uliyatisAvatar border
TS
uliyatis
Jodoh yang Tertunda
Tarian Jiwa

Ah ... irama kebahagiaan menyentak kalbu
Membiarkan benak meniti angan
Membaur bersama desir angin
Tenggelam dalam kebisuan jiwa

Ah ... lentik jemariku menyentuhmu lembut
Melibatkan emosi yang membuncah
Kehangatan nurani menyertai langkah
Membius relung kerinduan dalam buaian harimu

Ah ... kembali desah itu memanggil
Menyudutkan khayal di dunia nyata
Melepaskan mimpi di biasnya hujan
Merangkul birunya warna cintamu

Ah ... desahku kian memudar
Mengendap di puing-puing keakuan
Menginjak ketidakpastian
Saat sebuah janji kau torehkan

Mengetuk hangat deburan nyawaku
Menyongsong satu senyum pengukir impian
Melenyapkan nyanyian sumbang
Pengiring tak didambakan
Kala tarian jiwa berputar di debaran jantungku

Lalu mengajakku menari, melabuhkan atma padamu
Menepi, menyelaraskan hasratku dan asamu
Berpadu dalam tautan
Ciptaan elok Sang Penyejuk Jiwa.



☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆



pinterest



Setiap insan pasti punya perasaan cinta yang dalam buat orang yang dicintai. Apakah itu pacar ataupun pasangan sehidup semati dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Cinta adalah anugerah terindah dari Sang Khalik untuk seluruh hamba-Nya. Tidak terkecuali bagiku dan Mas Karlis. Pernikahan yang sejatinya bisa dipertahankan, tapi kerap tersandung batu ujian yang menimbuljan prahara

Aku menatap potret pernikahan Tiga tahun silam. Pernikahan sederhana yang kami laksanakan saat itu. Kenduri kecil-kecilan. Hanya mengundang kerabat dekat dan tetanga kiri kanan.

"Isti, ayo cepat. Mantennya sudah datang!"
Bibi berseru, riang. Sesekali dia merapikan kebaya dan hijab yang kukenakan.

Jantungku berdegup sangat kencang. Penantian panjang ini akhirnya berakhir juga ke pelaminan.

Bibi pun membimbingku keluar kamar, duduk berdampingan dengan Mas Karlis, usai mengucap ijab kabul.

"Gimana rasanya jadi pengantin?" goda sahabat kami Panji Ya, Panji lah yang menjadi mak comblang kami waktu itu.

"Enaklah. Kalo lapar ada yang masakin. Pakaian necis terus. Mau tidur ada yang nemenin," jawab Mas Karlis saatvitu.

Panji terbahak. Aku sendiri tersipu, malu. Menang Mas Karlis suka ngomong ceplas-ceplos.

Panji tak banyak bicara lagi. Dia sibuk mengisi mulutnya dengan aneka makanan. Kenangan yang sangat indah.

Setetes butiran bening keluar dari sudut mata. Ada rasa sakit yang tiba-tiba menikam jantung. Kebahagiaan yang seharusnya terus bisa kureguk, akhirnya kandas dengan penderitaan.

Mas Karlis menemukan perempuan lain yang dianggap keluarganya lebih layak untuknya dan keluarga besarnya. Aku menangis kini. Keras. Pundakku sampai terguncang.

Tiga tahun aku mencoba mewujudkan mimpi dengan menjadi Ny. Karlis. Meretas jalan menuju kebahagiaan hakiki. Namun peristiwa menyakitkan itu meluluh lantakian perjuangan cintaku menuju akhir bahagia.

"Is, Ibu minta Mas nikah lagi sama anak kerabat jauh yang kemarin kita lihat di pestanya Pakde Gyos," ucap Mas Karlis usai pulang dari perusahaan konveksi milik keluarganya.

Aku menunduk. Sudah dari semula keluarga Mas Kasli menentang pernikahan kami. Mereka menganggap, kalau aku tak layak menjadi bagian keluarga suamiku itu.

Aku hanya bisa diam, menggigit bibir bagian bawah melawan perih. Lalu kataku pada Mas Kasli; "Mas mau aja disuruh kimpoi lagi sama Ibu?"

Mas Kasli menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuduga. Pikiranku benar-benar gelap.

"Mas nggak bisa nolak, Is. Mas ini anak laki-laki satu-satunya. Ibu pengen memiliki mantu yang sederajad. Mas sudah berusaha bujuk Ibu, tapi, ndak berhasil."

Aku tergugu mendengar ucapan Mas Kasli barusan. Sekali lagi, dunia serasa mau runtuh. Pikiranku gelap, benar-benar gelap. Bagaimana ini? Aku tak lagi bisa berkata-kata, hanya bisa menatap Mas Kasli dengan mata basah.

"Terus, gimana dengan pernikahan kita, Mas. Udah jalan tiga tahun, Mas. Apa ini ndak artinya sama sekali buat Mas?"

Mas Kasli terus menunduk, tak berani menatapku. Tangannya terus saja bergerak memilih baju-baju miliknya. Aku pun duduk di tepi ranjang sambil terisak.

"Besok, Mas akan pulang ke tempat Ibu. Rumah ini boleh menjadi milikmu. Kalo kau ndak suka dimadu, kau boleh minta cerai, Is. Ndak usah takut, meskipun kita udah berpisah, rumah ini tetap jadi milikmu."

Tangisku pun pecah kini. Perempuan mana yang ingin dimadu. Apalagi keberadaanku dianggap seperti sampah, tak berarti apa-apa.

"Baik, Mas. Kalo itu yang jadi keputusan Mas Kasli. Lebih baik ceraikan saja aku. Aku ndak mau dimadu."

Mas Kasli menatapku tajam. Mungkin merasa iba melihat nasibku. Aku tahu Mas Kasli juga tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa menurut kemauan Ibunya.

"Baiklah, nanti Mas yang urus semuanya. Kalo Kau ingin bercerai."

Mas Kasli tak banyak bicara lagi. Pria yang pernah menjadi imamku itu hanya diam kini. Sibuk menatap layar gawai lalu pergi keluar kamar.


Seminggu setelah kepergian Mas Kasli, sebuah surat dari Pengadilan Agama aku terima. Isinya agar aku menghadiri sidang perceraian dengan Mas Kasli. Ada yang menyarankan agar aku tak usah hadir di persidangan. Namun, aku tetap hadir hingga keluar keputusan Hakim.

Sebelum keluar ruang sidang, kusalami terlebih dahulu Bapak dan Ibu Mas Kasli baru mantan suamiku itu. Ada nyeri yang tiba-tiba menyerang dadaku, tapi tak kugubris.

Sebuah senyum kulayangkan pada mereka. Ada seorang perempuan berada di sebelah Ibu Mas Kasli. Sepertinya dia perempuan yang dipilih untuk menggantikan posisiku. Cantik dan terlihat kaya.

"Maafkan kao ada kesalahan Isti ya Pak, Bu, Mas," ucapku sebelum berlalu.

Bapak dan Mas Kasli tersenyum kecil melepas kepergianku. Sementara Ibu melengos, membuang muka. Aku hanya bisa mengurut dada.

Setelah dua tahun berpisah, berita perceraianku sampai juga ke telinga Panji. Secara tak terduga kami bertemu di pasar. Aku sekarang membuka kios di pasar. Rumah pemberiana Mas Karlis kujual dan dijadikan modal membuka kios. Sisanya kubelikan rumah yang lebih kecil dan sederhana.

"Tumben, kamu ke pasar, Nji?" tanyaku ketika ia bertandang ke kiosku.

"Ini, Ibu ingin dibelikan bahan untuk makan siang nanti," jawabnya sambil memilih bawang dan bahan lainnya.

Panji kemudian menanyakan kebenaran cerita yang ia dengar dari teman-teman. Panji memang merantau ke kota besar. Bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi ternama.

Aku tersenyum, mengiyakan.

"Udah dua tahun, Nji. Mas Karlis juga sudah nikah lagi, kok."

Panji tersenyum, kecut, lalu katanya:"Sepertinya aku yang salah, ya,Is. Coba waktu itu aku nggak bujuk kamu jadi isteri Mas Karlis, pasti ndak begini jadinya."

Aku tertawa lepas. Sudah lama rasanya tak merasakan tawa selepas ini.

"Bukan salahmu, Nji. Ini takdir namanya!"

Dia tersenyum lagi. Beberapa bahan telah berhasil dipilih dan langsung kutimbang. Potongan harga pertemanan pun kuberikan. Sedikit pun aku tak menyalahkan Panji. Inilah jalan kehidupan, tak ada satu orang pun yang tahu.

Semenjak pwrtemuanku kembali dengan Panji. Ternyata dia masih sendiri. Semenjak pernikahanku dengan Mas Kaslu dia memang tak pernah pulang. Selalu ada saja alasannya untuk tisak pulang. Barulah setelah berita perceraianku sampai di telinganya, dia berniat pulang.

Tak banyak yang berubah dengan Panji. Tutur bicaranya masih lembut seperti dulu. Sikapnya pun masih santun. Dulu Ibuku pernah menanyakan pilihanku yang jatuh pada Masli. Masih terngiang di telinga,"Is, apa ndak salah pilih. Panji itu leboh cocok jadi pendampingmu dibandingkan Kasli."

Namun, saat itu aku tak merespon ucapan Ibu, karena aku selama ini menganggap Panji hanya sahabat, tak lebih. Namun, sejak pertemuan kembali dengan Panji jemarin, aku jadi berpikir ulang tentang dia. Mungkin ada benarnya ucapan Ibu waktu itu, tapi kupikir itu sudah terlambat.

Sebulan, dua bulan, Panji selalu teratur menghubungiki. Lewat [I]chat[I] melalui splikadi WA. Terkadang Ibu Panjo juga sesekali mengantar makanan ke rumah.

Aku jadi sedikit sungkan. Perhatian Ibu Panji juga lebih banyak dari hari ke hari. Ini sudah memasuki bulan ke enam, semenjak pertemuan terakhir.

Aku pun tak ingin berharap banyak. Aku menganggap perhatian mereka hanya karena kasihan melihat keadaanku. Hingga suatu ketika, dua hari menjelang Idul Fitri, Ibu memaksaku pulang ke rumah. Meski satu kota, aku jarang menginap di tempat Ibu. Rumahku lebih dekat dengan pasar.

"Ada apa, sih, Bu. Isti sibuk. Menjelang lebaran gini, pembeli lagi banyak," sungutku.

Ibu tersenyum. "Malam ini saja, Kau tidur di rumah. Besok pagi-pagi, sudah salat subuh, baru pulang. Wong, pasar juga ndak jauh-jauh amat dari rumah Ibu."

Aku memandang Bapak, terus adik perempuanku sedang hamil tua. Suaminya duduk sambil memijit kaki adikku.

"Mbak, malam ini Ibu Mas Panji mau ke sini. Mbak mau dilamar jadi isterinya Mas Panji."

Aku terbelalak mendengar ucapan adikku.

"Apa benar, Bu? Kok Panji ndak pernah bilang."

Ibu mengangguk, membenarkan ucapan adikku itu. Pikiranku kini berkecamuk. Ada perasaan takut untuk mengarungi bahtera rumah tangga lagi. Ibu sepertinya mengerti jalan pikiranku. Beliau berusaha memberi penjelasan, kalau tidak semua laki-laki itu seperti Mas Kasli.

Aku akhirnya menuruti ucapan Ibu. Setelah prosesi lamaran, tiga bulan ke depannya aku dan Panji pun menikah. Ternyata benih-benih cinta di hati Panji sudah lama tumbuh tapi tak berani diungkapkan. Apalagi setelah pertemuanku dengan Mas Kasli.

Kisah hidup memang tak bisa ditebak. Skenario terindah yang dihadirkan Allah untuk diriku. Pernikahan yang gagal dengan Mas Kasli akhirnya bisa ditebus kusah yang lebih manus dengan Panji.

Jodoh memang tak lari ke mana. Semua sudah ditetapkan oleh Sang Khalik. Tinggal kita saja yang menjalani, sabar atau tidak.


Tamat



Diambil dari puisi Uliyatis dalam thread kumpulan puisi Tiga Puisi Penawar Rindu

Tarian Jiwa
Diubah oleh uliyatis 25-06-2022 12:47
bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
1
811
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
pulaukapokAvatar border
pulaukapok
#3
Ikutan
uliyatis
uliyatis memberi reputasi
1
Tutup