Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Cad.. cad.. Baca deh…” Resti bicara sambil menyodorkan laptopnya ke arah gua.
“Apaan?” Tanya gua sambil meraih laptop dari tangannya dan meletakkannya di pangkuan. Layarnya menampilkan sebuah deretan tulisan di sebuah forum terkenal di Indonesia.
“Cerita…” Titahnya.
“Novel?” Tanya gua lagi, sambil memindai isi halaman yang tampil di layar laptopnya.
Gua menggaruk kepala dan mengernyitkan dahi. Kemudian mengembalikan laptop tersebut kepadanya. “Ah baca cerita.. disuruh baca expired date di botol minum aja gua males…” Ucap gua dengan maksud meledeknya. Sesungguhnya gua enggan menghabiskan waktu untuk membaca sebuah cerita; membosankan.
“Ah elo mah nggak seru…” Ucap Resti sambil kembali duduk di sebelah gua sambil memangku laptopnya.
“Gua balik ke kantor ya” Gua bicara kepadanya sambil berdiri dan meraih sweater dari sandaran sofa.
“Masih jam 1 kurang… Ntar aja sih…” Balas Resti, sementara matanya masih menatap layar laptop dan jari-jarinya sibuk mengetik sesuatu.
“Takut Wawan nyariin…” Ucap gua, kemudian menyempatkan diri mengusap kepalanya sebelum pergi.
“Bye…” Resti melambaikan tangan tanpa menoleh.
“Bye…”
Baru beberapa langkah gua meninggalkan pintu apartemen, terdengar suara langkah kaki berlari disusul suara pintu yang terbuka. “Ntar sore temenin gw, mau ya?” Tanya Resti melongok dari balik pintu.
“Jam berapa?” Tanya gua.
“Jam 3” Ucapnya sambil mengacungkan tiga jarinya.
“Ya gua belom kelar kerja lah jam segitu…”
“Yaudah ijin deh… ya.. ya.. mau ya…” Pintanya, kali ini sambil menyatukan kedua telapak tangannya.
“Liat ntar deh…” Jawab gua, kemudian pergi.
—
Gua berulang kali melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan angka 3. Kala itu, Wawan masih bicara perkara pekerjaan sambil menunjukkan jadwal maintenance pada layar laptopnya.
“Cad!” Wawan memanggil nama gua dengan setengah berteriak saat mengetahui gua berkali-kali melirik ke arah jam tangan dan ponsel.
“Hah? apaan?” Tanya gua, berlagak lugu.
“Udah… udah.. sana, pergi… dari pada badan lo disini, tapi pikiran lo kemana tau…” Ucapnya sambil berdiri dan menarik lengan gua.
Wawan meraih jaket dari sandaran kursi dan menyerahkannya ke gua, sementara kedua tangannya berusaha mendorong gua keluar dari ruangan.
“Tapi Wan, kerjaan gimana?” Tanya gua
“Gampang besok aja.. Udah sana. Sebel gua ngeliat lo merhatiin jam mulu dari tadi..” Ucapnya.
Gua tersenyum kepadanya. “Hehe, makasih ya”
Tadi siang, gua sudah mengutarakan maksud untuk ijin pulang cepat kepadanya. Namun, Wawan menolak, katanya masih ada pekerjaan buat gua. Padahal, sampai saat ini, gua hanya sibuk mendengarkan penjelasan-penjelasan retoris dari Wawan, yang sama sekali nggak menambah wawasan apalagi ilmu.
Ponsel gua berbunyi, layarnya menampilkan nama dan foto gua dan Resti; “Halo” Sapa gua.
“Dimana?” Tanya Resti di ujung sana.
“Masih di kantor” Jawab gua.
“Bisa nggak nemenin gw?” Tanyanya lagi.
“Bisa”
“Yaudah lo di sana aja, gw jemput di lobby ya…” Ucapnya kemudian mengakhiri panggilan.
Gua berdiri di depan lift saat sebuah panggilan terdengar keras di seantero ruangan; “Kak Icad” Feli lalu berlari menghampiri, di tangannya ia membawa sebuah kotak makan.
“Tadi pas istirahat aku cariin…” Ucapnya begitu tiba di dekat gua.
“Oh, gua makan di luar tadi…” jawab gua.
“Nih.. buat simpen buat nanti aja…” Feli bicara sambil menyerahkan kotak makan kecil ke arah gua.
“Eh.. tapi ini gua udah mau pulang…”
“Ya makan di rumah aja kalo gitu…” Ucapnya, sementara kedua tangannya masih memegang kotak makan yang ia arahkan ke gua.
Pintu lift terbuka; orang-orang yang berada di dalam lift mulai menatap kami berdua. Tatapan mereka seakan bicara; ‘Cepet, mau naek nggak?’ Gua buru-buru meraih kotak makan dari tangan Feli dan masuk ke dalam lift.
“Besok gua balikin kotaknya ya…” Ucap gua sebelum pintu lift mulai menutup. Feli lalu mengangguk sambil tersenyum.
—
Gua berdiri di teras lobby gedung, merokok sambil menunggu kedatangan Resti. Sementara tangan kiri gua menenteng kotak makan siang pemberian Feli. ‘Ini pasti nanti jadi bahan perdebatan dengannya’ batin gua dalam hati, sambil membayangkan betapa kesalnya Resti saat mengetahui Feli memberikan gua bekal makan siang.
‘Tin’ Terdengar suara klakson mobil Resti. Gua mematikan rokok dan bergegas masuk ke mobil.
Tebakan gua terbukti.
Baru saja duduk di kursi penumpang, gua langsung disambut pertanyaan darinya; “Apaan tuh?”
“Makanan” Jawab gua singkat.
“Dari cewek ganjen itu?” Tanyanya lagi, memberi penekanan pada kata ‘ganjen’.
“Feli” Gua membetulkan kata-katanya.
“Iya, siapalah namanya… kenapa lo terima?”
“Ya masa di tolak”
“Kenapa emang kalo di tolak?”
“Nggak enak…”
“Terus kalo nerima itu, menurut lo perasaan gw gimana?” Tanyanya
“Ya terus gimana?”
“Lo bilang dong ke dia, kalo udah punya pacar; cantik lagi…” Ucapnya ketus.
“...”
“... Apa perlu gw yang ngomong ke dia?”
“Udahlah Res, hal kecil kayak gini nggak usah diributin…” Pinta gua kepadanya.
Resti menoleh dan menatap gua tajam. Tiba-tiba ia memutar kemudi dan kembali masuk ke dalam gedung. Beberapa saat berikutnya, ia memarkir mobil di basement gedung, meraih kotak makan yang berada di pangkuan gua kemudian keluar dari mobil.
Gua bergegas turun untuk menyusulnya.
“Res, ini kayaknya nggak perlu deh…” Ucap gua sambil menarik lengannya.
“Iya, emang nggak perlu kalo hubungan kita belum kaya sekarang…” Balasnya sambil berusaha melepas genggaman tangan gua dan kembali melanjutkan langkahnya.
Gua menghela nafas. Dan kembali mengejarnya.
“Yaudah, sini biar gua yang ngomong. Lo tunggu aja di mobil…”
“Kalo elo bisa ngomong ke dia. Pasti udah lo lakukan tadi pas dia ngasih ini. Lo tuh bukannya nggak mau ngomong, tapi nggak bisa ngomong…” Ucapnya, kali ini sambil menekan tombol lift berkali-kali.
Sementara gua hanya bisa berdiri diam dan kemudian mengikutinya masuk ke dalam lift.
Terlihat seorang petugas keamanan yang berjaga di Basement mengejar kami berdua. Entah apa sebabnya.
“Lantai berapa?” Tanyanya ketus begitu kami masuk ke dalam lift yang kosong.
Gua nggak menjawab, hanya menekan angka pada tombol lantai tempat kerja gua. Pandangan gua lalu beralih ke sandal jepit yang digunakan Resti; ‘Oh ini dia alasan satpam tadi ngejar-ngejar kita’ gumam gua dalam hati.
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada tepat di depan counter resepsionis kantor.
“Mbak, Feli dimana duduknya?” Tanya Resti kepada resepsionis yang berjaga.
Sementara gua berdiri di belakang Resti sambil melambaikan tangan, memberikan kode agar ia nggak memberi informasi apa-apa tentang Feli. Resti menoleh ke arah gua, seakan tau akan apa yang gua lakukan. Ia mendengus kesal, kemudian memaksa masuk kedalam kantor. Gua kembali menyusulnya; “Res, jangan bikin ribut di kantor orang” Ucap gua sambil berbisik di sebelahnya.
Ia menghentikan langkah, dan menatap gua tajam. Tatapannya seakan ‘membunuh’ siapapun yang melihatnya; seperti medusa.
Resti melanjutkan langkahnya, sambil bertanya ke setiap orang yang ia temui. Sementara gua menjaga jarak dengannya dan tetap mengikuti dari belakang. Di saat seperti ini, iya gua akui, gua tampil layaknya seorang pengecut.
Setelah cukup mendapat informasi dari orang-orang yang ia temui, Resti bergegas menuju ke ruangan tempat Feli bekerja. Lagi, gua berusaha mencegahnya; “Res, please… gua aja..”
“Diem!” Bisiknya. Lalu membuka pintu ruangan dan mulai menatap berkeliling, mencari Feli. Begitu berhasil menemukan sosok yang dicari, Resti bergegas menghampirinya.
‘Brak!’ Resti membanting kotak makan milik Feli di atas mejanya. Suaranya membuat seisi ruangan menoleh ke arahnya. Namun memang orang-orang di ruangan ini agak ‘kurang empati’ mereka hanya terdistraksi sesaat, kemudian kembali menatap layar dan bekerja.
Feli yang terkejut, menoleh ke arah kami, sambil melepas headset di telinga ia bertanya; “Eh kenapa kak?”
Resti membungkuk, dan bicara sambil berbisik di telinga Feli. Sesaat kemudian, Resti kembali berdiri dan pergi sambil menarik lengan gua. Sementara, kedua mata Feli mulai berlinang. Sambil melangkah pergi gua bicara kepadanya tanpa suara; “Sorry…”
“Tadi keterlaluan sih” Ucap gua saat kami berdua sudah kembali berada di mobil
“Menurut gw nggak sih… Gw bahkan bisa lebih kasar dari tadi” Jawab Resti.
“Tadi lo bilang apa ke dia?” Tanya gua.
“Gw cuma bilang ke dia supaya berhenti terus berusaha deketin lo atau…”
“Atau apa?” Tanya gua penasaran.
“Atau lo gw tampar” Tambahnya.
Gua mengernyitkan dahi. Nggak mungkin ancaman selemah itu membuat Feli hampir menangis.
“Bohong” Gua menyangkal semua ucapannya barusan.
“Telpon aja orangnya kalo nggak percaya” Ucap Resti menantang gua.
Gua meraih ponsel dari dalam saku, berencana mengkonfirmasi perkataan Resti barusan. Baru saja mengeluarkan ponsel, Resti kembali angkat bicara; “Awas aja kalo berani nelpon dia lagi…”
“Lah, gimana dah…” Gua menggumam, dan kembali memasukan ponsel ke dalam saku.
Sepanjang perjalanan kami tenggelam dalam diam. Hanya lagu dari The killers yang terdengar dari pemutar musik pada dashboard mobil yang mengisi kekosongan. Resti menyetir dengan hoodie sweater abu-abu menutup kepalanya, sambil sesekali mengetukkan jarinya pada kemudi, seiring dengan irama musik. Sementara, gua merebahkan sandaran kursi dan berbaring dan melakukan hal yang sama dengannya; menutupi kepala dengan hoodie jaket dan mengetukkan jari mengikuti irama.
“Ya…” Jawab gua singkat, masih sambil bersandar dan menutupi kepala.
“Lo marah ya?” Tanyanya sambil menoleh sebentar ke arah gua.
“Apa bisa gua marah ke elo?” Gua balik bertanya.
“...”
Beberapa saat kemudian, kami tiba di pelataran parkir sebuah gerai waralaba di daerah Lebak Bulus. Gerai waralaba yang saat ini cukup populer di Jakarta, bahkan jadi tempat nongkrong yang nge-hits.
Resti memarkir mobilnya, menatap ke arah teras gerai dimana berjajar bangku dan meja besi berwarna hitam. Sosok pria yang sepertinya gua kenal terlihat duduk santai di salah satu kursi. “Lo mau tunggu disini apa mau ikut gw?” Tanyanya.
“Hmmm… itu cowok yang fotonya lo bakar kan?” Gua balik bertanya.
“Iya…” Jawabnya singkat.
“Si berandal itu kan?”
“Iya”
Gua mengangguk, kemudian kembali menyandarkan tubuh ke kursi dan menutup kepala dengan hoodie jaket. “Udah sana kelarin urusan lo. Gua tunggu disini aja…” Ucap gua pelan.
Resti menarik nafas panjang, sebelum keluar dari mobil.
“Eh, kunci sini… ntar kalo lo lama, kehabisan napas, mati gua…” Ucap gua sebelum Resti benar-benar keluar dari mobil.
Ia menurunkan sedikit jendela pada tiap pintu di mobil sebelum mematikan mesin dan menyerahkannya ke gua. Kemudian bergegas keluar, berjalan cepat menghampiri pria ‘berandal’ yang sepertinya memang duduk disana, menantinya.
Mereka lalu terlihat bicara dengan serius.
Beberapa saat kemudian, pandangan gua beralih ke sebuah sedan silver yang parkir tepat di seberang mobil tempat gua menunggu. Lalu, sosok perempuan dengan rambut sebahu dan setelan kantoran keluar dari dalam mobil.
Gua terperanjat; ‘Wah, ini cewek yang udah bikin gua mencret-mencret’ Batin gua dalam hati. Sambil berniat keluar dari mobil untuk menegurnya.
Namun, rencana gua padam saat melihat perempuan tadi berjalan mendekat ke arah Resti dengan si pria berandal dan bergabung dengan mereka. Setelah saling berkenalan, perempuan tadi mencium tangan si pria berandal dan duduk tepat di sebelahnya. Gua memicingkan mata, mencoba mengingat-ingat wajah pria berandal yang sepertinya pernah gua lihat.
‘Oh! Ini cowok yang waktu itu gendong anak jemput istrinya di tukang siomay’ gua bersorak dalam hati.
Waktu yang terbilang cukup singkat buat sekedar ngobrol santai, pikir gua begitu melihat Resti berdiri dan pergi meninggalkan mereka berdua, lalu berjalan cepat menuju ke mobil. Ia masuk melalui pintu bagian kemudi, dan menepuk bahu gua, agar kami bertukar posisi. Gua berniat keluar, memutar dan masuk melalui pintu kemudi, namun Resti dengan cepat mencegah gua. “Udah disini aja” Ucapnya sambil meloncat ke kursi belakang.
Gua berpindah ke kursi pengemudi, menyalakan mesin dan bergegas pergi. Sementara, Resti duduk di kursi belakang, bersandar sambil menghela nafas.
“Fyuih… Finally…” Ucapnya penuh kelegaan.
Melalui cermin di bagian atas, gua menatapnya; “Mau kemana lagi bos.. Gua udah terlanjur bolos, masa cuma jadi penonton…”
“Makan steak yuk…”
“Ayok!”
—
The Killers - Human
I did my best to notice
When the call came down the line
Up to the platform of surrender
I was brought, but I was kind
And sometimes I get nervous
When I see an open door
Close your eyes, clear your heart
Cut the cord
Are we human
Or are we dancer?
My sign is vital
My hands are cold
And I'm on my knees
Looking for the answer
Are we human
Or are we dancer?
Pay my respects to grace and virtue
Send my condolences to good
Give my regards to soul and romance
They always did the best they could
And so long to devotion
You taught me everything I know
Wave goodbye, wish me well
You've got to let me go
Are we human
Or are we dancer?
My sign is vital
My hands are cold
And I'm on my knees
Looking for the answer
Are we human
Or are we dancer?
Will your system be alright
When you dream of home tonight?
There is no message we're receiving
Let me know, is your heart still beating?
Are we human
Or are we dancer?
My sign is vital
My hands are cold
And I'm on my knees
Looking for the answer
You've got to let me know
Are we human
Or are we dancer?
My sign is vital
My hands are cold
And I'm on my knees
Looking for the answer
Are we human
Or are we dancer?
Are we human
Or are we dancer?
Are we human
Or are we dancer?