galuharum2021Avatar border
TS
galuharum2021
KUHIDUPI SUAMI DAN KELUARGANYA
"Dek, pulsa Mas habis. Tolong belikan, ya," ujar Mas Reno.

"Iya."

Ini ke sekian kalinya ia meminta pulsa padaku. Semenjak Mas Reno di PHK, kerjanya hanya bermain game saja. Niatan mencari pekerjaan seperti tak terbesit di kepalanya. Ia berpikir mungkin karena aku bekerja, jadi santai saja tak berpikir untuk mencari pekerjaan lebih cepat.

Enam bulan sudah ia di rumah dan menghabiskan waktu bermain game Online. Seperti kalong, malam tak tidur dan pagi hari ia memejamkan mata seperti pekerja yang baru saja pulang shift malam.

"Dek, kamu dengar nggak, sih?" tanya Mas Reno lagi.

"Dengar, Mas. Cuma malas saja beli in kamu pulsa." Aku menjawab sembari membersihkan muka bekas make -up..

Beberapa saat ia tak bertanya lagi. Bagus deh, ia sadar kalau memang aku tak mau memberikan pulsa lagi untuknya. Untuk apa hanya memanjakan parasit di rumah, sementara aku sibuk bekerja dan menghidupi diri sendiri.

"Dek, kalau aku nggak beli pulsa, bagaimana aku mau cari pekerjaan?"

Aduh, aku pikir sudah selesai merengeknya. Ternyata Mas Reno diam sedang merangkai kata. Kenapa harus alasan itu terus? Kemarin juga seperti itu pekerjaan menjadi alasan untuk meminta kuota pulsa.

Aku mengambil ponsel di nakas, lalu membuka aplikasi dan mengisikan pulsa untuknya. Dia memelukku tak henti sebagai tanda terima kasih. 

Aku mendesah, mungkin belum rezeki Mas Reno mendapat pekerjaan. Aku harus sabar, ini ujian pernikahanku. 

"Dek, Ibu telepon tadi, beras di rumah habis, minta tolong belikan dulu. Nanti kalau aku sudah bekerja, kuganti semua. Sekalian kubelikan kamu emas," ucap Mas Reno.

"Iya, Mas. Besok aku besok pagi aku kasih uangnya."

"Terima kasih, Sayang. Kamu memang istriku yang terbaik. Saat suami susah, kamu sabar, Dek."

Aku hanya tersenyum miris mendengar ucapan Mas Reno. Teringat obrolan tadi siang di kantin kantor bersama Nina. 

"Suami kamu belum bekerja juga, Wid?"

"Belum. Susah cari pekerjaan zaman sekarang. Sabar ajalah, aku."

"Ih, aku mah ogah jadi kamu. Kerja banting tulang, cuma buat menghidupi suami yang menganggur dan keluarganya. Aduh, buru-buru cari kerja aja, deh."

Lamunanku terhenti saat mendengar dengkuran Mas Reno. Kutatap pria di sampingku, apa, iya, dia memanfaatkan aku? Sudah enam bulan dia hanya di rumah dan bermain ponsel. Jika ditanya sudah melamar kerja atau belum, jawabannya hanya sudah lewat email.

Semakin lama tabunganku semakin tipis. Selama menikah lima tahun dengan Mas Reno, kami belum juga dikaruniai anak. Sementara, mereka sudah banyak bertanya.

Pekerjaanku sebagai sekretaris membuat aku tak punya banyak waktu untuk bercengkerama di ranjang. Begitu juga Mas Reno, dia selalu larut pulang malam. Saat ditanya kapan mau ke dokter, jawabannya nanti saja.

Kalau sekarang, uang untuk ke dokter lebih baik kupergunakan untuk sehari-hari. Aku sempat marah karena setelah di PHK, tak ada tabungan yang tersisa. Ketika ditanya, dia hanya menjawab untuk kebutuhan kuliah adiknya dan ibu mertuaku.

Aku hanya mengelus dada mencoba sabar. Mungkin ini ujian naik level. Akan tetapi, makin hari semakin membuat aku pusing.

Rena, adik Mas Reno sering kali Wa meminta uang untuk membeli buku dan beberapa foto copy untuk bahan kuliah. Bukan aku pelit, tapi itu sudah melampaui budget keuanganku. Sementara, hanya aku yang bekerja.

Kusingkap selimut dan mencoba memejamkan mata. Lelah dengan semua pekerjaan, terutama nasib rumah tanggaku sekarang. Andai saja secepatnya Mas Reno dapat pekerjaan, mungkin aku tidak akan mengeluh seperti ini.

***

"Dek, bangun."

Aku menggeliat saat tubuhku diguncang-guncangkan Mas Reno. Sehabis salat subuh, aku masih mengantuk dan tak sadar terlelap kembali.

"Bangun, Dek. Ada ibu di luar."

Aku terkesiap, buru-buru bangun kemudian gegas aku turun dari kasur. Tak bisa membayangkan wajah ibu mertua di luar sudah seperti apa saat tahu aku baru bangun. Ada apa dia datang sepagi ini? Apalagi ini hari libur.  

Benar dugaanku, Ibu mertua sudah bertolak pinggang. Aduh, masih pagi aku sudah sarapan ocehan Ibu. 

"Kamu baru bangun?" tanyanya dengan nada agak meninggi.

"Iya, habis salat subuh ketiduran, Bu."

"Weleh, istrimu bagaimana, No. Pemalas, bukannya buat sarapan untuk suami malah asyik tidur."

"Aku lagi kurang enak badan, Bu."

"Alasan saja. Bilang kalau malas, walaupun kamu bekerja harus tahu kodrat sebagai seorang istri. Layani suami, jangan mentang-mentang Reno nggak kerja kamu malas-malasan."

Astagfirullah. Ke sekian kali dada terasa sesak mendengar penuturan Ibu. Apa selama ini yang kulakukan kurang untuk keluarga Mas Reno?

Sebegitu bencikah Ibu padaku, hingga sesuka hati dia memaki aku. Apa kesalahan ini membuat dia mencap aku sebagai istri pemalas?

"Nggak begitu, Bu. Aku hanya sedang lelah, jadi mau istirahat dulu."

"Aduh, nggak usah membela diri, mana sini Ibu minta uang buat beli beras. Bukannya diantari," cercanya tanpa peduli perasaanku.

"Iya, sebentar aku ambil uang dulu." Aku gegas masuk ke kamar mengambil selembar uang seratus ribu. 

Kuserahkan uang pada Ibu, menyebalkan sekali Mas Reno hanya asyik dengan ponselnya tanpa membela aku yang terpojok pagi ini. Benar-benar aku merasa seperti sapi perah untuk keluarga Mas Reno.

"Seratus ribu aja?" tanya Ibu lagi.

"Aku belum gajian, Bu. Kemarin buat bayar Mba Lastri," jawabku.

"Aduh, ngapain pakai tukang gosok, memang kamu nggak bisa gosok sendiri? Biar hemat, Wid. Lagi pula, itu tugas istri."

"Nggak ada waktu, Bu."

"Zaman sekarang maunya enak aja."

Aku hanya mengelus dada mendengar Ibu mencerca aku. Kulirik Mas Reno yang tetap diam sambil menonton TV kali ini.

Setelah puas dan mendapat uang dariku, Ibu beranjak pulang. Baru dua hari lalu Rena meminta uang. Sekarang Ibu yang datang untuk mengambil uang. Apes benar pagi-pagi udah kena omel.

"Mas, kamu kok diam aja aku di omelin Ibu?"

"Bukan diam aja, kamu tahu sifat Ibu nggak suka dibantah. Nanti malah tambah panjang omelannya. Kamu mau begitu?"

Aku membenarkan ucapan Mas Reno, tapi tidak juga harus diam saat aku di cerca Ibu. Setidaknya dia membela aku, bukan hanya asyik dengan ponselnya.

Geram aku melihat semua kelakuan suami dan keluarganya. Sampai kapan aku harus sabar? Aku hanya berharap Mas Reno berubah dan cepat mencari pekerja. 

Badai ini pasti berlalu cepat, aku hanya perlu bersabar menghadapi semua yang digariskan Allah. Mungkin, besok mentari akan menyambut riang. 

"Dek, aku lapar, buatkan makanan."

Ingin sekali aku melempar ponsel suamiku ke bak mandi yang penuh air. Susah payah aku bekerja, dia hanya bisa menyuruh dan meminta.

Aku menarik napas panjang, lalu gegas ke dapur. Saat kubuka isi kulkas hanya sisa telur satu buah. Apa stok sebanyak aku beli sudah habis?

"Mas, stok telur dan mie instan kok sudah habis?" 

"Iya, kemarin Rena ke rumah main sama temannya sambil belajar kelompok pakai laptop Mas. Pada masak mie," jawab Mas Reno.

Astaga naga, aku pun harus membiayai teman-temannya pula? 






bukhorigan
Rainbow555
jiyanq
jiyanq dan 2 lainnya memberi reputasi
3
2.7K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
galuharum2021Avatar border
TS
galuharum2021
#2
Aku lelah menghadapi mereka yang tak punya otak. Suami malas, keluarganya pun terus merongrong aku. Dipikir aku sapi perah mereka apa?

Mulai sekarang sepertinya aku harus tegas menghadapi mereka. Aku bangkit untuk mandi dan salat subuh.  Aku menoleh sebentar, melihat Mas Reno asyik tertidur. Bagaimana mau menjemput rezeki kalau tidur baru jam tiga pagi asyik bermain game Online.

Kubangunkan salat saja tak akan bangun. Pantas rezeki kabur darinya dan berimbas padaku. Gemas aku sama keluarga Mas Reno. Biarlah suatu saat dia akan menyesal membuat aku menderita.

Setelah mandi aku bergegas membuat sarapan untuk diri sendiri. Tak seperti biasa aku selalu membuatkan untuk Mas Reno, kali ini biar saja dia kelaparan. Mungkin dia akan kenyang dengan hanya bermain game online.

Aku bisa bayangkan jika dia membuka tudung nasi hanya ada sebuah kertas dariku. 

'Maaf, Mas, uangku habis. Kamu cari makan sendiri, ya. Seperti aku mencari makan untuk diriku sendiri.'

Untuk saat ini aku puas dan tak bisa membayangkan pula ekspresi wajah suamiku. Pasti dia marah besar, lalu mengadu pada ibunya. Biar saja, semoga Mas Reno sadar dan mau mencari pekerjaan yang layak. 

"Mas, aku jalan kerja dulu," panggilku pelan.

"Hmm ...." 

Benar, kan, dia hanya menjawab seperti itu. Boro-boro mau mengantar aku, kadang pulang saja malah orang lain yang menawarkan aku. Masih bersyukur aku memandang dirinya, kalau tidak lumayan tumpangan juga, tak ke luar ongkos.

Tak penting juga aku memikirkannya. Mulai sekarang tak ada yang gratis. Aku tak mau menyetok makanan. Biar si Rena tak ke rumah menghabisi stok makananku.

Belum juga sampai kantor sebuah pesan masuk dari Rena. Anak itu tak pernah di ajarkan sopan santun. 

[Mba, hari ini gajian, kan? Aku nanti minta buat beli buku. Kata Mas Reno, sekarang kalau minta untuk kebutuhan aku sama Mba Widya. Karena uang Mba juga uang Masku.]

Ck! Apa-apaan ini? Enak saja minta uang padaku. Uangku, ya, uangku. Bukan uang Kakaknya. Seenak jidat aja mengklaim semuanya.

Aku tersenyum tipis saat di kepalaku muncul ide bagus. Lihat saja kalian jika ingin meminta uang akan kubuat kalian bekerja keras. 

Aku memasukkan kembali ponsel ke tas dan cepat berlalu dari rumah sebelum Mas Reno bangun dan sadar tak ada makanan di rumah.

***

[Kamu mau buat aku mati kelaparan?]

Akhirnya sebuah pesan masuk dari Mas Reno membuat aku tertawa lebar. Selama ini aku sudah tahan dengan perlakuannya. Sekarang, kubuat kamu berpikir.

[Wid, kamu nggak sayang aku lagi sampai tega nggak buat sarapan?]

Cinta? Dia pikir selama ini karena cinta dia bisa buat aku menderita? Punya pikiran buntu sekali Mas Reno. 

[Aduh, Mas, makanya cari Kerja.]

Pasti pas aku pulang nanti lebih parah  marahnya. Tak masalah, biar kapok jadi laki-laki masa mau enaknya aja. 

Waktu menunjukkan pukul 12.00. Perutku sudah terasa lapar, begitu juga Nina yang sudah menunggu di ambang pintu kantor.

"Makan siang apa?"

"Lihat aja nanti."

Aku dan Nina bergegas ke kantin kantor. Beberapa karyawan sudah memenuhi tempat ini, aku memindai sekeliling ruang mencari bangku kosong untuk kami duduk.

"Di sana," ajakku pada Nina saat melihat bangku kosong.

Nina mengikuti aku, sepertinya aku harus makan banyak untuk mengumpulkan tenaga untuk berdebat dengan Mas Reno.

Mumpung gajian tak ada salah memanjakan diri sendiri. Nanti lebih baik aku mampir ke salon, merelakskan otak kepala. Dari pada uangnya untuk mereka yang hanya menadah. 

"Wid, ada lowongan buat OB. Suamimu mau nggak, tuh?"

"OB di mana?" tanyaku berbalik.

"Di lantai 10 CV Prima. Kalau mau aku punya kenalan di sana."

"Aku tanya Mas Reno dulu."

"Alah, urgen mah nggak usah tanya. Langsung suruh datang bawa CV aja. Dari pada kamu jadi tulang punggung suamimu dan keluarganya. Aku sih ogah."

"Iya."

Nafsu makanku jadi mendadak hilang mendengar penuturan Nina. Mau taruh di mana wajahku saat dia bicara menyedihkan seperti itu.

"Aku salah ngomong, Wid?"

"Eh--nggak, kok. Bener sih, tapi jangan gitu. Aku berasa jadi orang bodoh selama ini."

"Nah, itu tahu."

Nina memang hobi mengutarakan langsung apa yang ada di pikirannya. Akan tetapi, jangan seperti itu juga terus terang membuat aku merasa bodoh selama lima tahun menjalani pernikahan dengan Mas Reno. 

Ah ... sudahlah, kuhabiskan makanan ini. Namun, bagaimana nasib suamiku? Apa aku tidak terlalu keras padanya? Apa dia makan sekarang?

"Jangan melamun, wanita itu diciptakan menjadi tulang rusuk, bukan tulang punggung. Aku sih kalau jadi kamu mending gugat cerai. Cari suami baru yang kaya."

Lagi, aku hanya bisa tersenyum miris mendengar penuturan Nina. Enak jadi dia, kalau ngomong asal jiplak tanpa pikir panjang dan pikir apa orang itu tersinggung atau tidak. Lihat, lahap sekali dia makan tak berpikir perubahan wajahku yang masam.

Aku merasa tertampar dua kali oleh temanku ini. Ibu satu anak itu memang selalu seperti itu, tapi apa yang diutarakannya selalu benar. Ya, contohnya kali ini. 

"Iya, Nin, kalau aku cerai carikan aku jodoh kaya, ya."

"Siap. Tenang, mau model apa? Sama Pak Erlan juga bisa kucomblangi."

Pak Erlan? Mimpi saja aku. Dasar Nina kalau bicara tak berpikir panjang, bosku itu memang tampan. Ah ... jadi sekretarisnya saja sudah senang.

"Ngaco kamu."

Aku melanjutkan kembali makan siang yang begitu sulit untuk kutelan. Beribu pikiran tentang ucapan Nina yang nyelekit dalam, tapi sangat benar adanya. 

Kelakuan Mas Reno seperti tak peduli dengan kelangsungan hidup rumah tangga kami. Semakin hari dia begitu cuek. Apa game Online membuat dirinya malas untuk bekerja? 

Selama enam bulan dia menganggur, belum pernah aku melihat dia pergi mencari lowongan. Mas Reno selalu bicara kalau dia sudah melamar lewat Online. 

Akan tetapi, nyatanya tak kunjung bekerja. Malah lebih sering nongkrong atau memegang ponsel. Bahkan, tidur malam hanya demi mencari kuota malam untuk game onlinenya.

Siapa yang tak kesal, bagaimana mau punya keturunan? Lebih baik tidak usah dari pada dia terus menjadi pemalas. Besok aku sepertinya harus ke Dokter Kandungan minta KB agar tak hamil saat ini. 

Ponselku berdering, terlihat nama Mas Reno di benda pipih ini. Segera aku angkat kalau tidak dia pasti terus mengomel.

"Halo, Dek, hari ini kamu gajian, kan? Mas jemput, ya? Sekalian kita belanja bulanan buat stok makanan."

Tiba-tiba kepalaku semakin pusing mendengar ucapan suamiku. Begitu antusiasnya dia saat aku gajian tanpa memedulikan rasa malu tak menafkahi aku.

"Dek, kamu masih dengar suaraku, kan?"

***
BERSAMBUNG

Follow aja akunku ya Teman ....



rinandya
MFriza85
pohonrindang11
pohonrindang11 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup