- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
junti27 dan 199 lainnya memberi reputasi
196
279.3K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#185
#21 - Love Isn’t Something You Find
Spoiler for #21 - Love Isn’t Something You Find:
Saat tengah berkutat dengan weekly report dari Claire, ponsel gua berdering. Dengan cepat gua meraih ponsel dan mendapati bukan nama Lady yang muncul di layar, melainkan Rossi.
“Halo..” Gua menyapa.
“Halo Je, Last chance, take it or leave it..”
“Give me three days..”Gua menjawab.
Beberapa minggu sebelumnya, dengan penuh keyakinan gua menolak permintaan Rossi untuk membantu dengan perusahaan rintisan barunya. Dan kini, ragu mulai menyelimuti hati.
“Ah elo mah.. Sementara lo nunda-nunda, kompetitor udah mulai funding, ketinggalan gerbong kita bung..”
“Iya, sabar Ross, jangan buru-buru...”
“Eh, gue bukannya buru-buru. Timelinenya berjalan normal, tapi emang nungguin lo nya aja yang lama..” Rossi menyangkal.
“Ok gini deh, gua kasih masukan..”
“Gue nggak butuh masukan. Gue butuh elo jadi bagian dari project ini..”
“Mau denger nggak?”
“Yaudah, mau…”
“Ok gini: Gua bantu lo dapet funding. Untuk itu ada beberapa opsi yang perlu kita lakukan..”
“What?”
“Plan A; Akuisisi perusahaannya Izar supaya kita nggak perlu hire orang dengan kompetensi yang tepat. Plan B; Tetep jalan from scratch tapi dengan SDM seminimal mungkin, cost yang harusnya buat SDM bisa kita alihkan ke marketing and promotional budget…”
“Mmm.. Plan A terdengar paling tepat. Tapi, dengan gayanya Izar yang pongah less likely doi bakal setuju sih..”
“Ya nggak tau kalo belum dicoba..”
“Sementara untuk Plan B terlalu beresiko; ‘bakar uang’ untuk marketing budget”
“Kalo lo mau dapet ikan gede, ya harus pake umpan yang gede juga. Resikonya gagalnya emang gede, tapi kemungkinan berhasilnya juga nggak kecil. How?”
“Mmm.. jadi lo biarin gue mikirin ini sendiri?”
“Ya nggak. Gua saranin lo ambil Plan A, seandainya nggak berhasil, pake Plan B..”
“Ngomong sih gampang..”
“Nanti gua tetap assist lo kok, tenang aja..”
“Yaudah deh. Gua coba approach ke venture capitalnya dulu dengan opsi pertama..”
“Ok Cool. Nanti invite gua aja kalo mau meeting sama mereka”
“Oke..”
—
Beberapa hari berikutnya, Rossi memberi kabar kalau ia akan melakukan approach ke venture capital hari ini. Dan ia bersikeras untuk melibatkan gua dalam pertemuan tersebut. Gua nggak punya kuasa menolak, karena sebelumnya sudah menjanjikan bantuan ke Rossi. Akhirnya, malam itu gua dan Rossi meeting bersama dengan tim Venture Capital melalui video conference.
“Oh Hai Julian.. How are you doing?” Sapa seorang pria bule berjenggot tebal.
“All Good, Pete..”
Kami lalu berdiskusi, menyelaraskan plan bisnis dan beberapa opsi yang sudah siap. Tentu saja berikut kemungkinan-kemungkinan terburuknya. Pete yang sebelumnya sudah menganalisa plan bisnis kami langsung memberikan persetujuannya untuk mengucurkan pre seed funding senilai USD70.000.
Dan jika kami berhasil mengakuisisi perusahaan milik Izar, maka Pete akan mempertimbangkan untuk memberikan funding series A sebagai tindak lanjutnya. Namun, jika kami gagal mengakuisisi perusahaan milik Izar funding berikutnya akan dikucurkan setelah satu kuartal, tentu saja dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti peningkatan modal atau perusahaan nggak rugi banyak.
Setelah urusan dengan Venture Capital beres, Rossi langsung membuat rencana untuk mengakuisisi perusahaan milik Izar, tentu saja dengan harapan pendanaan series A yang berkisar ratusan ribu USD, tergantung dengan value perusahaan Izar saat ini.
