- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
junti27 dan 199 lainnya memberi reputasi
196
279.2K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#195
#22 - Here We Go Again
Spoiler for #22 - Here We Go Again:
Cukup lama hingga seorang wanita paruh baya berjalan cepat tergopoh-gopoh menghampiri gua. “Cari siapa mas?”Tanyanya ramah.
“Lady nya ada?” Gua balik bertanya.
“Mbak Lady? Masnya siapa?”
“Temen” gua menjawab santai.
Si mbak lalu menatap gua penuh kebingungan. Sepertinya ia nggak tau harus memberi jawaban apa ke gua.
“Nggak ada ya mbak?” Gua kembali bertanya begitu melihat ekspresi wajahnya yang bingung.
“Mbak Lady udah lama banget nggak pulang mas…” Jawab si mbak.
“Oh gitu. Yaudah makasih ya mbak..” Gua berbalik dan mengeluarkan ponsel, berniat memesan taksi online untuk kembali ke toko. Saat tengah sibuk memasukkan alamat tujuan di aplikasi taksi online, sebuah panggilan terdengar; “Mas”
Gua berpaling dan mencari asal suara yang ternyata berasal dari teras rumah. Terlihat seorang pria dengan usia kira-kira akhir 40 atau awal 50-an, berambut pendek dengan setelan santai berupa T-Shirt yang dimasukkan ke celana denim pendek selutut.
Sambil menunduk, berusaha untuk melihat wajah pria tersebut, gua mendekat; “Ya..”
“Cari siapa mas?” Tanya pria tersebut, seraya berjalan mendekat ke arah pagar. Gua kembali berbalik dan ikut mendekat ke pagar.
“Cari Lady Om..” Gua menjawab singkat.
Pria tersebut lalu sedikit bergeser dan membuka pagar. Kini gua bisa dengan jelas melihat wajahnya.
“Masnya dari mana?”
“Saya temannya pak, tadi sudah di info sama mbaknya..” Ucap gua seraya menunjuk ke arah si mbak yang kini terlihat berdiri di depan garasi.
“Oh, yuk masuk dulu..” Ucapnya seraya menggeser pagar lebih lebar agar gua bisa masuk dengan leluasa. Ia lalu kembali melangkah ke arah teras. Gua lantas mengikutinya.
“Saya Ayahnya Lady…”
“Oh Salam kenal Om, saya Jeje” Ucap gua memperkenalkan diri.
“Bikin masalah apa si Lady?” Tanyanya seraya memberikan gua kode untuk duduk di kursi kayu besar dengan bantalan empuk pada alas dan sandarannya.
“Masalah? oh nggak sih Om. Lady udah beberapa hari ini nggak ada kabar. Saya cari ke tempat kosnya juga nggak ada. Di telpon juga nggak bisa...” Gua mencoba memberikan penjelasan singkat kepadanya.
Begitu mendengar penjelasan singkat dari gua, ia lantas menghela nafas dalam-dalam sambil memejamkan kedua matanya. Terlihat dari ekspresinya kalau ia nggak begitu senang dengan kabar yang gua bawa.
“Gini mas.. Mas siapa tadi namanya?”
“Jeje, Om..”
“Gini mas Jeje; Lady udah lama pergi dari rumah ini. Jadi, kalo dia ngilang, nggak mungkin dia balik kesini. Jadi, jangan nyari dia kesini lagi deh ya..”
Gua langsung mengernyitkan dahi begitu mendengar kalimat yang dilontarkan oleh ayahnya barusan. ‘Penjelasan macam apa ini?’ batin gua dalam hati.
Belum hilang rasa bingung gua dengan ucapan sebelumnya. Ayahnya lantas kembali bicara; “Biasanya kalo ada orang kesini nyari Lady, berarti dia abis bikin masalah. Entah dia abis nyerempet orang, mobilnya rusak dan nggak ditebus di bengkel, orang yang nagih kartu kredit, atau teman yang ngaku habis dibully sama dia”
“Hah?” Tanya gua.
“Nah.. Kamu tipe yang mana? Nyari Lady karena apa?” Tanyanya.
“Hah? Bukan semuanya Om” Jawab gua.
“Lah terus kamu nyari Lady mau ngapain dong?” Ia kembali bertanya.
“Khawatir. Saya khawatir sama dia…” Jawab gua.
Ayahnya langsung tertawa terbahak-bahak begitu mendengar jawaban dari gua. Setelah cukup puas tertawa, ia lalu kembali bicara; “Mas mas… Ati-ati jangan terlalu deket sama Lady”
“Kenapa?” Tanya gua penasaran.
“Nanti sial..”
“What!?”
Sisa pembicaraan gua gunakan untuk berkelit agar bisa dengan cepat mengakhiri obrolan yang nggak sehat ini. Setelah beberapa menit berselang, gua pamit dan bersiap untuk pulang.
Gua keluar dari pelataran rumahnya yang besar, lalu menyebrang jalan, berdiri di bawah pohon yang rindang, menghindari teriknya matahari sambil mencoba memesan taksi online untuk pulang.
Tiba-tiba pagar rumah kembali terbuka. Mbak yang sebelumnya menyambut gua datang mendekat dengan sebotol air mineral di tangannya.
“Mas…”
“Kenapa mbak?”
“Ini minum dulu…” Ucapnya seraya menyerahkan sebotol air mineral ke gua.
“Wah makasih loh mbak…” Jawab gua.
“Mas bener temannya Neng Lady?” Tanyanya.
“Iya bener..”
“Kenapa emang mbak?”
“Gapapa…” Si Mbak menjawab pelan, sambil celingak-celinguk kanan-kiri seperti tengah memeriksa kondisi sekitar.
Si mbak yang lalu memperkenalkan diri sebagai Mbak Sum lalu mulai bercerita ke gua. Cerita tentang bagaimana selama ini Lady memang selalu diperlakukan ‘berbeda’ oleh orang tuanya. Dianggap anak sial, anak nggak tau diuntung dan metafora-metafora buruk lainnya.
Sementara Mbak Sum bercerita, gua hanya mendengarkan sambil sesekali mengernyitkan dahi; nggak habis pikir dengan perlakuan orang tua Lady.
“Neng Lady sebenarnya baik lho mas. Dia tuh cuma kurang perhatian sama kasih sayang orang tua aja..”
“...”
“...Mbak minta tolong boleh mas?”
“Boleh”
“Minta tolong jagain Neng Lady ya mas”
—
Saat perjalanan pulang menuju ke toko, di dalam taksi gua masih terbayang-bayang akan cerita Mbak Sum tadi. Betapa berat beban yang harus ditanggung Lady sejak kecil karena mendapat perlakuan nggak ‘wajar’ dari keluarganya.
Banyak para pasangan yang mendambakan seorang momongan, seorang anak. Bahkan ada pasangan yang harus menghabiskan uang dan harta bendanya hanya untuk mengikuti program hamil yang belum tentu berhasil. Disisi lain, kenapa orang tua Lady malah memperlakukan anaknya seperti ‘sampah’ dengan alasan ‘Pembawa Sial’; Nggak masuk di logika gua.
Gua lantas teringat akan Anggi yang sudah diabaikan ibunya sejak usia 3 - 4 bulan. Sambil mengepalkan tangan gua menggeram pelan; “Gobl*k!”.
“Hah, kenapa mas?” Tanya si pengemudi taksi online. Mungkin merasa makian tersebut diarahkan kepadanya.
“Eh, nggak mas Sorry, saya ngomong sendiri barusan, bukan ngatain mas kok” Jawab gua.
“Oh kirain mas ngatain saya Gobl*k”
Gua lalu meraih ponsel dan menghubungi Rossi. Nada sambung terdengar beberapa kali, hingga suaranya yang masih lelah menyapa gua; “Halo…”
“Halo Ros. Put me in..”
“Hah?”
