Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Permintaan maaf Belanda perlu 'kompensasi" atas aksi brutal tentara pada 1949
Permintaan maaf Belanda perlu diikuti 'kompensasi moril, materiil' kata anak saksi mata aksi brutal tentara pada 1949

Serdadu Belanda maju ke kota Magelang, Jawa Tengah pada 4 Januari 1949 untuk memburu pejuang-pejuang kemerdekaan RI.

Sejumlah pihak yang terdiri dari keluarga korban, politikus di DPR, serta sejarawan berharap permintaan maaf Perdana Menteri Belanda Mark Rutte atas "kekerasan ekstrem" tentaranya pada 1945-1949 diikuti oleh "langkah konkret".

Salah seorang anak saksi mata dari aksi brutal Tentara Belanda di Rengat, Riau pada 5 Januari 1949 berharap ada "kompensasi moril dan materil" dari pemerintah Belanda.

"Saya kira tidak cukup dengan minta maaf, pemerintah Belanda harus melakukan hal kongkret, seperti apa yang dia lakukan terhadap korban Westerling [di Sulawesi Selatan] dan korban di Rawa Gede," kata Panca Setyo Prihatin saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, Jumat (18/02).

Oleh sebab itu, sejarawan dari Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso mengatakan permintaan maaf Belanda itu harus direspons secara baik oleh pemerintah Indonesia, dengan mengutamakan kepentingan korban.

"Pemerintah harus memfasilitasi kalau ada sesuatu yang diinginkan oleh korban. Belum tentu mereka minta (kompensasi) uang, mungkin mereka sudah menerima ini sebagai suratan takdir dan ingin membangun sesuatu yang baik, kita harus mendengarkan mereka," kata Bondan kepada wartawan BBC News Indonesia, Nicky Aulia Widadio.

Sementara itu, Anggota Komisi Bidang Hukum dan HAM DPR RI, Nasir Jamil juga mendesak pemerintah segera merespons permintaan maaf tersebut.

Pada Jumat (18/02), BBC News Indonesia telah menghubungi Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, yang mengatakan pemerintah sedang menyusun respons atas hal ini.

Sebelumnya, PM Belanda Mark Rutte menyatakan "permintaan maaf mendalam" menanggapi hasil penelitian tiga lembaga penelitian berjudul "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950" yang menyebutkan ada pembiaran terjadinya kekerasan ekstrem.

Rutte mengatakan permintaan maaf juga disampaikan kepada orang-orang di Belanda yang terdampak kekerasan ekstrem yang terjadi di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Permintaan maaf 'tidak cukup'

Panca Setyo Prihatin mengatakan keluarga korban mengapresiasi permintaan maaf PM Belanda, namun "hal itu tidak cukup".

"Saya kira tidak cukup dengan minta maaf, pemerintah Belanda harus melakukan hal kongkret, seperti apa yang dia lakukan terhadap korban Westerling [di Sulawesi Selatan] dan korban di Rawa Gede," kata Panca.



Jurnalis Belanda, Anne-Lot Hoek (kiri), mendatangi kota Rengat dan mewawancarai Panca Setyo (kanan), anak salah-seorang saksi mata dalam peristiwa 1949 di Rengat.

Saat melakukan penyerangan ke Rengat pada 5 Januari 1949, sejumlah saksi mata dan laporan-laporan dari Belanda, pasukan khusus Belanda juga membunuh warga sipil.

Berdasarkan keterangan saksi mata, serangan itu menyebabkan antara 1.500 dan 2.000 orang di Rengat - sebagian besar warga sipil - terbunuh. Adapun dokumen militer Belanda menyebut warga yang terbunuh tercatat 120 orang.

Salah-seorang laskar pejuang yang terbunuh adalah adik dari ayah Panca Setyo. Sang ayah, Wasmad Rads, adalah anggota laskar pejuang Indonesia ketika serangan itu terjadi. Dia selamat setelah bersembunyi di gorong-gorong.

"Kejahatan perang itu tidak bisa berhenti pada permintaan maaf, tapi juga harus dihitung sebagai kerugian moril dan materiil," ujar pria kelahiran 1971 ini.

Sebagai langkah awal, Panca mengharapkan pemerintah Indonesia segera merespons permintaan maaf PM Belanda itu dan mendengarkan tuntutan keluarga korban.

Hal itu dia tekankan, karena khawatir pemerintah pusat tidak mengetahui dampak "kekerasan ekstrem, sistematis dan meluas" oleh Tentara Belanda terhadap keluarga dan keturunan korban.

"Jadi, saya mengharapkan pemerintah pusat mendengarkan pula tuntutan keluarga korban," ujar dosen sebuah perguruan tinggi di Pekan Baru, Riau ini.

Pemerintah Indonesia harus segera merespons

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Jamil, mendesak pemerintah Indonesia agar segera merespon permintaan maaf pemerintah Belanda atas "kekerasan ekstrem" tentaranya di masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949.

Hal itu ditekankan Nasir Jamil, karena sudah ada tuntutan dari keluarga korban kekerasan itu yang menuntut pemerintah Belanda agar memberikan kompensasi kerugian materi.

