- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami
私のスレッドへようこそ
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!
Quote:
Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):
Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):
Spoiler for PERATURAN:
1. Cerita ini adalah kisah nyata yang terjadi di hidup gue dan Emi (@dissymmon08), tapi mohon maaf kami nggak menulis keseluruhan kejadian aslinya demi kepentingan privasi. Namun semua cerita di sini telah kami pilah sebagaimana mestinya agar tidak merusak jalannya cerita.
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 
7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:
HAPPY READING! 
Quote:
Original Posted By yanagi92055►
TERIMA KASIH BANYAK GANSIS READERS SEMUANYA. DENGAN APRESIASINYA TRIT INI BERHASIL HT UNTUK PERTAMA KALINYA. SEMOGA PRESTASI INI DAPAT MENJADI SEMANGAT UNTUK KAMI MENGEMAS CERITA MENJADI SEMAKIN SERU UNTUK DIBACA DAN DIIKUTI.
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.8K
3K
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#467
Jelang Final_Part 6a
Pikiran Gue dan Emi tercampur aduk. Kami emosi karena kami seakan dipalak oleh dinas yang seharusnya membantu kami yang ingin melakukan hal yang baik dan kedua kami diminta untuk nikah di KUA!
Memang tidak ada yang salah dengan menikah di KUA. Apalagi kami tidak akan dikenakan biaya sepeserpun jika pernikahan kami dilakukan di KUA. Tapi kalau tahu akan dilakukan di KUA, buat apa menikah jauh-jauh di kampung halaman keluarga Emi? Kenapa tidak KUA dekat rumah Emi atau rumah gue saja?
Gue meminta waktu untuk menghubungi Mama terlebih dahulu. Gue menjelaskan situasi yang terjadi saat itu. Gue butuh second opinionterkait hal tersebut. Rp1.500.000,- memang uang yang tidak terlalu besar bagi keluarga gue. Mereka bisa saja protes dan berebutan buat ngebayarin biaya itu sambil bilang “Si Ija nggak punya duit segitu? Sini gue aja yang bayarin.” Tapi permasalahan utama gue adalah biaya yang harus dikeluarkan tidak segitu.
Dalam PP Nomor 48 tahun 2014 tersebut disebutkan, nikah atau rujuk jika dilaksanakan di kantor KUA pada hari dan jam kerja, maka tidak dipungut biaya nikah atau gratis. Sementara jika nikah atau rujuk dilakukan di luar kantor atau di luar hari dan jam kerja, biaya nikah tersebut adalah sebesar Rp600.000,-.
“Rp600.000,- masuk negara, terus Rp900.000,- sisanya mau masuk kemana lagi?!” bisik gue pada Emi.
“Om, saya keluar dulu buat ngehubungin Mama. Soalnya keluarga saya setuju aja kalo nikahnya di kampung halaman sini, tapi bukan berarti cuma di KUA aja, Om. Saya khawatir mereka kurang setuju kalo nikah di KUA doang.”
“Halah, sama aja, Ja. Hahaha. Kamu mau nikah aja segala milih-milih! Biasa, Pak. Anak muda suka banyak milihnya padahal mah sama aja kan ya?” Papanya Emi berusaha melakukan hal yang biasa ia lakukan pada Emi, mengabaikan pendapat gue dan Emi.
“Saya nggak milih-milih, Om. Tapi saya juga kasian sama ekspektasi keluarga saya. Kasian mereka jauh-jauh dari ibukota masa nikahnya di KUA?”
“Halah. Itu si Asep dulu nikahnya itu cuma di KUA sini doang, Ji. Nih Asep baru aja kirim SMS ke Om.” Beliau mencoba menunjukkan SMS dari adiknya tersebut. Andai gue bisa ngomong ‘I don’t give a f*ck, Om!’. “Kan enak kalau nikah di KUA, ntar tinggal makan-makan aja di rumah. Atau bisa bawa makanannya kesini, paling entar bayar biaya kebersihan aja paling. Gampang lah. Udah yah begitu aja?”
Gue segera menghentikan Papanya Emi. “Biarin saya ngomong sama keluarga saya dulu, Om. Pernikahan ini kan bukan cuma acaranya keluarganya Om aja. Keluarga besar saya juga ikut dateng kesini nanti, Om. Jadi, saya juga mikirinin kenyamanan mereka juga.” kata gue sambil keluar dari dalam ruangan.
“Hahaha. Biasa, anak muda.”
“Saya pamit ke belakang dulu, Pak.” kata bapak ASN tersebut yang ikut keluar bersama gue. Gue jalan ke depan kantor, biar pembicaraan gue tidak didengar oleh siapapun. Sedangkan beliau masuk ke dalam ruangan, tidak peduli juga dia mau ngelakuin apapun.
Gue menelpon Mama. “Halo, Ma?”
“Kenapa, Kak? Kamu udah sampe mana?”
“Ija udah sampe KUA nih, ini lagi ngurus buat penghulu sama tempat akad nikahnya.”
“Iya, terus gimana jadinya, Kak?”
Gue pun menjelaskan seluruh kejadian yang ada di KUA tadi. Mulai dari kantor yang kosong, biaya yang ditawarin, dan keputusan dari Papanya Emi tentang lokasi akad nikah. Mama paling kaget dengan biaya pernikahan yang dibebankan pada kami. Beliau sampai meminta Dania untuk memeriksa di internet mengenai biaya yang sebenarnya. Voila! Benar saja, biaya yang disebut Dania tersebut sesuai dengan apa yang disebut Emi. Berarti gue memang sedang mengalami pemalakan oleh oknum di KUA.
“Coba itu kamu urus dulu biaya nikahnya. Pastiin lagi biayanya. Kalo bisa, kamu minta tunjukin dimana aturan atau undang-undang yang nyebut kalo biayanya sampe kena Rp1.500.000,-! Pokoknya Mama nggak setuju kamu bayar segitu banyak! Biaya segitu tuh bisa nikahin anak orang lagi, Kak!” Well, tidak sesuai dugaan gue. Mama gue tidak menyepelekan biaya tersebut. Gue bisa dengar, Dania pun tidak terima dengan biaya tersebut.
“Iya, Ma. Ini sengaja Ija tunda dulu. Ija harap sih Emi yang masih di dalam sama Papanya bisa klarifikasi ulang biayanya.”
“Nah bener. Emi kan pinter kata kamu. Harusnya Emi jangan langsung iya-iya aja. Dia protes lah!” Gue agak kurang enak denger Mama bilang ‘… pinter kata kamu …’, seakan Mama kurang percaya dengan pernyataan gue selama ini. “Terus masa nikahnya nanti jadinya di KUA doang sih, Kak? Nanti itu rencananya keluarga kita kan banyak yang ikut. Barusan Ozy nelpon mau nyari bus loh, biar bisa keangkut semua dan nggak nyasar. Gimana tuh? Emang parkirannya muat nampung bus? Terus kamu nggak kasian sama adik-kakaknya Papa yang pada ikut? Masa mereka jauh-jauh kesana cuma buat liat kamu nikah di KUA doang? Entar nggak mau ada makan-makan gitu biar keluarga kita sama keluarga Emi berbaur? Mau dimana? Di KUA juga? Atau balik ke rumah kakeknya Emi? Apa jadinya nggak lebih ribet? Nggak dua kali kerja namanya?” Kali ini gue sependapat dengan Mama.
“Iya, Ma. Emi juga udah bilang kalo kita rencananya nikah di Masjid Agung depan alun-alun. Ija juga bilang ke Papanya Emi kalo Ija enggak setuju nikah cuma di KUA doang. Ija juga usahain kalau enggak di Masjid Agung ya dimana gitu yang tempatnya lebih gede. Syukur-syukur acara ramah tamahnya bisa sekalian di tempat yang sama, biar nggak ribet. Apalagi ini nanti Emi nggak pake EO kan. Semuanya keluarganya sendiri yang urusin. Soalnya mereka kan taunya ini akad doang. Resepsinya nanti. Pokoknya nggak di KUA!”
