Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
[SFTH) Aku dan Orang-orang dari Neraka


Sebagai seorang cowok, apa sih yang kalian pikirkan ketika harus tinggal di rumah kost berhantu? Pindah atau memutuskan bertahan? 


Mungkin sebagian cowok penakut di luar sana akan memutuskan untuk mencari rumah kost-an baru. Itu tidak berlaku bagiku. Bukan karena aku pemberani atau sok pemberani. Namun, karena tak ada pilihan lain. Dompet tipis, dan aku baru diterima kerja. Terlebih ini pertama kalinya aku merantau di kota ini. 


Sempurna sudah.

Tak ada alasan untuk pindah. Aku bertahan, walau bukan hanya hantu yang harus kuhadapi, tapi juga sekumpulan manusia-manusia aneh yang mengklaim diri mereka sebagai penguasa kegelapan. Penganut aliran sesat. Pemuja iblis!



*****



Malam itu sekitar jam sembilan malam, aku tiba di Surabaya. Sengaja aku berangkat sore dari Kediri karena enggan terjebak panas-panasan di dalam bus ekonomi. Dengan aplikasi ojek online dari terminal Bungurasih, aku menuju ke Pasar Turi. Untuk selanjutnya ke Kertopaten, tempat tujuanku. 


Rumah kost-an yang dimaksud tampak berdiri kokoh di antara bangunan-bangunan lainnya. Meski begitu, area itu terlihat sedikit suram, entah karena lampu teras yang mati atau karena pepohonan yang terlalu rimbun di depannya. Hawa negatif langsung muncul, seperti kata Mbak Eka, rumah kost-an ini memang sedikit berhantu. Ya, sedikit. Sungguh sebuah perkataan yang lebih seperti bujukan alih-alih penghiburan. 


Apapun itu, pokoknya hadapi saja! 


Tok! Tok! Tok! 


"Assalamualaikum." 


Aku mengetuk selot pintu gerbang dengan keras. Berharap tak membuat bising apalagi mengganggu istirahat si empunya kost. Tak dikunci, sih. Tapi, masa iya main terobos? 


Cklek! 


Terdengar suara seseorang menaril gerendel dan detik berikutnya pintu rumah itu terbuka. Di dalam rumah sedikit terang, walau tetap tak sepadan dengan luasnya rumah. Namun, aku masih bisa melihat bahwa sosok yang menghampiriku adalah seorang ibu-ibu berambut gimbal dan mengenakan pakaian tidur. 


"Siapa?" Alih-alih menjawab salamku, wanita itu malah balik bertanya. 


"Saya Daniel, Bu. Dari Kediri." 


"Daniel?"

"Nggeh. Yang kemaren sudah memesan salah satu kamar di rumah kost ini, atas nama Mbak Eka." 


Kost ini memang Mbak Eka yang mencarikan. Kakak perempuanku itu sudah lumayan lama tinggal di Surabaya, apalagi sejak berpisah dengan suaminya. Mbak Eka pula yang mendapatkan pekerjaan untukku. Walau tak tahu pekerjaan seperti apa, asal menghasilkan uang pokoknya sikat saja. Daripada tinggal di rumah malah jadi aib keluarga. Bujang nganggur? Mau jadi apa! 


"Owh, Nak Daniel, toh?" Wanita itu seperti mengingat sesuatu. 


"Leres, Bu." (Benar, Bu). 


"Mari-mari masuk, Nak. Tunggu di sini sebentar. Ibu ambil kunci kamarnya dulu." 


Beberapa saat kemudian Ibu itu keluar sambil membawa serentengan kunci. 


"Aduh, Ibu agak lupa sama kunci kamarmu," keluhnya sambil memilah-milah kunci. "Maklum, sudah tua." 


"Boleh saya pinjam semuanya, Bu." Aku berinisiatif. "Nanti kalo sudah ketemu dengan yang cocok, sisanya saya kembalikan." 


"Ya sudah kalo gitu, Nak Daniel bawa saja semua. Besok saja mengembalikannya, Ibu soalnya mau istirahat ini. Lagi nggak enak  badan. Oh, ya jangan lupa besok sekalian bawa fotokopi ktp ya, Nak Daniel." 


"Nggeh, Bu. Kalo gitu saya permisi." 


"Eh, tunggu!"

"Ya?"

"Memangnya Nak Daniel sudah tahu di mana letak kamarnya?"

"Eh, belum Bu, hehe."

Aku cengengesan menyadari kesalahan sendiri. 


"Ya sudah yuk Ibu antarkan. Kamar Nak Daniel ada di lantai dua." 


Wanita berkata sambil mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Beliau membawa sebuah senter kecil yang aku tak tahu buat apa. Setelah mendekati anak tangga menuju lantai dua, baru aku mengerti apa gunanya senter tadi. 


Tangga menuju lantai dua gelap gulita. Entah memang sengaja tak memakai penerangan atau lampunya pada mati. Ibu Kost menyalakan senter lalu berjalan mendahului. 


"Lampunya mati ya, Bu?" Aku bertanya basa-basi, demi mengurangi rasa bergidik yang disebabkan oleh suasana gelap dan sunyi. 


Namun, usahaku untuk memerangi rasa takut sia-sia karena ibu itu tak menjawab. Dia terus menaiki tangga dengan sedikit tergesa. Suara sandal tepleknya keplak-keplak menggema memenuhi lorong tangga. 


Selanjutnya aku hanya bisa menguatkan diri dan hati. Kembali mengingat perkataan Mbak Eka bahwa rumah kostan ini memang berhantu. Walau klaimnya 'sedikit', tetap saja namanya hantu pasti bisa menciptakan rasa takut dalam pikiran manusia. 


Aku cowok. Tidak boleh lemah terhadap hantu atau apapun itu! 


"Nah, sudah sampai." Ibu Kost akhirnya membuka suara ketika telah menapaki sisa tangga terakhir. 


Aku memandang berkeliling. Kamar atas terdiri dari dua baris saling berhadapan. Masing-masing baris terdiri dari empat kamar. Jadi total ada delapan kamar. Di sisi kiri dariku, lampu menyala di depan pintu tiga kamar. Sementara pintu paling ujung terlihat gelap. Begitu melihat sisi kanan yang berhadapan dengan sisi kiri, aku syok berat. Keempat pintunya gelap. Tak ada satu pun penerangan di depan kamar-kamar itu. Semoga kamarku bukan di antara empat kamar itu. 


"Bu, kok lampu di sini juga mati?" Aku kembali bertanya karena tak tahan lagi. 


"Ibu tidak tahu. Ibu jarang naik ke lantai dua," katanya, setengah berbisik. "Sudah ya, Ibu turun dulu. Tanya-tanyanya dilanjut besok pagi saja kalau sudah terang. Oh ya, kamar Nak Daniel ada di deretan kanan. Yang paling ujung ya." 


"Hah?" Aku berseru, tak memercayai apa yang baru saja kudengar. 


"Ibu permisi dulu." 


"Eh, tapi Bu ...." 


Aku tak sempat melanjutkan perkataanku karena wanita itu sudah terlebih dulu melesat menuruni tangga. Terdengar suara berisik dan langkah terburu yang ditimbulkan kakinya. 


Aku masih melongo di tempat. Bingung harus berbuat apa. Tempat ini begitu sepi. Benar-benar menawarkan kengerian tersendiri di benak para penghuninya. Betah sekali mereka hidup gelap-gelapan seperti ini! 


Aku merogoh ponsel dan menyalakan lampu flash kemudian berjalan menuju deretan kamar di sisi kanan. Sampai pada pintu pertama, aku menemukan saklar di dekat pintu. Kuarahkan lampu flash ke plafon. Ada sebuah lampu terpasang di sana.

Dengan sedikit takut, kutekan saklar lampu. 


Ctek! 


Lampu menyala. Kelegaan memenuhi hatiku. Aku mulai berpikir mungkin kamar ini tidak ada penghuninya, jadi tidak ada yang menyalakan lampu. Atau mungkin penghuninya belum pulang dari bekerja sejak pagi, jadi otomatis lampu tak menyala. 


Aku melakukan hal yang sama pada pintu kedua dan ketiga. Terakhir, pintu keempat. Calon kamarku. Keempat lampu menyala. Sekali lagi aku mengembuskan napas lega. 


Detik berikutnya aku segera sibuk memasukan kunci satu persatu untuk menemukan mana yang cocok. Setelah lebih dari separuh kunci kucoba, akhirnya ada yang cocok. Saat hendak masuk, aku mendengar suara gerendel pintu yang ditarik. Detik berikutnya, tiga pintu kamar di sebelahku berderit. Suara deritnya memecah keheningan malam hingga membuat bulu kuduk berdiri. Ketiganya membuka secara bersamaan. 


Aku menelan ludah demi melihat tiga sosok yang keluar dari masing-masing pintu. Dari bawah sinar lampu aku tampak kepala-kepala mereka yang plontos, mata yang lebih gelap, kulit pucat dan bibir gelap. Kemudian tubuh yang kurus dibalut pakaian serba hitam. Dan walaupun mata mereka tampak gelap, aku bisa melihat bahwa ketiganya sedang menatapku. Dengan raut wajah yang penuh amarah. 


Apakah mereka manusia? 


Ctek! 


Kemudian sosok-sosok itu menghilang ditelan gelap. Setelah mematikan lampu di depan kamar masing-masing, kemudian ketiganya membanting pintu dengan suara keras. Meninggalkanku yang masih berdiri kaku di sini sambil memegangi serenteng kunci dengan perasaan syok luar biasa. 


Butuh beberapa menit untuk menetralisir degub di jantungku. Setelah kemudian tersadar akan bahayanya berdiri di luar kamar di tengah malam begini. Aku pun bergegas masuk dan mengunci pintu dari dalam. Seketika aku langsung tersedak. 


Aroma apa ini? Apa ada bangkai tikus yang mati di kamar ini? Aku refleks menutup hidung dan mulut menggunakan masker, kemudian berusaha menyingkirkan debu-debu dan sarang laba-laba yang bergelantungan di mana-mana? 


Ini kamar kost atau gudang, sih? Pemiliknya pasti jarang mengunjungi kamar ini. Dan mungkin kamar ini sudah lama tak ada penghuninya. Memangnya siapa yang mau tidur berdampingan dengan orang-orang aneh nan horor itu? 


Pantas saja kamar ini harganya murah. Separo harga dari kamar yang ada di lantai bawah. Kalau nanti sudah gajian lebih baik aku pindah ke kamar bawah saja lah. Barangkali di bawah ada yang kosong. Sementara, biarlah aku bertahan di sini. 


Aku membersihkan debu yang menempel di perabot dalam kamar itu. Walaupun kamar ini tak terlalu luas, tapi lumayan lengkap dengan adanya sepasang meja kursi dan kompor di ujung ruangan. Di sisi kiri, terdapat satu dipan kecil dengan kasur keras menempel di dinding. Bantalnya sudah bau tengik dengan sprei yang mungkin sudah setahun tak dicuci. 


Aku benar-benar menyerah dengan kamar ini. Kubuka pintu kamar mandi di sebelah wastafel, berharap ada pengharapan di sana. Closet jongkoknya cukup bersih. Dilengkapi dengan gayung dan ember berukuran sedang. Kuulir kran air dan menyala dengan air yang bersih. Aman. 


Setelah bersih-bersih dan membongkar tas -- ah rasanya tak perlu dibongkar karena kamar ini tak ada lemari -- kuputuskan untuk mandi. Setelah sebelumnya menyemprot seluruh sudut ruangan dengan parfum demi menetralisir bau. 


Di sela-sela suara kran yang bergemericik, tiba-tiba aku mendengar suara orang bersiul. Aku mematikan kran demi memastikan pendengaranku sendiri. Itu benar-benar suara siulan. 


Siapa gerangan orang yang bersiul malam-malam begini? 


Semakin lama suara siulan itu semakin dekat, seolah memang sedang mendekati kamarku. Aku menoleh berkeliling, memastikan tak ada lubang di dinding kamar mandi. Kemudian cepat-cepat menyelesaikan mandi. 


Keluar dari kamar mandi, aku dikejutkan dengan suara langkah yang mendekat. Hingga langkah itu terhenti tepat di depan kamarku. Suara siulan itu pun ikut berhenti. Kemudian .... 


Ctek! 


Ruangan kamarku menjadi gelap gulita. Begitupun di luar sana. Bagaimana bisa? Padahal yang ditekannya adalah saklar di luar, di dekat pintu? Apa kabelnya terhubung. 


Aku gegas mencari ponselku kemudian menyalakan lampu flash. Kuarahkan lampu ke segala arah demi mencari saklar lampu. Tidak ada. Kamar ini tak mempunyai saklar lampu di dalam. Begitu pun dengan kamar mandi. 


Kemudian aku teringat saat pertama kali masuk tadi, semua lampu memang sudah menyala begitu aku menyalakan lampu depan. Jadi? Kamar model apa yang hanya memiliki satu saklar lampu. Di luar pula! 


Merasa gusar dengan keadaan yang sama sekali tak baik ini aku bergegas menuju pintu dan membukanya secara sembarangan. Tak peduli apakah si penyiul itu hantu atau manusia, pokoknya aku harus melayangkan protes. Setidaknya, aku harus meluapkan amarah! 


Namun, sial. Begitu membuka pintu, orang tersebut telah pergi. Aku bisa melihat bayangannya dalam gelap, menuju tangga di sebelah kamarku. Eh, ada tangga menuju lantai tiga! Apakah ada kamar lagi di atas sana? 


Aku hendak mengikuti orang itu, tetapi urung. Sosok itu melangkah cepat menaiki tangga yang gelap. Membuat nyaliku menciut. Sempat terpikir untuk mengarahkan flash ke arah tangga, tetapi urung juga. Aku takut membayangkan sosok berwajah seram akan menghampiri lalu mencekik leherku. 


Kebanyakan menonton film horor, ya beginilah akibatnya! 


Malam yang cukup panjang dan pengap. Saklar tak bisa kembali kunyalakan entah apa sebabnya. Ruangan kamar terasa gerah dan menakutkan. Terpaksa kunyalakan flash semalaman agar tak terlalu gelap. Kelelahan, akhirnya rasa kantuk datang juga. 


"Aaaaaaaaaa .....!" 


Entah berapa lama tertidur, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara teriakan. Siapa yang berteriak? Yang pasti bukan tiga orang aneh di sebelahku, karena suara yang kudengar adalah suara seorang perempuan. 


Aku terbangun gelagapan. Merasa terganggu. Lebih syok lagi karena lampu kamarku kini sudah menyala. Kuambil ponsel yang sudah sekarat lalu mengisinya. 


Tok! Tok! Tok! 


"Tolong! Buka pintu! Tolong!" 


Terdengar suara perempuan memukul-mukul pintu kamarku dari luar. Membuatku berjengit ketakutan.

Siapa perempuan itu? 







Diubah oleh YenieSue0101 30-05-2023 05:44
namakuve
pilotproject715
arieaduh
arieaduh dan 30 lainnya memberi reputasi
31
8.5K
109
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
#37
Bagian 5
Siapa yang sakit? 


Itu adalah pertanyaan pertama yang muncul ketika aku sampai di depan kost-kostan. Sebuah ambulans terparkir di depan gerbang dan beberapa orang berpakaian seragam bergegas masuk. Aku menyusul dengan penuh rasa penasaran. 


Di depan kamar paling ujung di lantai bawah telah berkerumun banyak orang. Mereka saling berbisik dengan wajah suram. Saat mendekat, aku juga mendengar suara tangisan. 


Di dalam kamar tersebut terlihat Mayang sedang terisak menekuri sesosok tubuh yang terbaring kaku di atas ranjang. Itu Hafid! 


Dan yang paling membuat syok adalah ketika kuperhatikan salah satu lengan pemuda itu terjuntai dan darah mengalir deras. Terdapat goresan dalam di pergelangan tangannya. Darah itu mengalir dari sana. 


"Lagi-lagi bunuh diri," gumam seorang wanita di belakangku. Aku menoleh. 


"Memangnya sudah pernah ada kejadian serupa dulunya, Bu?" Aku bertanya pada ibu-ibu yang berbicara tadi. Kupikir dia Bu kost, ternyata bukan. Wanita setengah baya yang memakai pakaian tradisional itu sibuk membenahi keranjang makanan dalam gendongannya. 


"Lumayan sering, Nak. Eh, sampeyan baru ya di sini?" 


"'Iya, Bu." 


"Panggil Mbok Dalmi saja. Itu nama saya." 


"Baik, Mbok. Kalau boleh tahu mereka bunuh diri kenapa ya? Saya lihat Hafid kemaren baik-baik saja." 


"Kamu kenal sama Nak Hafid, toh?" Mbok Dalmi tampak antusias. 


"Baru kemaren." 


"Oh." 


"Gimana, Mbok?" 


"Apanya?" 


"Kenapa Hafid bunuh diri? Apa dia punya masalah pribadi yang berat?" 


"Hmm, Mbok kurang tahu sih. Belum Mbok selidiki." 


Weist! Ini si Mbok sudah seperti detektif saja main selidik-selidik. 


"Kalau orang-orang terdahulu yang bunuh diri, karena apa, Mbok?" 


"Putus cinta," kata Mbok Dalmi seraya terkekeh. 


"Masa sih, Mbok?" 


"Ya begitulah anak muda jaman sekarang. Mainannya nyawa." 


"Kalau boleh tahu berapa orang yang pernah bunuh diri di sini sebelumnya?" desakku. 


Wanita itu tampak menerawang mengingat-ingat. 


"Mbok sudah lupa, Nak. Banyak pokoknya. Ya sudah, Mbok mau lanjut jualan dulu mumpung kost-kostan lagi rame." 


Mbok Dalmi pergi menjajakan makanannya. Lagi-lagi aku ditinggalkan dengan segudang pertanyaan. Rumah kost an ini benar-benar penuh misteri. 


Para petugas ambulance membawa jenazah Hafid pergi. Beberapa orang tampak syok dan histeris. Mungkin mereka keluarganya. Aku mendatangi Mayang yang kini duduk di teras. Wajahnya sembab dan tampak berduka. Sepertinya Mayang bukan anggota keluarga Hafid. 


Aku mengambil tempat di sebelahnya. 


"Dia kenapa?" tanyaku hati-hati. 


Gadis itu menoleh, menampakkan wajah kesal. 


"Udah tahu, nanya!" sewotnya. 


"Maksudku, kenapa dia bisa bunuh diri?" 


Bukannya menjawab tapi Mayang malah menangis tersedu-sedu. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk menanyainya. Kuputuskan untuk meninggalkan gadis itu sendiri agar bisa menenangkan diri. Mungkin aku perlu mencari informasi dari orang lain. 


Kakiku bergetar saat menaiki tangga. Masih tak menyangka bahwa Hafid akan pergi secepat itu. Teman yang baru saja kukenal. Teman yang memberitahuku banyak hal dan mengajakku berdebat semalaman. Teman yang diam-diam membuatku menyesal karena telah berkata kasar padanya. Ada masalah apa dengan dirinya sampai nekat mengakhiri hidupnya. 


Mendadak aku teringat perkataan Mbok Dalmi bahwa ini bukan kejadian pertama kalinya di sini. Ada banyak kasus bunuh diri yang lain sebelum ini. Dan sebabnya adalah putus cinta? Sangat klise. Kuharap Hafid memiliki alasan yang cukup bagus dibandingkan dengan ini. 


"Nah, ini dia orangnya." 


Sesampai di lantai dua, Mbok Dalmi mengejutkanku. Wanita itu tengah bersama dengan seorang gadis yang kuduga adalah penghuni kamar paling timur di dekat tangga. Aku baru melihatnya hari ini. 


"Ini Wita, salah satu langganan Mbok." Mbok Dalmi memperkenalkan gadis itu padaku. "Wita, ini ... eh siapa namamu Le?" 


"Daniel, Mbok." kataku pendek. Gadis itu tersenyum. Entah sampai kapan episode ini hanya tentang perkenalan-perkenalan absurd. Aku harup mengenal terlalu banyak orang dalam satu waktu, dan ini mulai membosankan. 


"Oh iya, Nak Daniel. Nak Daniel ini ternyata temannya Nak Hafid loh, Wit." 


Gadis bernama Wita itu tampak sedikit kaget. 


"Beneran?" 


"Eh, nggak kok. Baru kenal kemaren, sih." 


"Kalian ngobrol saja dulu, Mbok mau turun, sudah gelap." 


Mbok Dalmi meninggalkanku dan Wita dalam kecanggungan maha sempurna. Hari sudah gelap dan perutku mulai bergemerucuk. Ah, harusnya tadi aku membeli beberapa kue Mbok Dalmi sebagai pengganjal perut. 


"Nanti saja kita ngobrolnya ya, ada yang mau aku tanyakan." 


Tanpa menunggu jawabanku, gadis itu langsung nyelonong masuk ke kamar dan menutup pintu. Membuatku celingukan seperti orang hilang. 


Usai mandi dan menyeduh kopi, Wita datang membawa dua mangkuk mie yang penuh dengan toping. Oh, mungkin tadi dia buru-buru masak dulu sepertinya. 


"Yakin nggak papa kita ngobrol di sini?" 


"Kamu keberatan?" tanyanya, mengurungkan niat masuk. 


"Keberatan sih enggak. Cuma takut kalau Pak Kost datang dan salah paham." 


"Hahaha!" Gadis itu tertawa renyah. "Yaudah kita makan di atas aja yuk." 


Lagi-lagi dia mendominasi. Aku menyusulnya ke atas setelah menyeduh kopi secangkir lagi. Sedikit ragu ketika menapaki tangga terakhir, aku teringat kejadian tempo hari di sini. 


Di tempat kemaren aku menyikat lantai, kini terpasang beberapa kursi dan meja kayu usang. Sebuah lampu menyala benderang di salah satu sudut, membuat tempat itu terasa hangat dan ceria. Sungguh berbeda dari pertama kali aku ke sini. 


Wita telah mengambil salah satu kursi yang menghadap keluar dan mulai menikmati makanannya. Aku duduk di sebelahnya dan cukup takjub dengan pemandangan dari atas sini. Entah mengapa cerita-cerita suram itu harus menodai tempat seindah ini. 


"Jadi, kamu sudah bertemu dengan Hafid?" Wita memulai pembicaraan ketika mangkuk mie nya telah tandas. 


"Sekali, sih. Kemaren dia mengantarku ke pasar malam." 


"Mengobrol apa dengannya?" 


"Ya seputar kost-kost an aja." 


"Contohnya?" 


Aku menoleh padanya dan mata kami bertemu. Bisa kulihat raut wajahnya yang penuh selidik. Aku harus berhati-hati dengan orang baru. Jangan sampai timbul perdebatan seperti dengan Hafid kemaren. 


"Sebenarnya apa yang ingin kamu tanyakan?" kataku to the poin. 


"Apa yang dikatakan Hafid padamu?" 


"Soal apa?" 


"Soal apa saja? Aku ingin tahu obrolan kalian." 


"Buat apa?" 


"Buat bantu menjelaskan. Biar kamu nggak tersesat." 


Aku terdiam mendengar perkataannya. Tersesat? Apa perkataan Hafid menyesatkan? 


"Maksudmu tentang Godil?" 


Gadis itu mengangguk. 


"Kamu tahu Godil juga?" 


Dia mengangguk lagi. 


"Jadi, di kost an ini hanya aku yang nggak tahu?" 


"Kamu kan pendatang baru," sanggahnya. "Wajar kalau nggak tahu." 


"Jadi apa yang harus aku tahu? Godil itu apa? Siapa lelaki berpunggung aneh itu? Kenapa Hafid bunuh diri?" 


"Godil hanyalah organisasi seperti pada umumnya. Lelaki yang kamu maksud itu Taki. Hafid mati karena konsekuensi yang ditanggungnya. Sudah jelas?" 


"Belum." 


"Bagian mana yang belum?" 


"Semuanya." 


Gadis itu menghela napas. Tampak frustasi. Terang saja, semua perkataannya hanya membuatku semakin pusing. 


"Godil adalah suatu aliran kepercayaan yang melakukan pemujaan kepada tuhannya sendiri dan dengan caranya sendiri. Mereka bergerak dan memperluas jaringannya dengan cara merekrut orang-orang. Mereka tak suka diganggu. Jadi, jangan pernah mencoba mengusik keberadaan mereka." 


"Taki, lelaki yang memanggul iblis di punggungnya. Itu julukannya. Tempat tinggalnya di sebelah kamarku. Dia hanyalah seorang ayah kesepian yang kehilangan putrinya. Nyawa sang anak direnggut iblis dan kini menjeratnya. Jadi yang kamu lihat itu adalah anaknya yang berwujud iblis." 


"Darimana kamu tahu kalau aku melihat makhluk itu?" Aku menyela. Bagaimana bisa Wita tahu apa yang terjadi dalam mimpiku? 


Gadis itu mengibaskan tangannya tak sabar. Mengabaikan interupsiku. 


"Dan Hafid. Seperti yang kubilang tadi. Dia mati untuk membayar kesalahan yang sudah diperbuatnya." 


"Kesalahan apa? Terhadap siapa?" 


Wita menoleh dan menatapku lekat. Seolah berusaha menekankan ucapannya. "Dia mati karena berurusan dengan asmara!" 


Hatiku mencelos. Jadi, apa yang dikatakan Mbok Dalmi benar. 


"Maksudnya?" Aku bertanya tak paham. 


"Godil hanya merekrut mereka yang setia. Bagi para pelanggar aturan, harus mati." 


"Apa! Jadi, Godil ada di balik kematian Hafid? Jadi, Hafid anggota Godil tetapi melanggar aturan. Begitukah maksudmu?" 


Gigiku mengertak penuh amarah, Rasanya ingin cepat membuktikan bahwa Godil itu adalah sebuah kejahatan. 


"Godil nggak bersalah. Hafid sendiri pelakunya. Dia telah menodai kesetiannya terhadap Godil. Dia jatuh cinta." 


"Maksudmu, Godil melarang orang-orang untuk jatuh cinta. Begitukah? Peraturan macam apa itu? Kenapa pula mereka harus membunuh? Ini nggak bisa dibiarkan. Harusnya perkumpulan itu diberantas karena menyebabkan keresahan di masyarakat." 


"Kamu nggak paham hidup di dunia macam apa. Siapa yang kamu hadapi dan apa konsekuensinya. Lebih baik kamu berhati-hati. Lagipula, mereka suka rela bergabung, jadi harusnya paham akan peraturan. Jika melanggar, harus terima konsekuensinya." 


"Mungkin besok aku harus pindah kost," gumamku, lebih kepada diri sendiri. 


"Godil sudah menyebar di sekitarmu. Nggak ada tempat untuk pergi. Kamu hanya perlu mengabaikan." 


"Mengabaikan, katamu? Sungguh tak dinalar manusia-manusia ini. Bagaimana kamu menyuruhku abai pada kejahatan di depan mata!" 


"Hey, buat apa ngomong ngotot begitu? Kamu mau ngulang perdebatanmu dengan Hafid kemaren? Kamu mau aku mati juga?" 


"Apa maksudmu? Kenapa kamu mati?" 


"Ah, sudahlah. Abaikan saja." 


Aku sudah mulai muak dengan orang-orang ini. Mereka seperti racun yang menjalar ke mana-mana. Tidak bisa dimusnahkan. 


Kuhela napas panjang, kemudian menandaskan cangkir di hadapanku. 


"Kamu Godil juga?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku. 


"Ya. Kamu mau gabung?" 


"NGGAK! Gila aja!" 


Lagi-lagi gadis itu terkekeh. Semakin membuat muak. Kemudian kuputuskan untuk mengorek informasi lainnya. 


"Lalu, apa benar ada orang-orang yang mati sebelumnya dengan alasan serupa?" 


"Dua ratus empat puluh lima orang, tepatnya. Selama dua puluh lima tahun terakhir." 


Tubuhku mendadak menggigil. Entah apakah karena udara malam yang dingin atau karena perkataannya yang mengejutkan. Membayangkan kematian sebanyak itu disebabkan oleh Godil laknat, sungguh membuat sesak. Aku merasa menyesal karena telah menanyakannya.











69banditos
namakuve
itkgid
itkgid dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Tutup