- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
junti27 dan 199 lainnya memberi reputasi
196
279.1K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#825
#65 - Love As An Offering - Part 1
Spoiler for #65 - Love As An Offering - Part 1:
Gua berbaring di pangkuannya, sambil menggenggam remote televisi, berkali-kali mengganti saluran.
“Apa sih? dari tadi ganti channel melulu…”Gumam Jeje pelan.
“Bosen, nggak ada yang seru..”
Berhenti mengganti saluran, gua meletakkan remote televisi, lalu mengangkat tangan kiri ke atas. Kembali memandangi cincin yang melingkar di jari manis gua.
“Lo kapan belinya?” Tanya gua.
“Tadi, pas balik kesini…”
“Dari kapan lo rencanain ini? berencana ngasih cincin ini ke gue?” tanya gua masih sambil memandangi cincin dijemari.
“Baru aja..”
“Hah?”
“Iya, baru aja.. pas balik dari tempat Claire”
Gua bangkit dari pangkuan dan duduk sambil menatapnya. “What!?”
“Tadinya, Kalo nggak harus nyari Aldina kesini, gua mau ngasih cincin dan ngelamar lo di Jakarta. Tapi, kan lo tau sendiri gimana kelanjutannya…”
“...”
“... Jujur, tadi gua takut banget pas lo kabur. Gua takut ditinggal sama elo, makanya akhirnya gua memutuskan untuk beli cincin dan ngelamar lo sekarang..”
“Hahaha…”
“...”
“... Seandainya, tadi, pas lo ngelamar gue. Dan gue tolak gimana?” Tanya gua berandai-andai.
“Hah!? apa lo sempet mikir buat nolak gua tadi?” Jeje bertanya, ekspresinya terlihat kaget.
“Haha, nggak lah.. Mana mungkin gue melewatkan kesempatan ini.. Kalo misalnya lo nggak ngelamar gue pun. Kayaknya, gue yang bakal ngelamar elo deh…”
“Cewek ngelamar cowok?”
“Iya.. kenapa? emansipasi cuy…”
“Hahaha, iya…”
“Oiya, apa jawaban lo?” Tanya gua lagi.
“Jawaban apa?” Jeje balik bertanya.
“Seandainya, tadi, pas lo ngelamar gue. Dan gue tolak gimana?” Gua mengulang pertanyaan.
“Ya kayaknya gue bakal balik ke Aldina sih…” Jeje menjawab dengan wajah penuh senyum.
Mendengar jawabannya barusan, gua langsung memukulnya berkali-kali seraya berseru; “Reseh..reseh…reseh!!”
“Bercanda, Lad… Bercanda” Jeje mencoba menepis pukulan gua sambil menyangkal.
Gua berhenti memukul, lalu kembali berbaring di pangkuannya. “Awas lo, jangan bercanda kayak gitu lagi sama gue…”
“Iya..Sorry”
“Sebenernya, gue tuh nggak pengen banget denger namanya lagi. Nggak pengen ketemu sama ‘dia’ lagi. Tapi, gue sadar kalau lo sama ‘dia’ nggak mungkin dipisahkan; Karena ‘dia’ Ibunya Anggi. Dan, buat kalian; buat lo dan Anggi, gue akan mencoba belajar. Belajar menerima dia sebagai orang dari masa lalu lo, sebagai Ibunya Anggi…” Ucap gua.
Jeje mendengarkan sambil membelai rambut gua, ia lalu tersenyum dan berbisik; “You know what? hal kayak gini nih, yang bikin gua jatuh hati sama elo..”
“Hah!? jadi lo bukan jatuh hati sama kecantikan gue?” Tanya gua, yang tentu saja bercanda.
“Hahaha, iya itu juga…” Jeje menjawab singkat.
Kami terdiam sesaat, hingga gua teringat akan sesuatu. Jeje langsung menatap bingung ketika gua beranjak dari pangkuannya dan membuat gaya seperti baru teringat akan sesuatu hal. “Astaga!!” Seru gua.
“Kenapa?” Tanya Jeje.
“Bukannya hari ini lo harusnya ngajak gue belanja ya Je?”
Mendengar pertanyaan gua barusan, Jeje langsung tertawa, kemudian meraih kepala gua dan memeluknya.
“Kirain apaan, bikin kaget aja… Iya besok kita belanja” Bisiknya pelan.
—
Jam menunjukkan pukul 11 malam, saat tiba-tiba Anggi terbangun. Kami berpaling, menatap ke arah Anggi yang langsung duduk di atas ranjang, mengira ia mengigau seperti malam sebelumnya. Anggi berdiri di atas ranjang, melompat turun, menghampiri kami berdua yang masih bersantai di atas sofa.
Ia lalu naik dan kembali berbaring. Kepalanya di pangkuan gua, sementara kakinya ia sandarkan di pangkuan Papahnya.
Sambil memainkan ujung piyama yang gua kenakan, Anggi tiba-tiba bertanya; “Tante Dina, tante yang tadi, mamah Anggi?”
Gua mengangguk sambil tersenyum.
“From now on, Anggi panggil dia Mommy Dina…” Ucap gua.
“...”
“Dan Anggi boleh panggil tante dengan Mamah…” Jeje menambahkan seraya menepuk pelan bahu gua.
“Mamah Cantik?” Seru Anggi.
“Iya…” Jawab Jeje.
“Anggi… Anggi bener kan mau terima aku jadi Mamahnya Anggi?” Tanya gua ke Anggi walaupun mungkin pertanyaan tersebut terlalu kompleks untuk anak seusianya.
Nyatanya, Anggi yang usianya baru saja hampir 5 tahun cukup mengerti. Dengan penuh keyakinan ia mengangguk. “Mau… Anggi sayang sama Mamah cantik..” Ucapnya, lalu bangkit dan mengecup pipi gua berkali-kali.
“... Mamah cantik cinta kan sama papah?…” Tambahnya.
Mendengar ucapannya barusan gua lantas menoleh ke arah Jeje, menepuk tangannya, memberinya kode kalau anak perempuannya kini sudah mengerti apa itu ‘cinta’.
“Cinta apa sih Nggi?” Tanya Jeje sambil mencoba menahan tawanya.
“Cinta itu kayak kalian berdua…” Jawab Anggi lucu, tak mampu mendeskripsikan arti cinta yang sesungguhnya. Jangankan Anggi, orang dewasa seperti gua saja masih belum sepenuhnya paham apa itu arti cinta sesungguhnya.
Kalau cinta itu artinya memiliki, kenapa dua orang yang saling mencinta harus terpisah. Kalau cinta nggak harus memiliki, untuk apa ada alasan untuk bersama?
“Emang menurut lo cinta itu apa?” Tanya gua ke Jeje.
Jeje terdiam sebentar, bola matanya berputar, seperti tengah berpikir untuk mencari jawaban. Ia lalu menjentikkan jarinya dan memberi jawaban; jawaban yang memang tepat untuk orang sepertinya, untuk orang yang rela berkorban segalanya demi yang lain; “Love is; giving the last piece of cake, no matter how much you want it…”
“Pengorbanan?” Tanya gua, memastikan.
“Iya…” Jawabnya.
Seketika, kenangan tentang semua yang sudah Jeje lakukan demi gua, berseliweran di kepala.
“... Kalo elo, apa arti cinta menurut lo?” Kini Jeje gantian bertanya ke gua.
“Hmmm… Buat gue, cinta itu adalah kalian. Jeje dan Anggi, that’s it..” Gua memberi jawaban. Jawaban paling sederhana yang bisa gua temukan. Iya, memang, saat ini, dan mudah-mudahan selamanya; cinta adalah mereka. Yang memenuhi hari-hari gua dengan senyuman, dan harapan.
“Wah, sederhana ya?”
“Iya.. Love is supposed to be simple..”
“Kalo compilcated?”
“Avril Lavigne…” Jawab gua, menyebut nama penyanyi yang kebetulan berasal dari Kanada.
Tiba-tiba Jeje, menyambut jawaban gua dengan bersenandung; “Chill out, what ya yellin' for?..”
Gua lalu menyambung liriknya; “Lay back, it's all been done before…”
Hening.
Jeje bersandar di bahu, sementara Anggi terlelap di pangkuan gua. Yang terdengar hanya detik jarum jam yang bergerak konstan.
Gua menoleh, meraba wajah Jeje yang kini ikut tertidur.
Setelah semua ‘kepedihan’ yang gua rasakan di masa lalu, kini akhirnya gua punya harapan untuk merasa bahagia. Kebahagiaan yang sesungguhnya.
Rasa kantuk kini mulai menyerang, gua berkali-kali menguap, lalu terlelap.
—
Suara dering ponsel berdering, cumakan telinga. Sementara, sinar matahari pagi terlihat menembus celah tirai dari jendela besar di belakang gua. Kedua kaki gua terasa kesemutan, terlihat Anggi dan Jeje, keduanya masih terlelap dipangkuan. Gua membelai rambut Jeje dan berbisik pelan; “Je, ada telepon..”
Perlahan ia membuka mata, menatap ke arah gua dan tersenyum. “Biarin aja…”
“Siapa tau penting…”
Jeje lalu bangkit, berdiri dan meraih ponselnya yang tergeletak di atas ranjang. Ranjang besar yang malam ini kosong, karena semua penghuninya tertidur di atas sofa.
“Ya Claire..” Jeje menjawab panggilan, rupanya dari Claire.
Begitu selesai dengan ponselnya, gua lantas menunjuk ke arah Anggi yang masih terlelap. Memberi kode ke Jeje agar memindahkannya ke atas ranjang. Dengan sigap, ia mengangkat tubuh mungil Anggi dan memindahkannya ke atas ranjang.
Rasa lega langsung terasa. Sepertinya, aliran darah di kedua kaki kini mulai mengalir lancar. Melihat gua meringis seraya memegangi bagian kaki, Jeje langsung membungkuk dan memberi pijatan lembut.
“Kenapa? Kesemutan?” Tanyanya.
“Menurut lo?”
“Kenapa nggak bangunin gua…”
“Ya kan gue juga ketiduran, baru terasa pas bangun tadi…” Jawab gua.
Jeje nggak merespon, ia hanya tersenyum, masih sambil memijat kedua kaki gua.
“Ngapain si Claire?” Tanya gua.
“Biasa, kerjaan..”
“Dari kemarin sibuk banget nelponin lo..” Gua menggumam pelan, ada sepercik kecemburuan yang muncul.
“Ya mungkin karena gua lagi disini kali dia jadi ajimumpung…” Jeje beralasan.
“...”
“... Kenapa emangnya?” Tanya Jeje.
“Gapapa…” Gua menjawab ketus.
“Hahaha, cemburu ya?”
“Iya! Duh capek banget deh jadi gue, banyak yang harus gue cemburuin..”
“Lah, gimana lo ngerasain jadi gua.. Tiap jalan sama lo, hampir semua cowok pada ngeliatin lo..”
“Masa?” Tanya gua seraya berdehem dan membetulkan rambut.
Jeje menepuk pelan kaki gua, lalu bicara; “Udah sana mandi. Katanya mau belanja…”
“Yes…”
Satu jam berikutnya kami sudah siap. Jeje terlihat keren dengan kaos putih polos, ripped jeans dan sepatu kets-nya, tak ketinggalan sebuah topi melekat di kepalanya; topi yang hanya ia kenakan asal-asalan, ujung topi yang selalu berpindah sesuai arah sinar matahari. Sementara, hari ini gua ingin terlihat sedikit lebih anggun dengan dress hitam yang dipadukan celana kulot berwarna senada. Agar nggak terlihat seperti tengah berkabung dengan pakaian serba hitam, gua mengenakan cardigan biru sebagai outer.
“Kok pake sepatu?” Tanya Jeje ketika melihat gua tengah berusaha memakai sepatu.
“Emang kenapa?” Gua balik bertanya.
Jeje mengambil sandal yang sempat ia belikan kemarin dan meletakkannya di hadapan gua; “Pake sandal aja, ntar luka lagi..” Ucapnya pelan kemudian kembali sibuk menatap layar ponselnya.
Gua tersenyum, senang dengan perhatiannya. Lalu melempar sepatu ke ujung ruangan dan memakai sandal pemberiannya.
Kini kami hanya duduk di tepi ranjang, menunggu Anggi bangun.
“Je, hari ini gue mau makan menu khas Halifax dong…” Pinta gua ke Jeje.
“Lah kemarin kan makan Donair..”
“Apaan itu mah rasanya sama kayak kebab Baba Rafi..” Jawab gua.
“Ya kalo disini paling seafood. Lobster lo mau?” Tanyanya.
“Sounds good..”
Jeje mengangguk, lalu kembali sibuk dengan ponselnya.
Nggak seberapa lama, Anggi bangun. Ia duduk di atas ranjang, meregangkan tangannya dan menatap kosong ke arah jendela, ke arah datangnya sinar matahari.
“Aku mau berenang boleh Pah?” Tanya Anggi pelan.
“Berenang mulu..” Jawab Jeje singkat.
“Kata Om Oman, berenang kan bisa bikin tinggi pah..” Anggi mengajukan protes berdasarkan informasi dari Rohman.
“Ubur-ubur seumur hidupnya berenang, nggak tinggi-tinggi, malah lembek..” Jeje memberi jawaban asal. Jawaban yang justru memancing tawa gua.
Gua mendekat ke Anggi, lalu mulai membujuknya untuk segera mandi. “Udah mandi sana, kita jalan-jalan, nanti pulangnya kalo belum kesorean kita berenang lagi…”
Anggi mengangguk, lalu melompat dari ranjang menuju ke kamar mandi.
Gua lantas bergegas menyusulnya untuk menyiapkan handuk beserta pakaian ganti. Namun, Jeje mencegah gua; “Udah gua aja. Lo udah dandan, ntar basah…” Ucapnya, lalu segera menyusul Anggi ke kamar mandi.
—
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:33
jiyanq dan 66 lainnya memberi reputasi
65
Kutip
Balas
Tutup