WARNING!!!
Thread original! Dilarang mengcopy, mengutip, memperbanyak, dan atau mengunggah sebagian atau seluruh isi thread ini dalam bentuk apapun dan di media manapun tanpa terkecuali! Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi tegas!
Dendam kesumat yang tak berkesudahan, hanya akan berujung pada sesal dan pederitaan!
Prolog
Wonogiri, awal Oktober 1976
Hari masih gelap. Namun suara kokok ayam jantan mulai terdengar bersahut sahutan, pertanda bahwa pagi mulai datang menjelang. Samar, gema adzan Shubuh berkumandang dari Musholla yang berada di sudut desa Margopuro.Namun suasana di desa itu terlihat masih sepi. Jam jam segini, orang orang lebih memilih untuk merapatkan selimut dan melanjutkan mimpi indah mereka, daripada memenuhi panggilan untuk melaksanakan ibadah itu.
Udara dingin khas pegunungan, menjadi faktor utama yang menyebabkan warga desa Margopuro itu enggan untuk keluar rumah di pagi buta. Apalagi hujan deras yang mengguyur semalam, masih menyisakan gerimis rintik rintik di pagi itu. Kalaupun ada sebagian warga yang tergerak hatinya untuk memenuhi panggilan sholat itu, maka mereka lebih memilih untuk beribadah di rumah saja.
Desa Margopuro memang sebuah desa terpencil yang terletak di kaki Gunung Kambengan. Sebuah gunung kecil yang menjadi bagian dari pegunungan seribu yang membentang dari timur ke barat di sebelah selatan desa. Tak heran kalau desa itu memiliki udara yang sangat dingin. Apalagi di saat pagi buta begini.
Tapi..., tunggu! Sepertinya tak semua warga desa Margopuro memiliki pemikiran yang sama, karena samar, ditengah keremangan dan rintik gerimis, nampak sesosok bayangan yang melangkah bergegas menusuri jalan setapak yang menuju ke arah gunung. Tak begitu jelas sosoknya, karena selain hari masih gelap, sosok itu juga berjalan tanpa membawa alat penerangan sama sekali. Sebagai gantinya, ada sebatang tongkat kayu yang tergenggam di tangan kirinya, yang sesekali ia gunakan untuk menyangga tubuhnya agar tak sampai jatuh tergelincir di jalanan yang licin berlumpur, dan di lain kesempatan ia gunakan untuk menyibak rumpun semak dan ilalang liar yang menjuntai ke tengah jalanan, agar tak menghalangi langkahnya.
Langkahnya begitu tegas dan pasti, juga sedikit terburu buru, sambil sesekali menoleh ke kanan dan kekiri, seolah khawatir kalau ada orang yang memergokinya. Gerak geriknya terlihat sangat mencurigakan. Sepasang kaki yang meski kecil tapi terlihat cukup kuat itu seolah memiliki mata, melangkah dengan lincah menghindari bebatuan sebesar kepalan tangan yang banyak bertebaran di jalan setapak yang menanjak menuju ke arah puncak. Hingga akhirnya, saat sudah hampir sampai di puncak, langkah sosok itu terhenti di depan sepasang makam tua yang berada di tempat itu. Makam, yang letaknya cukup tersembunyi diantara lebatnya semak berduri, dan hanya ditandai dengan onggokan bebatuan padas yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk dua empat persegi panjang yang saling berdampingan.
Sosok itu lalu berjongkok di depan kedua makam tua itu, menyalakan anglo yang berisi segenggam abu dapur dan beberapa butir kemenyan yang telah disiram dengan sedikit minyak tanah. Juga membuka bungkusan kembang setaman yang juga telah ia siapkan dari rumah, lalu menaburkan isinya keatas kedua makam itu, sambil mulutnya berkomat kamit menggumamkan kalimat kalimat yang tak begitu jelas terdengar.
Desau angin yang tiba tiba bertiup pelan menggoyang pucuk dedaunan, merontokkan embun embun yang menempel di permukaannya, menimbulkan suara bergemerisik seolah menyahuti bisikan samar yang keluar dari bibir sosok itu. "Tak lama lagi, semua dendam kalian akan terbalas! Dan kalian bisa beristirahat dengan tenang disini! Selamanya!"
Rintik gerimis mulai mereda, seiring dengan munculnya semburat warna jingga di ufuk timur sana, menerangi langkah si sosok itu menuruni jalan setapak, kembali ke arah desa.
Siapa sosok itu sebenarnya? Dan apa maksud serta tujuannya hingga sampai bersusah payah mengunjungi dua makam yang berada di puncak Gunung Kambengan itu di pagi buta dan ditengah rinai gerimis yang tak berkesudahan itu? Mari kita simak kisah selengkapnya, hanya di SFTH Kaskus, forum kita tercinta!
bersambung
Spoiler for Note:
--==***==--
--Cerita ini hanyalah fiksi semata.
--Selain nama gunung dan dua makam yang ada di puncaknya,semua nama tempat dan lokasi kejadian yang ada di dalam certa ini hanyalah rekaan belaka. Demikian juga dengan tokoh, karakter, dan kejadian kejadian yang ada dalam cerita, semua murni hasil imajinasi TS sebagai si penulis cerita.
--TS sama sekali tak ada niat untuk menimbulkan kesan buruk terhadap pihak manapun. Justru sebaliknya, dengan mengambil setting lokasi cerita dari sebuah tempat yang ada di daerah TS, TS berharap bisa sedikit lebih memperkenalkan potensi wisata dan kekayaan alam yang ada di daerah TS.
--Gunung Kambengan bukanlah gunung yang angker, meski ada dua makam di puncaknya. Justru sebaliknya, memiliki panorama alam yang sangat luar biasa indah. Bagi agan dan sista yang penasaran dan ingin berkunjung kesana, monggo, TS jamin kalian nggak akan pernah kecewa.
--Untuk info lebih lanjut tentang gunung ini, bisa dilihat di mesin pencarian a.k.a mbah gugel.
Galih menatap tak berkedip ke arah tamu yang baru datang ke rumah Anjar sore itu. Seorang laki laki paruh baya yang mengendarai sepeda onthel dan memboncengkan seorang anak perempuan berusia sekitar sembilan tahunan.
Tak ada yang istimewa dari laki laki itu. Berperawakan sedang dengan baju batik lengan panjang dan celana bahan, lengkap dengan peci hitam yang bertengger diatas kepalanya, serta kacamata bergagang keemasan yang bertengger di wajahnya, penampilan laki laki itu lebih mirip seorang pegawai negeri daripada seorang dukun.
Wajahnya juga biasa biasa saja. Tak ada kesan aneh atau seram seperti yang Galih bayangkan sebelumnya. Justru sebaliknya, wajah itu, meski terlihat lelah karena habis menempuh perjalanan yang lumayan jauh, (hampir 20 km jarak antara Kedhung Jati, desa tempat laki laki itu tinggal dengan desa Margopuro)namun wajah itu masih menampakkan kesan teduh dan berwibawa. Dan anak perempuan yang diboncengnya itu, dukun macam apa yang bawa bawa anak saat sedang melaksanakan tugasnya?
"Ini dukun yang kau maksud Prap?" Bisik Galih pada Prapto yang berdiri di sebelahnya. Ia yang dari awal memang sudah tak setuju dengan usul Prapto untuk meminta bantuan kepada orang pintar, semakin tak yakin melihat penampilan laki laki asing itu.
"Ssstttt...!!! Sudah kubilang kalau ia bukan dukun, tapi orang pintar," desis Prapto tajam.
"Tapi..."
"Sudah diam! Jangan berisik!" Prapto menghardik, karena sang tamu kini telah berjalan mendekat kearah mereka.
"Maaf Nak Prapto, agak telat ini saya datangnya," laki laki itu tersenyum ramah dan menyalami Galih dan Prapto secara bergantian.
"Ndak papa Pak Guru. Pak Guru sudah berkenan datang saja kami sudah sangat berterimakasih kok. Ayo Pak, langsung masuk saja. Semua sudah menunggu didalam," Prapto menyambut laki laki itu dan mempersilahkannya masuk. Sementara Galih masih terbengong bengong tak tau mesti berkata apa. Akhirnya, ia dan Praptopun ikut masuk.
Suasana di gubuk Anjar nampak begitu semarak sore itu, karena semua orang memang berkumpul disana. Pakdhe dan Budhe Margono, Paklik dan Bulik Harno, Ajeng, Arum, dan juga beberapa tetangga dekat yang masih peduli dengan nasib Anjar, semua berkumpul untuk sekedar menemani gadis yang sedang berduka itu.
Dan kehadiran laki laki asing yang dipanggil Pak Guru itu, seolah membawa harapan kepada semua orang yang ada disitu. Kecuali Galih dan Anjar. Galih masih belum percaya dengan segala hal yang berbau klenik seperti dukun atau semacamnya. Sementara Anjar, gadis itu seolah sama sekali tak peduli dengan kehadiran orang orang di rumahnya, dan lebih memilih untuk mengurung diri di dalam biliknya.
Duduk diatas tikar yang digelar diatas lantai tanah, Pakdhe Margono selaku wakil dari tuan rumah segera menyampaikan maksud dan tujuannya hingga sampai mengundang laki laki bernama Pak Guru Sholeh itu datang ke gubuk ini. Laki laki setengah baya itu nampak mendengarkan dengan serius. Sementara Galih, entah mengapa perhatiannya justru tertuju pada gadis cilik anak si dukun yang nampak malu malu menyembunyikan wajahnya dibalik punggung sang ayah.
Gadis cilik yang sangat cantik. Kulitnya putih bersih, tak seperti anak desa kebanyakan. Rambutnya yang lurus sepanjang pinggang diikat kebelakang dengan menggunakan pita warna putih. Matanya yang bening dan sedikit sipit, nampak sesekali melirik ke arah Galih, seolah tau kalau sedang diperhatikan oleh pemuda itu.
Hati Galih sedikit tersirap manakala tatapan matanya bersirobok dengan lirikan gadis cilik itu. Entah mengapa, ia merasa ada yang aneh dengan lirikan mata gadis itu. Seolah sorot mata gadis itu tepat menembus ke relung hatinya.
"Ya. Saya sebenarnya tak begitu yakin kalau bisa membantu Pak. Karena memang saya hanyalah manusia biasa yang sama sekali tak tau menahu soal hal hal yang seperti ini. Seharusnya tadi, Mas ipar saya yang ingin dimintai tolong sama Nak Prapto, karena memang beliaulah yang sedikit ngerti tentang hal hal berbau mistis seperti ini. Tapi apa boleh buat, Mas ipar saya sedang tidak ada dirumah, dan anak saya ini, tiba tiba saja merengek minta untuk ikut datang kemari," ucapan Pak Guru Sholeh memecah suasana.
"Dan anak saya ini, meski kata orang dia memiliki kelebihan, tapi saya sendiri sebagai bapaknya juga tak begitu yakin. Karena biar bagaimanapun dia masih anak anak. Tapi mudah mudahan suasana hati Ndhuk Ratih sedang baik, hingga nantinya bisa sedikit membantu. Ndhuk cah ayu..." laki laki itu merengkuh tubuh anak perempuannya dan membawanya kedalam pangkuannya. Si gadis hanya menundukkan wajahnya, seolah enggan untuk menatap wajah wajah asing orang di sekelilingnya.
"Bapak bapak dan ibu ibu, juga mas mas dan mbak mbak ini, mereka baru saja kehilangan neneknya. Kira kira kamu tau ndak, neneknya itu sekarang ada dimana?" Tanya laki laki itu sambil membelai rambut sang anak.
"Eh, apa apaan..." Galih mendesis. Namun ucapannya tertahan karena Prapto dengan cepat segera menyikut pinggangnya.
"Kau sudah tau kan sekarang, anak itulah yang akan membantu kita," bisik Prapto.
"Tapi..."
"Kau ingat peristiwa pembantaian warga satu kota beberapa tahun yang lalu?"
"Yang masalah sengketa tanah itu?"
"Ya. Menurut desas desus, gadis bernama Ratih itulah pelakunya. Meski tak ada bukti, tapi aku percaya. Jadi jangan remehkan gadis cilik itu!"
"Edan!"
(Kisah tentang si bocah ajaib ini bisa agan dan sista bacaDisini)
"Neneknya siapa yang hilang?" Untuk pertama kalinya gadis itu bersuara. Juga mengangkat wajahnya. Hingga untuk pertamakalinya Galih bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu. Wajah yang benar benar cantik. Dan suaranya juga terdengar sangat merdu.
"Neneknya...," Pak Guru Sholeh menoleh ke arah Pakdhe Margono.
"Jeng, tolong panggil Anjar kemari," Pakdhe Margono yang tanggap segera menyuruh Ajeng untuk membujuk Anjar agar mau keluar dari dalam kamar. Bukan pekerjaan mudah. Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya Ajeng berhasil mengajak Anjar keluar dari dalam kamar.
"Mbak cantik," gadis cilik itu tiba tiba beringsut mendekat ke arah Anjar yang baru saja duduk dan menggenggam tangannya erat erat. "Mbak cantik jangan sedih. Neneknya Mbak itu, sekarang baik baik saja. Dia ada diatas gunung sana."
Deg! Hampir semua jantung orang yang berada di ruangan itu berdetak lebih cepat. Dan hampir semua semua mata orang yang hadir di ruangan itu tertuju ke arah si gadis kecil bernama Ratih itu. Tak terkecuali dengan Anjar. Gadis itu menatap lekat lekat ke arah si anak yang baru pertama kali dilihatnya itu.
Ratih mengangguk. Bibir tipis gadis cilik itu menyunggingkan seulas senyum. Senyum yang sangat manis, dan mampu menenteramkan hati siapapun yang melihatnya.
"Kau tau dimana nenekku?" Tanya Anjar dengan suara bergetar
"Ya." Lagi lagi Ratih mengangguk dan tersenyum. "Dia diatas gunung sana. Sedang berdoa di depan makam kembar."
"Kalau begitu...."
"Tidak!" Si gadis cilik menahan tangan Anjar yang bermaksud untuk bangkit berdiri. "Bukan Mbak cantik yang harus menjemputnya. Dan bukan sekarang waktu yang tepat untuk menjemputnya."
"Hmmm..., lalu?"
"Mas itu," Ratih menoleh dan menunjuk ke arah Galih, membuat pemuda itu tercekat seketika. "Mas itu yang harus menjemputnya. Dan tidak sekarang, tapi nanti, setelah bulan muncul dan berada tepat diatas kepala."
"Eh, aku?" Galih mendelik ke arah gadis cilik itu. "Kenapa harus aku? Dan kenapa harus tengah malam?"
"Galih!" Pakdhe Margono dan Paklik Harno hampir serempak berseru ke arah Galih sambil mendelik, membuat pemuda itu menjadi salah tingkah.
"Eh, bukan begitu maksudku Pakdhe, tapi..."
"Karena njenengan sudah berjanji kepada Mbak cantik ini untuk menemukan dan membawa pulang neneknya!" Gadis cilik itu kembali berujar lembut.
"Emmm..., iya sih, tapi kan..."
"Jangan khawatir Mas! Nanti kita jemput sama sama neneknya Mbak cantik ini."
"Kita?!"
"Ya. Aku dan Mas Galih. Hanya berdua. Karena memang cuma kita berdua yang bisa menjemput dan membawanya pulang."
Galih terdiam. Menjemput Mbah Pariyem ke atas gunung di tengah malam buta, bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Sedikit banyak ia sudah tau seperti apa sikap nenek tua itu. Juga kejadian aneh yang sekarang ini sedang menimpanya. Dan ditambah dengan harus mengajak seorang gadis kecil berusia sembilan tahun, Galih tak yakin kalau ini adalah pilihan yang bagus.
"Jangan takut Mas," gadis cilik itu kini beralih mendekat dan menggenggam tangan Galih. "Percayalah, Ratih akan menjaga Mas Galih diatas gunung sana. Jadi tak perlu ada yang ditakutkan."
"Emmm, bukannya aku takut adik manis, tapi...," Galih berpikir sejenak. Sepertinya ia memang tak punya pilihan lain. Gadis kecil ini, sedikit banyak ia mulai percaya bahwa anak ini bukanlah anak sembarangan. Tapi membawanya naik keatas gunung ditengah malam buta?
Tapi janji tetaplah janji. Janji yang telah ia ucapkan kemarin kepada Anjar, meski ia mengucapkannya secara tak sadar karena sedang dilanda emosi, sepertinya memang harus ia tepati.
"Ya, saya sama sekali tak keberatan kalau memang harus menjemput Mbah Pariyem malam nanti," kata Galih akhirnya. "Tapi apa nggak apa apa kalau saya harus mengajak adik ini? Maksud saya, dia masih terlalu kecil. Dan...."
"Tak apa Nak Galih," Pak Guru Sholeh menengahi, juga sambil tersenyum. "Saya sepenuhnya percaya pada anak saya. Dan saya juga percaya, Nak Galih juga bisa menjaga Ratih, karena saya sudah dengar, selama ini Nak Galih cukup bisa menjaga adik perempuan Nak Galih itu."
"Apa tidak sebaiknya saya juga ikut Pak?" Pakdhe Margono menyela.
"Tidak!" Ratih menukas tegas. "Hanya aku dan Mas ini yang malam nanti boleh naik ke gunung. Kalau tidak, maka nenek itu tak akan mau muncul!"
"Bagaimana Galih? Apa kau sanggup?" Tanya Pakdhe Margono.
"Ya, Galih sanggup Pakdhe," ujar Galih akhirnya. "Kalau memang hanya itu cara satu satunya, akan Galih lakukan, apapun resikonya!"
"Bagus! Itu baru anaknya Mas Marsudi!" Paklik Harno mengacungkan ibu jarinya. "Sekarang lebih baik kamu bersiap siap dulu Galih."
"Ya. Dan mulai sekarang, kuserahkan Ratih kepadamu Nak. Ajak dia, turuti saja apa yang ia katakan, dan sebisa mungkin penuhi apapun yang ia minta. Percayalah, anak bapak ini anak yang penurut dan nggak pernah rewel kok," ujar Pak Guru Sholeh.
"Aku mengandalkanmu Galih! Tepati semua janjimu Galih, maka aku juga akan menepati semua ucapanku!" Anjar berkata dengan nada yang sangat tajam, setajam tatapan matanya ke arah Galih.
Galih hanya bisa menghela nafas. Sepertinya malam ini akan menjadi malam panjang yang melelahkan dan penuh petualangan baginya. Sanggupkah ia memenuhi semua harapan dari semua orang yang hadir di ruangan itu? Ah, sepertinya senyum gadis cilik itu cukup untuk memberinya sebuah jawaban.
Ya! Bersama gadis cilik misterius ini, sepertinya semua akan baik baik saja!
bersambung
Spoiler for :
Note :
di cerita aslinya, orang pintar yang dihubungi oleh Prapto sebenarnya bukanlah Bu Ratih kecil, melainkan orang lain. Namun karena yang bersangkutan enggan untuk dimasukkan kedalam cerita ini, maka tokohnya ane ganti menjadi sosok Bu Ratih kecil. Mudah mudahan para reader berkenan, toh kebetulan timming dan latar lokasinya juga pas banget.