“Masukin gua ke project lo. Kirim semua dokumen yang berhubungan dengan inisiasi perusahaan, detail funding, business plan dan nama-nama orang yang udah lo siapin buat ngisi posisi C level…”
“Siap!!! langsung gue kirim sekarang” Rossi menjawab cepat, kini nada lelahnya berganti dengan teriakan penuh semangat.
“...”
“.. eh Je, just wondering aja sih, kenapa tiba-tiba berubah pikiran?”
“Personal reason” Gua menjawab singkat. Tentu saja nggak ingin membeberkan alasan sebenarnya kenapa gua menerima offering darinya. Karena nggak mungkin gua bilang ke Rossi, kalau gua menerima offer tersebut hanya gara-gara nggak pengen Lady kehilangan satu-satunya kebahagiaan yang ia miliki di dunia; her job.
Nggak lama, muncul notifikasi email masuk ke ponsel; bertubi-tubi. Gua mengecek lampiran email dari Rossi yang berisi beberapa dokumen. Membuka salah satu dokumen dengan judul ‘Detail Funding’ dan mulai membacanya.
Malam harinya, di dalam kamar, sambil merokok, gua memeriksa dengan seksama list nama calon untuk mengisi posisi C level di perusahaan baru ini. Gua mencoret beberapa nama dan menggantinya dengan calon yang menurut gua lebih pas.
Gua kemudian beralih ke Funding Detail. Dan merasa kurang sreg dengan pendanaan awal yang masuk. ‘Gua butuh uang lebih’ batin gua dalam hati. Melalui kontak di ponsel, gua mencari sebuah nama dan langsung menghubunginya.
Nada dering terdengar beberapa kali, lalu disambut dengan suara serak seorang perempuan dari ujung sana; “Halo…”
“Ini gua..”
“I know..”
Suasana lalu hening sebentar, tak ada kata-kata dari kami berdua.
“You call me after years.. Ada apa?” Tanyanya.
“Need a little favor..”
“Apa?”
“Gua butuh another funding”
“Buat? startup baru?”
“Iya..”
“Tadi lo bilang ‘another’, berarti udah dapet funding lain?”
“Udah..”
“Seed fund?”
“Yes”
“Dari venture capital mana?”
“Detailnya ada di Business plan yang bakal gua kirim ke elo abis ini..”
“Yaudah kirim…”
“Ok..”
“By the way, gue mau ketemu anggi...”
“Ya, ketemu aja. Gue kan nggak pernah ngelarang…”
—
Besok paginya, sebuah notifikasi pesan masuk dari sosok yang gua hubungi semalam. Isinya kurang lebih memberi kabar kalau ia setuju untuk berinvestasi di perusahaan rintisan kami. Tapi, ada beberapa syarat yang butuh ia diskusikan terlebih dahulu.
Ia merupakan anak dari seorang konglomerat yang memegang beberapa perusahaan termasuk venture capital yang bermarkas di London. Bapaknya, kini sudah pensiun dan semua usahanya dilanjutkan olehnya.
Ia mengajak gua bertemu pagi ini.
‘Gue mau ketemu Anggi sekalian boleh?’ Tanyanya melalui chat.
‘Anggi sekolah’ Jawab gua singkat.
‘Gapapa gue liat dari jauh aja’
Gua lantas mengirim koordinat lokasi sekolah Anggi melalui pesan chat.
Setengah jam berikutnya, saat gua baru saja melepas Anggi masuk ke dalam kelasnya. terlihat sebuah minibus mewah terparkir tepat di depan sekolah. Seorang perempuan dengan rambut panjang, kacamata hitam dan sebatang rokok di sudut bibirnya terlihat tengah berdiri, bersandar pada pagar sambil menatap ke arah gua.
Gua menghampirinya.
“Lo ngerokok di area sekolah?” Tanya gua.
Ia lantas menjatuhkan rokok dari tangan dan menginjak puntung dengan ujung sepatunya. “Apa kabar?”Tanyanya.
“Baik…”
Tanpa banyak berbasa-basi, kami lalu diskusi perihal investasi tepat di pelataran teras sekolah Anggi. Tempat yang nggak lazim untuk dua orang membicarakan uang bernilai milyaran rupiah. Tapi, beginilah dia; nggak punya kelaziman untuk semua hal.
“Posisi CFO harus dari gue…” Ucapnya menyebutkan syarat, sambil mencatat pada tablet di tangannya.
“Ok. Siapa?”
“Desi. Lo kenal kan?”
“Kenal”
“Oiya lo berdua sempet kuliah di tempat yang sama kan ya?”
“Iya, apa kabar dia?”
“Baik.. Oke, terus gue juga nggak mau ada funding lain yang valuenya diatas gue..”
“Hmm…”
“Kalo ada capital venture lain yang mau ngasih lebih gede, gue cabut…”
“Ok, gua pikirin nanti..” Gua berlagak sok jual mahal, padahal sudah pasti bakal menerima syarat darinya.
“Nggak bisa, putuskan aja sekarang. Iya apa nggak?”
“Ya kan gua harus ngitung dulu..”
“Udah gue itung. Lo nggak bakal rugi..”
Ada alasan kenapa ia nggak mau menjadi minoritas dalam hal berinvestasi di perusahaan rintisan. Gua yakin ia sudah mempelajari faktor resiko di perusahaan kami ini, Dan mungkin menurutnya model bisnis yang gua jalani punya prospek menjanjikan. Karenanya ia nggak ingin kehilangan kesempatan menjadi peraih laba terbesar dengan menjadi investor terbanyak.
Pola pikirnya dalam hal bisnis bukanlah hal yang kacangan. Bertahun-tahun bergelut di bisnis seperti ini membuat sensenya terlatih. Saat ia bilang kalau ia nggak bakal mau ada funding lain yang valuenya di atasnya, berarti business plan gua terlihat menjanjikan di matanya.
“Ok, Good to go kalo gitu…”
Ia berdiri, dan bersiap masuk ke dalam mobil bagian penumpang. Sebelum pergi, ia sempat bicara sebentar; “Nanti Desi gue suru email detailnya.. sekalian lo arrange short meeting aja sama dia”
“Iya. Thank you”
“Sama-sama…” Ucapnya lalu pergi dengan minibus mewahnya.
Sementara gua hanya berdiri sambil menatap kosong. Lalu duduk di anak tangga dan menghela nafas panjang; “Hhh…”
—
Gua meraih ponsel dan kembali mencoba menghubungi Lady. Dan sampai sekarang masih belum ada jawaban maupun kabar darinya.
Hari-hari berikutnya, gua mulai disibukkan dengan banyak meeting perihal inisiasi perusahaan. Sementara, hadirnya Desi sedikit banyak mampu meringankan kesibukan dengan mengambil alih tanggung jawab perkara keuangan. Dan, Rossi masih ikut turun tangan untuk mengurus hal-hal operasional.
Beberapa kali Anggi harus membolos sekolah karena ikut serta dengan gua menghadiri meeting bersama dengan Desi, Rossi dan beberapa karyawan yang sudah lebih dulu di rekrut oleh Rossi. Sebagian besar karyawan awal adalah tim People Ops, IT Infrastructure dan beberapa orang finance. Sisanya, masih dalam tahap recruitment, entah dari source eksternal maupun dari hibah dari perusahaan milik Izar.
“Sar.. udah mulai ada jadwal interview?” Tanya gue ke Sari yang bertanggung jawab dalam proses recruitment.
“Udah ada beberapa yang lolos, tinggal tunggu mereka balikin Job Offer aja..” Jawab Sari sambil melihat data catatan melalui layar laptopnya.
“Yang dari perusahaan sebelah udah?” Tanya gua lagi.
“Mmm.. Udah sih Kak, tapi partial, belum semua..” Jawabnya.
“Liat dong, datanya..” Pinta gua.
Sari lalu menggeser laptopnya ke arah gua. Ia menunjukkan daftar nama-nama calon karyawan yang sudah mendapat undangan interview darinya. Gua meniti nama-nama tersebut dan mendapati nama Lady diantara daftar. Statusnya; pending.
“Ini yang pending kenapa?” Tanya gua.
“Oh, itu berarti mereka udah dapet invitation tapi belum respon ‘iya’ atau ‘nggak’” Sari kembali memberi penjelasan.
“Ok deh.. Thank you ya Sar..”
“Iya kak sama-sama”
Sementara, entah di rumah atau di toko, saat bersama dengan gua, Anggi selalu bertanya tentang ‘Si Tante Cantik’ yang sudah hampir dua minggu nggak ada kabarnya. Dan sampai sekarang, gua masih belum tahu harus memberi jawaban apa kepadanya.
“Iya nanti coba papah telepon ya”
“Dari kemarin papah cuma mau telepon aja. Ayo kita ke rumah tante cantik paah..” Ucapnya merajuk.
“Iya nanti ya sayang” jawab gua kehabisan akal.
Beruntung, Reni meminta gua mengantar Anggi ke rumahnya, karena Robby harus kembali pergi keluar kota untuk bekerja. Lumayan, jadi Anggi bisa sedikit teralihkan pikirannya, nggak melulu menanyakan tentang tante cantiknya yang menghilang entah kemana.
Malamnya saat tengah mengecek status pada dokumen recruitment online yang sebelumnya di share oleh Sari, gua melihat status ‘Pending’ di nama Lady, kini berubah menjadi ‘hari dan tanggal interview’. Ada sedikit kelegaan saat melihatnya. Paling nggak, saat ini ia sudah bisa merespon sesuatu.
Gua meraih ponsel dan bersiap untuk menghubunginya namun gua urungkan. ‘Ah biar nanti saja langsung ketemu batin gua dalam hati.
Hari pertama Lady masuk. Gua sengaja bangun lebih awal, agar bisa datang ke kantor dan bertemu dengannya. Namun, ternyata takdir berkehendak lain. Rohman diminta untuk mengantar Haji Ramlan ke salah satu konveksi miliknya di daerah Cipadu. Karena toko sudah terlanjur buka, mau nggak mau gua berdiam di toko sambil menunggu Rohman kembali.
Entah mungkin sudah ribuan kali gua mengecek jam, berharap Rohman cepat datang. Dan entah sudah berapa panggilan, juga pesan dari Rossi maupun Desi yang menanyakan tentang dimana gua saat ini.
‘Tunggu’ balas gua ke Desi.
—
Skidrow - I Remember You
Woke up to the sound of pouring rain
The wind would whisper and I'd think of you
And all the tears you cried – they called my name
And when you needed me I came through
Paint a picture of the days gone by
When love went blind and you would make me see
I'd stare a lifetime into your eyes
So that I knew that you were there for me
Time after time you were there for me
Remember yesterday - walking hand in hand
Love letters in the sands - I remember you
And through the sleepless nights, through every endless day
I wanna hear you say, "I remember you."
We spent the summer with the top rolled down
Wished ever after would be like this
You said I love you babe, without a sound
I said I'd give my life for just one kiss
I'd live for your smile and die for your kiss
Remember yesterday - walking hand in hand
Love letters in the sands - I remember you
And through the sleepless nights, through every endless day
I wanna hear you say, "I remember you."
We've had our share of hard times
But that's the price we paid
And through it all we kept the promise that we made
I swear you'll never be lonely
Woke up to the sound of pouring rain
Washed away a dream of you
But nothing else could ever take you away
'Cause you'll always be my dream come true
Oh my darling, I love you
Remember yesterday - walking hand in hand
Love letters in the sands - I remember you
Through the sleepless nights, through every endless day
I wanna hear you say, "I remember you."
Remember yesterday - walking hand in hand
Love letters in the sands - I remember you.
Through all the sleepless nights, through every endless day
I wanna hear you say, "I remember, I remember you!"
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:41
jiyanq dan 56 lainnya memberi reputasi
57
Kutip
Balas
Tutup