- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
junti27 dan 199 lainnya memberi reputasi
196
279.3K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#795
#63 - The Best Place to Cry
Spoiler for #63 - The Best Place to Cry:
Lalu, tiba-tiba Anggi bangkit, terduduk di atas ranjang dan bicara; "Anggi mau berenang mamah cantik" Sementara kedua matanya masih terpejam. Setelahnya, ia menjatuhkan dirinya, dan kembali terlelap.
Gua dan Jeje saling menatap.
“Emang tadi dia nggak ngajak berenang?”Tanya Jeje.
“Ngajak, tapi ngajaknya pas baru selesai mandi. Jadi, gue tolak”
“Oh pantes, sampe ngigo…”
“Lo denger nggak Je, tadi dia ngomong apa?”
“Apa?”
“Dia bilang ‘Mamah Cantik’, Itu maksudnya, gue kan yah?”
“Nggak tau…”
Gua berpaling dan kembali menatapnya lalu mengulang pertanyaan yang sama; “Itu maksudnya gue kan?”
“Iya…” Jawabnya singkat lalu menenggelamkan kepalanya tepat di belakang tengkuk gua.
Beberapa jam berikutnya, Sebuah belaian lembut dan dingin terasa di pipi. Gua membuka mata dan mendapati Anggi tengah terduduk sambil tersenyum menatap gua. Sementara, Jeje masih terlelap di punggung, tangan kanannya masih melingkar di pinggang gua.
“Eh udah bangun…” Sapa gua ke Anggi.
“Tante cantik, ayo kita berenang…”
“Lho, hari ini kan kita mau jalan-jalan. Berenangnya nanti sore aja ya?”
“Yah…” Anggi lalu pasang tampang kecewa, sementara tangannya terlihat memilin ujung selimut.
Mendengar percakapan singkat antara kami berdua Jeje pun terbangun. “Yaudah sana kalo mau berenang dulu…” Ucap Jeje dengan posisi masih seperti sebelumnya.
“Nggak ah, nanti sore aja…” Jawab Anggi.
“Kenapa?” Tanya Jeje.
“Kalo berenang sekarang, nanti cuma sebentar…” Keluhnya.
“Iya bener, nanti sore aja ya…” Ucap gua.
Setelah bersiap-siap, kami bertiga menyempatkan sarapan kemudian bergegas pergi dari hotel. Awalnya, Jeje berencana membawa kami untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Halifax. Tapi gua menolak, gua justru lebih ingin mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah ditinggali oleh Jeje, tempat yang sering disambanginya, ingin napak tilas tentang dirinya di masa lalu. Ya walaupun gua sadar kalau hal itu akan membangkitkan kenangan lamanya, tapi gua nggak peduli. Gua hanya ingin tau lebih banyak dan lebih dalam tentang sosoknya di masa lalu.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah kampusnya.
Hari itu, ia terlihat berbeda. Sebelumnya, gua jarang sekali melihatnya mengenakan sepatu. Jeje yang biasa gua lihat adalah Jeje si tukang plastik dengan kaos, topi, celana jeans dan sandal jepit swallow favoritnya. Pun sudah menjabat sebagai CEO perusahaan, ia terus bertahan dengan style-nya yang seperti itu. Kali ini berbeda; Iya sih, dia masih pakai kaos. Tapi paling tidak kaos yang dikenakannya hari ini bukan kaos polos kucel seperti yang biasa dipakainya. Begitu pula dengan celananya yang terlihat senada dengan kaosnya; hitam. Lengkap dengan bucket hat dan sepatu kets hitam yang sempat ia kenakan saat perjalanan kesini.
Kami berkeliling kampus yang nampak sepi, mungkin karena hari ini hari libur. Anggi terlihat berlarian di halaman rumput luas tepat di area depan lobby fakultas. Sementara gua dan Jeje berjalan di belakangnya.
“Bagus ya Je, kampus lo…” Ucap gua seraya memandang sekeliling.
“Lumayan…”
Jeje lalu menarik lengan gua mendekat ke arah sebuah gedung. Terlihat deretan anak tangga, menjulang. Anak tangga yang bakal membawa pengunjung ke sebuah pintu raksasa dengan banyak papan penanda; salah satu papan penanda bergambar siluet orang bicara dengan tanda silang. ‘Ah rupanya gedung perpustakaan’ Batin gua dalam hati.
Ia lalu duduk di salah satu anak tangga, kemudian menepuk pelan sisi anak tangga di sebelahnya, memberi kode agar gua duduk.
Dari gayanya duduk, caranya bersandar, dan bagaimana ia menatap deretan anak tangga ini, tergambar kalau lokasi ini merupakan tempat yang cukup sering ia sambangi.
“Lo sering kesini dulu? ke perpustakaan?” Tanya Lady seraya menunjuk ke arah pintu perpustakaan yang kini tertutup.
“Lumayan sering..”
“Ngapain?” tanyanya
“Haha, ya belajar lah..” Jawab gua.
“Bohong…”
Jeje lalu menunjuk sebuah bangunan besar yang dari lokasi kami hanya terlihat bagian atapnya saja. “Itu, Gedung jurusan gua…”
Kemudian tangannya berpindah. Kini menunjuk salah satu bangunan yang berada tepat di sebelah area perpustakaan;“... Di sebelah, gedung jurusan Aldina…”
“Oh, jadi ini meeting point kalian berdua ya?”
“Iya..” Jeje menjawab singkat.
Gua lalu menatapnya, membetulkan posisi topi bucket yang ia kenakan dan berbisik; “Foto berdua yuk, kita kan belum pernah foto berdua..”
“Masa?”
“Iya..”
Gua lantas meraih ponsel miliknya, memasang mode timer pada kamera, menyandarkannya pada salah satu tiang lampu, kemudian kembali duduk dan berpose; ‘Cekrek’
Begitu melihat, kami berdua tengah mengambil foto, Anggi lantas berlari sambil berteriak; “Anggi ikut…”
Ia bergabung, duduk diantara kami berdua. Sebelum, menekan tombol timer pada kamera ponsel, gua bicara ke Anggi; “Fierce Face ya Nggi…”
Seakan mengerti dengan instruksi gua, Anggi langsung pasang ekspresi galak. Kala itu, gua tersenyum dan menyadari betapa mirip ia dengan Ibunya saat pasang tampang seperti itu.
“Nggi, nggak jadi. Funny Face aja deh…” Ucap gua meralat instruksi sebelumnya.
Anggi menurut, lalu pasang tampang imut sambil menunjuk pipinya dengan kedua jari. Setelah menekan tombol timer, gua berlari dan buru-buru bergabung dengan mereka. “Cekrek”
Gua meraih ponsel milik Jeje yang baru saja kami gunakan untuk berswafoto, kemudian mengganti wallpaper ponsel miliknya dengan foto kami bertiga barusan. Sementara, display picture pada aplikasi chat miliknya, gua ganti dengan foto kami berdua sebelumnya.
Baru selesai gua mengganti foto, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Layarnya menampilkan nama Claire.
“Siapa?” Tanyanya.
“Claire.. Nih..”Jawab gua seraya mengembalikan ponsel kepadanya.
Jeje meraih ponsel dan menjawab panggilan. Ia berdiri, berjalan menjauh sambil terus bicara. Sementara, gua dan Anggi mengikutinya dari belakang.
Selesai dengan panggilan teleponnya, ia berbalik dan bertanya; “Mau kemana lagi?”
“Gue mau tau tempat tinggal lo dulu dong..” Jawab gua.
Ia mengangguk, lalu berpaling ke Anggi; “Anggi capek nggak nak?” Tanyanya. Yang lantas direspon dengan anggukan kepala oleh Anggi. Jeje lalu membungkuk, meraih tubuh mungil Anggi dan menggendongnya.
“Claire itu siapa sih Je?” Tanya gua, penasaran.
“Temen..” Jawabnya.
“Temen apaan? temen kok baik banget, ngasih pinjem mobil, nyariin kamar di hotel, terus kemaren pake bawa-bawa dokumen ke hotel..” Tanya gua lagi, nggak cukup puas dengan jawabannya barusan.
“Hmmm… temen kuliah, terus jadi rekan kerja…”
“Hah? teman kerja dimana?”
“Emang gua belum pernah cerita ya? tentang Reni yang nggak bisa tidur tanpa guling, dan kita susah banget nyari guling waktu pertama kali pindah kesini..”
“...”
“... terus ‘kita’ akhirnya memutuskan untuk produksi guling”
“Kita?” Tanya gua, merujuk ke kata ‘kita’ dalam kalimatnya.
“Iya, gua dan ‘dia’...”
“Oh…”
“Nggak ada yang nyangka, kalo ternyata bisnis itu lumayan berkembang, sampai kita harus cari orang lokal buat ngurus bisnis guling itu buat ngakalin pajak…”
“Dan orang itu; Claire?”
“Iya..”
“Sekarang, gimana bisnis gulingnya?”
“Well, good… very good actually…”
—
Di dalam mobil, dalam perjalanan menuju ke lokasi tempat Jeje dulu tinggal, ia sempat menunjuk ke sebuah bangunan besar dengan batu bata merah sebagai konstruksinya. “Itu, asrama gua dulu…”
“Oh.. terus dari asrama, lo jalan kaki ke kampus?”
“Iya…”
Nggak seberapa lama, kami tiba di depan sebuah bangunan dua lantai berbentuk kotak dengan pagar besi hitam pendek mengelilingi halamannya. Sebuah jembatan kecil menjadi akses masuk ke arah bangunan, sementara di bawahnya terdapat area parkir mobil yang menyerupai basement terbuka.
Jeje turun dari mobil, ia menuntun Anggi menyusuri jembatan kecil sebagai satu-satunya akses masuk ke dalam bangunan, sementara gua mengikuti mereka dari belakang. Ia terus berjalan, naik ke lantai dua melalui tangga besi berkelok dan menyusuri balkon koridor hingga ke ujung bangunan.
Ia berdiri di depan sebuah pintu. Lalu mulai menekan tombol kode akses pada gagang pintu. ‘Ceklek’ pintu terbuka. Jeje mempersilahkan gua untuk masuk lebih dulu.
Gua melangkah masuk ke dalam.
Bau pengap langsung menyambut gua. Bau yang muncul karena mungkin ruangan ini nggak ditinggali dalam waktu yang cukup lama.
Ruangan berukuran kira-kira 4x5 meter, sempit dan kecil. Jika dibandingkan dengan kamar kos gua di Jakarta, jelas kamar kos gua terbilang lebih besar. Di sebelah pintu masuk, terdapat meja dapur; kompor dan sink yang bersisian.
Tepat di depan meja dapur terdapat sebuah meja makan kecil lengkap dengan kursi kayu di setiap sisinya. Jika, semua kursi kayu tersebut ditarik keluar, maka sama sekali tak ada akses untuk bisa lewat ke ruang utama.
Sebuah sekat tanpa pintu membatasi ruang dapur sekaligus ruang makan dengan sebuah ruangan yang sepertinya digunakan sebagai ruang multifungsi. Di ujung ruangan terdapat jendela super besar yang dapat dibuka dengan cara digeser, akses menuju ke balkon yang menghadap ke arah jalan Herring cove road.
Gua berkeliling sambil sesekali menyeka debu dari beberapa perabot lalu mengibaskan tangan. Sementara Jeje terlihat berdiri diam sambil menggendong Anggi.
“Siapa yang tidur disini dulu?” Tanya gua.
“...”
“... Reni sama ‘dia’?" Gua menambahkan.
“Iya…”
“Dan lo tidur di asrama…”
“Iya…”
“Terus sekarang ini siapa yang nempatin?”
“Nggak ada, kosong aja..”
“Kenapa nggak disewakan aja sih, kan sayang..”
“Sama… gue juga sayang sama lo”
Gua tertegun, baru pertama kalinya sejak gua mengenal Jeje, ia bercanda. Dan bercandanya lucu, karena biasanya Garing.
“Heh… bukan itu maksudnya…”
“Haha.. Udah yuk…”
Kami kembali ke mobil dan bersiap kembali pergi. Kali ini ia membawa kami ke sebuah rumah berpanel kayu berwarna coklat, dengan papan kecil putih bertuliskan nomor 42 yang berada diantara pintu kayu putih dan sepasang jendela bernada sama.
Jarak dari apartemen sebelumnya ke rumah ini nggak terlalu jauh. Dengan mobil, kami hanya menempuh jarak tak lebih dari 5-10 menit.
“Ini rumah kalian?” Tanya gua, seraya mencoba melepas sabuk pengaman dan bersiap turun dari mobil.
Namun, Jeje mencegah gua. Tangannya menggenggam tangan; “Lo yakin mau masuk?” Tanyanya.
“Iya, Kenapa emangnya?” Gua balik bertanya.
Ekspresi wajah Jeje yang biasanya datar, kini terlihat bingung. Bola matanya berputar, sementara mulutnya seperti tengah mencoba bicara namun tertahan.
“Kenapa?” Tanya gua lagi, kini dengan nada suara lebih rendah.
“Gua rasa sekarang ada ‘dia’ di dalam…” Ucapnya pelan.
“Ya bagus dong. Bukannya dia emang mau ketemu sama Anggi kan?”
“Iya, sama Anggi… Tapi elo…” Jeje bicara, kalimatnya terhenti. Ia seperti tercekat. Gua tau kalau ia saat ini khawatir, khawatir kalau kami berdua kembali bertemu akan terjadi perdebatan seperti sebelumnya.
“Tenang aja Je, gue bakal sebisa mungkin mengontrol emosi. Trust me..” Ucap gua, berusaha meyakinkannya.
“Hmm.. Ok..” Balasnya.
Jeje lalu berpaling, menoleh ke kursi belakang mobil dimana Anggi tengah duduk.
“Nggi, Anggi mau ketemu sama Mamah Anggi nggak?” Tanya Jeje. Nada bicaranya terdengar lembut dan teduh.
Anggi mengernyitkan dahi, menoleh dan mengangkat tangannya dengan telunjuk ia arahkan ke gua; “Ini mamah Anggi…” Ucapnya.
Gua lalu tersenyum, kemudian bicara; “Bukan, Maksud Papah, Mamah yang ngelahirin Anggi…”
“Dari perutnya?” Tanya Anggi, dengan ekspresinya yang lucu.
“Iya..” Jawab gua.
Anggi lalu terdiam sebentar, kemudian mengangguk.
Kami turun dari mobil, kini Anggi tak mau lagi digendong, ia meraih ujung jari gua dan menggenggamnya. Gua membungkuk, meraih bahu Anggi dan berbisik; “Anggi nanti kasih pelukan ke Mamah Anggi ya”
“Tapi kan Anggi nggak kenal…” Jawabnya.
“Bukan nggak kenal, tapi Anggi lupa.. Dulu waktu bayi kan Anggi sering digendong sama Mamah Anggi…”
“Kalo dulu Anggi sering digendong, kenapa sekarang nggak? Kenapa dia nggak pernah nganter Anggi ke sekolah?” Tanyanya.
“Mmm… karena Mamah Anggi harus kerja…”
“Cari uang?”
“Iya…” jawab gua, Asal.
Gua berjalan, mendekat ke arah rumah melalui pekarangan dengar rumput yang terlihat asri dan rapi.
Di depan rumah terdapat tangga berselusur yang tidak mengarah lurus ke depan, melainkan ke arah kanan jika dilihat dari bagian depan. Dengan Anggi dalam genggaman, kami berdua menaiki anak tangga dan berdiri tepat di depan pintu.
Jeje menyusul, mendekat dan saat ia baru saja hendak meraih gagang pintu, tiba-tiba pintu terbuka. Sosok Aldina terlihat berdiri dan menatap kami bergantian.
“Masuk…” Ucapnya, lalu berbalik.
Gua menoleh ke arah Jeje, seakan meminta persetujuan darinya, Jeje mengangguk. Masih dengan Anggi dalam gandengan tangan, gua melangkah masuk ke dalam.
Tak seperti di apartemen tadi, kali ini nggak ada bau apek yang menyengat, yang tercium malah aroma bubuk kopi yang kuat. Begitu di dalam, gua memperhatikan sekeliling dan terus berjalan hingga tiba dapur bersih yang berbentuk counter mengelilingi meja makan. Di ujung counter terlihat sebuah mesin kopi dengan teko bening berisi cairan hitam yang sepertinya masih hangat.
“Duduk, Lad…” Ucap Aldina seraya menunjuk kursi di meja makan dengan dagunya. Sementara ia terlihat tengah menyiapkan beberapa mug untuk kami.
Gua duduk di salah satu kursi dan membiarkan Anggi untuk duduk di kursi lainnya. Namun, mungkin karena tempat ini terasa asing baginya, Anggi menolak duduk sendiri. Ia malah beringsut, naik lalu duduk di pangkuan gua.
Sementara, Jeje berdiri, bersandar pada salah satu pilar yang berada di sudut ruang makan. Kedua tangannya ia lipat di dada, sementara matanya berkeliling, memperhatikan seisi ruangan.
“Lo sendirian?” Tanya gua ke Aldina, mencoba berbasa-basi.
“Iya…” Jawabnya singkat.
Dengan cekatan, Aldina mengambil teko transparan berisi kopi, menuangkan isinya ke dalam masing-masing mug dan meletakkannya di atas meja. Ia lalu membuka kulkas, mengambil sekotak besar orange juice, menuangkan juice ke dalam gelas bening dan menyodorkan gelas tersebut ke arah Anggi.
Ia tak bicara, hanya tersenyum seraya melirik sebentar ke arah Anggi.
Gua menyenggol lengan Anggi, memberinya kode. Sadar dengan kode yang gua berikan, Anggi lalu bicara pelan; “Thank you…”
Mendengar ucapan Anggi, Aldina terdiam, berhenti dari kegiatannya, lalu menoleh. Sudut matanya mulai basah. “Sama-sama..” jawabnya lirih, amat lirih.
Aldina berdiri membelakangi kami, kedua tangannya ia sandarkan pada counter dapur, sementara bahunya terlihat naik turun dan terdengar samar suaranya isak tangisnya. Sesekali, ia menyeka matanya dengan ujung lengan kaos panjang yang ia kenakan.
Gua berbisik ke Anggi; “Sana kasih pelukan…”
Tanpa protes Anggi turun dari pangkuan gua dan berjalan mendekat ke arah Aldina. Ia sempat berhenti, terdiam beberapa saat dan menoleh ke arah gua.
Gua mengangguk dan tersenyum, memberinya aba-aba agar melanjutkan langkahnya.
Anggi berjalan, lalu berdiri tepat di belakang Aldina. Dengan tangannya yang mungil, ia menarik ujung kaos Aldina. Begitu Aldina menoleh, Anggi langsung membentangkan kedua tangannya, bersiap untuk memberi pelukan.
Sontak tangis Aldina pun pecah.
Bukannya membalas tawaran pelukan dari Anggi, ia justru berlutut dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Masih dengan posisi tangan terbuka lebar, Anggi kembali berpaling, menoleh ke arah gua.
Gua bicara tanpa suara; “Peluk…” sambil memberi contoh gerakan memeluk ke Anggi.
Perlahan, Anggi semakin mendekat lalu memberikan pelukan. Tingkahnya mirip orang dewasa, ia bahkan menepuk pelan punggung Aldina yang masih menangis sesenggukan.
Suara tangis Aldina semakin nyaring.
Ia menurunkan kedua tangannya yang menutupi wajah dan membalas pelukan Anggi. Sementara wajahnya kini sudah basah akibat air mata.
“Maafin mommy ya nggi…” Ujar Aldina yang terdengar nggak jelas, karena diucapkan sambil menangis.
Aldina melepas pelukan, meraih kedua bahu Anggi dan mulai menatapnya dalam-dalam. Perlahan, ia membelai rambut Anggi, lalu turun ke pipinya dan ke dagunya.
“Maafin mommy ya nggi..” Ucap Aldina lagi. Yang lantas direspon Anggi dengan anggukan kepala.
Gua berdiri lalu mendekat ke arah dimana Jeje berdiri, memposisikan diri ini tepat di belakangnya. Kemudian menjatuhkan kepala tepat di punggungnya. Jujur, gua nggak kuasa melihat pertemuan keduanya. Walaupun gua membenci Aldina, tapi ikatan Ibu dan anak memang nggak bisa dipungkiri; membuat hati sekeras apapun luluh dibuatnya.
Melihat gua tak lagi berada di tempat sebelumnya, Anggi mulai menatap sekeliling, mencoba mencari keberadaan gua. Begitu menyadari kalau gua tengah berdiri tepat di belakang papahnya, ia langsung beranjak, berlari, mendekat ke arah gua.
Sementara Aldina masih duduk bersila di lantai, tangisnya belum berhenti dan tatapannya masih ia arahkan ke Anggi.
Gua meraih tangan mungil Anggi dan kembali mengajaknya mendekat ke Aldina. Lalu ikut duduk di lantai tepat di hadapan Aldina, sementara Anggi langsung duduk di pangkuan. Gua menuntun tangan Anggi ke wajah Aldina, lalu menyeka air mata di pipinya.
“Jangan nangis lagi ya…” Gumam Anggi tanpa aba-aba.
Aldina menatap Anggi lalu mengangguk, kemudian meraih tangan Anggi dan menggenggamnya.
“Boleh mommy peluk Anggi lagi?” Tanya Aldina.
Anggi lalu mengangguk, bangkit dari pangkuan gua dan kembali memberi pelukan ke Aldina; ke ibunya.
—
The Cranberries - Animal Instinct
Suddenly something has happened to me
As I was having my cup of tea
Suddenly I was feeling depressed
I was utterly and totally stressed
Do you know you made me cry
Do you know you made me die
And the thing that gets to me
Is you'll never really see
And the thing that freaks me out
Is I'll always be in doubt
It is a lovely thing that we have
It is a lovely thing that we
It is a lovely thing, the animal
The animal instinct
So take my hands and come with me
We will change reality
So take my hands and we will pray
They won't take you away
They will never make me cry, no
They will never make me die
And the thing that gets to me
Is you'll never really see
And the thing that freaks me out
Is I'll always be in doubt
The animal, the animal, the animal instinct in me
It's the animal, the animal, the animal instinct in me
It's the animal, it's the animal, it's the animal instinct in me
It's the animal, it's the animal, it's the animal instinct in me
The animal, the animal, the animal instinct in me
It's the animal, it's the animal, it's the animal instinct in me
jiyanq dan 62 lainnya memberi reputasi
63
Kutip
Balas
Tutup