Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

xxx0857Avatar border
TS
xxx0857
AS & Sekutu Salah Perhitungan! Rusia Cuan Jumbo Dari Perang



Perang Rusia dengan Ukraina sudah berlangsung selama 6 bulan dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Ukraina yang dibelakangnya Amerika Serikat (AS) dan sekutu mampu menahan gempuran pasukan Rusia.
Di sisi lain, guna melemahkan dan menekan Rusia, AS dan sekutunya memberikan berbagai macam sanksi. Namun, sanksi tinggallah sanksi, hingga 6 bulan Rusia masih kuat untuk mendanai perang, bahkan malah untung besar.
Sebaliknya, Amerika Serikat dan Eropa justru yang mendapat masalah inflasi yang sangat tinggi, kini memberikan ancaman resesi hingga stagflasi.

"Langkah-langkah ini akan menurunkan instrumen utama kekuatan negara Rusia dan menimbulkan kerugian ekonomi akut dan langsung di Rusia dan meminta pertanggung jawaban kleptokrasi Rusia yang mendanai dan mendukung perang Putin," kata sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki, saat Amerika Serikat melarang investasi ke Rusia, dan mengenakan saksi bagi pejabat Kremlin dan keluarganya pada awal April lalu.
Sanksi paling parah yang diberikan Barat adalah embargo sektor energi, serta dikeluarkannya perbankan Rusia dari SWIFT.
Bukannya merugi, Rusia justru untung besar dari perang yang berlarut-larut. Sebabnya, harga komoditas energi yang meroket gila-gilaan. Memang AS di bawah pimpinan Presiden Joe Biden dan Eropa melarang impor minyak mentah dari Rusia, tetapi Putin menemukan pasar baru.
International Energi Agency (IEA) melaporkan pada Januari lalu, sebelum terjadinya perang, dari total ekspor minyak mentah, sebanyak 54% di kirim ke Benua Biru. Pada bulan Juni, nilai tersebut berkurang sebanyak sepertiga.
India menjadi "penadah" minyak mentah Rusia. Pada bulan Januari, impor minyak mentah India dari Rusia hanya 30.000 barel per hari. Tetapi, dengan harga diskon yang diberikan Rusia, dengan harga minyak mentah lainnya yang sangat tinggi, India pun langsung memborongnya.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan Brent sempat meroket hingga ke atas US$ 130/barel di tahun ini, sebelum ke kisaran US$ 90/barel dalam beberapa waktu terakhir.
Rusia dikabarkan memberikan diskon hingga US$ 35/barel ketimbang harga sebelum perang terjadi. Pada Juni lalu, India mengimpor minyak mentah Ural Rusia sebanyak 740.000 barel per hari.

Selain India, China juga bisa menggenjot impor komoditas energi dari Rusia yang sudah didiskon. Pada Juli saja, China menghabiskan US$ 7,2 miliar atau Rp 107, 2 triliun untuk mengimpor energi dari Rusia.

Dilansir dari Al-Arabiya, Rusia kini menggantikan Arab Saudi sebagai pemasok terbesar minyak mentah China dalam tiga bulan terakhir. Beijing mengimpor minyak mentah sebanyak 7,15 juta ton pada Juli, naik 7,6% (year-on-year/yoy).
China juga memanfaatkan pasokan berlebih Rusia setelah Eropa melarang impor batu bara. China sebanyak 7,42 juta ton pada Juli, naik 14,4% (yoy). Jumlah tersebut adalah yang tertinggi sepanjang sejarah.
Adapun, impor gas alam cair China dari Rusia mencapai 410.000 ton pada Juli, naik 20% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Meski Rusia menjual komoditas energinya dengan harga diskon, tetapi tidak membuatnya merugi, malah cuan jumbo. Transaksi berjalan (current account) terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.

Di kuartal II-2020, current account Rusia tercatat sebesar US$ 70,1 miliar, lebih tinggi dari rekor kuartal sebelumnya US$ 68,38 miliar.
Sementara itu Bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) pada Selasa (9/8/2022) melaporkan pada periode Januari - Juli, current account mencatat surplus US$ 166 miliar atau sekitar Rp 2.473 triliun (kurs Rp 14.900/US$).
Estimasi tersebut lebih dari tiga kali lipat dari periode yang sama tahun 2021 senilai US$ 50 miliar, menurut CBR.
"Dinamika transaksi berjalan ditentukan oleh melebarnya surplus neraca barang dan jasa sebagai hasil dari kenaikan signifikan nilai ekspor barang sementara nilai impor mengalami penurunan," tulus CBR.
Dengan cuan tersebut, artinya hitung-hitungan AS dan sekutu untuk melumpuhkan ekonomi Rusia meleset.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI, Sandiaga Salahuddin Uno, juga menyebut Rusia tetap mengalami keuntungan mencapai US$ 6 miliar per hari. Berdasarkan data tersebut, ia memprediksi perang ini berlangsung lama karena Rusia masih mendapat banyak untung.
"Kenapa perang Rusia dan Ukraina ini akan cukup lama? Karena ini sangat profitable," ujar Sandiaga melalui akun TikTok-nya, dikutip Senin (22/8/2022).


Ekonomi Rusia Tak Rontok, Rubel Terbaik di Dunia
Saat awal perang, institusi keuangan Rusia dikeluarkan dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yakni semacam platform jejaring sosial bagi bank.
Selain akan memutus SWIFT dari Rusia, Amerika Serikat dan Sekutu juga membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri.
Cadangan devisa Rusia saat ini sebesar US$ 643 miliar, yang sebagian besar ditempatkan di bank sentral AS, Eropa dan China dengan estimasi sekitar US$ 492 miliar, melansir Forbes.


