Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mahadev4Avatar border
TS
mahadev4
BANGKITNYA KUNTILANAK
Bangkitnya Kuntilanak 2
(Teror Hantu Dewi)

Cerita ini adalah sequel/lanjutan dari cerita Teror Hantu Dewi, jadi yang lihat thread ini tapi belum baca kisah sebelumnya mohon untuk membacanya terlebih dahulu, Klik Di Sini

Selamat Membaca....

Diubah oleh mahadev4 01-06-2022 17:08
wong.tanpo.aran
cungkermania
donif
donif dan 10 lainnya memberi reputasi
9
9K
61
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
mahadev4Avatar border
TS
mahadev4
#2
Bab 1. Kilas Balik
Udara malam mulai terasa dingin, namun tak membuat lelaki tua itu menyurutkan langkahnya menerobos lebatnya hutan. Sesekali ia terbatuk-batuk, kondisi tubuhnya memang sedang tidak fit. Ditangannya tergenggam sebuah senter kecil sekedar menerangi jalannya, di kejauhan terdengar lolongan anjing yang bersahut-sahutan, tetapi langkah-langkahnya begitu pasti pada tujuannya.

Orang-orang mengenalnya dengan nama Pak Purnomo, seorang warga desa Medasari, Rawajitu Selatan.

Pak Purnomo yang sekarang memang tak seperti saat mudanya dulu, kini ia mulai sakit-sakitan, padahal semasa mudanya dia dikenal sebagai seorang pendekar yang tak terkalahkan, dan di Pasar Pidada selama dalam pengaruh kekuasaannya tak ada yang berani berlaku macam-macam dengannya, Pak Purnomo tidak memiliki ilmu kebal, tetapi dia memiliki sebuah ajian yang telah sempurna dimilikinya, yaitu Ajian Pancasona. Siapapun yang memiliki ajian ini akan mampu membuat tubuhnya menyatu kembali setelah terluka atau terpotong. Ajian Pancasonanya telah sampai ditahap ke tiga, dimana sehancur apapun tubuhnya selama ada udara disekitarnya maka ia akan kembali menjadi wujud tubuh yang utuh dan hidup kembali.

Setelah berjalan kaki dengan terseok-seok Pak Purnomo akhirnya tiba di sebuah gua yang tak asing baginya, sudah sekian lama dia tak mengunjungi lagi gua ini, sebuah gua dimana dulu dia di tempa oleh gurunya yang bernama Wira Wisanggeni, yang lebih dikenal dengan panggilan Eyang Wisanggeni.

“Kenapa hanya berdiri saja di depan gua, Purnomo. Masuklah, sudah lama aku menunggumu.” Sebuah suara terdengar menggema dari dalam gua.

“Baiklah, Eyang. Aku akan masuk.”

Pak Purnomo menyingkirkan beberapa akar-akar pohon yang menjuntai di mulut gua lalu berjalan masuk. Sesampainya di dalam dilihatnya sang guru tengah duduk bersemedi di atas sebuah batu besar, ada yang aneh saat Pak Purnomo menyaksikan hal itu, karena batu besar yang menjadi tempat duduk sang guru terlihat berwarna merah membara dan mengepulkan asap, sementara empat buat batu yang berukuran lebih kecil menjadi penopang dari batu besar itu, sedangkan di bawah batu besar itu ada tumpukan kayu yang terbakar, kobaran api itulah rupanya yang membuat batu besar tempat duduk semedi gurunya menjadi berwarna merah membara.

Eyang Wisanggeni membuka kedua matanya perlahan, dan terlihatlah sorot matanya yang kini juga berwarna merah, tetapi perlahan berubah ke warna asalnya menjadi hitam seperti mata manusia pada umumnya.

Dia lalu menurunkan kedua kakinya dari duduk silanya dan melangkah ke arah Pak Purnomo, “Aku lihat kondisi fisikmu buruk sekali, Purnomo.”

“Iya, Eyang. Sebenarnya aku sedang sakit, tetapi karena Eyang memanggilku, tentulah ada urusan penting sehingga aku paksakan untuk tetap berangkat ke sini menemui Eyang.”

“Apa yang kamu pikirkan itu benar, Purnomo. Kalau tidak ada urusan penting tak mungkin aku memanggilmu lewat mimpi untuk datang ke gua ini.”

“Kalau begitu, urusan penting apa yang kini sedang Eyang hadapi?” tanya Pak Purnomo, terlihat jelas rasa penasaran yang terpancar di wajahnya.

Eyang Wisanggeni merentangkan tangannya ke depan, tiba tiba dari telapak tangannnya keluar asap putih yang makin lama semakin banyak dan berputar-putar membuat semacam lingkaran dihadapan mereka berdua. Dari kepulan asap itu lalu terlihat seraut wajah seorang pemuda gagah.

Pak Purnomo memandang wajah yang terlihat dari kepulan asap itu, diperhatikannya dengan lekat, “Siapa kiranya pemuda itu, Eyang?”

“Dia bernama Bagus Wicaksana, dialah yang pernah kumimpikan mampu mengalahkanku dan membunuhku, sayangnya dia memang cukup sakti, sehingga aku tak mampu melihat dimana keberadaannya, kalau bisa tentulah sudah sejak lama kutemui dan kuhabisi jiwanya.”

“Lantas, apa hubunganku dengan pemuda itu. Eyang?” tanya Pak Purnomo tak mengerti.

“Dalam beberapa hari ke depan aku mendapatkan terawangan bahwa dia akan datang ke desa Medasari tempat kamu tinggal.”

Asap yang menampakkan wajah pemuda bernama Bagus Wicaksana itu perlahan menghilang, Eyang Wisanggeni mengambil sebuah benda kecil dari dalam bajunya. Sebuah botol kecil berisi cairan berwarna hitam kental.

“Aku ingin meminta bantuanmu untuk melarutkan isi botol ini ke dalam minuman yang diminumnya, cairan hitam ini akan mengacaukan pikirannya dan melemahkannya, selanjutnya aku sendiri yang akan datang membunuhnya.”

“Hanya itu sajakah tugas yang harus kuemban, Eyang? Kenapa tidak biar aku saja yang menghabisinya?”

“Aku tidak meragukan kemampuanmu, Purnomo. Tetapi ini adalah urusanku sendiri, dia harus mati ditanganku. Ambil ini, dan pulanglah. Bukankah anakmu hari ini akan kembali dari Jakarta, aku merasa akan terjadi sesuatu dengan anakmu.”

Purnomo ingin bertanya lebih lanjut tetapi Eyang Wisanggeni telah bangkit dan berbalik, kembali ke arah batu dimana dia tadi duduk bersemedi.

Kini ada rasa cemas yang menggelayuti bathin Pak Purnomo, kalau saja tak diingatkan oleh gurunya tentang kepulangan anaknya yang bernama Dewi Anggraini hari ini maka masih banyak hal yang sebenarnya ingin ia tanyakan.

Pak Purnomo berjalan setengah berlari meninggalkan gua tempat gurunya, ia sangat khawatir akan keselamatan putrinya, Dewi setelah mendengar peringatan Eyang Wisanggeni tadi.

===

Secara tiba-tiba Pak Purnomo menghentikan langkahnya, telinganya kini awas mendengarkan semua suara yang ada di sekitarnya, dia yakin betul bahwa selama dia berjalan dan terkadang berlari tadi ada satu sosok yang mengikutinya secara diam-diam. Pak Purnomo membalikkan tubuhnya.

Tepat seperti dugaannya itu, karena kini dihadapannya berdiri sesosok lelaki setengah baya, memakai ikat kepala dengan motif batik, dipipinya terdapat semacam goresan panjang, seperti bekas luka.

Pak Purnomo langsung sadar siapa kiranya sosok yang sejak tadi mengikutinya itu, “Sukiyat, masih hidup kau rupanya ….”

