sebagai penguasa kegelapan. Penganut aliran sesat. Pemuja iblis!



*****



Malam itu sekitar jam sembilan malam, aku tiba di Surabaya. Sengaja aku berangkat sore dari Kediri karena enggan terjebak panas-panasan di dalam bus ekonomi. Dengan aplikasi ojek online dari terminal Bungurasih, aku menuju ke Pasar Turi. Untuk selanjutnya ke Kertopaten, tempat tujuanku. 


Rumah kost-an yang dimaksud tampak berdiri kokoh di antara bangunan-bangunan lainnya. Meski begitu, area itu terlihat sedikit suram, entah karena lampu teras yang mati atau karena pepohonan yang terlalu rimbun di depannya. Hawa negatif langsung muncul, seperti kata Mbak Eka, rumah kost-an ini memang sedikit berhantu. Ya, sedikit. Sungguh sebuah perkataan yang lebih seperti bujukan alih-alih penghiburan. 


Apapun itu, pokoknya hadapi saja! 


Tok! Tok! Tok! 


"Assalamualaikum." 


Aku mengetuk selot pintu gerbang dengan keras. Berharap tak membuat bising apalagi mengganggu istirahat si empunya kost. Tak dikunci, sih. Tapi, masa iya main terobos? 


Cklek! 


Terdengar suara seseorang menaril gerendel dan detik berikutnya pintu rumah itu terbuka. Di dalam rumah sedikit terang, walau tetap tak sepadan dengan luasnya rumah. Namun, aku masih bisa melihat bahwa sosok yang menghampiriku adalah seorang ibu-ibu berambut gimbal dan mengenakan pakaian tidur. 


"Siapa?" Alih-alih menjawab salamku, wanita itu malah balik bertanya. 


"Saya Daniel, Bu. Dari Kediri." 


"Daniel?"

"Nggeh. Yang kemaren sudah memesan salah satu kamar di rumah kost ini, atas nama Mbak Eka." 


Kost ini memang Mbak Eka yang mencarikan. Kakak perempuanku itu sudah lumayan lama tinggal di Surabaya, apalagi sejak berpisah dengan suaminya. Mbak Eka pula yang mendapatkan pekerjaan untukku. Walau tak tahu pekerjaan seperti apa, asal menghasilkan uang pokoknya sikat saja. Daripada tinggal di rumah malah jadi aib keluarga. Bujang nganggur? Mau jadi apa! 


"Owh, Nak Daniel, toh?" Wanita itu seperti mengingat sesuatu. 


"Leres, Bu." (Benar, Bu). 


"Mari-mari masuk, Nak. Tunggu di sini sebentar. Ibu ambil kunci kamarnya dulu." 


Beberapa saat kemudian Ibu itu keluar sambil membawa serentengan kunci. 


"Aduh, Ibu agak lupa sama kunci kamarmu," keluhnya sambil memilah-milah kunci. "Maklum, sudah tua." 


"Boleh saya pinjam semuanya, Bu." Aku berinisiatif. "Nanti kalo sudah ketemu dengan yang cocok, sisanya saya kembalikan." 


"Ya sudah kalo gitu, Nak Daniel bawa saja semua. Besok saja mengembalikannya, Ibu soalnya mau istirahat ini. Lagi nggak enak  badan. Oh, ya jangan lupa besok sekalian bawa fotokopi ktp ya, Nak Daniel." 


"Nggeh, Bu. Kalo gitu saya permisi." 


"Eh, tunggu!"

"Ya?"

"Memangnya Nak Daniel sudah tahu di mana letak kamarnya?"

"Eh, belum Bu, hehe."

Aku cengengesan menyadari kesalahan sendiri. 


"Ya sudah yuk Ibu antarkan. Kamar Nak Daniel ada di lantai dua." 


Wanita berkata sambil mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Beliau membawa sebuah senter kecil yang aku tak tahu buat apa. Setelah mendekati anak tangga menuju lantai dua, baru aku mengerti apa gunanya senter tadi. 


Tangga menuju lantai dua gelap gulita. Entah memang sengaja tak memakai penerangan atau lampunya pada mati. Ibu Kost menyalakan senter lalu berjalan mendahului. 


"Lampunya mati ya, Bu?" Aku bertanya basa-basi, demi mengurangi rasa bergidik yang disebabkan oleh suasana gelap dan sunyi. 


Namun, usahaku untuk memerangi rasa takut sia-sia karena ibu itu tak menjawab. Dia terus menaiki tangga dengan sedikit tergesa. Suara sandal tepleknya keplak-keplak menggema memenuhi lorong tangga. 


Selanjutnya aku hanya bisa menguatkan diri dan hati. Kembali mengingat perkataan Mbak Eka bahwa rumah kostan ini memang berhantu. Walau klaimnya 'sedikit', tetap saja namanya hantu pasti bisa menciptakan rasa takut dalam pikiran manusia. 


Aku cowok. Tidak boleh lemah terhadap hantu atau apapun itu! 


"Nah, sudah sampai." Ibu Kost akhirnya membuka suara ketika telah menapaki sisa tangga terakhir. 


Aku memandang berkeliling. Kamar atas terdiri dari dua baris saling berhadapan. Masing-masing baris terdiri dari empat kamar. Jadi total ada delapan kamar. Di sisi kiri dariku, lampu menyala di depan pintu tiga kamar. Sementara pintu paling ujung terlihat gelap. Begitu melihat sisi kanan yang berhadapan dengan sisi kiri, aku syok berat. Keempat pintunya gelap. Tak ada satu pun penerangan di depan kamar-kamar itu. Semoga kamarku bukan di antara empat kamar itu. 


"Bu, kok lampu di sini juga mati?" Aku kembali bertanya karena tak tahan lagi. 


"Ibu tidak tahu. Ibu jarang naik ke lantai dua," katanya, setengah berbisik. "Sudah ya, Ibu turun dulu. Tanya-tanyanya dilanjut besok pagi saja kalau sudah terang. Oh ya, kamar Nak Daniel ada di deretan kanan. Yang paling ujung ya." 


"Hah?" Aku berseru, tak memercayai apa yang baru saja kudengar. 


"Ibu permisi dulu." 


"Eh, tapi Bu ...." 


Aku tak sempat melanjutkan perkataanku karena wanita itu sudah terlebih dulu melesat menuruni tangga. Terdengar suara berisik dan langkah terburu yang ditimbulkan kakinya. 


Aku masih melongo di tempat. Bingung harus berbuat apa. Tempat ini begitu sepi. Benar-benar menawarkan kengerian tersendiri di benak para penghuninya. Betah sekali mereka hidup gelap-gelapan seperti ini! 


Aku merogoh ponsel dan menyalakan lampu flash kemudian berjalan menuju deretan kamar di sisi kanan. Sampai pada pintu pertama, aku menemukan saklar di dekat pintu. Kuarahkan lampu flash ke plafon. Ada sebuah lampu terpasang di sana.

Dengan sedikit takut, kutekan saklar lampu. 


Ctek! 


Lampu menyala. Kelegaan memenuhi hatiku. Aku mulai berpikir mungkin kamar ini tidak ada penghuninya, jadi tidak ada yang menyalakan lampu. Atau mungkin penghuninya belum pulang dari bekerja sejak pagi, jadi otomatis lampu tak menyala. 


Aku melakukan hal yang sama pada pintu kedua dan ketiga. Terakhir, pintu keempat. Calon kamarku. Keempat lampu menyala. Sekali lagi aku mengembuskan napas lega. 


Detik berikutnya aku segera sibuk memasukan kunci satu persatu untuk menemukan mana yang cocok. Setelah lebih dari separuh kunci kucoba, akhirnya ada yang cocok. Saat hendak masuk, aku mendengar suara gerendel pintu yang ditarik. Detik berikutnya, tiga pintu kamar di sebelahku berderit. Suara deritnya memecah keheningan malam hingga membuat bulu kuduk berdiri. Ketiganya membuka secara bersamaan. 


Aku menelan ludah demi melihat tiga sosok yang keluar dari masing-masing pintu. Dari bawah sinar lampu aku tampak kepala-kepala mereka yang plontos, mata yang lebih gelap, kulit pucat dan bibir gelap. Kemudian tubuh yang kurus dibalut pakaian serba hitam. Dan walaupun mata mereka tampak gelap, aku bisa melihat bahwa ketiganya sedang menatapku. Dengan raut wajah yang penuh amarah. 


Apakah mereka manusia? 


Ctek! 


Kemudian sosok-sosok itu menghilang ditelan gelap. Setelah mematikan lampu di depan kamar masing-masing, kemudian ketiganya membanting pintu dengan suara keras. Meninggalkanku yang masih berdiri kaku di sini sambil memegangi serenteng kunci dengan perasaan syok luar biasa. 


Butuh beberapa menit untuk menetralisir degub di jantungku. Setelah kemudian tersadar akan bahayanya berdiri di luar kamar di tengah malam begini. Aku pun bergegas masuk dan mengunci pintu dari dalam. Seketika aku langsung tersedak. 


Aroma apa ini? Apa ada bangkai tikus yang mati di kamar ini? Aku refleks menutup hidung dan mulut menggunakan masker, kemudian berusaha menyingkirkan debu-debu dan sarang laba-laba yang bergelantungan di mana-mana? 


Ini kamar kost atau gudang, sih? Pemiliknya pasti jarang mengunjungi kamar ini. Dan mungkin kamar ini sudah lama tak ada penghuninya. Memangnya siapa yang mau tidur berdampingan dengan orang-orang aneh nan horor itu? 


Pantas saja kamar ini harganya murah. Separo harga dari kamar yang ada di lantai bawah. Kalau nanti sudah gajian lebih baik aku pindah ke kamar bawah saja lah. Barangkali di bawah ada yang kosong. Sementara, biarlah aku bertahan di sini. 


Aku membersihkan debu yang menempel di perabot dalam kamar itu. Walaupun kamar ini tak terlalu luas, tapi lumayan lengkap dengan adanya sepasang meja kursi dan kompor di ujung ruangan. Di sisi kiri, terdapat satu dipan kecil dengan kasur keras menempel di dinding. Bantalnya sudah bau tengik dengan sprei yang mungkin sudah setahun tak dicuci. 


Aku benar-benar menyerah dengan kamar ini. Kubuka pintu kamar mandi di sebelah wastafel, berharap ada pengharapan di sana. Closet jongkoknya cukup bersih. Dilengkapi dengan gayung dan ember berukuran sedang. Kuulir kran air dan menyala dengan air yang bersih. Aman. 


Setelah bersih-bersih dan membongkar tas -- ah rasanya tak perlu dibongkar karena kamar ini tak ada lemari -- kuputuskan untuk mandi. Setelah sebelumnya menyemprot seluruh sudut ruangan dengan parfum demi menetralisir bau. 


Di sela-sela suara kran yang bergemericik, tiba-tiba aku mendengar suara orang bersiul. Aku mematikan kran demi memastikan pendengaranku sendiri. Itu benar-benar suara siulan. 


Siapa gerangan orang yang bersiul malam-malam begini? 


Semakin lama suara siulan itu semakin dekat, seolah memang sedang mendekati kamarku. Aku menoleh berkeliling, memastikan tak ada lubang di dinding kamar mandi. Kemudian cepat-cepat menyelesaikan mandi. 


Keluar dari kamar mandi, aku dikejutkan dengan suara langkah yang mendekat. Hingga langkah itu terhenti tepat di depan kamarku. Suara siulan itu pun ikut berhenti. Kemudian .... 


Ctek! 


Ruangan kamarku menjadi gelap gulita. Begitupun di luar sana. Bagaimana bisa? Padahal yang ditekannya adalah saklar di luar, di dekat pintu? Apa kabelnya terhubung. 


Aku gegas mencari ponselku kemudian menyalakan lampu flash. Kuarahkan lampu ke segala arah demi mencari saklar lampu. Tidak ada. Kamar ini tak mempunyai saklar lampu di dalam. Begitu pun dengan kamar mandi. 


Kemudian aku teringat saat pertama kali masuk tadi, semua lampu memang sudah menyala begitu aku menyalakan lampu depan. Jadi? Kamar model apa yang hanya memiliki satu saklar lampu. Di luar pula! 


Merasa gusar dengan keadaan yang sama sekali tak baik ini aku bergegas menuju pintu dan membukanya secara sembarangan. Tak peduli apakah si penyiul itu hantu atau manusia, pokoknya aku harus melayangkan protes. Setidaknya, aku harus meluapkan amarah! 


Namun, sial. Begitu membuka pintu, orang tersebut telah pergi. Aku bisa melihat bayangannya dalam gelap, menuju tangga di sebelah kamarku. Eh, ada tangga menuju lantai tiga! Apakah ada kamar lagi di atas sana? 


Aku hendak mengikuti orang itu, tetapi urung. Sosok itu melangkah cepat menaiki tangga yang gelap. Membuat nyaliku menciut. Sempat terpikir untuk mengarahkan flash ke arah tangga, tetapi urung juga. Aku takut membayangkan sosok berwajah seram akan menghampiri lalu mencekik leherku. 


Kebanyakan menonton film horor, ya beginilah akibatnya! 


Malam yang cukup panjang dan pengap. Saklar tak bisa kembali kunyalakan entah apa sebabnya. Ruangan kamar terasa gerah dan menakutkan. Terpaksa kunyalakan flash semalaman agar tak terlalu gelap. Kelelahan, akhirnya rasa kantuk datang juga. 


"Aaaaaaaaaa .....!" 


Entah berapa lama tertidur, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara teriakan. Siapa yang berteriak? Yang pasti bukan tiga orang aneh di sebelahku, karena suara yang kudengar adalah suara seorang perempuan. 


Aku terbangun gelagapan. Merasa terganggu. Lebih syok lagi karena lampu kamarku kini sudah menyala. Kuambil ponsel yang sudah sekarat lalu mengisinya. 


Tok! Tok! Tok! 


"Tolong! Buka pintu! Tolong!" 


Terdengar suara perempuan memukul-mukul pintu kamarku dari luar. Membuatku berjengit ketakutan.

Siapa perempuan itu? 







Diubah oleh YenieSue0101 30-05-2023 05:44
namakuve
pilotproject715
arieaduh
arieaduh dan 30 lainnya memberi reputasi
31
8.5K
109
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
#49
Bagian 9


"Sudah berapa lama dia tak sadarkan diri?" 


"Mungkin sekitar delapan jam." 


"Menurutmu apakah dia akan bertahan? Bagaimana jika dia benar-benar mati?" 


"Hahaha! Kau seperti tidak mengetahui legendanya saja?" 


"Jadi benar, bocah ini adalah titisan Sang Tuan?" 


"Sttt! Lihat dia mulai membuka mata!"



***** 


Aku mengerjap. Kelopak mataku terasa berat untuk membuka tetapi masih bisa kulihat ruangan ini samar-samar. Semua dinding bercat gelap, bahkan langit-langitnya. Kukira aku sudah berada di surga. Akh, tidak! Rasa-rasanya aku sedang berada di neraka .... 


"Argghh!" Aku berteriak. Mataku mendadak terasa terbakar begitu menatap bayangan di atasku. 


Sambil masih menutup mata aku berusaha duduk dan meraba-raba tempat di mana aku terbaring telentang. Dingin sekali di sini! Aku merabai tubuhku yang bertelanjang dada. 


"Coba buka matamu kembali, anak muda," ucap seseorang dengan suara berat di dekat telingaku. 


Dengan takut aku membuka mata perlahan dan melihat penampakan di depanku. Kini rasa terbakar di kedua mataku mulai berkurang dan masih bisa kutahan. 


Setelah memastikan apa yang kulihat, mataku membelakak. 


"Kau?" 


Rupanya yang berdiri menatapku sekarang adalah salah satu dari tiga bersaudara. Meski ruangan itu hanya memiliki pencahayaan minim, tetapi aku bisa dengan jelas melihat mata gelap dan pipi kurusnya. Si botak itu sukses menakutiku. 


Eh, tapi. Apakah barusan dia mengajakku berbicara? Ini agak aneh. Bukankah mereka enggan bersosialisasi dengan manusia lainnya. 


"Efek mata terbakar yang kau rasakan saat pertama melihat kami hanya berlangsung sebentar saja, jadi kau tak perlu kaget," ujar lelaki botak itu.


"Kau pasti bertanya-tanya bagaimana efek itu bisa muncul. Benarkan?" lanjutnya. 


"Apakah ini di neraka?" Pertanyaan yang berhasil kulontarkan berhasil mengejutkannya. 


Si botak terkekeh mendengar pertanyaanku. 


Jujur saja, aku masih syok dengan keberadaanku di ruangan gelap ini. Terlebih ada lelaki botak itu yang mengajakku bicara. Juga seorang wanita bergaun minim berwarna merah menyala yang kini duduk tak jauh dari ranjang tempatku berbaring. Setelah kulihat dengan seksama, ternyata wanita itu adalah Mayang. Sedang apa dia di sini bersama si botak? Apakah ada rahasia yang tak kuketahui? 


"Aku masih manusia, bocah!" umpatnya. "Jika aku manusia, mana mungkin ini neraka?" 


"Lalu di mana aku? Bukankah aku sudah mati?" Aku mendesaknya. 


"Ya, kau sudah mati." Si botak menjawab enteng. 


"Nah!" 


"Tapi hidup kembali." 


Aku tersentak mendengar perkataannya. 


"Apa maksudmu?" 


"Maksudku adalah, Godil berhasil merekrut seorang anggota secara paksa. Dan kini si 'Godil Pemula' ini sedang merasa bodoh dan banyak bacot di sini." 


"Siapa yang kau maksud? Siapa yang Godil? Tidak ada yang berkenan menjadi pengikut iblis jahanam itu." 


"Mengelaklah sekuatmu. Takdirmu sudah digariskan." 


Aku emosi mendengar tiap perkataan tak masuk akalnya. Sebaiknya aku segera pergi dari sini agar tak ikut sinting bersama mereka. 


Aku menuju sebuah pintu dan berusaha membukanya tetapi gagal. Mataku memandang ke segala arah. Ruangan ini cukup luas. Bahkan di sebelah pintu ini masih ada dua pintu lainnya yang berjajar. Segera aku menuju dua pintu itu tetapi keduanya sama-sama tak bisa membuka. Mau sekuat apapun aku mencoba, tetap tak bisa membuatnya terbuka. 


"Daniel, percuma kamu buang-buang tenagamu." Kali ini Mayang yang berbicara. Dia telah meninggalkan kesibukannya memainkan lilin dan kini berjalan ke arahku. Baru kusadari bahwa make upnya sangat tebal. Bibirnya merah menyala, senada dengan gaunnya. Sementara rambut panjang hitamnya tergerai menutupi punggungnya. Tidakkah dia sadar bahwa penampilannya mirip seperti para wanita jahat di film-film? Penampilan dan pembawaannya benar-benar berbeda dari Mayang yang pernah kutemui sebelum ini. 


"Berhenti bertingkah konyol dan kemarilah," perintahnya. "Dengarkan kami bicara." 


"Apa-apaan ini? Bagaimana kamu bisa akrab dengan lelaki aneh ini?" 


"Hohoho, jangan cemburu anak muda. Aku bukan pemangsa para gadis." 


"Tutup mulutmu, Botak Jelek!" 


"Berisik ah, kalian!" 


"Oke-oke, aku tidak akan ikut campur lagi. Kuserahkan urusan si 'Godil Pemula' ini padamu." 


Mayang tampak tak sabar. Dia mengisyaratkanku untuk duduk di kursi tempatnya duduk tadi. Sementara dia sendiri mengempaskan tubuh di meja seberang. 


"Jadi, ceritakan padaku. Ada apa ini? Kenapa aku di sini dan apa hubunganmu dengan si botak itu." 


"Dia adalah budakku," kata Mayang santai. 


"Hah!" Aku melongo. 


"Siapa yang kau sebut budak!" Si Botak seperti tak menerima. 


Mayang hanya tertawa kecil. 


"Mulai sekarang apapun yang aku katakan padamu adalah fakta sebenarnya. Mau percaya atau enggak, kamu tetap harus menerimanya." 


"Apa itu? Jangan bertele-tele," ucapku tak sabar. 


"Kamu sekarang adalah seorang Godil." 


"ENGGAK TERIMA!" 


"Itu takdirmu. Fakta bahwa kamu masih hidup adalah karena Godil merekrutmu. Dan sebenarnya ... emm ...." Gadis itu terlihat ragu meneruskan kalimatnya. 


"Sebenarnya apa?" desakku. 


"Sebenarnya kamu merupakan titisan leluhur Godil. Baik kamu percaya atau tidak, kamu itu sudah ditakdirkan menjadi Godil sejak lahir!" 


"ENGGAK TERIMA! APA-APAAN INI!" 


"Aku lahir dari keluarga baik-baik," lanjutku. "Ibuku seorang petani yang tekun. Kakak perempuanku satu-satunya, yah, walaupun hidupnya berantakan karena ditinggalkan suaminya yang sialan itu, tetapi tidak ada tanda-tanda dia tidak normal. Kakakku hanyalah manusia biasa yang diruwetkan dengan kehidupannya. Itu saja." 


"Dan bapakmu?" Mayang bertanya. 


"Bapakku adalah ...." Mendadak leherku tercekat ketika menyebut Bapak. Selama ini tidak ada ingatan tentang Bapak yang berhasil kutangkap. Ibu tidak pernah membahasnya. Beliau hanya pernah mengatakan bahwa Bapak telah meninggal sejak aku dalam kandungan. Namun, sampai sedewasa ini aku belum pernah berkunjung ke makam Bapak. Aku seolah dibuat lupa akan semua kenangan tentang Bapak. Baik Ibu maupun Mbak Eka tidak pernah sekalipun membahasnya. Mereka bahkan tak menyimpan fotonya. 


"Kemana bapakmu?" Mayang bertanya serius. 


"Bapak sudah meninggal," kataku lirih. "Beliau meninggal saat aku masih di kandungan." 


"Oh." Gadis itu manggut-manggut. 


"Jadi jelas, kan?" terangku. "Aku bukankah Godil seperti apa yang kalian katakan. Aku ini manusia." 


"Godil juga manusia," sanggahnya. 


"Tapi tidak normal!" 


"Sshhh!" Mayang mengibaskan tangannya. "Bukan itu intinya. Bukan ini yang mau kubahas denganmu." 


"Lalu apa?" 


"Pertama-tama aku ingin menjelaskan siapa kami dan kenapa membawamu ke sini." 


"Nah! Itu juga yang ingin kutanyakan pada kalian. Bagaimana aku bisa hidup setelah sekarat hampir mati. Apa kalian membawaku ke dokter, atau kalian ini sendiri yang dokter? Tetapi rasanya nggak mungkin karena penampilan kalian sama sekali nggak menggambarkan seorang dokter." 


"Memangnya seperti apa penampilan kami, hah!" Si botak bangkit dari ranjang tempatnya asyik bermain ponsel dan melayangkan protesnya. Rupanya dia mendengarkan juga. 


"Shhh!" Mayang kembali melambaikan tangannya, mengisyaratkan si Botak agar diam dan tak mengganggu obrolan kami. Lelaki itu menurut. Sepertinya apa yang dikatakan Mayang benar, bahwa si Botak adalah budaknya. 


"Kami adalah 'barisan patah hati," ungkapnya. 


"Hah? Maksudnya?" 


"Ya. Kami ini dulunya adalah member Godil. Godil yang perkasa sangat gemar memperdaya manusia. Mereka tanpa segan menghabisi nyawa para anggotanya begitu ketahuan melanggar aturan. Bisa dibilang sih, Godil ini egois. Mereka ingin semua orang menjadi seperti dirinya yang hidup tanpa cinta dan memuja junjungannya, sebagai gantinya." 


"Kebrutalan mereka membuat hati nurani kami terluka, dan kami memutuskan untuk memberontak. Tentu saja, pada awalnya kami kalah melawan ratusan orang itu. Hingga suatu saat kami menemukan juru selamat yang menuntun jalan kami. Dia dengan kekuatannya berhasil membuat para Godil itu jera. Sejak saat itu kami akhirnya bersatu dan membentuk Pasukan Anti Godil. Tugas kami memerangi kebrutalan Godil. Salah satunya adalah menyelamatkan para korban Godil." 


"Dan siapa juru selamat itu?" aku bertanya sekenanya. Rasanya tak mungkin aku menanyakan segala tetek-bengek tak masuk akal yang dibicarakannya, jadi aku memutuskan untuk bertanya hal-hal yang sekiranya penting saja. 


"Nanti juga kamu akan tahu," kata Mayang santai. "Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa kami membawamu ke sini." 


"Pertama adalah karena kamu titisan leluhur Godil," sambungnya. "Kedua adalah fakta bahwa kamu menolak menjadi bagian dari Godil. Ini adalah keuntungan bagi kami. Kami akan merekrutmu menjadi anggota Pasukan Anti Godil." 


"Bagaimana jika aku menolak bergabung dengan kalian?" 


"Kami yakin kamu akan menerimanya," ucap Mayang penuh percaya diri. 


"Omong kosong!" umpatku. "Apa yang membuat kalian begitu yakin? Apa kalian akan membayarku? Berapa juta sebulan?" 


"Ternyata di otakmu itu isinya cuma ada duit, ya!" 


"Ya mau bagaimana lagi?" gumamku. Aku merasa agak malu. Tetapi pada kenyataannya aku memang butuh uang, kan? 


Mayang berjalan menuju salah satu sisi ruangan dan mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Gadis itu menyibak sebuah tirai dan nampak sebuah ranjang di sana. Dan mataku membelalak begitu melihat siapa yang sedang terbaring di sana. 


Lelaki itu menoleh dan tersenyum saat melihatku. 


"Terima kasih sudah begitu berani dan membela kami," ucapnya tulus.


Dia?



simounlebon
itkgid
bolapantai
bolapantai dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup