Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Kami berdua bersandar pada dinding sebelah pintu dengan nafas tersengal-sengal, setelah menggotong box container besar dari lift barusan. Resti berdiri membuka kunci pintu apartemennya kemudian masuk; membiarkan gua duduk bersandar sendirian. Nggak seberapa lama ia kembali keluar, kali ini dengan sebuah botol air mineral dingin di tangannya. Ia berlutut di sebelah gua, membuka tutup botol air mineral dan menyerahkannya ke gua.
“Thank you…” Ucap gua pelan sambil meraih pemberiannya.
Setelah minum dan istirahat sebentar, gua menyeret box container yang berisi barang-barang gua ke dalam apartemen milik Resti dan meletakkannya ke sudut ruangan.
“Bawa langsung ke kamar aja” Titahnya sambil menunjuk ke arah kamarnya.
“Hah?” Tanya gua memastikan, sementara kedua tangan gua masih berada di ata box container.
Gua menjatuhkan diri di sofa, kemudian mulai memijat tangan yang mulai terasa ngilu. Ya gimana nggak ‘ngilu’, ngipasin Resti tiga jam, nyetir dari Kosan ke sini, lalu menggotong box container. Resti menyusul duduk tepat di sebelah gua; “Capek?” Tanyanya.
“Ho oh” Jawab gua singkat.
“Mana sini, gw pijetin” Ucapnya sambil meraih lengan gua dan mulai memijat lembut.
Sementara Resti memijat lengan, gua menyandarkan kepala di sandaran sofa; “Kira-kira Bokap lo bakal ngomong apa kalo lo tiba-tiba balik ke rumah?” Tanya gua.
“Nggak tau…” Jawabnya singkat.
Baru sebentar memijat, ia lalu berdiri dan menarik lengan gua; “Sini gw ajarin make mesin cuci…” Ucapnya.
“Besok aja deh, gua capek…”
“Besok kan kita janjian sama Mas Karlan…” Resti bicara sambil tetap menarik lengan gua.
Ia lalu bicara panjang lebar tentang sistem dan cara kerja mesin cuci miliknya. Iya, dari dulu gua selalu nyuci sendiri, dan tentu saja menggunakan mesin cuci bukanlah hal yang harus dipelajari sebelumnya. Setidaknya itu pikiran gua dulu, sebelum melihat deretan tombol-tombol dan layar LED touchscreen pada mesin cuci milik Resti yang terlihat rumit.
“Gimana, gimana?” Tanya gua, memintanya untuk mengulang instruksi yang baru saja ia jelaskan.
“Iiiih… Makanya di simak kalo orang lagi ngomong…” Omel nya.
“...” Gua terdiam, menatapnya dengan pandangan penuh ketakutan.
Bukannya kembali menjelaskan, ia malah bergegas pergi. Kemudian kembali dengan bungkusan plastik yang berisi baju kotor gua.
“Nih, liatin…” Ucapnya setengah berteriak, sambil memperagakan cara menggunakan mesin cuci miliknya. Nggak mau kena omel lagi, kali ini gua memperhatikan dengan seksama.
“Paham?” Tanya Resti begitu ia selesai memberikan contoh.
“Lo nggak mau balik ke rumah Bokap lo malam ini kan?” Tanya gua sambil menatapnya.
“Kenapa emang?” Ia balik bertanya.
“Gapapa” Jawab gua pelan, kemudian berpaling dan melangkah kembali menuju ke sofa.
“Minta biar gw stay disini, dan gw bakal stay disini…” Ucap Resti pelan.
Gua menghentikan langkah begitu mendengar ucapannya. Kemudian gua berpaling dan kembali mendekat ke arahnya. Deru suara mesin cuci terdengar samar, saat mata kami saling menatap dari dekat. “Apa kata orang, cowok sama cewek yang belum nikah, tinggal satu atap?” Bisik gua di telinganya.
Resti menunduk, kedua tangannya memainkan ujung t-shirt yang ia kenakan; “Sejak kapan lo peduli apa kata orang? Tanyanya.
“Sejak saat ini” Jawab gua singkat.
“Kalo malem ini doang gapapa kali” Ucapnya pelan, sangat pelan hingga nyaris tenggelam oleh deru suara mesin cuci.
Gua nggak menjawab. Hanya tersenyum, kemudian mulai meraih bahu dan memeluknya. Sementara, Resti masih menundukkan kepalanya dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang gua.
Ia mendongak lalu menatap gua; “Yuk, kita beresin baju-baju lo” Ucapnya, kemudian melompat dan naik ke pangkuan, tangannya memeluk leher, sementara kedua kakinya dilingkarkan di pinggul gua.
—
Gua berbaring di atas ranjang Resti yang empuk sambil menatapnya yang tengah memindahkan satu persatu pakaian milik gua dari box container plastik ke dalam lemari miliknya.
“Lo mau ngeliatin aja, apa mau ikut bantuin?” Tanyanya tanpa melihat ke arah gua, sementara tangannya masih sibuk menata pakaian.
“Gua mau ngeliatin lo aja…” Jawab gua sambil tersenyum.
Mendengar jawaban gua, ia ikut tersenyum kemudian melemparkan pakaian ke arah gua; “Udah tidur aja sana…” Ucapnya.
Tiba-tiba, raut wajah Resti berubah. Ia mengeluarkan sebuah buku catatan bergambar Hello Kitty dari dasar box container yang kini kosong. Gua buru-buru bangkit dan meraih buku catatan tersebut dari genggamannya.
Lalu, kami berdua kembali saling menatap.
Buku catatan ini merupakan lambang kesedihan. Nggak cuma buat gua, tapi juga buat Resti.
Gua bergegas memeluknya, memberikan tepukan kecil di punggung sambil berbisik; “Besok gua buang bukunya”
Resti menggeleng; “Jangan” Ucapnya lirih.
Perlahan ia melepas pelukan gua; “Gw mau revisi permintaan gw waktu itu; Gw nggak mau lo lupain Sasa. Let's face it…” Ucapnya.
“...”
“... Gw baru sadar kalo ternyata ngelupain masa lalu tuh sesuatu yang mustahil. Justru hidup kita yang sekarang nggak bakal jadi kayak gini kalo masa lalu itu nggak ada… Masa lalu yang bikin kita jadi ‘kita’ yang sekarang” Tambahnya.
Gua mengangguk.
“... Jangan lupain Sasa ya” Pintanya.
“Ya…” Gua menjawab singkat.
Malam itu, kami berdua berbaring, berpelukan sambil membaca kembali buku catatan milik Larissa. Ada kalanya, Resti terisak dan menangis. Namun, tak jarang juga ia tersenyum dan menertawakan perlakuan gua ke Larissa.
Resti menoleh ke arah gua, kemudian berbisik; “Gw punya satu rahasia” ucapnya.
“Apa?” Tanya gua.
“Gw tau alasan kenapa Sasa beliin sepatu olahraga buat lo, padahal lo nggak suka sama modelnya. Gw juga tau alasan kenapa Sasa selalu ngelarang lo pake sweater putih favorit lo…”
“Kenapa?”
“Masa lo nggak tau sih?”
“Nggak tau, kenapa sih?” Tanya gua semakin penasaran.
Resti lalu bangkit, keluar dari dekapan gua dan duduk. “Elo nggak sadar, betapa gantengnya lo kalo pake sepatu kanvas buluk, dan sweater putih itu?”
Gua menggeleng. “Itu satu-satunya sepatu dan sweater yang gua punya saat itu”
“Ih…”
“Jadi, maksud lo… Sasa melakukan itu semua biar gua nggak terlihat keren?” Kali ini gua yang bertanya. Yang lalu dijawab dengan anggukan kepala oleh Resti.
“Iya…”
“Emang siapa orang yang bilang gua keren kalo pake sepatu kanvas buluk dan sweater putih? Tanya gua.
“Gw…” Ucapnya sambil menunjuk ke dirinya sendiri, kemudian mulai tertawa.
“Oh wow… berarti gara-gara elo, gua akhirnya harus make sepatu itu…”
“Sorry, tapi nggak gw doang yang bilang gitu, Sasa juga setuju kok… haha…”
Tawa dan senyum Resti rupanya menular. Entah kenapa, gua jadi ikut tertawa bersamanya. Gua meraih punggung dan menariknya mendekat. Seketika, senyum di wajahnya sirna, berganti dengan tatapan mata yang serius. Perlahan ia mengangkat tangan, lalu menempelkan jarinya tepat di bibir gua; “Udah berapa cewek yang lo cium pake bibir ini?” Tanyanya.
“Kenapa? apa penting?” gua balik bertanya.
“Nggak…” Jawabnya sambil menggeleng.
“...”
“... yang penting adalah berapa cewek yang bakal lo cium pake bibir ini”
“Satu…” Jawab gua. Kemudian meraih dagunya dan mulai menciumnya.
Ia membalas ciuman gua.
Tak seperti sebelumnya, kali ini Resti sama sekali nggak menarik tubuhnya menjauh dari gua. Ia meraih tangan dan mengisi sela-sela jemari gua dengan jemarinya. Kemudia melepaskan ciuman dan menatap gua; “Siapa yang barusan lo cium, Resti apa Sasa?”
“Elo” Jawab gua lirih.
Ia tersenyum kemudian kembali mendaratkan kecupannya di bibir gua.
—
Urusan ‘rumah’ dengan Mas Karlan selesai. Dan untuk sementara, sekedar untuk menghilangkan kekhawatiran Resti; gua tinggal di apartemen miliknya. Kini, gua tak lagi akrab dengan lotion anti nyamuk, dan rasa gerah yang bikin nggak nyaman saat tidur. Nggak cuma itu saja, karena lokasinya yang dekat dengan kantor, jelas membuat gua mampu memangkas biaya bensin karena nggak harus menggunakan sepeda motor.
Ponsel gua berbunyi. Masih dengan mata tertutup, gua meraba-raba permukaan ranjang, mencoba mencari sumber suara.
“Halo” Sapa gua, dengan suara serak karena belum benar-benar terbangun.
“Masih tidur?” Suara Resti terdengar di ujung sana.
“Tadinya masih…” Jawab gua.
“Buruan jemput…”
“Ahhh… Res, sekarang kan libur… Gua kan pengen bangun siang” Keluh gua kepadanya.
“Ntar abis nganter gw, lo boleh tidur lagi…” Responnya.
“Kemana sih emang?” Tanya gua.
“Ntar gw ceritain… udah buruan”
“Ya…” Jawab gua singkat, kemudian mengakhiri panggilan dan bergegas mengambil handuk untuk mandi. Namun, daripada langsung menuju ke kamar mandi, gua kembali berbaring di atas ranjang; ‘Ah, masih bisa nih merem 5 menit lagi’ batin gua dalam hati.
Belum sampai 5 menit, ponsel gua kembali berdering; nama Resti muncul di layarnya.
“Halo” Sapa gua.
“Jangan bilang lo tidur lagi?” Tanyanya.
“Nggak kok, ini udah kelar mandi” Jawab gua berbohong.
“Bohong. Udah buruan mandi!” Teriaknya
“Iya…” Dan kali ini gua benar-benar bergegas ke kamar mandi.
Sekitar satu jam berikutnya, gua sudah berada di rumah Resti.
“Eh Abian… Baru dateng? Tuh anaknya udah mencak-mencak dari tadi nungguin kamu…” Sapa Maminya Resti begitu melihat kehadiran gua.
“Udah sana, masuk… Tante sama Om tinggal ya…” Pamitnya, kemudian masuk ke dalam mobil dan pergi.
Gua melangkah pelan menuju ke pintu utama, mengintip sebentar sebelum kemudian masuk ke dalam rumah. Suara Resti menyambut begitu kaki gua melangkah masuk ke ruang keluarga; “Lama banget!” kemudian disusul sebuah sandal melayang tepat ke arah gua. Refleks gua menghentikan langkah dan mencoba menghindar; berhasil. ‘Yoi! ternyata respon gua masih cukup bagus’ batin gua dalam hati, memuji diri sendiri. Namun, rupanya ‘serangan’ tersebut merupakan sebuah jebakan. Jebakan yang membuat gua lengah. Serangan susulan dilancarkan Resti, kali ini ia melempar dompet-nya yang tepat mengenai kepala gua; “Auw!!” teriak gua
“Apaan sih Res…” Keluh gua sambil mengelus kepala gua.
“Gw udah siap dari tadi, lo lama banget” Ucapnya.
“Ya ini udah buru-buru. Lo kira gua gundala” Jawab gua, seraya mengambil dompet miliknya yang tergeletak di lantai.
Resti berjalan cepat menghampiri, ia meraih dompet dari genggaman gua dan bergegas pergi keluar; “Buruan!” ucapnya.
“Nggak sarapan dulu?” Tanya gua sambil berusaha menyusulnya.
“Udah ntar aja lah, udah telat nih…” Ucapnya sambil masuk ke dalam mobil.
“Gua laper…” Keluh gua.
“Tahan” Jawabnya singkat.
—
Beberapa saat berikutnya, kami sudah berada di parkiran gedung kampus yang terletak di daerah Jakarta Barat. Gua berlari kecil mengikuti Resti yang sejak tadi terlihat terburu-buru. Sampai saat ini, gua belum tau kegiatan apa yang akan ikuti, dan sepenting apa acaranya sehingga membuatnya terlihat nggak mau ketinggalan.
Resti berdiri tepat di depan sebuah ruang auditorium gedung kampus. Dari tempat kami berdiri saat ini, gua bisa mendengar suara riuh rendah disusul gemuruh tepuk tangan dari dalam auditorium. Setelah selesai menulis namanya pada sebuah kertas daftar hadir, Resti meraih tangan gua dan menyeret gua masuk ke dalam aula.
Seluruh ruangan auditorium terlihat gelap, mirip seperti gedung bioskop dengan sebuah panggung pada bagian paling depan. Di atas panggung berdiri seorang pria, yang tengah bicara sambil memegang microphone. Gua dan Resti duduk di deretan atas, paling belakang auditorium, satu-satunya baris yang masih tersisa saat itu.
“Acara apaan ini?” Tanya gua berbisik.
“Sssttt…” Resti merespon dengan menempelkan jari pada bibirnya.
“...”
“... Udah dengerin aja…” Tambahnya.
Gua mengangguk, dan mulai mendengarkan.
Namun, bukannya semakin paham, gua malah semakin ‘tersesat’ dengan arah pembicaraan pria yang terlihat sok pintar di depan. ‘Ah, mungkin karena nggak mengerti topik pembahasannya’ batin gua dalam hati.
Beberapa menit berikutnya; Rasa bosan dan lapar menyerang bersamaan.
“Ngomong apaan sih dari tadi, gua nggak ada yang paham?” Tanya gua sambil berbisik.
“Ssstttt…” Resti merespon dengan menempelkan jari pada bibirnya, ia bahkan nggak menoleh sedikit pun.
“Gua laper, boleh keluar nggak?” Tanya gua lagi.
Resti nggak menjawab, ia hanya menggerakan tangannya maju-mundur; memberikan kode agar gua keluar dari sana. Gua tersenyum, kemudian bergegas keluar dari auditorium; “Yes”
Gua berdiri tepat di pintu samping kampus, menatap ke arah gang dimana terlihat deretan kios penjual makanan dan jasa fotocopy. Hampir semua kios penjual makanan terlihat dipadati pelanggan yang kebanyakan mahasiswa, salah satu kios cukup menarik perhatian gua. Pertama karena sepi, kedua; karena tulisan ‘Xio-May’ yang terpampang pada bagian depan kios, entah salah cetak atau sengaja dibuat begitu sebagai salah satu strategi marketing.
Nggak pikir panjang, gua bergegas menuju kios tersebut. Gua duduk setelah memesan satu porsi siomay dan segelas teh tawar hangat. ‘Ah, tempat yang asik buat makan; sepi’ batin gua dalam hati. Sambil menunggu pesanan datang, gua menyulut sebatang rokok. Namun, belum genap satu menit gua mulai merokok, sosok perempuan masuk ke dalam kios dan duduk tepat di seberang gua.
“Mas Rokoknya mas” Ucap perempuan tersebut.
“Oh” Gua lalu mengambil bungkusan rokok beserta koreknya dari saku celana dan menyodorkan ke arahnya.
Ia memandang gua, dengan tatapan tajam. “Sorry, gw bukan minta rokok…” Ucapnya.
“Hah?”
“Matiin rokoknya…” Tambahnya lalu mulai berlagak batuk-batuk sambil menutup hidungnya dengan telapak tangan.
“Sorry…” Ucap gua, kemudian menjatuhkan rokok ke lantai dan menginjaknya.
Nggak lama, siomay pesanan gua datang bersamaan dengan pesanan milik perempuan yang duduk di seberang. Gua menatap porsi siomay di hadapan gua; porsi siomay yang sepertinya terlalu sedikit. Sementara, perempuan di depan gua juga melakukan hal yang sama; merasa porsi siomay miliknya terlalu banyak.
kemudian menggeser piring ke arahnya. Ia pun melakukan hal yang sama. Namun, sepertinya siomay yang seharusnya punya gua telah dibubuhi saos sambal terlalu banyak.
“Sorry…” Ucapnya.
Gua menghela nafas, kemudian menjawab; “No Worries”
Ternyata benar kata kebanyakan orang; Makanan pedas bisa membuat proses makan kita menjadi lebih cepat. Nggak butuh waktu lama buat gua untuk menghabiskan siomay yang kelewat pedas tersebut. Sambil memajukan bibir menahan panas, gua menyeka keringat di dahi dan sekitar telinga. Dan tentu saja Teh tawar hangat bukan paduan yang tepat buat makanan pedas. ‘Fuck!’ gerutu gua dalam hati.
Sementara perempuan di seberang gua, terlihat makan dengan santai sambil sesekali menatap ponsel yang sengaja diletakkan tepat di sebelah piring miliknya. Adakalanya matanya menatap ke luar, ke arah pintu masuk kios, seperti tengah menunggu seseorang.
Beberapa menit berselang, sosok pria masuk kedalam kios sambil menggendong seorang anak yang keliatannya tertidur. Perempuan di seberang gua langsung melempar senyum kepada sosok pria tersebut.
”Bobo ya Fatih-nya..” Ucap perempuan tadi.
”Iya nih..” Jawab pria yang menggendong anak, yang gua tebak adalah suaminya.
”Kok lama?”
”Iya tadi ketemu sama.. anu..”
”Siapa?” Tanya perempuan di seberang gua sambil mengernyitkan alis dan menatap tajam ke pria tadi.
”Ketemu dosen.. dosen aku dulu..” Jawab si pria.
”Ooh..”
”Nggak enak, jadi ngobrol dulu sebentar..”
Mendengar percakapan mereka berdua membuat gua tersenyum. Sambil menunduk, mencoba menyembunyikan tawa, gua berkata dalam hati; ‘Alah, bohong itu mbak. Paling abis ketemu sama selingkuhannya”
Masih dalam mode ‘nguping’ pembicaraan orang sambil menunduk. Ponsel gua berdering; Resti.
“Halo” Sapa gua.
“Dimana?” Tanya Resti dari ujung sana.
“Makan” Jawab gua singkat.
“Gw di mobil” Balas Resti.
“Lo mau siomay?” Tanya gua.
“Nggak, nggak nafsu makan…” Jawabnya ketus.
“Yaudah tunggu…” Gua mengakhiri panggilan. Kemudian berdiri, mengeluarkan lembaran uang pecahan lima puluh ribuan dari dalam saku dan memberikannya ke abang tukang siomay. “Sama punya mbak itu sekalian” Bisik gua ke abang penjual siomay.
—
Lumpuhkan Ingatanku
Jangan sembunyi
Ku mohon padamu jangan sembunyi
Sembunyi dari apa yang terjadi
Tak seharusnya hatimu kau kunci
Bertanya cobalah bertanya pada semua
Di sini ku coba untuk bertahan
Ungkapkan semua yang ku rasakan
Kau acuhkan aku
Kau diamkan aku
Kau tinggalkan aku
Lumpuhkanlah ingatanku
Hapuskan tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Jangan sembunyi
Ku mohon padamu jangan sembunyi
Sembunyi dari apa yang terjadi
Tak seharusnya hatimu kau kunci
Lumpuhkanlah ingatanku
Hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentangnya
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Lumpuhkanlah ingatanku
Hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentangnya
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Lumpuhkanlah ingatanku
Hapuskan tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Kau acuhkan aku
Kau diamkan aku
Kau tinggalkan aku