"Sekarang tinggal pemerintah Indonesia menyikapi [pernyataan permintaan maaf oleh PM Belanda] itu. Kalau kita diam saja, tidak bereaksi, ya, tentu Indonesia seperti ayam sayur," kata Nasir Jamil kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, Jumat (18/02).


Konten Sensitif


Pasukan payung Korps Pasukan Khusus Belanda siap diterjunkan di sebuah lokasi di Indonesia— tanpa ada keterangan waktu dan lokasi persis.

Dia mengharapkan agar pemerintah Indonesia tidak kemudian berujar seolah-olah "kekerasan ekstrem" tentara Belanda itu sebagai peristiwa "sejarah" belaka.

Lebih lanjut Nasir Jamil meminta pimpinan DPR agar mengundang Duta Besar Belanda untuk menjelaskan pernyataan permintaan maaf PM Belanda tersebut.

"Alangkah baiknya bila DPR bisa merespon permintaan maaf itu dengan cara mengundang Dubes Belanda untuk Indonesia," katanya.

Kehadian Dubes Belanda itu dibutuhkan untuk menjelaskan lebih detil tentang pernyataan permintaan maaf itu.

"Seperti apa pemintaan maaf terseebut dan apa latar belakang sebenarnya," ujarnya.

Dari keterangan Dubes Belanda itu, menurutnya, DPR bisa menyikapi apanya "hanya cukup dengan pemintaan maaf sehingga masalahnya selesai, atau ada hal-hal lain, dan didorong ke pemerintah untuk melakukan tindakan konkret."


Fasilitasi kepentingan korban

Menurut Sejarawan Bondan Kanumoyoso, permintaan maaf PM Belanda menunjukkan "itikad baik" untuk melihat "kekerasan ekstrem" pada 1945-1950 secara lebih adil, dengan mengesampingkan kepentingan politik dan mengangkat persoalan kemanusiaan.

Permintaan maaf itu, kata dia, harus segera direspons secara baik oleh Pemerintah Indonesia dengan mengutamakan kepentingan korban.

"Kita menyikapi dengan positif dulu permintaan maaf itu. Nanti langkah selanjutnya tentu arahnya keadilan bagi korban, bagaimana baiknya yang bisa mendamaikan apa yang selama ini jadi luka," kata Bondan.



Salah-satu foto dalam album foto yang ditemukan di tong sampah di Enschede, Belanda, menunjukkan eksekusi di Indonesia pada 1947.

Bondan juga setuju bahwa pernyataan maaf harus diikuti oleh langkah konkret, berupa kompensasi pada korban. Tetapi terkait bentuk kompensasinya, harus ditanyakan langsung kepada korban.

Sejauh ini, beberapa keluarga korban pembantaian tentara Belanda telah memenangkan gugatan untuk mendapatkan kompensasi, di antaranya keluarga korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan pada 1947 dan di Rawagede, Jawa Barat pada tahun yang sama.

Tetapi, Bondan mengingatkan masih banyak korban di berbagai daerah lainnya yang belum tersentuh, seperti di Rengat.

"Harus ditanyakan ke korban, apa yang mereka rasakan. Kalau mereka merasa apa yang dilakukan (Belanda) sudah cukup untuk (korban) Rawagede dan Westerling, tapi kan di tempat lain belum, masih banyak korban yang belum ditanya," ujar Bondan.

Selain itu, Bondan berharap permintaan maaf itu bisa menjadi titik awal "rekonsiliasi antara korban di Indonesia dengan pelaku orang-orang Belanda".

"Dengan demikian kita bisa bergerak maju, tidak lagi mengingat luka-luka ini," kata dia.

Permintaan maaf Perdana Menteri Belanda Mark Rutte atas "kekerasan ekstrem" tentaranya di Indonesia pada 1945-1949, memunculkan lagi ingatan atas kasus pembantaian orang-orang di Rawagede, Karawang, Jawa Barat, 1947.

Sebelas tahun silam, tepatnya 9 Desember 2011, pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada keluarga korban kasus Rawagede.

Diwakili Duta Besarnya untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan, pemerintah Belanda juga membayar uang ganti rugi bagi keluarga korban.



Tijeng (tengah), berusia 80-an, adalah janda korban pembantaian tentara Belanda di Rawa Gede. Dia memegang plakat kayu setelah menerima kompensasi dari pemerintah Belanda, 9 Desember 2011.

Ketika itu, pengacara para janda korban Rawagede, Lisbeth Zegveld, mengatakan pemerintah Belanda memberikan kompensasi sebesar 20.000 euro atau sekitar Rp243 juta per orang.

Kompensasi itu diberikan kepada sembilan orang keluarga korban kasus pembunuhan massal di Rawagede.

Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman, mengatakan keluarga korban saat itu menerima permintaan maaf itu, namun masih ada "ganjalan", karena tidak semua keluarga korban menerima kompensasi.

"Cuma sayang, [kompensasi] itu hanya sebatas kepada janda-janda yang masih hidup," kata Sukarman dalam wawancara kepada BBC News Indonesia, dalam dua kesempatan berbeda, Jumat (18/02) dan Sabtu (19/02).



Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman, mengatakan keluarga korban saat itu menerima permintaan maaf itu, namun masih ada "ganjalan", karena tidak semua keluarga korban menerima kompensasi.

"Tapi keluarga korban, anak atau cucu lainnya [tidak dapat kompensasi]. Mereka tetap ingin [kompensasi]," tambahnya.

Sebagai 'jalan keluar', menurutnya, pihaknya saat itu kemudian menyisihkan sebagian kecil uang kompensasi untuk diberikan kepada 171 orang perwakilan keluarga korban lainnya.

"Masing-masing akhirnya dapat Rp5,2 juta per orang," ungkapnya.

Kini, setelah PM Belanda meminta maaf kepada rakyat Indonesia, Sukarman kembali mengharapkan agar anak dan cucu keluarga lainnya mendapat kompensasi pula.

"Setelah bapaknya terbantai, kehidupan ibu untuk membesarkan anak-anaknya [berat sekali]," ujarnya.

"Jadi, wajarlah kalau pemerintah Belanda memberikan (kompensasi) di luar janda yang masih hidup," jelas Sukarman.

Pada 1947, tentara Belanda membantai tidak kurang dari 430 orang di Rawagede, sebuah desa yang terletak antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat, yang sekarang bernama Balongsari. Diorama peristiwa ini masih dapat disaksikan di desa tersebut.

Pemberian kompensasi dan permintaan maaf kepada korban Rawagede berdasarkan putusan pengadilan sipil di Den Haag Belanda, 14 September 2011.

Pengadilan sipil itu mengabulkan gugatan janda korban dengan tergugat Pemerintah Kerajaan Belanda.

Saat itu, para hakim memutuskan ganti rugi hanya diberikan kepada individu-individu yang melayangkan gugatan.

Di atas kertas, keputusan Rawagede bisa membuka kasus-kasus lain yang terjadi antara periode 1945-1949.

Di sinilah, Sukarman kemudian mengisahkan ulang 'jalan panjang' saat dirinya ikut terlibat mendampingi keluarga mengajukan gugatan.

"Saya ikut Belanda bolak-balik, termasuk membawa saksi yang masih hidup," katanya.



Dubes Belanda untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan menaburkan bunga di makam korban Rawagede sebagai bentuk simbolis permintaan maaf, 9 Desember 2011.

Dia lantas menggarisbawahi bahwa saksi dan bukti menjadi faktor penting untuk mengajukan gugatan.

"Di Rawagede kan [saat itu], korban yang ditembak masih ada, jandanya juga ada, saksi mata [yang menyaksikan kejadian] juga ada. Data otentik itu penting," paparnya.

Tentu saja, Sukarman tidak lupa menyebut Komite Utang Kehormatan Belanda yang disebutnya membantu selama proses gugatan hukum itu.

Dia juga mengatakan 'dukungan' dari pemerintah daerah dan pusat menjadi penting ketika proses gugatan itu berlangsung hingga keputusannya keluar.

Peristiwa Rawagede terjadi pada 9 Desember 1947. Ketika itu sekitar 300 tentara berupaya menangkap Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi Divisi Siliwangi.

Dalam operasi pencarian pasukan Belanda justru melakukan pembunuhan massal terhadap sekitar 431 warga Rawagede, tetapi pemerintah Belanda hanya mengakui 150 orang yang tewas.
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-60430227


Pemerintah hati-hati secara harus paham betul konteks penelitian yang digarap para peneliti Belanda dan permintaan maaf PM Mark Rutte. Terlebih Belanda punya investasi besar di Indonesia sehingga harus tanggapi secara tepat terlebih masalah kompensasi yang digaungkan DPR

Ketika para korban Rawa Gede menuntut Pemerintah Belanda, Pemerintah Indonesia tidak mau ikut-ikutan  Hanya Pemda.. Kemungkinan takut mengganggu hubungan diplomasi kedua negara. Dan di keputusan pengadilan, semua korban dianggap warga negara Belanda secara Belanda tidak mengakui kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Sudah sejak hari Jumat pernyataan Mark Rutte dan bergulir panas di Belanda antara kelompok pendukung dan kontra seperti para veteran dan konservatif. Di sini isu hangat bagi korban militer Belanda. Kemenlu masih mempelajari hal ini dan jika diajukan kompensasi para korban Belanda, ada potensi keluarga korban pembantain militer Indonesia meminta juga  seperti isu yang bergulir di mana anak korban pembantaian 1965- 1966 meminta Indonesia minta maaf. Belum dihitung potensi dari Aceh, Timor Leste, dan Papua

nomorelies
ralphhin
muhamad.hanif.2
muhamad.hanif.2 dan 2 lainnya memberi reputasi
1
1.4K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
wiskey31Avatar border
wiskey31
#14
Krn yg ngomong org PKS maka seharusnya indonesia yg memberi kompensasi kpd pihak belanda
gmc.yukon
suroto.sedih
muhamad.hanif.2
muhamad.hanif.2 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup