- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
junti27 dan 199 lainnya memberi reputasi
196
279.5K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#290
#29 - Some Memories will haunt you as well
Spoiler for #29 - Some Memories will haunt you as well:
Let me tell you a story about a man named Julian Jonathan.
Suara tahlil menggema dari ujung gang. Gua yang tengah berada di kamar langsung berlari menuju ke ruang tamu, berdiri di sisi jendela, menatap ke luar. Rombongan yang mayoritas berisi pria dewasa tengah mengusung keranda jenazah lewat di depan rumah, menuju ke lokasi makam yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Diantara para pria dewasa, terdapat seorang anak seusia gua yang berjalan dalam rombongan. Walaupun tak menangis, gua bisa melihat raut kesedihan yang luar biasa di wajahnya. Gua berlari ke kamar sebelah, membuka tirai yang menutupi jendela dan mengikuti gerakan rombongan pengantar jenazah dengan mata tertuju kesosok anak laki-laki tersebut.
Satu jam berlalu.
Gua tengah duduk di ayunan besi di halaman rumah saat para rombongan pengantar jenazah kembali dari makam. Kali ini mereka kembali dalam kelompok kecil yang terdiri dari dua sampai tiga orang dewasa. Di kerumunan gua nggak mendapati sosok anak laki-laki yang tadi gua lihat.
Selang beberapa menit, barulah anak laki-laki tersebut berjalan berdua bersama seorang pria tua yang mungkin adalah kakeknya. Gua turun dari ayunan, mendekat ke arah pagar agar bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Anak laki-laki tersebut, menoleh sebentar ke arah gua, ia menatap dengan matanya yang sendu. Tatapan penuh beban dari seorang bocah berusia 10 tahun yang belum pernah gua lihat sebelumnya, tatapan yang nggak pernah gua lupakan.
Sejak saat itu, perasaan gua selalu dipenuhi dengan bayangan anak laki-laki itu. Buat anak perempuan berusia 10 tahun, tentu saja belum terpikir apa itu gejolak dan hasrat, tentu saja belum mengenal apa itu cinta. Gua hanya terbius dengan tatapan matanya yang dalam dan penuh penderitaan.
Karena jarang bergaul di lingkungan rumah, akses informasi gua akan bocah laki-laki itu jadi terbatas. Itu merupakan pertemuan pertama dan terakhir gua dengannya. Setelahnya, gua sama sekali nggak pernah melihatnya.
Hingga beberapa tahun setelahnya. Masih lekat di ingatan kala itu, gua kelas dua SMP dan baru saja pulang dari les bahasa inggris. Gua sengaja minta diturunkan oleh tukang ojek langganan gua yang biasa mengantar jemput di depan gang; sekalian jajan di warung.
Gua berjalan pulang dengan plastik berisi jajanan di tangan. Sore itu, menjelang maghrib, gerombolan anak laki-laki menyusuri gang seraya cekikikan, pakaian mereka terlihat kumal, kaki-kakinya penuh lumpur dan tanah merah; sepertinya baru saja pulang dari lapangan sepak bola.
Saat jarak antara kami semakin dekat, gerombolan bocah itu mulai menggoda gua dengan bersiul dan saling dorong satu sama lain. Gua sedikit menepi dan menghentikan langkah, membiarkan mereka berlalu.
Terpisah dari gerombolan, seorang anak terlihat berjalan pelan mengikuti teman-temannya yang lain. Tangannya menggenggam sepasang sandal jepit, sementara pakaiannya kotor dan kedua kakinya penuh dengan lumpur.
Berbeda dengan teman-temannya yang lain, ia sama sekali nggak menoleh ke arah gua. Hanya berjalan dengan tenang sambil sesekali menyeka sisa lumpur di kakinya dengan menggesekkannya ke aspal.
Deg!
Bocah yang sama dengan yang dulu gua temui sepulangnya dari makam.
Wajahnya tak banyak berubah, ia hanya terlihat sedikit lebih dewasa dengan air mukanya nya kini lebih tegas. Sementara tatapan matanya masih sama; sendu dan terlihat penuh beban.
Gua sengaja menyibak rambut tepat saat ia lewat di sebelah. Berharap ia menoleh dan menyadari akan kehadiran gua. Namun, ia bergeming, melirik pun tidak.
Siapa yang sangka takdir akan kembali mempertemukan gua dengan bocah bertatapan sendu tersebut.
—
Hari pertama gua bersekolah di SMA. Well, hari pertama buat gua bukan berarti hari pertama buat siswa yang lain. Gua sengaja bolos di tiga hari awal, karena ribet harus menjalani masa orientasi yang nggak jelas. Berbekal surat pernyataan dari Bokap, gua bisa melenggang mulus melalui tiga hari masa orientasi dengan tidur-tiduran di rumah sambil mendengarkan lagu-lagu Linkin Park.
Nggak ikut Orientasi bukan lantas gua jadi nggak punya teman. Berhubung lokasi SMA gua ini nggak begitu jauh dari SMP gua sebelumnya, jadi mayoritas teman-teman SMP memilih untuk melanjutkan SMA di sini, di tempat yang sama dengan gua. Sementara gua sengaja memilih sekolah ini karena jaraknya yang nggak terlalu jauh dengan rumah.
Beberapa cowok langsung tebar pesona begitu gua duduk di salah satu kursi yang tersisa. Sebagian kecil bahkan terang-terangan mendekat dan mengajak berkenalan. Salah satunya yang cukup berkesan; Izar. Iya, berkesan karena ia cukup berani, dengan langsung mengajak gua bicara dan berkenalan.
“Hai… Udah tau mata pelajarannya belum?”Tanyanya seraya bersandar pada meja gua.
“Awas…” Seru gua.
“Wah, galak rupanya. Nama lo siapa?” Tanyanya lagi, berkeras.
“...”
“.. Gua Izar…” Tambahnya, kali ini ia menjulurkan tangannya ke arah gua.
Gua lantas memberinya tatapan tajam; “Dina, Aldina…” Gua menjawab tanpa membalas ajakannya bersalaman. Sementara ia lalu kembali ke tempat duduknya begitu seorang guru masuk ke dalam kelas.
Suci, salah satu sahabat gua saat masih di SMP dan kini kembali bertemu di SMA, memanggil nama gua dari depan pintu kelas tepat setelah jam istirahat berbunyi. Gua membalas panggilannya dengan melambaikan tangan, meraih lembaran uang dari dalam tas dan bergegas menyusulnya untuk jajan di kantin.
Sambil berjalan menuju ke kantin, kami ngobrol ngalor ngidul, membicarakan wali kelas masing-masing, dan tentu saja cowok ganteng yang layak buat di deketin. Dengan bangganya Suci berkoar-koar kalau cowok-cowok di kelasnya, kelas 1-2 ganteng-ganteng.
“Kelas lo gimana? banyak yang ‘Ok’ nggak?” tanyanya seraya menyenggol lengan gua.
“Haha… tau dah, nggak begitu merhatiin…” Jawab gua.
Di kantin, beberapa kakak kelas dari kelas 2 maupun kelas 3 menghampiri kami berdua, mengajak berkenalan. Enggan bikin heboh, gua melayani mereka dengan menyebut nama sambil tersenyum.
“Ih enaknya jadi cewek cantik ya.. Nggak di SMP, Nggak di SMA, banyak yang ngajak kenalan…” Ucap Suci.
“Enak apanya, paling bentar lagi ada kakak kelas cewek yang ngelabrak gue..” Gua menjawab.
Berdasarkan pengalaman, jadi cewek cantik dan populer di sekolah nggak berarti masa muda lo bakal sempurna. Iya, memang, cantik bikin setengah masalah hidup lo kelar begitu aja. Tapi, yang nggak banyak orang tau. Jadi cantik juga berarti harus siap dengan tekanan dari orang-orang iri yang nggak siap bersaing. Dilabrak kakak kelas adalah salah satu contohnya.
“Lo mau ngintip cowok-cowok di kelas gue nggak?” Tanya Suci, matanya mengerling dan senyumnya merekah.
Gua mengangguk, lalu berjalan bersamanya menuju ke kelas.
Dengan alasan meminjam alat tulis, gua mengikuti Suci masuk ke dalam kelasnya. Terlihat beberapa siswa yang nggak keluar saat jam istirahat, sebagian besar menghabiskan waktunya ngobrol atau membaca komik, sisanya terlihat menjatuhkan kepalanya di atas meja; tidur.
Mata gua tertuju ke salah satu cowok yang gua kenali. Iya, dia. Bocah bertatapan sendu dengan ekspresi wajah datar.
Ia terlihat duduk dengan tangan kiri menopang kepala, sementara tangan kanannya sibuk menggerakkan pulpen diatas buku tulis.
Gua menyenggol Suci dan menunjuk ke arah cowok tersebut dengan dagu. “Siapa namanya Ci?” Tanya gua sambil berbisik.
“Oh, siapa ya.. Lupa deh gue. Kenapa emangnya? naksir? dih orang mukanya aja biasa aja. Mending si Aldi noh, ganteng…” Jawab Suci sambil menunjuk ke arah cowok di sudut kelas dengan ujung matanya.
Sementara gua nggak memperhatikan Suci, hanya mencuri pandang ke arah cowok bertatapan sendu yang duduk beberapa meja di belakang Suci.
Bel tanda istirahat selesai berbunyi. Gua buru-buru keluar untuk kembali ke kelas, sementara mata gua sesekali menatap ke arah cowok tersebut. Ia kini menyatukan kedua tangan, membuat tumpuan untuk dagunya.
‘Duh, siapa sih namanya’ batin gua dalam hati.
Butuh waktu beberapa hari bagi Suci untuk mengetahui namanya. Ia terlalu fokus untuk tau nama lengkap cowok yang disukainya hingga kerap melewatkan kesempatan mendengar nama lengkap cowok tersebut saat diabsen oleh guru.
Suci berjalan cepat masuk ke dalam kelas gua begitu jam istirahat. Sementara, Izar tengah membungkuk di meja, mencoba merayu untuk ikut bersamanya makan di kantin.
“Udah awas sana lo, gue mau ngobrol” Seru gua ke Izar begitu Suci berada di sebelah gua.
Izar menyerah, lalu pergi meninggalkan kami berdua.
Kami berbagi kursi, ia duduk, berhimpitan dengan gua di kursi kecil yang seharusnya hanya cukup untuk satu orang.
“Lo mau tau namanya nggak?” Tanya Suci yang lantas gua respon dengan cubitan di lengannya.
“Buruan…”
“Namanya Julian Jonathan, tapi temen-temennya pada manggil dia Jeje…”Suci bicara sambil berbisik di telinga gua.
“Oh… Nama bagus-bagus kok dipanggil Jeje…” Gumam gua pelan.
“Ye… Elo gimana sih, katanya pinter. Julian Jonathan kalo dibikin inisial jadi J.J, Je sama Je” Suci menjelaskan.
“...”
“... Lagian lo kenapa nggak ngajak kenalan langsung aja sih? biasanya juga lo nggak ada malunya?”
“Nggak tau, sama dia gue kayaknya segan aja…” Gua menjawab.
“Iya, sih… Kalo di kelas aja dia nggak pernah ngomong. Kalo ngomong paling seperlunya aja…” Suci bercerita.
“Eh, suaranya dia gimana ci?”
“Hah… gimana caranya gua deskripsiin suara orang”
“Yaaah…”
“Lo yakin mau kenalan bener sama dia?” Tanya Suci.
“Mau…” Jawab gua penuh keyakinan.
“Kalo gue bisa kenalin lo ke dia, lo mau traktir gue apaan?”
“Gue jajanin lo di kantin selama seminggu” Jawab gua sambil tersenyum.
Suci lalu menyodorkan tangannya ke arah gua; “Ok, deal ya…”
Gua membalas jabat tangannya; “Deal!”
Besoknya, sepulang sekolah Suci mengajak gua ke kantin. Tak mengungkap maksud dan tujuannya, ia hanya menarik tangan gua menyusuri lorong kelas, menuruni tangga hingga tiba di kantin yang kini sepi. Beberapa, kedai sudah terlihat tutup, menyisakan satu-dua kedai yang khusus menjual aneka minuman dingin.
Di salah satu meja panjang depan kantin terlihat beberapa siswa tengah duduk. Suci membawa gua ke meja tersebut dan mulai memperkenalkan satu persatu siswa yang duduk disana; teman sekelasnya. Rupanya mereka tengah dalam agenda belajar kelompok, dimana sepertinya si Jeje ini salah satu anggota kelompoknya. Namun, sampai saat ini cowok yang dimaksud belum nampak batang hidungnya.
Gua duduk sambil menunggu dengan cemas, telapak tangan gua mulai basah saking gugupnya. Sementara, mata gua terus menatap ke arah lorong, salah satu akses menuju ke kantin.
“Si Jeje kemana sih?” Tanya Suci kepada salah satu temannya yang berada di sana.
“Nggak tau deh, tadi sih pas gue ajakin katanya duluan aja, ntar dia nyusul…”
Nggak seberapa lama, seorang cowok keluar dari arah lorong. Dengan tas selempang berada di pundak, dan gulungan kertas berada di genggamannya ia berjalan pelan menuju ke arah kami.
Gua semakin deg-degan. Rasa sesal telah meminta Suci mengenalkan gua padanya perlahan mulai muncul. Bahkan sempat terbesit untuk segera pergi dari sini.
Suci yang duduk tepat di hadapan gua berdiri, lalu pindah ke ujung meja. Kini satu-satunya tempat kosong yang tersisa adalah kursi di seberang gua. Nggak lama Jeje datang dan langsung duduk di sana.
Deg! Mampus dan gue.
“Sorry” Ia bicara. Suaranya terdengar lirih.
Sementara yang lain mulai membahas urusan kerja kelompok, Jeje terlihat hanya terdiam sambil menatap kosong ke arah meja. Ia memainkan kedua tangannya, jari-jari tangan kirinya meraba-raba telapak tangan kanannya yang terlihat mengeras, kapalan.
‘Anak SMA macam apa yang telapak tangannya kapalan?’ batin gua dalam hati.
“Je, lo mau minum apa?” Tanya Suci dari ujung sana.
Sepertinya ucapan Suci membuyarkan lamunannya, ia menoleh ke arah Suci dan bicara; “Eh nggak usah, makasih” jawabnya, masih dengan suara yang lirih.
“Je, kenalin tuh di depan lo, temen gue dari kelas 1-1” Suci menambahkan sambil menunjuk ke arah gua.
Jeje berpaling menatap gua. Lalu dengan cepat ia menyembunyikan kedua tangannya ke bawah meja lalu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum dan menyebut nama; “Halo, Jeje”
Untuk pertama kalinya, gua melihatnya tersenyum. Gua menatapnya, mencoba merekam wajah tersenyumnya ke dalam ingatan.
“Halo, Dina, Aldina…” Gua gantian menyebutkan nama.
Senyumnya lalu perlahan hilang, kembali dengan wajah datarnya yang menatap kosong ke arah meja.
Begitu kerja kelompok selesai, yang mana Jeje hampir tak ada kontribusinya sama sekali. Ia langsung berbalik, berjalan cepat dan pergi meninggalkan kami. Beberapa rekannya bahkan mulai membicarakan tentangnya. Ada yang menyebut kalau Jeje berasal dari keluarga broken home, hingga membuatnya menjadi sosok pendiam seperti sekarang. Teori lain mengatakan kalau Jeje merupakan anak dari panti asuhan yang dipungut dan dibesarkan oleh seorang pria tua.
Sementara, gua nggak terlalu ambil pusing dengan teori-teori tersebut. Kepala gua sudah dipenuhi dengan bayangan wajahnya yang tengah tersenyum, hingga tak ada lagi tempat tersisa untuk hal lain yang nggak penting.
—
Bunglon - Kau
Kau sudutkan hatiku
Menerawang jauh
Menembus ke dalam
Kau bangkitkan gairahku
Hasratku menggapai
Harapan bersama
Mengapa terjadi pertemuan dengan
Seorang yang memepesona ku di
Kala diri ini tlah berpadu janji
Tak mungkin kan kuingkari
Apa dayaku
Ku harus menghadapimu
Tetapkan impianku
Bersama kasihmu
Setuju bersatu
Derap langkah bersama
Alunan irama seia sekata
Mengapa terjadi pertemuan dengan
Seorang yang memepesona ku di
Kala diri ini tlah berpadu janji
Tak mungkin kan kuingkari
Apa dayaku
Ku harus menghadapimu
Derap langkah bersama
Alunan irama seia sekata
Ooooh
Penyesalan ini tiada arti lagi
Kusadari semua yang terjadi
Maaf kan diriku yang tak mungkin akan
Menggalaukan hati
Apa dayaku
ku harus menghadapi
ku harus menghadapi
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:41
jiyanq dan 61 lainnya memberi reputasi
62
Kutip
Balas
Tutup