Pembekuan aset tersebut membuat bank sentral Rusia tidak bisa menggunakan cadangan devisanya, guna menstabilkan nilai tukar rubel.Alhasil, nilai tukar rubel jeblok hingga menyentuh RUB 150/US$ pada 7 Maret lalu, yang merupakan rekor terlemah sepanjang sejarah. Dibandingkan posisi akhir 2021 hingga ke rekor tersebut, rubel jeblok lebih dari 101%.
Inflasi pun meroket mendekati 18% (yoy) pada April lalu.
Bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) bergerak cepat melihat jebloknya rubel dengan mengerek suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%. Selain itu, pemerintah Rusia juga menerapkan kebijakan capital control yang pada akhirnya membuat rubel terus menguat.

Bahkan, hingga saat ini rubel menjadi mata uang terbaik di dunia, berada di bawah RUB 60/US$, dengan penguatan sekitar 20% sepanjang tahun ini. Rubel juga berada di level terkuat dalam 7 tahun terakhir.
Dengan rubel yang perkasa, inflasi berhasil dikendalikan dan menurun dalam 3 bulan beruntun. Alhasil, CBR kini malah membabat suku bunganya hingga menjadi 8% lebih rendah dari level sebelum perang.
[table][tr][td][/


Suku bunga yang rendah diharapkan mampu lebih memacu perekonomian yang kemerosotannya ternyata tidak separah prediksi banyak analis.
Pada kuartal II-2022, produk domestik bruto (PDB) Rusia berkontraksi sebesar 4% (yoy), lebih baik dari prediksi ekonom sebesar 5%.
Hasil survei terbaru dari Reuters juga menunjukkan sepanjang 2022 PDB Rusia diperkirakan akan berkontraksi 5%, jauh lebih baik dari prediksi bulan Juni 7,1%. Pada April lalu, Kementerian Keuangan Rusia bahkan memprediksi PBD 2022 akan berkontraksi 12%, terbesar sejak pertengahan 1990.
Namun nyatanya, perekonomian Rusia tidak merosot tajam. Lagi-lagi Amerika Serikat dan sekutu salah perhitungan.
Meski demikian, banyak ekonom melihat perekonomian Rusia akan mendapat masalah yang parah dalam jangka panjang.

Kini Eropa Malah Yang Ketar-Ketir
Eropa kini semakin dihantui oleh resesi hingga stagflasi. Sebab, inflasi yang diperkirakan terus meroket akibat mahalnya harga energi.
Kondisi tersebut bisa lebih parah setelah Rusia akan menghentikan lagi penyaluran gas melalui, pipa Nord Stream 1.
Hal itu akan berlangsung dari 31 Agustus hingga 2 September. Perusahaan gas Rusia, Gazprom mengatakan ada masalah teknis dengan satu-satunya kompresor pipa yang tersisa membutuhkan perbaikan lagi.
Rusia memang telah secara drastis mengurangi pasokan gas alam ke Eropa dalam beberapa pekan terakhir. Aliran melalui pipa Nord Stream 1 yang saat ini beroperasi hanya 20% dari volume yang disepakati.

Moskow sendiri terus menyalahkan peralatan yang rusak dan tertunda atas penurunan tajam pasokan gas. Namun sejumlah negara seperti Jerman, sudah dengan lantang menyebut, hal ini sebagai manuver politik, merespon berbagai sanksi yang diberikan ke Rusia.
Dihentikannya pasokan tersebut membuat harga gas kembali melambung yang bisa mempertinggi inflasi.
Inflasi yang tinggi menggerus daya beli masyarakat, sementara suku bunga yang tinggi akan menunda ekspansi dunia usaha. Alhasil, perekonomian akan menjadi gelap.
Presiden Bundesbank, Joachim Nagel, memprediksi inflasi akan menembus dobel digit dan ke level tertinggi dalam 70 tahun terakhir. Harga listrik di Jerman mencatat rekor tertinggi sepanjang masa, naik tujuh kali lipat dibandingkan tahun lalu. Penyebabnya, harga gas yang meroket 10 kali lipat.

Inflasi di Jerman sendiri pada bulan Juli tercatat sebesar 7,5% yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, sementara di zona euro sebesar 8,9% yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa. Inflasi di Inggris bahkan sudah menembus dua digit.
Amerika Serikat juga menghadapi masalah serupa, meski pada bulan Juli inflasinya mulai menurun menjadi 8,5%, tetapi belum bisa dipastikan apakah akan berlanjut atau berbalik menanjak lagi.
Nagel mengatakan suku bunga harus terus dinaikkan guna meredam inflasi meski risiko resesi semakin besar.
"Masalah inflasi tidak akan hilang di 2023. Disrupsi supply, tensi geopolitik masih akan berlanjut. Sementara Rusia mengurangi pasokan gas dengan drastis, harga gas alam dan listrik sudah naik lebih tinggi dari perkiraan," kata Nagel, sebagaimana dilansir Financial Times, Minggu (21/8/2022).

https://www.cnbcindonesia.com/market...erang?page=all


Diubah oleh xxx0857 26-08-2022 09:08
bang.toyip
shast777
muhamad.hanif.2
muhamad.hanif.2 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
3.4K
50
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
AbeebShirazyAvatar border
AbeebShirazy
#15
kuncinya ada pada kemandirian suatu negara..semenjak runtuhnya soviet rusia membangun kemandirian negaranya sehingga tidak bergantung pada negara lain.. andai negeri ini sadar akan melimpahnya SDA dan SDM berkualtas, dan mulai dikelola sendiri tanpa campur tangan negara lain..pasti bakal jadi negara adidaya berikutnya menyusul china..
muhamad.hanif.2
muhamad.hanif.2 memberi reputasi
1
Tutup