- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
junti27 dan 199 lainnya memberi reputasi
196
279.5K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#430
#42 - Rings and Sunglasses
Spoiler for #42 - Rings and Sunglasses:
Cahaya matahari masuk menerobos melalui tirai lipat jendela. Gua membuka mata dan mendapati Jeje tengah tersenyum di sebelah gua. Telapak tangannya ia angkat, mencoba menghalau silaunya cahaya matahari menerpa mata gua. Gua membalas senyumannya, menarik kepalanya dan memberinya kecupan; “Morning”Sapa gua pelan.
“Morning…” Balasnya.
Jeje bangun, lalu duduk di tepi ranjang membelakangi gua. Dengan ujung jari, satu persatu gua menyentuh bekas luka di punggungnya; “Khilaf juga kan kita” Ucap gua pelan.
Ia nggak merespon, berdiri, dan menuju ke kamar mandi. Nggak seberapa lama, ia kembali membuka pintu kamar mandi; “Ce, baju-baju gua kan masih di asrama..”
“Iya, terus?” Tanya gua, masih berbaring di atas ranjang.
“Gua pake apa?”
“Pake kaos gue aja dulu” Jawab gua santai.
“Mana?” Tanyanya.
Gua tertegun, teringat kalau koper milik gua masih berada di kamar Reni. Dan semua pakaian juga handuk berada di dalamnya. Gua mulai berpakaian, lalu bergegas keluar dari kamar.
Reni terlihat sudah duduk di meja makan dengan semangkuk mie instan di hadapannya. Di Atas meja terlihat sebuah plastik besar berlogo mini market.
“Abis belanja?” Tanya gua ke Reni, seraya berjalan melewati, menuju ke kamarnya, untuk mengambil koper.
“Iya, abisnya laper.. Pengen bangunin kalian nggak enak, pengen langsung masuk, takut pada nggak pake baju…” Jawab Reni seraya tersenyum.
Gua kembali ke kamar Jeje sambil menarik koper, sambil melewati Reni yang masih sibuk dengan mie instan, gua menyempatkan diri menoyor kepalanya.
Setelah mandi, Jeje kembali mengenakan celana jeansnya dan kaos Sum 41 milik gua. Bukan, sebenarnya kaos tersebut milik Jeje yang lebih sering gua kenakan. “Sini celana lo gue cuci dulu, sekalian nyobain mesin cuci-nya” Ucap gua seraya duduk di tepi ranjang, menatapnya yang tengah menyisir rambut dengan jari.
“Nggak usah, gua mampir ke asrama aja sekalian ngambil baju yang lain…” Jawabnya.
“Emang lo hari ini masuk? kan Sabtu?”
“Nggak, mau ke gudang..”
“Ikut dong..”
“Nggak usah lah, cuma sebentar doang. Lo dirumah aja”
“Emang nggak mau celebrate this?” Tanya gua seraya menunjukkan cincin di jari manis gua. Berniat, membujuk Jeje untuk mengajak gua ‘sedikit’ merayakan lamarannya semalam.
Jeje nggak menjawab, ia hanya menatap gua dari pantulan cermin. Dari posisi gua duduk sekarang terlihat cincin yang mirip dengan yang ia berikan melingkar di jari manisnya.
Gua mengangkat tangan, melepas cincin dari jari manis, membaca tulisan nama ‘Julian’ pada bagian dalam cincin lalu menyunggingkan senyum. Entah sudah berapa puluh kali, gua melepas cincin ini hanya untuk memandang ukiran namanya berulang-ulang.
Penasaran dengan cincin miliknya, Gua berdiri, meraih tangan, melepas cincin dari jari manisnya dan membaca ukiran nama pada bagian dalam cincin; ‘Aldina’. Setelah puas, gua memasang kembali cincin tersebut pada jari manis Jeje.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Gapapa. Semalem kan gue belum liat cincin punya lo…” Jawab gua singkat.