“Nah makanya itu. Tadi Om Reza, Om Dani, sama Ozy juga bilang ke Mama buat kasih tau kamu usahain di tempat yang agak gede. Takutnya keluarga kita mau banyak yang ikut. Apalagi kan udah lama kita nggak ada pesta pernikahan di keluarga. Terus lagi tadi tante-tante kamu pada bilang di grup katanya mau ikut sekalian jalan-jalan. Pada mau nyari batik, kulineran, sama ke tempat-tempat wisata lainnya. Udah lama kan pada nggak jalan-jalan bareng jarak jauh gitu, Kak. Semua orang excited banget sama trip buat ke acara akad nikah kamu. Jangan kecewain saudara-saudaranya Papa ya, Kak.”
“Ngerti, Ma. Makanya Ija juga mau usahain supaya bisa diadain di masjid deh paling nggak. Tempatnya jadi lebih gede. Itu kan baru itungan keluarga kita. Lah keluarga Emi gimana? Ini kan kampung halaman dia, otomatis pada dateng semua. Kalo mushola doang bisa sumpek nggak karuan.”
“Itu dia. Cobalah ya kamu omongin lagi. Itu bapaknya Emi susah banget diajak diskusi apa gimana, Kak?”
Walaupun hubungan gue dengan Mama tidak baik, tapi sepertinya Mama bisa merasakan ada yang tidak beres dengan Papanya Emi. Tidak biasanya gue meminta pendapat Mama. Semenjak gue mulai mengurus pernikahan pun, gue memang tidak banyak meminta pendapat beliau. Namun kali ini, gue ingin menceritakan kekesalan gue pada beliau.
“Bukan susah Ma. Tapi Bapaknya itu keras kepala.” Gue sengaja tidak membicarakan terkait pemaksaan resepsi pernikahan serta biaya resepsi pernikahan yang dibebankan pada gue dan Emi hingga membuat gue melakukan refinancing mobil yang sudah lunas gue beli. Kalo sampai gue keceplosan, bisa-bisa Mama langsung menyatakan tidak setuju pernikahan ini. Minimal, beliau akan lost respect pada calon besan beliau ini.
“Eminya juga bantuin ngomong dong, Kak.” kata Dania di belakang Mama. Suaranya terdengar agak jauh.
“Udah. Kan tadi gue bilang, Dan, Emi juga bantu ngomong. Yang ngejawab kalo akad nikahnya di Masjid Agung juga Emi. Tapi Emi itu selalu dianggep anak kecil sama bapaknya. Sekarang juga gue hampir nggak dianggep omongannya sama bapaknya. Untung aja gue teges ngomongnya, biar bapaknya tau kalo gue juga punya hak buat ngasih pendapat. Kalo nggak, udah setuju tuh nikah di KUA sesuai kemauan bapaknya Emi.”
“………” Sepertinya Dania dan Mama juga bingung harus bagaimana merespon pernyataan gue tersebut.
Gue kembali melanjutkan omongan gue. “Jadi, semua omongan Emi itu nggak pernah dan nggak akan didengerin sama bapaknya. Malah bapaknya itu lebih sering percaya omongan gue daripada Emi. Padahal omongan gue dan Emi kan selalu sinkron sama didiskusiin dulu. Tapi beda orang, beda tanggepannya di topik omongan yang sama. Kasian banget, Emi. Kecuali masalah KUA barusan ya. Gue juga emosi soalnya.”
“Oh iya bokapnya kayak gitu? Buset deh. Nggak percayaan amat sama anak sendiri.”
“Itulah kenapa dulu Emi yang udah dapet beasiswa buat kuliah di Malang sama Bandung, langsung ditolak mentah-mentah sama bokapnya karena dia saking nggak mau anaknya jauh-jauh dari anaknya. Selama kuliah, Emi juga nggak dibolehin ngekost. Jadi, tiap hari itu dia dianter jemput sama bapaknya naik motor ke kampus. Padahal jarak kampus ke rumah dia itu lumayan jauh.”
“Seriusan setiap hari kayak gitu? Gila niat amat. Antara sayang sama nggak percaya anak sendiri tipis ya. Hahaha. Eh tapi hebat juga si Emi itu bisa dapet beasiswa lebih dari satu. Setidaknya bisa milih gitu.”
“Ya gitu lah pokoknya…”
“Kak, pokoknya kamu usahain jangan akad di KUA, ya? Nikah di masjid deket rumah kakeknya juga nggak apa-apa kok. Yang penting masjidnya nyaman dan bukan mushola yak. Kasian kalo saudara pada nggak bisa ngeliat atau denger ijab kabulnya.”
“Iya, Ma.”
“Ya udah, kamu coba urus dulu. Entar keburu tutup KUA-nya.”
“Iya, Ma.”
“Semangat ya, Kak. Jangan lupa sholat, berdoa sama Allah biar dimudahin segala urusannya.” Ini jadi kali pertama Mama kembali mengingatkan gue setelah sekian lama Mama mengabaikan gue.
Memang tidak ada yang salah dengan menikah di KUA. Apalagi kami tidak akan dikenakan biaya sepeserpun jika pernikahan kami dilakukan di KUA. Tapi kalau tahu akan dilakukan di KUA, buat apa menikah jauh-jauh di kampung halaman keluarga Emi? Kenapa tidak KUA dekat rumah Emi atau rumah gue saja?
Gue meminta waktu untuk menghubungi Mama terlebih dahulu. Gue menjelaskan situasi yang terjadi saat itu. Gue butuh second opinionterkait hal tersebut. Rp1.500.000,- memang uang yang tidak terlalu besar bagi keluarga gue. Mereka bisa saja protes dan berebutan buat ngebayarin biaya itu sambil bilang “Si Ija nggak punya duit segitu? Sini gue aja yang bayarin.” Tapi permasalahan utama gue adalah biaya yang harus dikeluarkan tidak segitu.
Dalam PP Nomor 48 tahun 2014 tersebut disebutkan, nikah atau rujuk jika dilaksanakan di kantor KUA pada hari dan jam kerja, maka tidak dipungut biaya nikah atau gratis. Sementara jika nikah atau rujuk dilakukan di luar kantor atau di luar hari dan jam kerja, biaya nikah tersebut adalah sebesar Rp600.000,-.
“Rp600.000,- masuk negara, terus Rp900.000,- sisanya mau masuk kemana lagi?!” bisik gue pada Emi.
“Om, saya keluar dulu buat ngehubungin Mama. Soalnya keluarga saya setuju aja kalo nikahnya di kampung halaman sini, tapi bukan berarti cuma di KUA aja, Om. Saya khawatir mereka kurang setuju kalo nikah di KUA doang.”
“Halah, sama aja, Ja. Hahaha. Kamu mau nikah aja segala milih-milih! Biasa, Pak. Anak muda suka banyak milihnya padahal mah sama aja kan ya?” Papanya Emi berusaha melakukan hal yang biasa ia lakukan pada Emi, mengabaikan pendapat gue dan Emi.
“Saya nggak milih-milih, Om. Tapi saya juga kasian sama ekspektasi keluarga saya. Kasian mereka jauh-jauh dari ibukota masa nikahnya di KUA?”
“Halah. Itu si Asep dulu nikahnya itu cuma di KUA sini doang, Ji. Nih Asep baru aja kirim SMS ke Om.” Beliau mencoba menunjukkan SMS dari adiknya tersebut. Andai gue bisa ngomong ‘I don’t give a f*ck, Om!’. “Kan enak kalau nikah di KUA, ntar tinggal makan-makan aja di rumah. Atau bisa bawa makanannya kesini, paling entar bayar biaya kebersihan aja paling. Gampang lah. Udah yah begitu aja?”
Gue segera menghentikan Papanya Emi. “Biarin saya ngomong sama keluarga saya dulu, Om. Pernikahan ini kan bukan cuma acaranya keluarganya Om aja. Keluarga besar saya juga ikut dateng kesini nanti, Om. Jadi, saya juga mikirinin kenyamanan mereka juga.” kata gue sambil keluar dari dalam ruangan.
“Hahaha. Biasa, anak muda.”
“Saya pamit ke belakang dulu, Pak.” kata bapak ASN tersebut yang ikut keluar bersama gue. Gue jalan ke depan kantor, biar pembicaraan gue tidak didengar oleh siapapun. Sedangkan beliau masuk ke dalam ruangan, tidak peduli juga dia mau ngelakuin apapun.
Gue menelpon Mama. “Halo, Ma?”
“Kenapa, Kak? Kamu udah sampe mana?”
“Ija udah sampe KUA nih, ini lagi ngurus buat penghulu sama tempat akad nikahnya.”
“Iya, terus gimana jadinya, Kak?”
Gue pun menjelaskan seluruh kejadian yang ada di KUA tadi. Mulai dari kantor yang kosong, biaya yang ditawarin, dan keputusan dari Papanya Emi tentang lokasi akad nikah. Mama paling kaget dengan biaya pernikahan yang dibebankan pada kami. Beliau sampai meminta Dania untuk memeriksa di internet mengenai biaya yang sebenarnya. Voila! Benar saja, biaya yang disebut Dania tersebut sesuai dengan apa yang disebut Emi. Berarti gue memang sedang mengalami pemalakan oleh oknum di KUA.
“Coba itu kamu urus dulu biaya nikahnya. Pastiin lagi biayanya. Kalo bisa, kamu minta tunjukin dimana aturan atau undang-undang yang nyebut kalo biayanya sampe kena Rp1.500.000,-! Pokoknya Mama nggak setuju kamu bayar segitu banyak! Biaya segitu tuh bisa nikahin anak orang lagi, Kak!” Well, tidak sesuai dugaan gue. Mama gue tidak menyepelekan biaya tersebut. Gue bisa dengar, Dania pun tidak terima dengan biaya tersebut.
“Iya, Ma. Ini sengaja Ija tunda dulu. Ija harap sih Emi yang masih di dalam sama Papanya bisa klarifikasi ulang biayanya.”
“Nah bener. Emi kan pinter kata kamu. Harusnya Emi jangan langsung iya-iya aja. Dia protes lah!” Gue agak kurang enak denger Mama bilang ‘… pinter kata kamu …’, seakan Mama kurang percaya dengan pernyataan gue selama ini. “Terus masa nikahnya nanti jadinya di KUA doang sih, Kak? Nanti itu rencananya keluarga kita kan banyak yang ikut. Barusan Ozy nelpon mau nyari bus loh, biar bisa keangkut semua dan nggak nyasar. Gimana tuh? Emang parkirannya muat nampung bus? Terus kamu nggak kasian sama adik-kakaknya Papa yang pada ikut? Masa mereka jauh-jauh kesana cuma buat liat kamu nikah di KUA doang? Entar nggak mau ada makan-makan gitu biar keluarga kita sama keluarga Emi berbaur? Mau dimana? Di KUA juga? Atau balik ke rumah kakeknya Emi? Apa jadinya nggak lebih ribet? Nggak dua kali kerja namanya?” Kali ini gue sependapat dengan Mama.
“Iya, Ma. Emi juga udah bilang kalo kita rencananya nikah di Masjid Agung depan alun-alun. Ija juga bilang ke Papanya Emi kalo Ija enggak setuju nikah cuma di KUA doang. Ija juga usahain kalau enggak di Masjid Agung ya dimana gitu yang tempatnya lebih gede. Syukur-syukur acara ramah tamahnya bisa sekalian di tempat yang sama, biar nggak ribet. Apalagi ini nanti Emi nggak pake EO kan. Semuanya keluarganya sendiri yang urusin. Soalnya mereka kan taunya ini akad doang. Resepsinya nanti. Pokoknya nggak di KUA!”
“Nah makanya itu. Tadi Om Reza, Om Dani, sama Ozy juga bilang ke Mama buat kasih tau kamu usahain di tempat yang agak gede. Takutnya keluarga kita mau banyak yang ikut. Apalagi kan udah lama kita nggak ada pesta pernikahan di keluarga. Terus lagi tadi tante-tante kamu pada bilang di grup katanya mau ikut sekalian jalan-jalan. Pada mau nyari batik, kulineran, sama ke tempat-tempat wisata lainnya. Udah lama kan pada nggak jalan-jalan bareng jarak jauh gitu, Kak. Semua orang excited banget sama trip buat ke acara akad nikah kamu. Jangan kecewain saudara-saudaranya Papa ya, Kak.”
“Ngerti, Ma. Makanya Ija juga mau usahain supaya bisa diadain di masjid deh paling nggak. Tempatnya jadi lebih gede. Itu kan baru itungan keluarga kita. Lah keluarga Emi gimana? Ini kan kampung halaman dia, otomatis pada dateng semua. Kalo mushola doang bisa sumpek nggak karuan.”
“Itu dia. Cobalah ya kamu omongin lagi. Itu bapaknya Emi susah banget diajak diskusi apa gimana, Kak?”
Walaupun hubungan gue dengan Mama tidak baik, tapi sepertinya Mama bisa merasakan ada yang tidak beres dengan Papanya Emi. Tidak biasanya gue meminta pendapat Mama. Semenjak gue mulai mengurus pernikahan pun, gue memang tidak banyak meminta pendapat beliau. Namun kali ini, gue ingin menceritakan kekesalan gue pada beliau.
“Bukan susah Ma. Tapi Bapaknya itu keras kepala.” Gue sengaja tidak membicarakan terkait pemaksaan resepsi pernikahan serta biaya resepsi pernikahan yang dibebankan pada gue dan Emi hingga membuat gue melakukan refinancing mobil yang sudah lunas gue beli. Kalo sampai gue keceplosan, bisa-bisa Mama langsung menyatakan tidak setuju pernikahan ini. Minimal, beliau akan lost respect pada calon besan beliau ini.
“Eminya juga bantuin ngomong dong, Kak.” kata Dania di belakang Mama. Suaranya terdengar agak jauh.
“Udah. Kan tadi gue bilang, Dan, Emi juga bantu ngomong. Yang ngejawab kalo akad nikahnya di Masjid Agung juga Emi. Tapi Emi itu selalu dianggep anak kecil sama bapaknya. Sekarang juga gue hampir nggak dianggep omongannya sama bapaknya. Untung aja gue teges ngomongnya, biar bapaknya tau kalo gue juga punya hak buat ngasih pendapat. Kalo nggak, udah setuju tuh nikah di KUA sesuai kemauan bapaknya Emi.”
“………” Sepertinya Dania dan Mama juga bingung harus bagaimana merespon pernyataan gue tersebut.
Gue kembali melanjutkan omongan gue. “Jadi, semua omongan Emi itu nggak pernah dan nggak akan didengerin sama bapaknya. Malah bapaknya itu lebih sering percaya omongan gue daripada Emi. Padahal omongan gue dan Emi kan selalu sinkron sama didiskusiin dulu. Tapi beda orang, beda tanggepannya di topik omongan yang sama. Kasian banget, Emi. Kecuali masalah KUA barusan ya. Gue juga emosi soalnya.”
“Oh iya bokapnya kayak gitu? Buset deh. Nggak percayaan amat sama anak sendiri.”
“Itulah kenapa dulu Emi yang udah dapet beasiswa buat kuliah di Malang sama Bandung, langsung ditolak mentah-mentah sama bokapnya karena dia saking nggak mau anaknya jauh-jauh dari anaknya. Selama kuliah, Emi juga nggak dibolehin ngekost. Jadi, tiap hari itu dia dianter jemput sama bapaknya naik motor ke kampus. Padahal jarak kampus ke rumah dia itu lumayan jauh.”
“Seriusan setiap hari kayak gitu? Gila niat amat. Antara sayang sama nggak percaya anak sendiri tipis ya. Hahaha. Eh tapi hebat juga si Emi itu bisa dapet beasiswa lebih dari satu. Setidaknya bisa milih gitu.”
“Ya gitu lah pokoknya…”
“Kak, pokoknya kamu usahain jangan akad di KUA, ya? Nikah di masjid deket rumah kakeknya juga nggak apa-apa kok. Yang penting masjidnya nyaman dan bukan mushola yak. Kasian kalo saudara pada nggak bisa ngeliat atau denger ijab kabulnya.”
“Iya, Ma.”
“Ya udah, kamu coba urus dulu. Entar keburu tutup KUA-nya.”
“Iya, Ma.”
“Semangat ya, Kak. Jangan lupa sholat, berdoa sama Allah biar dimudahin segala urusannya.” Ini jadi kali pertama Mama kembali mengingatkan gue setelah sekian lama Mama mengabaikan gue.
khodzimzz dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup