- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
junti27 dan 199 lainnya memberi reputasi
196
279.2K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#857
#67 - The Thought That Counts
Spoiler for #67 - The Thought That Counts:
Rasa lelah, penat dan kantuk yang amat sangat menyerang gua begitu kami tiba di Jakarta. Sementara, Jeje pergi mengambil koper, gua dan Anggi duduk di dalam kursi panjang ruang tunggu bandara.
Tiba-tiba ponsel gua berdering, sebuah panggilan masuk. Gua meraih ponsel dari dalam tas dan menatap layarnya yang menampilkan nama Reni.
“Halo…”Sapa gua.
“Halo Kak? udah sampe kan?” Tanyanya.
“Udah…”
“Dimana?” Tanya Reni.
“Lagi nunggu Jeje ngambil koper…” Jawab gua.
“Oh, gue di parkiran ya.. Mau disamperin apa kalian aja yang kesini?” Tanya Reni lagi.
“Gue sih maunya disamperin… Capek, ngantuk…”
“Yaudah nanti kalo udah kelar ngambil bagasi, chat gue aja ya. Ntar gue samperin…”
“Iya…” Gua menjawab singkat lalu mengakhiri panggilan.
Begitu Jeje sudah kembali dengan koper besar di tangannya, gua dan Anggi langsung berdiri menyambutnya. “Reni tadi telpon…”
“Iya, tadi telpon gua, tapi belum sempet diangkat udah mati…” Jawab Jeje.
“Lo minta dia jemput ya?” Tanya gua.
“Iya… Lo mau makan dulu?” Jeje balik bertanya.
“Nggak ah, nanti aja.. Ntar Reni kelamaan nunggu…”
Jeje lalu beralih ke Anggi dan mengajukan pertanyaan yang sama; “Anggi? mau makan dulu?” yang lalu direspon oleh Anggi dengan gelengan kepala.
Jujur, gua cukup kagum dengan daya tahan Anggi. Setelah berada di pesawat lebih dari sehari semalam, ia masih punya tenaga untuk berceloteh, menari dan bernyanyi. Gua saja sudah mau muntah rasanya.
Gua lalu mengirim pesan ke Reni untuk menjemput kami di lobby kedatangan Terminal 3. Dan begitu kami tiba di lobby, terlihat Reni sudah berdiri di sisi mobil. Sementara, Robby duduk di kursi pengemudi.
“Wah, gimana, gimana? ada cerita apa nih?” Tanya Reni saat kami semua sudah berada di dalam mobil menuju ke rumah Jeje.
Gua tersenyum, kemudian mengangkat tangan kiri, menunjukkan cincin yang melingkar di jari manis. Reni yang duduk di kursi depan bagian penumpang langsung berteriak begitu melihatnya.
“What!?” Serunya sambil menutupi mulutnya yang terbuka.
“Satu lagi…” Ucap gua.
“Apa?”
“Saham lo kan sekarang 5%, punya gue 24%” Gua menambahkan.
“What!?” Reni kembali berseru, kemudian pandangannya ia alihkan ke abangnya yang duduk di sebelah gua di deretan kursi penumpang bagian belakang.
Mendapat tatapan konfirmasi dari Reni, Jeje lalu mengangguk pelan.
Reni kembali menatap gua, dan mengajukan pertanyaan tentang Aldina. Kali ini ia bicara tanpa suara, gua hanya membaca gerak bibirnya yang terlihat menyebut nama; “Aldina”
“Ntar gue ceritain…” Ucap gua pelan.
Saat kami hampir sampai, Jeje menepuk bahu Robi dari kursi belakang dan bicara; “Rob, gua turun di toko ya…”
“Siap…” Jawab Robi.
Gua mengernyitkan dahi dan menoleh ke arahnya; “Mau ngapain? nggak mau istirahat dulu?” Tanya gua.
“Sebentar doang…” Jawab Jeje.
Reni lalu ikut nimbrung ke dalam percakapan; “Kangen banget dia sama Rohman kali…”
Tiba di depan toko, Jeje langsung keluar dari mobil. Sementara, tanpa meminta persetujuannya, gua ikut turun dari mobil. Sebelum keluar gua berbisik ke Anggi; “Anggi pulang sama Tante Reni ya…”
“Iya Mamah Cantik…” Jawab Anggi.
Saat mendengar Anggi memanggil gua dengan sebutan ‘Mamah Cantik’ Reni kembali tertegun dan menatap gua dengan matanya yang tajam. Gua tersenyum lalu membalas tatapannya; “Tenang, ntar gue ceritain..”
Melihat gua ikut turun dari mobil, Jeje langsung menoleh; “Ngapain?”
“Ikut lo? kenapa? nggak boleh?” Tanya gua.
“Bukannya istirahat…” Gumamnya pelan, kemudian meraih tangan gua dan menggenggamnya.
Rupanya Jeje ke toko untuk bertanya tentang proses perpanjangan pajak dan servis mobil milik gua.
“Udah beres…” Jawab Rohman santai.
“Duitnya masih sisa?” Tanya Jeje.
“Masih”
“Mana?”
“Tuh…” Rohman menjawab seraya menunjuk ke arah ponsel yang tergeletak di atas etalase toko. Dari bentuknya, ponsel tersebut terlihat seperti ponsel keluaran terbaru, masih mulus dan kinclong.
“Lo beliin HP?” Tanya Jeje.
“Iya..” Jawab Rohman santai.
Jeje lalu meraih gulungan plastik dari rak dan memukuli tubuh Rohman yang masih duduk santai sambil bersandar pada kursi.
“HP lo bukannya baru beli, kok beli lagi..” Seru Jeje sambil terus memukul dengan gulungan plastik.
Gua tau semua yang dilakukan Jeje barusan nggak serius. Ia hanya rindu dengan sahabatnya, rindu dengan Rohman.
“HP yang lama nge-Lag kalo buat main game..” Jawab Rohman sambil tertawa.
Lelah memukuli Rohman, Jeje lalu meraih salah satu kursi plastik dan duduk di sebelah Rohman. Kemudian keduanya ngobrol seperti biasa, layaknya tak terjadi apa-apa. Sementara, gua masuk lebih dalam ke toko dan mendapati sosok perempuan cantik berjilbab bernama Salwa. Ia tersenyum dan mengangguk ke arah gua.
“Halo, Salwa ya?…” Sapa gua.
“Iya kak…”
“Kita udah berapa kali ketemu tapi belum kenalan langsung ya” Ucap gua seraya menyodorkan tangan, mengajaknya berkenalan dengan formal.
Salwa lalu menjabat tangan gua. “Salam kenal kak…”
“Salam kenal ya, aku Lady…” Gua menyebut nama.
“Iya kak, aku udah di ceritain sama Bang Rohman…”
“Oh gitu, cerita apa aja dia?” Tanya gua
“Banyak…”
“Kalo ceritanya hal yang buruk, jangan percaya ya..”
“Iya kak…”
Kemudian gua dan Salwa lanjut berbincang seraya menemaninya memotong butter dan mengemasnya menjadi ukuran yang lebih kecil. Rupanya, Rohman dan Salwa kini sudah semakin dekat. Bahkan, menurut penuturan Salwa, Rohman sudah bersiap untuk melamar Salwa.
“Wah, mudah-mudahan lancar ya..” Ucap gua ke Salwa.
Sementara dalam hati gua merasa iri. Dan mulai bertanya-tanya pada diri sendiri; ‘Kapan Jeje akan meminang gue?’
Pertanyaan dalam hati itu akhirnya gua ungkapkan ke Jeje saat kami berdua berjalan kaki menuju ke rumah sepulangnya dari toko.
“Salwa kan mau dilamar sama Rohman…” Ucap gua, membuka topik pembicaraan.
“Oh..”
“Kok cuma ‘Oh’ aja?” Tanya gua seraya mendekat, memeluk lengan dan mendongak, menatapnya.
“Abis harus jawab apa dong?” Jeje balik bertanya.
“Apa gitu..”
“Apa?”
“Pokoknya kita harus nikah lebih dulu dari Rohman dan Salwa…” Gua bicara.
Mendengar ucapan gua barusan, Jeje langsung menghentikan langkah dan menoleh ke arah gua.
“Kenapa?”
“Hah?”
“Kenapa harus nikah lebih dulu dari mereka?” Tanya Jeje mengulang ucapannya, kini dengan format lebih lengkap.
“Ya biar kita bisa dateng ke resepsi mereka sebagai sepasang suami istri…”
“Hah? sesederhana itu alasan lo?” Tanya Jeje.
“Iya.. cinta kan simpel…” Jawab gua sambil tertawa.
Jeje lalu meraih bahu dan memeluk gua, kemudian melanjutkan langkah. Sambil terus berjalan, Jeje bicara; “Kita kan juga harus melalui proses yang sama dengan Rohman…”
“Proses apa?”
“Gua masih harus ketemu bokap lo, meminta izin ke beliau untuk menikahi anaknya..”
“Alah, nggak usah, paling dia juga nggak peduli…”Jawab gua seraya membayangkan pertemuan Ayah dengan Jeje dan menebak ucapan yang bakal keluar dari mulutnya. ‘Ya nikah aja sana…’
“Ya nggak bisa gitu dong. Biar bagaimanapun, lo kan anaknya dan dia bokap lo…”
Gua menghela nafas panjang. ‘Duh, nambah satu lagi rintangan kebahagiaan yang harus kami hadapi’ batin gua.
“Kenapa? khawatir?” Tanya Jeje.
“Iya…”
Bukan, gua bukan khawatir Ayah akan memberi penolakan dan nggak memberikan izin. Gua hanya resah jika Jeje harus menerima perlakuan nggak menyenangkan dari keluarga neraka itu.
“Apa yang harus dikhawatirkan?” Tanya Jeje lagi.
“Takut omongan ayah nanti nyakitin hati lo…” Jawab gua.
Gua tau Jeje punya pengalaman hidup yang pahit dan berat. Tubuhnya bahkan sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang menyakitkan. Tapi, kadang lidah lebih tajam daripada pedang. Nggak sedikit manusia yang moralnya hancur berantakan gara-gara omongan manusia lainnya. Sementara, rasa sakit yang diterima tubuh, perlahan bisa sembuh dan hilang.
“Thank you ya udah mau khawatir buat gua. Tapi, tenang aja Lad, gua bakal bertahan kok…”
“Pokoknya nanti kalo ayah ngomong yang macem-macem, lo tutup kuping aja…”
“Hahaha… Malah nggak sopan dong kalau orang ngomong kita malah tutup kuping..”
“Iya sih..”
Nggak lama, rumah Jeje sudah terlihat. Sebuah mobil terlihat terparkir di halaman rumah dengan terpal biru menutupi seluruh permukaannya. Sepertinya, mobil milik gua. Sementara, disebelahnya terparkir mobil berwarna putih milik Reni.
Jeje langsung membuka terpal yang menutupi mobil dan mulai melipatnya. Gua meraba body mobil dan menyusurinya dengan ujung jari, seakan memberi sentuhan perpisahan. Nggak lama lagi, gua akan berpisah dengan mobil ‘rampasan’ ini.
Setelah melipat dan menyimpan terpal di samping rumah, Jeje mengajak gua masuk. Di dalam, Reni sudah menyiapkan makanan. Makanan yang sepertinya baru saja dipesannya melalui ojek online; ayam dari resto cepat saji favorit Anggi.
Selesai makan, gua menyusul Jeje duduk di kursi kayu teras rumah.
“Mana, katanya kalo udah di Jakarta mau ngasih kado buat gue?” Tagih gua.
Jeje menghisap rokok dalam-dalam, lalu menghembuskan nafasnya ke udara. Dengan ekspresi wajahnya yang datar, ia merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci mobil milik gua dan meletakkannya di meja kecil yang terletak diantara kami.
Gua mengernyitkan dahi begitu melihatnya meletakkan kunci mobil di atas meja.
“Ini…” Ucap Jeje, seraya menggeser kunci mobil ke arah gua.
“Hah!? Kok?”
Melihat gua kebingungan, Jeje akhirnya buka suara; “Tadinya mobil ini mau lo jual kan?”
“Iya..”
“Dan gua bilang untuk ngembaliin mobil ini waktu gua tau kalo lo ‘ngambil’ mobil ini dari adik lo tanpa ijin…”
“Iya…”
“Kemarin Rohman gua suruh cari mobil dengan tipe dan tahun yang sama dengan ini. Dan langsung gua balikin ke Adik lo…”
“Jadi?...”
“Jadi, ya ini gua balikin lagi ke elo… Sebagai hadiah”
“What!?”
Rasa marah langsung merasuki hati. Bukan, gua bukan marah karena memberikan hadiah mobil yang memang seharusnya punya gua. Tapi, gua marah karena nggak rela, Jeje harus mengeluarkan uang yang nggak sedikit buat Mamay.
Namun, amarah di dalam hati langsung sirna saat memikirkan, Jeje melakukan ini semua untuk gua.
“... Kenapa Je?” Tanya gua pelan.
“Tadinya, gua emang mau balikin mobil ini ke adik lo dan beliin lo mobil lain yang lebih murah…”
“...”
“... Tapi, setelah dipikir-pikir, nih mobil banyak menyimpan kenangan kita…”
Gua tertegun begitu mendengar ucapannya barusan. Ingatan gua lalu kembali ke masa-masa pertama kali kami bertemu. Saat pertama gua membeli plastik, saat gua terjebak banjir, saat gua mengantarnya pergi, semua perdebatan kami, semua kisah romansa kami, mobil ini yang menjadi saksinya.
“Tapi kan pajak dan perawatannya mahal Je…”
“Lah, lo kan sekarang tajir…” Jawab Jeje sambil tersenyum.
“Lah iya ya…”
Ditengah perbincangan kami berdua, Reni muncul dari dalam rumah dengan membawa segelas kopi. Ia membungkuk dan meletakkan gelas kopi di atas meja; Kopi untuk abangnya tersayang.
Ia lalu mengerlingkan matanya ke arah gua dan melirik ke cincin yang gua kenakan.
Dengan mengabaikan Jeje, kami berdua lalu terlibat obrolan seru. Obrolan tentang semua kejadian yang kami alami saat di Halifax.
—
Seminggu berselang, tepat di hari Sabtu, Gua dan Jeje sudah berada di dalam mobil yang membawa kami menuju ke daerah Kelapa Gading, ke rumah Ayah. Sepanjang perjalanan, gua hanya terdiam sambil menatap keluar jendela, membayangkan apa saja yang bakal terjadi nanti. Sementara, kedua telapak tangan gua mulai basah. Sudah lama rasanya sejak gua merasa segugup ini.
Jeje menepikan mobil tepat di depan sebuah rumah berukuran besar. Terlihat, sebuah mobil sedan bertipe sama dengan milik gua terparkir di depan garasi. Sementara, dua mobil lainnya yang nggak kalah mewah berada di kedua sisinya.
Karena merasa rumah ini bukan lagi bagian dari hidup gua, gua berdiri tepat di depan pagar dan mulai membunyikan bel. Nggak lama, terlihat Bi Sum berjalan cepat, tergopoh-gopoh mendekat ke arah pagar. Wajahnya yang tampak lelah, langsung berubah sumringah begitu melihat gua.
Ia dengan cepat membuka pagar, menggesernya dan tanpa basa-basi memberikan pelukan ke gua. “Ya ampun neng… kemana aja?” Tanya Bi Sum seraya melepas pelukan dan kedua tangannya memegangi pipi gua.
Gua nggak menjawabnya, hanya tersenyum.
“Bi Sum, Sehat?” Tanya gua.
“Sehat… Neng Lady sehat kan?”
“Sehat kok.. Ayah ada nggak?”
“Ada.. yuk masuk-masuk.. lagiang neng ngapain pake mencet bel sih?”
“Ya aku kan tamu… Oiya, Bunda juga ada?”
“Ada semua neng, lagi pada santai..”
“Oh, happy ya tanpa aku…” Gua menggumam pelan.
Sambil berjalan mengikuti Bi Sum, gua menyeringai saat melewati mobil ‘baru’ milik Mamay dan dengan sengaja menendang bagian ban sebelah kirinya. Nggak lama, terdengar suara alarm yang meme kakan telinga, sementara, ujung kaki gua kini terasa nyeri.
Melihat kelakuan gua, Jeje menggelengkan kepala dan menghela nafas dalam-dalam. Gua menoleh ke arahnya dan tersenyum; “Hehehe…”
—
Velvet Revolver - Set Me Free
You operate and motivate on synthetic fuel
You're mother nature and an atom bomb
As long as you're kept full of pretty bodies
Your little secret will be safe with me
Around again
Insane again
It comes again
And sets me free
[Chorus:]
So set me free, set me free
'Cause I think you need my soul
Set me free, set me free
You're kept alive and polarized with one thing in mind
Metabolize everything that you see
But now and then or a little later
Now I'm gonna take you down with me
Around again
Insane again
She comes again
And sets me free
[Chorus x2]
So set me free, set me free
'Cause I think you need my soul
Set me free, set me free
[Bridge x2]
So take me down
Take me, down, down, down, down
Take me down, take me down
[Chorus x4]
So set me free, set me free
'Cause I think you need my soul
Set me free, set me free
My freedom!
That's a wrap!
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:31
jiyanq dan 60 lainnya memberi reputasi
61
Kutip
Balas
Tutup