Setelah ‘merampas’ beberapa sendok mie instan milik Reni, Jeje lalu pergi. Sementara, Reni nggak lama menyambar mantel dari sandaran kursi makan dan bergegas keluar. “Mau kemana Ren?”
“Keluar sebentar..” Jawabnya.
“Main?”
“Iya..”
“Bawa kunci Ren..” Ucap gua.
Ia lalu menghentikan langkahnya, berjalan mundur hingga ke posisi gua berdiri. “Emang Kak Dince mau pergi juga?”
“Nggak tau nih, pengen nyusul Jeje ke gudang sih rencananya..” Jawab gua, seraya menyerahkan anak kunci backup dan selembar uang pecahan $20 kepadanya.
“Wow.. uang apa nih?” Tanyanya.
“Buat jajan..”
“Asyik.. Reni pergi ya.. bye”
“Ati-ati..”
Kini tinggal gua sendirian di rumah baru yang terasa asing. Mencoba menghabiskan waktu, gua berkeliling, keluar dan menuju halaman belakang. Mata gua tertuju ke bangunan kecil di sisi halaman belakang; sebuah garasi. Saat mencoba membuka pintu kecil di sisi garasi, ternyata terkunci. Sempat berniat mengambil kunci yang tergantung pada pintu depan, tapi gua urungkan; Males.
Pada bagian atas pintu, terdapat sebuah ventilasi udara kecil yang tertutup kaca. Gua meraih tumpukan kayu dari sisi garasi, menyusunnya hingga cukup tinggi dan naik ke atasnya mencoba mengintip ke dalam.
Dengan telapak tangan dikurungkan, membentuk pose teropong, gua mengintip ke dalam garasi. Terlihat sebuah mobil yang sebagian body-nya tertutup kain terpal. Dari bentuknya, terlihat seperti mobil sedan yang cukup tua.
‘Mobil siapa?’ gua membatin dalam hati, kemudian turun dari pijakan.
“Brrr.. Dingin..” Gumam gua pelan, dan bergegas masuk ke dalam. Saat hendak masuk, seorang perempuan berusia 30 tahunan terlihat menatap ke arah gua dari rumah sebelah. Gua menebar senyum seraya mengangguk dan mengangkat tangan ke arahnya. Perempuan tersebut lalu membalas dengan cara yang sama.
Gua meraih ponsel yang tergeletak diatas meja kamar tidur, mencari nama Jeje dan mencoba menghubunginya; nada sibuk terdengar.
'Duh, lagi nelpon siapa sih dia?’ batin gua.
Lalu tiba-tiba ponsel di tangan gua berdering, gua meloncat karena kaget; “Astaga!”.
Nama Jeje muncul pada layarnya. Gua bergegas menjawabnya; “Halo..”
“Barusan gua telpon kok sibuk? abis nelpon siapa?” Tanyanya, tanpa memberi sapaan.
“Nelpon lo..” Jawab gua singkat.
“Oh Pantes..”
“Eh, Je.. gue tadi abis ngintip ke garasi, ada mobil deh. Mobil siapa?”
“Oh, iya gua lupa bilang. Itu mobil yang punya rumah. Kata si Douglas dia nitip sementara”
“Ooh… Lo udah di asrama?”
“Udah, ini lagi dijalan mau ke gudang..” Jawabnya.
“Eh, Je.. Gue nyusul ya?”
“Nggak usah..”
“Yah, elo mah… gue bosen nih”
“Lo udah mandi?” Tanyanya.
“Belum. Dingin…”
“Mandi gih, terus siap-siap…”
“Mau kemana?” Tanya gua excited.
“Udah tunggu aja, nanti gua jemput…” Jawabnya, masih berlagak misterius.
“Dandan nggak?”
“Terserah..”
“Kasih tau mau kemana, biar gue nggak salah kostum”
“Pake baju kasual aja, nggak usah pake baju heboh..”
“Oke, Gue mandi dulu kalo gitu. Eh air panasnya nyala nggak Je tadi?”
“Nggak tau deh, coba aja. Kalo nggak bisa ntar gua komplain ke Douglas..”
“Lah, tadi pagi lo nggak mandi pake air panas?”
“Nggak”
“Emang nggak dingin?”
“Ya, dingin sih, tapi kalo abis mandi pake air panas tuh malah jadi gerah…” Jawabnya.
“Hmm… yaudah gue pake air dingin aja deh…” Ucap gua seraya bersiap mengakhiri panggilan. Tiba-tiba Jeje kembali bicara; “Eh jangan!.. Kalo air panasnya bisa, pake aja. Kalo nggak bisa, masak air aja dulu. Ntar masuk angin” Ucapnya.
“Uuuh… so sweet…” Ledek gua pelan.
“Apaan sih…”
“... Iya, Je.. nanti gue masak air kalo pemanasnya nggak bisa” Jawab gua lalu mengakhiri panggilan.
Hampir dua jam berikutnya. Setelah gua lelah mondar-mandir, bolak-balik dari ruang tamu ke kamar, puluhan kali mengintip keluar melalui jendela dan Jeje masih belum tiba. Gua meraih ponsel dan mencoba menghubunginya entah untuk yang keberapa kali.
“Apa lagi ce?” Tanyanya begitu menjawab panggilan gua.
“Lama banget sih?” Gua balik bertanya.
“Sabar ce..”
“Daritadi sabar-sabar melulu…”
“Iya habisnya gimana? tunggu ya, bentaaar lagi..” Ucapnya.
Gua menghela nafas panjang lalu mengakhiri panggilan dan menjatuhkan diri di atas ranjang.
Beberapa menit berselang, terdengar deru mesin mobil berhenti tepat di depan rumah. Lalu disusul suara pintu depan terbuka dan derap kaki melangkah masuk. “Ce..” Jeje memanggil nama gua.
Gua nggak menjawab, hanya terdiam, meraih ponsel, berdiri dan bergegas keluar. Melewati Jeje yang kini berdiri di ambang pintu kamar. Ia berjalan mengikuti gua keluar dari rumah dan mendapati sebuah mobil sedan berwarna hitam terparkir tepat di depan gua.
“Mobil siapa?” Tanya gua dingin.
“Claire” Jawab Jeje, lalu berjalan cepat dan membuka pintu penumpang buat gua.
Di dalam mobil, gua hanya terdiam sambil memandang keluar melalui jendela sisi penumpang.
“Diem aja?” Tanyanya.
“...”
“... Ce, kok diem aja?” Ia mengulang pertanyaannya.
“Ya emang harus ngapain? lompat api?” Gua menjawab ketus.
Jeje lalu tertawa.
“Kayaknya lo harus ikut kelas ‘Anger management’ deh” Ucap Jeje.
“Siapa yang nggak kesel sih Je, suru nunggu dua jam..”
“Iya maaf..”
“..”
“... Berarti lo ikut kelas melatih kesabaran aja kalo gitu” Ia menambahkan. Baru saja meminta maaf tapi sudah kembali bikin ulah.
Gua berpaling, menatap tajam ke arahnya, sebelum akhirnya melayangkan pukulan ke bahu dan kepalanya. Jeje nggak berusaha menghindar, ia hanya tersenyum dan pasrah menerima pukulan dari gua yang memang nggak bertenaga.
“Gua beli ini dulu tadi buat lo, lama milihnya, bingung” Ucapnya seraya mengambil paperbag dari kursi penumpang bagian belakang dan menyerahkannya ke gua.
Gua meraih paper bag, mengeluarkan kotak oval panjang dari dalam paper bag dan membuka kotaknya. Sebuah kacamata hitam bergaya retro dengan sudut yang nggak terlalu rounded.
“Kacamata?” Tanya gua, sedikit bingung kenapa ia tiba-tiba memberikan gua kacamata hitam.
“Iya”
“Buat?”
“Buat dipake. Kalo orang-orang sih biasanya makenya di mata, tangkainya disangkutkan di kuping. Nggak tau kalo lo gimana makenya..” Jeje menjawab, berkelakar.
Gua kembali memukul bahunya.
“Gue tau, masa gue pake di leher..”
“Nah, coba dah…”
“Je.. serius.. Kenapa tiba-tiba lo ngasih gue kacamata item?” Tanya gua, kini dengan nada sedikit lebih serius.
“Karena lo kan nggak punya kacamata hitam” Jawabnya sederhana.
“Udah itu doang alesan lo?”
“Iya..”
“Ok. Thank you lho..” Ucap gua, lalu mulai mengenakan kacamata pemberiannya. Gua menggeser spion di atas dashboard mobil dan menggunakannya sebagai cermin.
“Bagus nggak Je?” Tanya gua.
“Perfect!” Jawabnya cepat.
“Terus ini kita mau kemana?” Tanya gua lagi, kini sambil tersenyum ke arahnya dengan kacamata hitam masih gua kenakan.
“Celebrate this..” Jawabnya seraya mengangkat tangan kiri, menunjukkan cincin di jari manisnya.
“Nggak fine dining kan? gue cuma pake kaos sama jeans, awas aja lo kalo bikin gue malu..”Gua menebar ancaman.
“Emang lo liat gua rapi?” Tanyanya.
Gua menatapnya dari kepala hingga ujung kaki. Nggak jauh berbeda dengan gua, Jeje hanya menggunakan sweater berwarna hitam berlogo band RHCP, celana jeans dan sneakers lamanya. Sementara, gua berkebalikan darinya; mengenakan kaos putih polos, jaket jeans dan celana panjang hitam.
Jeje menyalakan musik melalui deck pemutar pada dashboard yang langsung memutar lagu Hysteria-nya Def Leppard. Ia menginjak pedal gas, menambah kecepatan di jalan yang lengang.
“By the way, kapan lo belajar nyetir Je?” Tanya gua, penasaran kenapa tiba-tiba ia mahir menyetir.
“Pas kerja di toko perkakas kan kerjaan gua nggak cuma ngalusin kayu. Sering disuruh nganter barang juga..” Jawabnya.
“Hah, lo nggak pake kursus dulu? langsung nyetir?” Tanya gua lagi.
“Nggak lah, awalnya ngikut, nemenin si David. Sambil merhatiin cara dia nyetir, terus nyoba, ternyata gampang…”
“What, cuma merhatiin doang?”
“Iya, mungkin karena jalanan disini relatif sepi kali ya, jadi gampang.. nggak tau deh kalo belajarnya di Jakarta, mungkin langsung nabrak-nabrak…” Ia menambahkan penjelasan.
“Oh.. iya bisa jadi”
“Lo bisa nyetir?” Kini Jeje yang gantian bertanya.
“Lho batak kalipun aku ini… Batak tuh begitu lahir langsung bisa nyetir Je..” Ucap gua membanggakan diri sendiri. Sebenernya nggak begitu juga sih, dulu waktu SMP pernah beberapa kali belajar menyetir sama Bapak.
“Hahaha…” Jeje langsung tertawa begitu mendengar ucapan gua barusan. Entah apa arti dari tawanya; Lucu atau sekedar mengejek. Tiba-tiba Jeje menyodorkan telapak tangannya yang terbuka ke arah gua. Nggak menunggu lama, gua langsung meraih tangan dan menggenggamnya.
Jeje memutar kemudi ke kiri, masuk ke jalan lengang dan sepi dengan banyak pepohonan rindang di kedua sisinya. Melewati Halifax Exhibition Center disebelah kiri jalan dan terus melaju membelah jalan yang mungkin dulu hutan atau rawa-rawa karena banyaknya danau-danau kecil di area ini.
“Itu danau apa Je?” Tanya gua sambil menunjuk ke sebelah kanan jalan, ke arah Danau yang paling besar diantara danau-danau kecil yang sempat kami lewati sebelumnya.
“Nggak tau dah, mau berhenti, nanya dulu?”
“Ya kali dah…”
Jeje kembali menambah kecepatan, kini kami mulai memasuki jalan berkelok dengan beberapa bangunan besar terlihat di atas bukit-bukit kecil. Setelahnya, pemandangan rawa di kiri kanan jalan kembali kami jumpai. Rawa yang gua maksud disini, bukan seperti rawa angker yang seram dan menakutkan. Mungkin lebih cocok disebut dengan kolam berukuran besar dengan banyak batu mengelilingi tepiannya.
Setelah melewati rawa-rawa, Jeje mulai melambatkan laju mobil, ia terlihat sedikit membungkuk, seperti tengah mencari sesuatu. Sementara, jalan di depan mulai padat. Gua merasa cukup aneh, ketika mendapati adanya kemacetan di tengah jalan yang sepi dan dikelilingi pohon-pohon besar ini.
“Ada apaan ya Je, kok macet?” Tanya gua seraya mencoba menurunkan kaca jendela bagian penumpang. Tapi, baru saja kaca jendela turun setengah, hembusan udara dingin langsung menerpa. Gua mengurungkan niat ingin melongok keluar dan kembali menaikkan kaca jendela.
“Nggak tau deh…” Jawab Jeje singkat.
Beberapa meter di depan kami terdapat sebuah pertigaan yang ternyata menjadi biang kemacetan. Banyak mobil-mobil yang keluar masuk ke arah jalan di sebelah kiri. Jeje memutar kemudi, belok ke kiri, mengikuti mobil-mobil di depan kami yang menuju ke arah yang sama.
Gua memicingkan mata, mencoba membaca papan petunjuk berwarna biru yang bertuliskan ‘Peggys Cove - Welcome to Our Community’.
Kini kami melaju di jalan yang relatif lebih kecil dari jalan yang kami lalui sebelumnya. Kini deretan pohon-pohon besar tak lagi terlihat di kedua sisi jalan, berganti dengan penampakan batu-batu seukuran rumah yang terlihat janggal karena berada tepat disisi jalan.
Sementara, deretan bangunan kecil beratap lucu mulai bermunculan. Lalu terlihat di ujung cakrawala; lautan biru yang nampak tak berujung.
“Laut ya Je?” Tanya gua.
“Iya..”
“Yeay…” Gua bersorak. Selama di Indonesia dulu, belum pernah gua sekalipun melihat laut. Kini, untuk pertama kalinya gua melihat laut secara langsung.
Kami melalui jalan berkelok dengan banyak rumah mungil di sisi jalan, sampai akhirnya Jeje memutar kemudi masuk ke area parkir sebuah bangunan besar berlantai dua. Di area parkir banyak terlihat mobil-mobil lain yang sepertinya baru saja tiba. Tak hanya mobil, beberapa bus wisata juga terlihat parkir di area yang sama.
Begitu mobil berhenti. Gua langsung membuka pintu dan keluar. Hembusan angin laut yang terasa dingin tak lagi gua pedulikan. Sementara sinar matahari mulai terasa menyilaukan mata. Gua meraih kacamata hitam pemberian Jeje dari saku jaket dan mulai mengenakannya. Kini gua tau alasan ia membelikan gua kacamata hitam; Agar gua bisa melihat indahnya laut tanpa memicingkan mata.
No Cars, Go - Arcade Fire
We know a place where no planes go
We know a place where no ships go
Hey!
No cars go
Hey!
No cars go
Where we know
We know a place where no spaceships go
We know a place where no subs go
Hey!
No cars go
Hey!
No cars go
Where we know
Hey!
Us kids know
Hey!
No cars go
Go!
No go!
Between the click of the light and the start of the dream
Between the click of the light and the start of the dream
Little babies?
Let's go!
Women and children?
Let's go!
Old folks?
Let's go!
Don't know where we're going
jiyanq dan 59 lainnya memberi reputasi
60
Kutip
Balas
Tutup