Pak Purnomo cepat mengenali sosok itu dari luka di wajah dan ikat kepalanya, sosok itu memang Sukiyat adanya, saudara seperguruan dari Sena Wiraguna, Murid dari Datuk Linjau Buana alias Ki Rekso, kembali terbayang kejadian beberapa tahun silam saat Pak Purnomo berhasil membunuh Sena dan melukai Sukiyat dengan sebilah keris di wajah Sukiyat. (Kisah Pertempuran Pak Purnomo dengan Sena Wiraguna akan di ceritakan di cerita yang lain)

“Tentu saja, Purnomo, kalau pun aku mati, tentu aku akan menjadi setan gentayangan sebelum berhasil membunuhmu terlebih dahulu. Kedatanganku kali ini akan membalaskan kematian saudaraku, Sena, yang kau bunuh dengan keji itu.”

Pak Purnomo tak ingin berurusan lebih lama lagi dengan Sukiyat, dia langsung memasang kuda-kuda, bersiap akan serangan mendadak dari Sukiyat.

Memang tak butuh waktu lama, selesai berkata Sukiyat langsung merangsek ke depan dengan serangan bertubi-tubi berupa pukulan yang mematikan ke arah Pak Purnomo, tetapi walau Pak Purnomo kini telah sepuh dan sakit-sakitan, bukan berarti ia mudah untuk dikalahkan, gerakan-gerakan silatnya masih lincah dan gesit memapasi serangan-serangan dari Sukiyat.

Puluhan jurus sudah mereka lalui, Pak Purnomo sendiri semakin cemas, karena pikirannya jelas tak fokus untuk bertarung karena ia memikirkan nasib putrinya, Dewi Anggraini. Hingga pada satu kesempatan Sukiyat pun berhasil menyarangkan beberapa tendangan ke wajah dan perut Pak Purnomo.

Pak Purnomo terjengkang ke belakang dan tampak sekali dengan susah paya berusaha untuk bangkit, sementara hari sudah lewat tengah malam, langit yang semula bertaburan bintang gemintang itu kini berganti pekat karena tertutup awan gelap.

Sementara di kejauhan Sukiyat menengadahkan tangannya ke langit, tiba-tiba hujan lebat pun turun, dan sebuah petir menyambar tepat dikedua lengan Sukiyat, namun anehnya tubuh Sukiyat bukannya gosong justru kini seperti dialiri oleh medan listrik.

“Mampus kamu, Purnomo! Terimalah ajalmu hari ini dengan ajianku, Gelap Ngampar!” Baru saja Sukiyat berkata-kata, secara tiba-tiba di arahkannya kedua lengannya kepada Pak Purnomo, seketika itu juga keluarlah petir dari tangannya yang langsung menghantam tubuh Pak Purnomo. Pak Purnomo Sendiri tak sempat mengelakkan serangan itu, hingga tanpa bisa dicegah lagi tubuh Pak Purnomo langsung hancur terpanggang panasnya petir yang keluar dari tangan Sukiyat.

“Hahaha … Tidak sia-sia aku memperdalam ilmuku ke tanah Jawa, ternyata begini dahsyatnya akibat dari serangan Ajian Gelap Ngampar yang kupelajari,” kata Sukiyat seraya tertawa terbahak-bahak karena kini musuh besarnya telah berhasil dia musnahkan tanpa berbentuk lagi.

Sukiyat lalu berjalan pergi meninggalkan tepian hutan, menyeruak lebatnya hujan malam itu. Namun yang tak disadari oleh Sukiyat adalah bahwa perlahan-lahan potongan daging dari tubuh Pak Purnomo itu bergerak saling mendekat, sampai akhirnya menyatu sempurna kembali menjadi sosok Pak Purnomo tanpa ada sedikit pun luka yang ada di tubuhnya.

Tetapi walau pun tubuh Pak Purnomo telah kembali utuh dan hidup kembali, dia tetap tak bergerak, dia seperti pingsan, mungkin itu karena efek dari keganasan serangan Ajian Gelap Ngampar.

Tubuhnya yang terbaring di pinggiran hutan itu menjadi basah kuyup oleh lebatnya hujan malam itu, sementara di suatu tempat, pada waktu yang sama, putri tercintanya Dewi Anggraini telah dirudapaksa beramai-ramai oleh Ilung dan kawan-kawannya serta dibunuh dan ditinggalkan begitu saja digubukan tengah sawah.

===
Araka
danjau
69banditos
69banditos dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup