- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
corazonraizo882 dan 194 lainnya memberi reputasi
191
274K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1116
#80 - Maybe I'll find another way, Find another day
Spoiler for #80 - Maybe I'll find another way, Find another day:
Kami berdua duduk di kursi plastik di dalam ruko kecil yang terletak tepat di tepi jalan nggak jauh dari gang rumah Haji Ramlan. Ruko tempat tukang jahit langganan Reni dimana saat ini kami menunggu si Teteh membetulkan jas pernikahan gua yang sedikit kekecilan. Dengan akal-akalan sederhana, Teteh berhasil menambah sedikit bahan pada sambungan bahu jas yang kini terlihat sempurna dan nyaman dikenakan.
Lady membantu gua memasang kancing kemudian membetulkan posisi kerah kemeja. Ia lalu berdiri di sebelah gua, menatap ke arah cermin berukuran besar sambil tersenyum.
Saat gua hendak melepas kembali jas dan kemeja, Lady menahan gua. Ia mengeluarkan ponselnya dan bersiap untuk mengambil gambar.
“Bentar foto dulu…”Ucapnya.
Gua terdiam, berdiri kaku sambil mencoba untuk tersenyum, namun gagal. Gua malah terlihat seperti orang menahan sakit.
“Senyum Je…” Tambah Lady.
“Ini senyum…”
“Itu meringis bukan senyum…”
“Hhh…” Gua menghela nafas dan kembali berusaha untuk tersenyum.
Lady lalu memukul bahu gua, kemudian berseru; “Susah banget sih disuruh senyum…”
Gua lalu membuka mulut dan pasang senyum selebar-lebarnya.
“Malah kayak kuda…” Gumamnya, lalu dengan cepat menekan tombol pada layar ponselnya; ‘Cekrek!’
“Udah?” Tanya gua sebelum melepas jas dan kemeja.
“Udah…” Jawabnya singkat.
Saat baru saja kami keluar dari ruko dan bersiap untuk pulang, ponsel gua nggak berhenti berdering. Gua mengeluarkan ponsel dari saku celana dan terlihat nama Reni muncul di pada layar ponsel.
“Halo…”
“Bang, ini si Anggi muntah-muntah dari tadi…” Ucap si Reni dengan nada panik.
“Hah, kenapa?” Tanya gua.
“Nggak tau, ini dia baru aja balik langsung ngeluh pusing terus muntah-muntah…” Reni menjelaskan.
Tadi pagi Aldina sempat mampir ke rumah, lalu mengajak Anggi dengannya untuk ikut mengecek venue pernikahan.
“Hhh… Yaudah tunggu, abang balik nih…”
Gua lalu mengakhiri panggilan dan langsung naik ke sepeda motor milik Rohman yang tadi gua pinjam. Lady menatap gua, tanpa banyak bicara, ia lalu naik ke boncengan sepeda motor sambil membawa paper bag yang berisi jas dan kemeja milik gua.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Si Anggi muntah-muntah…”
“Ck… abis makan apa?”
“Nggak tau…” Jawab gua.
Begitu tiba di rumah, gua bergegas masuk ke dalam dan mendapati Anggi sudah terkulai lemas di atas ranjang. Wajah mungilnya terlihat pucat sementara matanya berair dan bibirnya membiru. Gua mengangkat tubuhnya keluar dari kamar.
“Mobil Lad…” Ucap gua.
Dengan cepat, Lady meraih kunci mobil miliknya, berlari ke luar, masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Sementara, Reni berjalan cepat di depan gua yang masih membopong Anggi, ia membuka pintu bagian penumpang, membiarkan gua masuk dan membaringkan Anggi di kursi belakang.
“Sini gua aja yang nyetir…” Ucap gua ke Lady.
Kami lalu bertukar posisi dan segera meluncur ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, gua langsung turun dari mobil, kembali menggendong Anggi dan berlari menuju ke ruang UGD.
Setelah memberikan sedikit penjelasan tentang kondisi Anggi, seorang suster langsung mengecek kondisi Anggi. Lalu nggak lama kemudian ia mendapat perawatan dari seorang dokter yang langsung memasang stetoskop di telinganya sementara ujung satunya ditempelkan bergantian di bagian dada dan perut Anggi. Selesai dengan stetoskop si dokter yang kebetulan seorang wanita setengah baya dan terlihat ramah, mulai menepuk-nepuk perut Anggi dengan perlahan.
Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di sebelah gua; Lady.
“Kenapa dok?” Tanya gua.
Si dokter menoleh ke arah gua dan tersenyum. Ia melepas stetoskop dari telinganya dan bicara; “Abis makan apa si dedeknya?” Tanyanya.
“Nggak tau dok…” Gua menjawab.
Si dokter lalu berpaling ke arah Lady, seakan menagih jawaban darinya. Mungkin mengira kalau Lady adalah ibunya. Lady menggeleng, setali tiga uang dengan gua, sama-sama nggak tahu.
“Ini kayaknya keracunan makanan, tes lab ya?” Ucap si dokter.
“Iya dok, tes aja…” Lady menjawab cepat.
Sementara, sambil menunggu hasil tes keluar gua duduk di tepi ranjang tempat Anggi berbaring lemas. Lady duduk di kursi kecil di sisi ranjang, sambil menggenggam tangan mungil Anggi dan membelai kepalanya.
Saat ini posisi kami masih berada di ruang UGD, dimana banyak pasien berdatangan silih berganti dengan kondisi yang bervariasi, dari mulai sakit karena kecelakaan yang mengenaskan hingga kasus sepele seperti bapak-bapak yang telinganya kemasukan lalat.
Satu jam berikutnya, hasil tes lab milik Anggi keluar dan dokter yang tadi sempat memeriksa Anggi langsung membaca hasilnya.
“Bener ini keracunan…” Gumam si dokter, lalu menuliskan sesuatu pada selembar kertas dan memberikannya ke seorang perawat, yang lalu bergegas pergi dan kembali dengan sebuah botol infus di tangannya.
“Dirawat aja ya?” Tanya si Dokter.
Lady kembali mewakili gua memberi jawaban; “Iya dok… Rawat aja…”
Gua terdiam sejenak dan berpikir; ‘Kalau Anggi keracunan makanan setelah pergi dengan Aldina. Mungkin saja Aldina mengkonsumsi makanan yang sama dengan Anggi berarti?’
“Lo urus Anggi ya Lad…” Ucap gua.
“Mau kemana?” Tanya Lady.
“Dince…”
“Kenapa?”
“Kalo mereka berdua makan makanan yang sama, bisa aja Aldina keracunan juga…” Gua menjelaskan asumsi gua.
“Yaudah sana cepet…” Ucap Lady.
Gua langsung keluar dari ruang UGD dan berjalan secepat mungkin menuju ke area parkir. Sambil terus berjalan, gua mencoba menghubungi Aldina, namun tak kunjung ada jawaban. Gua lalu beralih mencoba menghubungi Bapak.
“Halo Pak…”
“Ya…”
“Aldina mana?”
“Tak tau lah, aku lagi di rumah Je, bukan di apartemen.. Lagi pasang ayunan…” Jawab Bapak.
“Oh…”
“Ada apa rupanya?” Tanyanya.
Gua lalu menjelaskan kronologi kejadian barusan ke Bapak. Ia lalu meminta gua untuk mampir, menjemputnya sebelum menuju ke apartemen. Namun, gua menolak.
“Bapak tunggu di sana aja, nanti Aku kabarin…”
—
Sepanjang perjalanan menuju ke apartemen, gua kembali mencoba menghubungi Aldina dan masih tak ada jawaban. Gua menambah kecepatan laju mobil, tak henti-hentinya memberi klakson pada angkutan umum yang berjalan lambat.
Sejatinya, keracunan makanan pada tahap awal bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Rohman yang memang sering makan sembarangan seringkali keracunan makanan, dan ia biasanya hanya berdiam diri, minum banyak air putih dan beristirahat; besoknya ia sudah kembali aktif seperti kancil habis pakai narkoba.
Tapi, buat orang seperti kami berdua. Orang-orang berginjal tunggal, keracunan makanan bisa berakibat fatal jika tak langsung mendapat penanganan dokter. Banyak kasus kematian para pasien dengan ginjal tunggal yang disebabkan oleh keracunan makanan.
Dan kemungkinan besar Aldina saat ini tengah mengalami hal tersebut. ‘Duh, membayangkannya saja, perut gua langsung terasa mual’
Nggak lama berselang, gua tiba di area parkir apartemen dan langsung bergegas menuju ke atas. Sambil terus berjalan, gua mencoba kembali menghubungi ponselnya dan masih nggak ada jawaban.
Alih-alih mengetuk pintu, gua langsung menekan tombol kode akses dan masuk.
“Ce!” Gua langsung memanggil namanya begitu masuk ke apartemennya.
Tak ada tanda-tanda kehadirannya.
Gua melangkah masuk lebih jauh ke dalam, dan langsung berlari begitu melihat tangan tergeletak dari arah pintu kamar mandi.
Aldina terbaring di lantai kamar mandi, terlihat sisa buih di sudut bibirnya yang membiru. Sementara wajahnya sama dengan Anggi; terlihat pucat. Gua menempelkan jari dekat hidungnya, dan masih merasakan hembusan nafasnya yang lemah.
“Ce.. Bangun Ce, Ini gua… Jeje..” Gua berusaha memanggil namanya, berharap ia bangun sambil berusaha mengangkat tubuhnya dan membawanya turun.
—
Setengah jam berikutnya gua sudah berada di rumah sakit. Rumah sakit yang berbeda dengan tempat Anggi di rawat. Rumah sakit terdekat yang bisa gua capai saat itu.
Dengan penjelasan gua tentang kondisi Anggi yang mirip Aldina dan tentang riwayat ginjalnya, dokter nggak perlu lagi melakukan tes lab. Ia dengan cepat memberikan pertolongan pertama untuk Aldina seraya mencoba menghubungi dokter spesialis Ginjal.
Setelah mendapat pertolongan pertama dan mendapat perawatan dari dokter spesialis Ginjal, Aldina dipindahkan ke ruang intensif. Dan gua nggak lagi dapat menemaninya. Gua hanya berdiri, bersandar pada dinding ruang ICU sembari menatap kosong ke arah pintu kamar perawatan.
Tubuh gua yang bersandar terus merosot hingga terduduk. Gua menunduk seraya memegangi kepala dan menatap ke lantai; berharap nggak terjadi apa-apa dengan Aldina.
Tiba-tiba, pintu ruang ICU terbuka. Seorang perawat terlihat berlari ke luar menuju ke nurse station yang terletak di ujung lorong. Gua berdiri, menuju ke arah ruang ICU yang pintunya masih terbuka dan buru-buru masuk ke dalam. Di ujung ruangan terlihat tubuh Aldina kejang-kejang, sementara matanya terbuka dan menatap kosong ke langit-langit.
Gua melangkah pelan menuju ke arah ranjangnya. Saat hampir sampai, terdengar derap langkah kaki mendekat, dokter dan beberapa perawat berlari melewati gua dan menuju ke ranjang tempat Aldina terbaring.
Dengan cepat, seorang dokter mengambil alat suntik dari mangkok metal yang dibawa seorang perawat, memasukkan cairan dari ampul berwarna bening dan memasukkan cairan tersebut melalui selang infus yang mengalir menuju ke tangan kanan Aldina. Seketika, tubuh kejang Aldina langsung terkulai dan matanya kembali menutup.
Seorang perawat berpaling menatap gua dan langsung membawa gua keluar dari ruang ICU. Gua bergeming, mencoba untuk terus mendekat ke arah Aldina, ingin menemaninya.
Gua duduk di tepi trotoar di area parkir dengan sebatang rokok di tangan. Gua baru saja menelpon Rohman untuk memberitahu Bapak dan membawanya kesini.
Begitu Bapak dan Rohman tiba, gua langsung menghampiri mereka dan menceritakan kronologinya.
“Coba sana kau tengok Anggi, Biar Aku yang disini…” Ucap Bapak.
“Tapi pak..”
“Udah sana…”
Gua lalu mengeluarkan kartu ATM milik gua dan menyerahkannya ke Rohman; “Man, ini kalo ada apa-apa. Jangan lupa terus kabarin gua ya…”
“Iya…” Jawab Rohman singkat.
—
Di rumah sakit lain.
Anggi sudah terlihat bugar begitu gua tiba. Ia tersenyum dan langsung meminta pelukan dari gua. Sementara Lady dan Reni langsung bertanya tentang kondisi Aldina. Gua nggak memberi jawaban apa-apa, namun dari ekspresi gua, mereka berdua bisa tahu kalau kondisi Aldina sedang tak baik-baik saja.
Malam itu, gua sama sekali nggak bisa tidur.
Lady meraih tangan gua dan menggenggamnya. Ia lalu berbisik; “Sana temenin Aldina. Anggi biar sama gue..”
Gua menatapnya.
Ia tersenyum, kemudian membelai kepala gua.
“Dia butuh elo Je…” Tambahnya.
“Tapi…”
“Gue gapapa… Gue nggak cemburu kok…” Ucapnya.
Gua tahu ia berbohong. Ia cemburu.
“Nggak. Gue disini aja… Disana ada bapak kok…” Gua bicara, juga berbohong. Padahal hati kecil ini ingin sesegera mungkin berada di sisi Aldina, menemaninya, takut terjadi apa-apa dengan dirinya.
Ponsel gua berdering. Layarnya menampilkan nama Rohman. Gua buru-buru menjawab panggilan seraya menjauh dari ranjang Anggi dimana ia sudah terlelap. Sementara, Lady mengikuti gua, juga ingin mendengar kabar dari Rohman.
“Halo…”
“Dince udah sadar. Udah di pindahin ke ruang perawatan…” Ucap Rohman.
Gua nggak merespon informasi dari Rohman, langsung mengakhiri panggilan.
“Gimana?” Tanya Lady.
Gua menghela nafas panjang dan menjawab; “Dia udah sadar…”
“Yaudah sana, temenin dulu Aldina. Biar gue disini…”
“...”
“... Gue gapapa Je… Udah sana…” tambahnya.
Gua meraih kepala dan mengecup keningnya kemudian bergegas pergi.
Tadi saat di perjalanan, Rohman sempat memberitahu lantai dan nomor kamar dimana Aldina berada. Begitu tiba di rumah sakit tempat Aldina di rawat, gua berjalan cepat menuju ke ruang perawatan.
Gua membuka pintu kamar, terlihat Aldina tengah duduk bersandar beralas bantal sambil menatap layar tablet di tangannya. Gua berdiri diam di ambang pintu. Sementara, Aldina langsung tersenyum dan menatap ke arah gua.
Dengan sekuat tenaga, gua memukul daun pintu; ‘Brak!’
Seketika seisi ruangan langsung kaget. Bapak yang tengah berbaring di sofa di sudut ruangan langsung melompat, sementara Rohman yang asik bermain game dengan ponselnya juga cukup terkejut dengan sikap gua.
Aldina puna sama. Senyum di wajahnya seketika hilang.
Gua berjalan mendekat ke arahnya.
“Gua kan udah pernah bilang, Jangan makan sembarangan, jaga kesehatan!!” Teriak gua tepat di sebelahnya.
Begitu mendengar teriakan gua, Aldina langsung kembali tersenyum. Ia meraih tangan gua dan bicara; “Thank You…”
“...”
“... Thank you ya Je…”
“For what?”
“For being you…”
Gua lalu duduk di tepi ranjang seraya menggenggam tangannya. Kemudian mengulang ucapan sebelumnya; “Gua kan udah pernah bilang, Jangan makan sembarangan, jaga kesehatan” kini dengan nada yang lebih rendah.
Masih sambil tersenyum, Aldina lalu mengangguk pelan.
“Anggi udah boleh pulang?” Tanyanya.
“Besok kayaknya. Lo tau dari mana?” Gua balik bertanya.
“Siapa lagi..”
“Lady?”
“Iya lah…” Jawabnya.
“...”
“... Udah sana temenin Anggi, disini gue kan ada Bapak sama Rohman…” Ucapnya.
Gua menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya.
“...Kenapa? capek?” Tanyanya.
“Nggak. Dari tadi gua disana disuruh kesini, udah disini di suruh balik kesana…”
“Lo kesana aja. Anggi kan lebih penting buat kita berdua…”
“Ntar deh, gua nunggu dokternya visit dulu…” Ucap gua.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya dokter spesialis yang menangani Aldina datang untuk memeriksa kondisinya. Selesai ia melakukan pemeriksaan, gua menyempatkan diri untuk bertanya.
Syukurlah, menurut dokter kini kondisi Aldina sudah baik-baik saja dan ia bisa pulang setelah beristirahat beberapa hari di rumah sakit.
“Tuh gue gapapa kan. Udah sana…” Ucap Aldina begitu dokter keluar dari kamar.
Gua lalu pamit ke Bapak dan Rohman kemudian pergi untuk kembali ke rumah sakit tempat Anggi dirawat.
Sepanjang perjalanan perut gua terasa melilit, terasa lapar luar biasa. Baru teringat kalau seharian ini gua belum makan sama sekali. Gua berencana untuk mampir sebentar membeli makan dan yang terpikir saat ini adalah nasi goreng tempat kami sempat makan berdua dulu. Gua meraih ponsel dan mencoba menghubungi Lady, namun tak ada jawaban.
Akhirnya gua memutuskan untuk makan nasi goreng sendirian dan membungkus porsi untuk Lady.
Sesampainya di kamar perawatan Anggi, gua membuka pintu perlahan. Cahaya di dalam kamar terlihat temaram, lampu di dalam kamar sepertinya sengaja dipadamkan sementara hanya lampu kecil yang terletak di atas meja kecil di sisi ranjang yang dibiarkan menyala.
Lady duduk di kursi di sisi ranjang dengan tubuhnya ia sandarkan, telungkup di atas ranjang.
Tangannya menggenggam tangan Anggi sementara matanya terpejam; tertidur.
Gua membelai kepalanya kemudian berbisik; “Lad…”
Lady membuka matanya, lalu menatap gua.
“Kok balik?” Tanyanya.
“Iya…”
“...”
“... Nih makan dulu…” Ucap gua seraya menyodorkan plastik berisi bungkusan nasi goreng ke arahnya.
Lady meraih bungkusan dari tangan gua dan meletakkannya di atas meja kecil disamping ranjang. “Gue udah makan tadi, dibeliin sama Reni…”
“Oh…”
“Lo udah makan?” Tanyanya.
“Udah…”
Ia lalu bangkit, berdiri dan berpindah ke sofa di sudut ruangan. Gua menyusulnya kemudian duduk di sebelahnya.
Tanpa menatap gua, Lady mulai bicara; “Gue tadi ngeliat mata lo pas baru balik ke dari tempat Aldina dan saat mau balik kesana. Ada kekhawatiran di sana. Kekhawatiran yang mendalam…” Ucapnya.
“...”
“... Dari mata lo, gue tau kalo lo masih sayang sama dia. Iya kan?” Tanyanya.
Protonema - Kiranya
Antara satu rasa yang tak pernah berubah
Berharap menyadari apa isi di hati sesungguhnya
Sadari segala yang pernah kita lewati
Sejenak menyadari apa isi di hati 'kan dahaga
Adakah di hatimu seperti di hatiku
Berharap untuk kembali
Tak mudah dimengerti apa yang 'kan terjadi
'Kan hadapi tenanglah hati
Kiranya kiranya rindu semakin dalam
Kiranya kiranya rindu semakin ada
Sejenak menyadari apa isi di hati sesungguhnya
Sadari segala yang pernah kita lewati
Sejenak menyadari apa isi di hati 'kan dahaga
Kiranya kiranya rindu semakin dalam
Kiranya kiranya rindu semakin ada
Sejenak menyadari apa isi di hati 'kan dahaga
Kiranya kiranya rindu semakin dalam
Kiranya kiranya rindu semakin ada
Sejenak menyadari apa isi di hati sesungguhnya
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:25
69banditos dan 52 lainnya memberi reputasi
53
Kutip
Balas
Tutup