- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
junti27 dan 199 lainnya memberi reputasi
196
279.2K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#938
#72 - Angel From Hell
Spoiler for #72 - Angel From Hell:
Ditengah obrolan, terdengar suara dering ponsel milik Ableh. Ia meraih ponsel dari saku celana pendeknya, melirik sebentar ke layar dan menjawab panggilan.
Selesai dengan panggilan, ia kembali memasukkan ponsel ke saku celana lalu bicara; “Gue boleh pinjem payung nggak, mau jemput Desita?”
“Eh boleh, silahkan, yang warna biru…”Jawab Lady seraya menunjuk ke arah deretan payung dalam wadah mirip seperti guci tanah liat berukuran besar yang terdapat di depan beranda cafe.
“Emang Desi dimana?” Tanya gua.
“Itu di depan Lobby…” Ableh menjawab santai
Tiba-tiba, Lady berdiri dan angkat bicara; “Aku aja deh Kak yang jemput Kak Desi.. Kakak disini aja, lanjut ngobrol…”
“Bener?” Tanya Ableh sambil menghentikan langkahnya.
“Iya gapapa kok, santai aja…” Jawab Lady, lalu bergegas meraih payung dan menuju ke arah lobby mall yang terletak nggak begitu jauh dari cafe tempat kami berada.
“Maaf merepotkan ya…” Ucap Ableh ke Lady.
“No Worries…” Lady menggumam pelan.
Ableh duduk dan meletakkan kembali bungkusan rokok dan korek api yang sebelumnya sudah dimasukkan ke dalam saku celana. Kemudian menatanya di atas meja, sekaligus mengatur ulang posisi gelas kopi miliknya.
“Cakep juga cewek lo, nemu dimana?” Tanya Ableh.
Gua berpaling, menatap ke arah Lady yang perlahan semakin menjauh. Kemudian menjawab; “Nemu? dia datang sendiri kok…” Jawab gua.
“Which one is better? Mantan istri lo atau dia?” Tanyanya lagi.
Gua tersenyum, sejatinya enggan menjawab pertanyaan tersebut, namun akhirnya gua menjawabnya. “Kalo Aldina lebih baik, gua pasti nggak disini sama dia…”
“Iya bener… If you love two people at the same time, choose the second one. Because if you really loved the first one, you wouldn’t have fallen for the second…” Ucap Ableh.
“Yes… correct..”
“By the way, emang sepenting apa sih Desita di perusahaan lo, sampe lo bela-belain gini?”
“Bisa jadi lebih penting dari gua…”
“Masa? kalo gitu dia aja yang jadi CEO nya, kenapa harus elo?”
“Terus yang ngurusin duit siapa? gua?”
“Iya, kenapa? lo nggak bisa?”
“Bukan nggak bisa, tapi nggak ngerti…” Jawab gua.
“Hahaha…”
Nggak lama berselang, Lady datang. Kini ia bersama Desi yang tengah menggendong seorang anak laki-laki. Anak laki-laki tersebut lantas turun dari gendongan Desi begitu melihat ayahnya dan lari mendekat.
“Papah…” Serunya dan langsung memeluk Ableh.
Sementara Lady kembali duduk di sebelah gua dan Desi mengambil posisi tepat di sebelah Ableh.
“Wah, Reuni nih ceritanya..” Desi bicara seraya menggeser gelas kopi dan bungkusan rokok milik Ableh. Dengan cepat, Ableh kembali menyusun gelas dan bungkusan rokok miliknya seperti posisi semula.
“Haha, iya..” Jawab gua.
“Pasti ada agenda lain nih ya?” Desi mulai menebak.
“Iya…”
Gua lalu menjelaskan duduk perkara yang sebelumnya sudah gua paparkan ke Ableh. Sementara, Desi mendengarkan dengan seksama sambil sesekali membelai kepala putranya yang berada di pangkuan Ableh.
Selesai mendengar penjelasan gua, Desi lantas memberi respon; “Gue sih mau banget Je. Tapi…” kalimatnya terpotong, ia menoleh dan menatap ke arah Ableh, seakan meminta persetujuan kepada suaminya untuk melanjutkan ucapannya.
Menyadari tatapan istrinya yang penuh arti, Ableh lalu memberikan sebuah isyarat dengan anggukan kepala. Dan, Desi pun melanjutkan kalimatnya; “...ada syaratnya”
“Apa?” Tanya gua.
Desi lalu mengarahkan tatapannya ke Lady, terdiam sebentar kemudian bicara; “Gue nggak mau kalian berdua ada di satu perusahaan yang sama…”
Mendengar syarat dari Desi, Lady langsung bersiap untuk memberi respon. Namun, gua dengan cepat menggenggam tangannya. Lady menoleh ke arah gua, dan gua langsung menggelengkan kepala, memberikan isyarat agar ia tetap diam.
“Hmmm… Kenapa?” Tanya gua lagi.
“Lo sayang kan sama dia?” Desi malah balik bertanya, seraya menunjuk Lady dengan ujung dagunya.
Gua mengangguk.
“... Salsa pasti nggak bakal seneng kalo ngeliat lo hidup enak-enakan sama Lady dan Anggi, dapet investasi dan dapet gue sebagai CFO. Buat Salsa ini udah kayak lo menang dari dia dengan skor 3-0…”
“...”
“... Dengan kalian berdua nggak berada di perusahaan yang sama, paling nggak skornya kan jadi 2-0. Salsa yang jiwanya kompetitif pasti nggak nyesek-nyesek banget jadinya…”
“...”
“... So, nothing personal lho. Ini buat kalian juga…”
“Oke. Consider it done!” Gue merespon cepat.
Mendengar respon dari gua, Lady dengan cepat melepas genggamannya, memukul lengan gua dan memberi tatapan tajam. Gua kembali menggenggam tangannya dan memberi tepukan pelan dengan tangan satunya lagi, mencoba menenangkannya dengan gestur tersebut.
“Cool, yaudah kalo gitu.. Lanjut aja prosesnya. I’ll be on your side…”
“Lo nggak bakal merasa mengkhianati Salsa?” Tanya gua.
Kini Ableh yang mengambil alih jawaban Desi. Ia bicara; “Nggak, santai aja.. Urusan Desita sama Salsa biar gue yang ngurus…”
“Lo yakin bisa ngurus Salsa?” Gua kembali bertanya, masih belum yakin.
“Kenapa? Lo ragu gue nggak bisa?” Ableh balik bertanya.
“Jujur. Iya…”
“Udah lo tenang aja. Ini urusan keluarga, lo cukup tau beres dah…”
“Then I owe you for this…”
“Yeah…”
Sambil menunggu hujan sedikit mereda, kami berempat melanjutkan obrolan. Hanya saja di sisa obrolan, Lady tak lagi terlihat excited. Ia hanya terdiam dan pasang tampang cemberut. Hal tersebut tentu saja dengan mudah disadari oleh Desi yang lalu tersenyum dan mulai menggoda Lady.
“Duh, tuh muka ditekuk aja neng geulis…” Goda Desi ke Lady.
Mendapat perlakuan seperti itu dari Desi dan merasa nggak punya cukup power untuk membalas, Lady menoleh ke arah gua seraya melayangkan cubitan di lengan gua.
Gua tersenyum dan mulai membelai kepalanya.
Karena nggak ingin Lady moodnya semakin drop. Gua memutuskan untuk pamit dan pulang terlebih dahulu.
—
Di dalam mobil, Lady masih terdiam sambil menunjukkan ekspresi kesal dan pasang tampang cemberut. Gua menoleh ke arahnya dan tersenyum; bukan. Bukan karena senang melihatnya kesal. Tapi, lebih karena wajahnya yang tengah cemberut terlihat lebih imut dan menggemaskan.
Sementara ia memalingkan wajahnya menatap keluar jendela, tubuhnya juga ia posisikan menjauh dari arah gua, seakan mencoba menghindar. Namun, tangan kirinya sengaja ia biarkan dekat dengan posisi perseneling.
Gua meraih tangan kirinya dan mulai menggenggamnya.
Lady nggak melayangkan protes saat gua mulai menggenggam tangannya. Namun, wajahnya yang cemberut masih ia palingkan dari gua.
“Kenapa sih?” Tanya gua pelan.
Ia berpaling, menoleh ke arah gua dan menjawab; “Masa sih lo segampang itu terima syarat dari Kak Desi?” Lady balik bertanya, nadanya tinggi.
“Lo nggak merasa kalo apa yang dibilang Desi tadi masuk akal?”
Lady terdiam. Sepertinya ia juga setuju dengan ucapan Desi tadi, kalau ia memberikan syarat tersebut demi kami juga. Dan, ia marah. Marah bukan karena Desi, ia marah karena keadaan; terjebak dalam pilihan yang sama-sama nggak menguntungkan.
.”... Lagian buat gua itu pilihan gampang, kalo salah satu dari kita harus cabut dari perusahaan…”
“Nggak mungkin elo kan?”
“Kenapa nggak mungkin? kalo emang perlu, gua mau mundur dari posisi sekarang..”
Mendengar ucapan gua, Lady langsung menegakkan tubuhnya dan bergeser.
“Gila lo ya?” Serunya.
Gua menoleh sebentar lalu tersenyum, nggak menjawab.
Di sisa perjalanan, kami berdua hanya terdiam dengan tangan saling berpegangan. Lady sama sekali nggak mengizinkan gua melepas genggaman. Gua bahkan sampai harus mengoperasikan perseneling dengan tangan kanan.
Semakin lama, tangan kiri terasa kesemutan, karena genggamannya bertambah erat dari waktu ke waktu. Perlahan gua mencoba melepaskan genggaman dan mulai mengibaskan tangan. Lady lalu memandang gua dengan tatapan yang tajam.
“Why did you let go of my hand?” Tanyanya
“Just relax for a bit…” Jawab gua seraya terus mengibaskan tangan.
“Holding my hand is not relaxing?” Ia kembali bertanya seraya mengernyitkan dahi.
“It is, but you know my muscles, i just…”
Belum sempat gua menyelesaikan kalimat, Lady memotong ucapan, meraih tangan gua dan kembali menggenggamnya, lalu bicara; “After all of this, I just wanna hold your hand. Don't let go..” Ucapnya.
Setelahnya kami kembali terdiam.
Begitu tiba di halaman rumah. Gua nggak langsung turun dari mobil, begitu pula Lady yang sampai saat ini masih menggenggam tangan gua; erat.
“Gue mau ngasih dua pilihan ke elo…” Tiba-tiba Lady bicara, tanpa menatap ke arah gua.
“Pilihan?”
“Kalo emang salah satu diantara kita harus ada yang keluar dari kantor. Orang itu haruslah gue. Kalo lo keluar, gue juga tetep keluar, kita sama-sama keluar aja sekalian..”
“...”
“... Jadi lo pilih, gue yang keluar atau kita berdua sama-sama keluar..” Tambahnya.
“Jangan gitu dong Lad. Gua udah capek banget menghadapi pilihan-pilihan yang sulit. Jangan nambahin gua pilihan sulit lainnya dong…”
“Lho ini kan pilihan gampang, lo tinggal pilih gue yang keluar daripada kita berdua yang keluar kan..”
“Terus kalo lo keluar, lo mau ngapain?” Tanya gua.
“Gue mau lanjut kuliah S2…” Jawabnya.
“Hah, buat?” Tanya gua lagi, mengingat ia ingin keluar dari perusahaan, lantas buat apa ia melanjutkan studinya.
Lady lalu berpaling, menoleh dan menatap gua “Gue mau jadi ibu rumah tangga…”
“Jadi ibu rumah tangga harus S2?”
“Iya. Gue mau jadi lebih baik, jadi lebih cerdas, supaya bisa jadi istri yang lebih baik buat lo, supaya bisa jadi ibu yang baik buat Anggi, supaya bisa memberikan ilmu yang gua pelajari buat mendidik Anggi”
“...”
“... Supaya bisa memberikan apa yang nggak pernah gua terima dulu dari orang tua gue; kasih sayang…” Tambahnya.
Gua tersenyum saat mendengar jawabannya barusan. Ada perasaan kagum dan bangga luar biasa pada dirinya. Bagaimana mungkin perempuan semuda ini bisa punya pola pikir yang melampaui usianya. Bagaimana mungkin, perempuan yang punya pengalaman nggak mengenakan semasa kecilnya bisa menjadi seperti ini?
“Yakin?” Tanya gua.
“Yakin. Lo kan udah pernah bilang, begitu gue setuju berjuang bersama-sama dengan lo, ini udah kayak one way ticket. Nggak ada jalan untuk kembali. Dan sejak saat itu, gua udah siap untuk semuanya… Gue nggak pernah seyakin sekarang sebelumnya…” Jawabnya dengan ekspresi serius.
Gua mengangguk pelan.
“Gue mau buru-buru menyelesaikan proses akuisisi ini secepatnya…”
“Kenapa?”
“Gue mau menikahi lo secepatnya…” Jawab gua.
“Gue juga…”
—
Beberapa hari berselang.
Langkah Salsa mulai terlihat. Salah satu sekretarisnya menghubungi gua dan meminta untuk membuat janji temu dengan Salsa.
“Kapan?” Tanya gua.
“Hari ini kalo bisa…”
“Ok…”
Selepas pulang bekerja, bersama dengan Lady, kami bergegas menuju ke kantor Salsa yang terletak di bilangan Senayan.
Salsa terlihat duduk di teras lobby basement gedung. Sambil merokok, ia bersandar pada pintu kaca. Dari gayanya, ia sama sekali nggak terlihat seperti seorang konglomerat yang punya harta sebanyak gunung.
“Lo tunggu sini aja…” Ucap gua ke Lady, kemudian keluar dari mobil dan bergegas mendekat ke arahnya.
Gua duduk di lantai tepat di sebelahnya, meraih sebatang rokok miliknya dan menyulutnya.
Salsa sama sekali nggak bicara, ia terdiam. Yang terdengar hanya samar suara decit ban mobil dan suara bara api rokok yang terbakar.
Ia lalu meraih amplop putih berukuran besar yang sejak tadi berada di lantai tepat di sebelahnya. Kemudian meletakkannya di atas pangkuan gua; masih tanpa bicara.
Gua membuka amplop putih tersebut dan mengeluarkan lembaran kertas di dalamnya.
Isinya cukup mengejutkan gua.
Lembaran pertama dari kertas di genggaman gua merupakan sebuah dokumen yang berisi Funding Agreement. Rupanya Salsa setuju untuk menambah jumlah investasinya di perusahaan gua. Dan lembar berikutnya merupakan sebuah dokumen pembatalan klausul kami sebelumnya yang menyebutkan kalau ada investor dengan value lebih besar darinya, ia bakal cabut. Artinya, saat ini, siapapun bisa masuk memerikan funding dalam jumlah tanpa limit ke perusahaan gua.
“Gua pikir…” Gua angkat bicara. Namun, belum selesai gua mengucap, Salsa mengangkat tangannya ke udara, memberikan isyarat agar gua diam.
Ia lalu bicara; “Nggak usah banyak mikir. Bawa aja dokumennya, tanda tangan, terus besok balikin ke gue…”
“...”
“... Jangan pikir gue melakukan hal ini karena hal personal. Ini murni bisnis…”
Gua memasukkan kembali lembaran dokumen tersebut ke dalam amplop, lalu berdiri.
“Thank you Sa…” Ucap gua pelan.
Saat gua bersiap untuk kembali ke mobil. Salsa memanggil nama gua; “Je..”
Gua menghentikan langkah dan berpaling ke arahnya.
“Gue mau semua report per kuartal ada di meja gue by the end of the month”
“Ok.. No problem..”
“Gue juga mau lo bikin bisnis plan yang baru buat dua kuartal ke depan…”
“Hah, bukannya udah pernah gua kasih ke elo?”
“Nggak, gue mau plan yang berbeda…”
“Kenapa?”
“Izar dapet funding serie C…” Ucap Salsa pelan, seraya menatap kosong ke depan.
Mendengar ucapannya barusan, gua mendekat, lalu kembali duduk di sebelahnya.
Mungkin curiga melihat gua yang sudah bersiap pergi lalu kembali duduk di sebelahnya, Lady keluar dari mobil dan bersiap menghampiri gua; merasa ada sesuatu yang janggal terjadi.
Namun, gua dengan cepat memberikan tanda dengan mengangkat jari telunjuk, agar ia tetap diam di sana sampai gua selesai dengan Salsa. Lady menghentikan langkah dan mulai menyandarkan tubuhnya di body mobil.
“Dapet funding dari mana dia?” Tanya gua.
“Dari kompetitor gue..” Jawab Salsa.
“Oh wow… Jadi mulai sekarang ini jadi ajang ‘pertarungan’ lo dengan kompetitor?”
“Yah, kurang lebih begitu…”
Gua merespon jawabanya dengan anggukan kepala.
“...Dan lo tau? Izar bakal switch model bisnis. Model bisnis yang sama dengan yang lo buat…” Salsa menambahkan.
“...”
“... Jadi buruan lo tanda tangani dokumen itu, dan ayo kita libas mereka…” Tambahnya lagi, kini seraya mengepalkan tangannya.
“Ok… Yaudah kalo begitu, gua cabut dulu. Will get back to you soon…” Ucap gua, kemudian pergi.
Saat gua kembali ke Lady, ia langsung mengajukan pertanyaan; “Gimana Je?”
Gua nggak langsung menjawab, melainkan segera masuk ke dalam mobil. Barulah setelah berada di dalam gua bicara ke Lady; “Ganti rencana… Salsa ternyata malah nambah funding..”
“What? serius?”
“Iya…”
“Yeay…”
“Tapi ada sedikit bad news..”
“Apa?”
“Izar, mantan bos lo, baru dapet funding series C dan dia bakal switch model bisnis dengan model bisnis yang sama dengan kita…”
“What!? Ih najis deh…” Seru Lady.
“Minta tolong nanti kabarin Desi sama Claire perihal ini ya Lad…”
“Oke, terus apa rencana lo?” Tanya Lady.
“Gua mau bikin strategi yang baru… Beda dari yang sebelumnya…”
“Hmmm… dari bau-baunya, rencana pernikahan kita bakal tertunda lagi nih kayaknya..”
“Nggak tenang aja…”
“Oiya, satu lagi.. Besok kumpulin anak-anak dari tim campaign. Gua mau ngobrol sama mereka, khususnya yang pernah kerja sama Izar…”
“Gue?”
“Iya, elo lah, emang siapa lagi…”
“Je… Gue kan mau cabut…”
“Lah, ngapain. Kan Salsa nggak jadi narik investasinya, berarti syarat dari Desi juga batal dong…”
“Nggak, gue bakal tetep keluar dari perusahaan. Gue mau melakukan semua yang udah gue bilang ke elo..”
“Duh, gue jadi harus nyari ganti elo dong..”
“Gue tau orang yang cocok…”
“Siapa?”
“Since, gue udah nggak disana, kayaknya orang ini bisa jadi pengganti gue deh…”
“No way…”
—
Bill Withers - Just The Two Of Us
I see the crystal raindrops fall
And the beauty of it all
Is when the sun comes shining through
To make those rainbows in my mind
When I think of you sometime
And I want to spend some time with you
Just the two of us
We can make it if we try
Just the two of us
(Just the two of us)
Just the two of us
Building castles in the sky
Just the two of us
You and I
We look for love, no time for tears
Wasted water's all that is
And it don't make no flowers grow
Good things might come to those who wait
Not for those who wait too late
We gotta go for all we know
Just the two of us
We can make it if we try
Just the two of us
(Just the two of us)
Just the two of us
Building them castles in the sky
Just the two of us
You and I
Just the two of us
We can make it just the two of us
Just the two of us
We can make it just the two of us
Just the two of us
We can make it just the two of us
Just the two of us
We can make it just the two of us
Just the two of us
We can make it just the two of us
Just the two of us
We can make it just the two of us
Just the two of us
We can make it just the two of us
Just the two of us
We can make it just the two of us
Just the two of us
We can make it just the two of us
I hear the crystal raindrops fall
On the window down the hall
And it becomes the morning dew
And, darling, when the morning comes
And I see the morning sun
I want to be the one with you
Just the two of us
We can make it if we try
Just the two of us
(Just the two of us)
Just the two of us
Building big castles way on high
Just the two of us
You and I
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:29
jiyanq dan 50 lainnya memberi reputasi
51
Kutip
Balas
Tutup