Beberapa kali Rossi mengajak gua untuk meeting dan diskusi perihal proses akuisisi ini. Tentu saja menguras banyak waktu yang seharusnya untuk Anggi. Untungnya, dalam hal ini Anggi cukup mengerti. Beberapa kali ia sempat mengajukan diri untuk tinggal sendiri di toko bersama Rohman, setelah di meeting sebelumnya Anggi ikut bersama dengan gua.
“Papah, Anggi di sini aja.. Papah kalau mau kerja gapapa kok..”
“Bener?”
“Iya, tapi nanti Anggi beliin boneka ya?”
—
Sementara Rossi dan Izar tengah melangsungkan meeting perihal proses akuisisi, gua menunggu di toko sambil tetap berjualan. Sesekali Rossi memberikan update melalui chat; ‘Alot Je…’
‘Minta apa dia?’ Balas gua.
‘Tetep jadi CEO’ Jawab Rossi.
‘Yaudah, berarti kan lo nggak perlu ngejar-ngejar gua lagi’
‘Gue yang nggak mau. Track recordnya dia aja negatif mulu..’ Balasnya.
‘Yaudah..’
‘Yaudah apa?’
‘Cut aja.. go with plan B’ Jawab gua.
‘Sip’
Setelah hampir seharian meeting dan berdiskusi, akhirnya keputusan untuk mengakuisisi perusahaan milik Izar kami batalkan.
Padahal saat ini perusahaan Izar tengah dalam kondisi genting. Menurut informasi dari Rossi, Izar juga tengah mencari pendanaan agar bisnisnya terus bisa bertahan. Dan saat ditawari investasi segar dari Rossi ia malah menolak. Egonya lebih besar daripada kebesaran hati untuk menyelamatkan perusahaannya.
“Dia tau ada gua dibalik proses akuisisi ini kali Ros makanya dia nolak” Gua bertanya ke Rossi melalui sambungan telepon sesaat setelah meeting selesai.
“Bisa jadi. Tapi gue nggak pernah mention elo sih” Jawab Rossi.
“Mau nyari funding dimana lagi dia?” Tanya gua lagi, penasaran.
“Nggak tau, paling juga nggak lama lagi dia harus cut off budget besar-besaran. Soalnya setau gue beban operasionalnya dia tuh gede banget..”
“Ck..”
“Kenapa? kirain gue lo bakal seneng kalo perusahaannya Izar collapse?”
“Kata siapa?” Gua balik bertanya.
“Tebakan gue aja.. ”
“Yaudah.. Ini berarti kita jalan pake Plan B ya?”
“Oke..”
Tebakan Rossi nggak meleset. Beberapa hari berikutnya Rossi memberi gua kabar melalui chat, yang isinya; ‘Izar do the ‘L’ word’. L Word yang dimaksud disini adalah ‘Layoff’ atau pemutusan hubungan kerja.
‘How much?’ Tanya gua.
‘25%?’ Rossi membalas.
Menjelang malam, Lady datang, mampir ke toko. Nggak seperti biasa, ia nggak langsung turun dari mobilnya begitu tiba. Setelah melayani beberapa pembeli, gua mendekat ke arah mobil dan mengetuk kaca jendela bagian pengemudi.
Lady menurunkan kaca jendela, ekspresinya terlihat cemberut dengan mata yang berkaca-kaca. Gua lalu bertanya; “Kenapa?”
Ia nggak menjawab, hanya menyodorkan ponselnya ke arah gua. Layar ponsel yang tengah menampilkan pemberitahuan bahwa Lady terdampak Layoff. Gua membuka pintu, meraih tangannya untuk segera keluar dari mobil.
“Udah makan belum?” Gua bertanya.
“...” Yang lantas diresponnya dengan gelengan kepala.
“... Mau makan apa?” Gua kembali mengajukan pertanyaan.
“Nggak usah, males…” Ia menjawab pelan.
“Yuk” Gua menjulurkan tangan dan membawanya menuju ke warteg di seberang jalan.
Kami lalu duduk di kursi kayu panjang di dalam warteg. Gua memesankan menu soto daging khusus untuknya, sementara gua makan dengan nasi, tempe goreng dan sayur tumis toge.
“Lo masih mau kerja jadi digital marketing?” Gua bertanya.
“Kenapa emang?” Lady balik bertanya.
“Gapapa nanya aja”
“Bukannya waktu itu lo udah pernah nanya”
“Iya, mau make sure aja. Waktu itu kan lo bilang suka kerja dengan profesi lo. Tapi, nggak begitu suka dengan kantor lo yang sekarang..”
“Correct..”
“Ya berarti kalo pun lo di layoff not a big deal. Kan lo masih bisa kerja dengan profesi ini di perusahaan lain. Lagian juga lo kan kaya, nggak usah kerja juga masih bisa hidup”
Begitu mendengar ucapan gua barusan, Lady langsung menghentikan makan dan menatap gua tajam.
“Yang kaya kan Bokap gue, bukan gue. Gue juga masih mau kerja, buat diri sendiri, pengen sukses…” Ia bicara.
“Iya…Iya..”
“Tenang aja, ntar kalo gua jadi CEO perusahaan lo pasti gua angkat jadi staff digital marketing nya”
“Hah, kalo lo jadi CEO kenapa gue cuma diangkat jadi staff. Paling nggak gue jadi Head of marketing lah, atau Manager. Masa iya, pacar CEO cuma jadi staff biasa…” Belum selesai bicara, ia berhenti dan mendekap mulut..
Jujur, gua cukup terkejut saat ia menyebut kata; ‘Pacar’. Namun, gua enggan membahas perihal tersebut dikala hatinya sedang gundah gulana akibat kena layoff.
Lalu tiba-tiba, ia kembali bicara. Ucapan yang membuat jantung gua berdebar nggak karuan;
“Ayo kita ngedate” Ucap Lady tiba-tiba.
Gua cukup terkejut begitu mendengar ajakannya barusan. “Hah?”
“Ayo kita ngedate” Lady mengulang ucapan.
“Ngedate?”
“Iya, ngedate.. kita berdua aja, elo sama gue, mumpung ada Reni, kan jadi ada yang jagain Anggi..”
Gua nggak langsung merespon, kembali meraih sendok dan melanjutkan makan.
“Nggak mau?” Lady kembali bertanya.
“Bukan. Bukan nggak mau, tapi nanti Anggi pasti nyariin…”
“Ya kan ada Reni…”
“Kapan-kapan aja”
“Oh yaudah…” Ujarnya, ia lalu berhenti makan, langsung keluar dari dalam warteg menuju ke mobilnya dan pergi. Meninggalkan porsi makannya yang masih tersisa setengah dan gua yang terdiam menatap kosong ke arah mobilnya yang dengan cepat menghilang.
Bukan, bukan gua nggak mau menerima ajakannya untuk ngedate. Hanya saja gua masih belum siap meninggalkan Anggi untuk sekedar bersenang-senang, apalagi untuk ngedate.
Gua menghabiskan porsi makan, membayar ke si mbak pemilik warteg dan kembali ke toko.
Ada niatan untuk langsung menghubungi Lady saat itu juga. Namun, gua mengurungkan niat dan menunggu hingga kira-kira ia sudah sampai di kost-an, enggan mengganggu konsentrasinya saat mengemudi.
Setelah hampir setengah jam berlalu dan kini gua sudah berada di rumah. Reni menyambut gua dengan pertanyaan; “Udah makan bang?”
“Udah”
“Yah, Reni masak padahal…”
“Yaudah gua makan lagi..”
“Yeay…”
“Anggi udah tidur?” Tanya gua sambil terus menuju ke dapur, menyendok sedikit nasi dan lauk yang dibuat Reni, hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban makan masakan yang sudah Reni buat.
“Udah..”
“...”
“... Kalo udah selesai, lauknya masukin kulkas ya bang..” Seru Reni sambil kembali masuk ke dalam kamar.
“Iya..”
Setelah makan, mencuci piring dan memasukkan lauk sisa ke dalam kulkas, gua masuk ke kamar. Membuka jendela lebar-lebar dan duduk di kursi sambil merokok. Gua mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Lady, namun tak ada jawaban.
Beberapa kali gua mencoba dan masih belum ada jawaban darinya. Gua menyerah dan mengalihkan layar ke kontak bernama Rossi.
Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu disambut suara Rossi yang terdengar lelah; “Ya?”
“Tadi lo bilang berapa persen yang kena layoff di tempat Izar?” Tanya gua memastikan.
“25%”
“Berapa orang tuh?”
“Mmm.. Kalo total karyawan 200 orang berarti yang kena layoff sekitar 50 orangan lah kira-kira”
“Ok. Gini Ros.. Minta database employee yang kena layoff. Bikin jadwal interview buat mereka..”
“What!? lo mau pake employee yang udah kena Layoff?”
“Iya..”
“Seandainya mereka kena Layoff karena underperform gimana?” Rossi kembali bertanya.
“Gua rasa kalo alasan layoff-nya adalah efisiensi mereka bakal cut employee dengan rate salary terbesar sih.. Lagian, kita kan masih bisa filter lagi dengan tes dan user interview..”
“Ok deh..”
“Oiya, nanti gua bakal kirim chat ke elo satu nama. Pastiin nama itu ada di jadwal interview ya” Ucap gua.
“Wah siapa nih?” Tanya Rossi penasaran.
“Someone..” Gua menjawab singkat lalu mengakhiri panggilan.
Kemudian mulai mengetik pesan untuk Rossi; ‘Lady Diana - Digital Marketing’
—
Beberapa hari berselang masih belum ada kabar dari Lady. Gua beberapa kali mencoba menghubunginya namun sepertinya ponselnya dalam kondisi mati.
Setelah menjemput Anggi, memberinya makan, susu dan membiarkannya bermain, gua memintanya izin untuk pergi sebentar ke kostan Lady; “Anggi, Papah mau pergi sebentar ke tempat tante Lady ya?”
“Anggi ikut..” Pintanya.
“Nggak usah deh, panas soalnya.. Anggi tunggu disini aja ya, papah cuma sebentar doang kok..”
“Tapi Anggi kangen sama Tante cantik”
“Iya nanti kita ketemu sama tante cantik ya kalau kamu libur sekolah”
“Iya deh..”
Dengan meminjam motor milik Rohman, gua bergegas menyusuri jalan menuju ke tempat kost Lady.
Lebih dari setengah jam berikutnya, gua sudah berada di depan gerbang tempat kost Lady. Melalui sela-sela pagar, gua nggak mendapati mobil miliknya di parkiran. Seorang petugas keamanan dengan kaos hitam bertuliskan ‘satpam’ menghampiri gua dan bertanya; “Cari siapa mas?”
“Saya mau ketemu Lady pak..”
“Oh Mbak Lady”
“Iya…”
“Kayaknya Mbak Lady udah berapa hari nggak pulang deh.. “
“Tapi itu mobilnya ada pak?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah mobil sedan hitam milik Lady yang terparkir.
“Iya, tapi orangnya udah lama nggak kelihatan”
“Oh gitu. Boleh saya cek ke kamarnya pak, takutnya dia sakit atau kenapa-kenapa..” Ucap gua.
“Kalo boleh tau mas siapanya ya? teman? pacar? saudara?” Tanyanya.
“Teman”
“Oh, Mari pak saya antar..” Ajak si petugas keamanan.
Gua lantas mengikutinya naik ke atas melalui tangga memutar hingga ke lantai dua, lalu menyusuri beranda dan akhirnya tiba di depan pintu sebuah kamar di sudut bangunan. Dari luar terlihat kondisi kamar gelap gulita. Si petugas keamanan lalu mencoba mengetuk pintu beberapa kali namun nggak ada jawaban.
“Lad.. Lad..” Seru gua seraya mengetuk jendela depan yang tertutup tirai. Dan masih nggak ada jawaban.
“Emang nggak ada orangnya ini mas. Udah coba di bel belum?” Tanya si petugas keamanan.
“Udah pak. Tapi, kayaknya HP nya nggak aktif. Yaudah deh Pak, Terima kasih ya..” Ucap gua, lalu bergegas kembali pulang.
Sekembalinya ke toko, gua berniat untuk mengirim pesan ke Lady. Tapi, buat apa? saat di telepon saja nggak bisa, apalagi sebuah pesan yang belum tentu sampai dan dibaca olehnya.
Besoknya, pagi-pagi sekali gua kembali mencoba menghubungi Lady namun masih belum ada jawaban dan ponselnya belum juga aktif.
Gua beralih ke kontak berlabel ‘Rossi’ dan menghubunginya untuk menanyakan tentang database karyawan yang terdampak layoff dari perusahaannya Izar.
“Bentar Je, gue masih di jalan. Nanti begitu sampe kantor gue coba cek deh. Tadi sih si Ridwan; people ops-nya bilang kalau dia udah kirim data-datanya..”
“Ok deh…”
“Kenapa emang?”
“Gapapa”
“Mau ngecek seseorang?”
“Iya..”
“Perempuan yang namanya Lady Diana?”
“Iya..”
“Haha.. Ada apa sih dengan si Lady Diana ini sih, penasaran…”
“Jangan…”
“Jangan apa?”
“Jangan penasaran..”
Setengah jam setelah obrolan terakhir gua dengan Rossi, sebuah notifikasi email masuk; dari Rossi. Yang isinya merupakan data dan informasi pribadi karyawan atas nama Lady Diana.
Gua langsung mengecek alamat tempat tinggal Lady, meng-copy alamat, memasukkannya ke aplikasi maps di ponsel.
“Man, titip Anggi ya..” Ucap gua ke Rohman.
“Mau kemana?” Tanyanya.
“Ke rumah Lady…”
“Lah kemaren bukannya udah?”
“Kemaren ke kostannya, dia nggak ada”
Berbekal alamat tempat tinggal dari data informasi karyawan gua langsung menuju ke rumah Lady dengan menggunakan taksi online. Butuh waktu lebih dari dua jam buat gua untuk tiba di alamat tersebut, selain karena supirnya lelet, jalan Jakarta hari itu juga nggak begitu ramah. Beberapa galian di sudut jalan ibu kota membuat lalu lintas semakin macet.
Gua mengecek nomor rumah yang tertera pada dinding bagian depan dengan alamat di ponsel begitu turun dari taksi online, nomor dan alamatnya tepat. Kemudian menekan bel di sisi pagar besi dan berdiri menunggu.
RIDA SITA DEWI - Kusadari
Di kala kusadari diri ini mencari
Satu tambatan hati kala lelah menjadi
Dan kini 'ku mengerti yang kurasa di hati
Apa yang 'kan terjadi bila semua hanya mimpi, huuu...
Adakah semua ini keinginan sendiri
Atau kau merasakan bukan lagi khayalan
Adakah semua ini keinginan sendiri
Atau kau merasakan dirimulah jawaban
Sendiri, kusadari arti cinta yang kurasa
Dan semua yang kudamba, dirimulah jawabannya
Adakah semua ini keinginan sendiri
Atau kau merasakan bukan lagi khayalan
Adakah semua ini keinginan sendiri
Atau kau merasakan dirimulah jawaban
Kutertawa dalam angan yang tak berbilang
Semua tanya hanya engkaulah jawabannya
Sendiri, kusadari arti cinta yang kurasa
Dan semua yang kudamba, dirimulah jawabannya
Adakah semua ini keinginan sendiri (Sendiri, kusadari)
Atau kau merasakan dirimulah jawaban (Arti cinta yang kurasa)
Adakah semua ini keinginan sendiri (Pada semua oh...)
Atau kau merasakan dirimulah jawaban (Jawabannya)
Adakah semua ini keinginan sendiri
Atau kau merasakan dirimulah jawaban
Adakah semua ini keinginan sendiri (Sendiri kusadari)
Atau kau merasakan dirimulah jawaban
Adakah semua ini keinginan sendiri
Atau kau merasakan dirimulah jawaban
Adakah semua ini keinginan sendiri
Atau kau merasakan dirimulah jawaban
jiyanq dan 66 lainnya memberi reputasi
67
Kutip
Balas
Tutup