Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua duduk diatas sepeda motor, memandang ke arah rumah bergaya mediterania yang kini tampak lebih megah daripada ingatan gua sebelumnya. Rumah yang dulu kerap gua kunjungi, salah satu tempat yang mungkin paling banyak menyimpan memori bahagia gua selama hidup.
Saat ini, gua tenggelam dalam kebimbangan. Antara harus masuk dan mencari tau tentang Resti atau kembali pulang tanpa hasil. Gua membulatkan tekad, kemudian bergegas menekan bel yang terletak di ujung pagar.
Beberapa kali gua menekan bel namun tak ada tanda-tanda apapun. Gua melirik jam tangan; ‘Ah, mungkin gua yang datang terlalu larut’ batin gua dalam hati, sambil bersiap untuk pulang.
Suara pintu garasi terbuka. Terlihat sosok pria berlari keluar sambil berusaha mengenakan kemeja batiknya.
“Cari siapa mas?” Tanyanya dari balik jeruji pagar besi.
Gua menoleh.
“Pak Sam…”
“Eh… Mas Bian ya?” Tanya pak Sam sambil berusaha membuka gembok pada pagar.
“Iya pak…”
“Apa kabar mas?” Tanyanya lagi.
“Baik” Jawab gua singkat, kemudian bergegas masuk setelah pagar terbuka. Pak Sam lalu memandu gua, menuju ke pintu garasi yang terbuka sedikit. Biasanya, jam segini pintu utama rumah megah ini sudah ditutup dan dikunci, jadi para pekerja seperti pak Sam dan ART yang lain masuk lewat pintu garasi yang tersambung ke pintu dapur kotor.
Dari dapur kotor, Pak Sam terus memandu gua melewati koridor hingga akhirnya kami tiba di Dapur bersih yang bersebelahan dengan ruang makan.
Begitu tiba di ruang makan, terlihat Maminya Resti tengah duduk sambil mengupas buah, sementara Papinya terlihat duduk disebelahnya sibuk menatap layar ponsel dengan menggunakan kaca mata baca.
Maminya merupakan orang pertama yang menyadari kehadiran gua. Ia menoleh, menjatuhkan pisau yang digenggamnya, kemudian berdiri; “Ya Ampun, Bian?” Tanyanya. Kemudian berjalan menghampiri.
“Kemana aja kaseeep, bageurr?” Ucapnya sambil memeluk gua, tangisnya pun pecah.
Sementara Papinya bereaksi sedikit lebih normal. Ia meletakkan ponsel diatas meja, melepas kacamata baca dan menggantungnya pada saku kemeja yang ia kenakan. Kemudian berdiri menghampiri kami, lalu bergabung dalam pelukan.
Setelah sesi berpelukan berakhir. Maminya Resti memandang dari atas ke bawah, membelai lembut rambut gua dan menyadari perban di kepala yang hampir lepas.
“Kamu kenapa?” Tanyanya.
“Berantem?” Papinya Resti mengajukan pertanyaan tambahan sebelum gua menjawab.
“Kejedot, Om tante” Jawab gua pelan.
“Sini duduk…” Ucap Maminya Resti sambil mengarahkan gua ke salah satu kursi di depan meja makan. Gua lalu duduk, sementara Maminya Resti sibuk memanggil ART untuk minta diambilkan kotak P3K.
“Apa kabar kamu…?” Tanya maminya Resti sambil mengecek luka di kepala gua.
“Baik Tan…” jawab gua.
“...”
“... Om sama Tante apa kabar?” Gua bertanya balik.
“Baik dong…” Jawab Maminya Resti. Sementara Papinya kembali duduk di kursinya.
“...”
“Kamu kenapa baru kesini sih?” Tanya Maminya Resti.
“Em, Saya sebenernya mau nyari Resti, Tan…” Ucap gua.
Mendengar pertanyaan gua, Papinya Resti menatap gua dengan wajah serius; “Kamu udah ketemu sama Resti?” Tanyanya.
“Udah Om..” Jawab gua.
“Kok Resti nggak pernah cerita ya..” Respon Maminya. Kali ini ia mulai membersihkan luka di kepala gua dengan alkohol.
“Udah lama tuh berandal nggak pulang-pulang…” Ucap Papinya.
“Hush, Papi ngomongnya…” Keluh Maminya, yang mungkin nggak terima kalau anak sulungnya disebut berandal.
“Saya coba Telpon nggak diangkat, SMS juga nggak dibales, ke Apartemennya juga nggak ada kayaknya…” Gua menjelaskan.
Mendengar cerita gua barusan, Papinya dengan segap meraih ponsel dan mulai menelpon. Namun, sepertinya ia juga mengalami hal yang sama dengan gua; Nggak mendapat jawaban.
Maminya Resti telah selesai mengganti perban di kepala gua. Ia lalu duduk dan mulai bercerita; “Sejak Sasa nggak ada, Resti emang jadi aneh Bi… Kadang berhari-hari nggak pulang, tau-tau ada di Singapura.. Tiba-tiba beli Apartemen tanpa sepengetahuan kita. Trus dia tuh muali bergaul sama orang-orang nggak bener…”
“Iya, main sama berandal makanya jadi ikut berandalan juga…” Tambah Papinya.
“Hush Papi…”
“...”
“... Itu jidatnya sobek gara-gara naek motor sama berandal…” Papinya menambahkan, merujuk ke bekas luka di dahi Resti yang selama ini berusaha ia tutupi.
“Berarti kita nggak ada yang tau Resti kemana ya Om, Tante?” Tanya gua sambil menoleh ke Mami dan Papinya.
“Iya.. tapi paling juga ntar tiba-tiba dia nongol…” Jawab Maminya, seperti nggak punya kekhawatiran kepada putri yang kini satu-satunya.
“...”
“...Kamu udah makan bi?” Tanya Maminya.
“Udah tante…” Jawab gua berbohong.
“Udah lulus kuliah kan Bi kamu? Kerja dimana sekarang?” Kali ini Papinya yang bertanya.
“Iya, dulu pas masih kuliah saya nyambi jadi tukang pasang-pasang kabel internet om..”
“Oh, ya bagus deh.. jadi banyak keahlian.. Tapi pelajaran Ekonominya jadi sayang kan Bi kalo nggak dipake, ntar luntur lho…”
“Iya sih, Om.. Abis mau gimana lagi, nyari kerjaan yang sesuai jurusan harus ada pengalaman. Pengalaman saya kan narik-narik kabel…”
“Oh ya sementara gapapa, tapi jangan terlena… sambil nyari-nyari lagi kerjaan yang sesuai jurusan…”
“Iya Om…”
Setelah hampir satu jam kami bertiga saling bercerita tentang waktu yang hilang. Akhirnya gua memutuskan untuk pamit dan pulang. Sayangnya, gua nggak punya keberanian untuk mengkonfirmasi tentang perkara jual-beli mobil bokap dan makanan yang dikirim Tile buat gua di kosan. Tapi, paling tidak malam ini gua mendapat beberapa insight yang cukup berharga; Resti memang kerap ‘hilang’ lalu kembali muncul. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan ucapan Tile sebelumnya, benar adanya; ‘Banyak orang yang sayang sama gua’.
Walau tubuh ini lelah, tapi nyatanya hati ini cukup mendapat banyak penghiburan.
—
Besoknya, walau masih belum ada kabar dari Resti tapi gua nggak lagi khawatir seperti sebelumnya. Walaupun rasa was-was tetap masih ada, tapi kata-kata dari Mami dan Papinya kemarin tentu saja memberi gua sedikit ‘harapan’. Apalagi setelah dipikir-pikir, siapa yang berani-beraninya mendekati Resti? apa dia siap gosong dan terbakar? Ha ha!
Sementara tak ada Resti, hidup gua kembali disesaki oleh pekerjaan, Wawan dan Feli.
Urusan pekerjaan memang yang paling tepat jika digunakan sebagai pengalih perhatian. Namun, dikala sendirian di kamar kos; Resti kembali menghantui pikiran. Entah sudah berapa pesan yang gua kirim kepadanya dan tak terhitung panggilan telepon yang gua lakukan, walaupun tau bakal seperti apa hasilnya.
Hari berganti hari. Setelah tepat seminggu setelah menghilangnya Resti, gua berdiri dalam antrian coffee shop di lobby lantai dasar. Sementara, Wawan duduk bersantai di salah satu kursi bersama Feli. Sudah hampir seminggu ini kami bertiga rutin mengadakan ‘Arisan Kopi’, skemanya sederhana; yaitu menggunakan promo beli 2 gratis satu yang diadakan setiap hari jam 5 sampai jam 6 sore. Kami bergantian membayar dua gelas untuk mendapatkan 3 gelas kopi. Dan hari ini tepat, giliran gua.
Setelah selesai memesan dan melakukan pembayaran, gua menghampiri Wawan dan Feli, keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing. Wawan sibuk dengan panggilan teleponnya sementara Feli terlihat lincah memainkan game pada ponselnya.
“Mana?” Tanya Wawan begitu selesai dengan panggilan teleponnya.
“Apanya? Gua bertanya balik.
“Kopi…”
“Belom… ntar dipanggil..” Jawab gua singkat.
“Gua dipanggil meeting nih keatas…” Ucap Wawan.
“Ya tunggu aja sih, sebentar lagi juga kelar…” Respon gua.
“Yaudah kak ntar kopinya aku anterin…” Feli menawarkan solusi.
“Bener?” Wawan memastikan.
“Iya…” Feli mengangguk setuju. Namun, tawaran tinggal tawaran. Nama gua dipanggil oleh pelayan coffee shop. Yang kemudian menyerahkan pesanan tiga gelas kopi ke gua. Wawan buru-buru menyambar gelas kopi miliknya kemudian berjalan cepat menuju ke arah lift untuk kembali ke atas. Sementara, gua kembali ke tempat duduk dimana Feli menunggu.
Gua tertegun saat melihat Resti duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Wawan. Sementara Feli yang berada tepat di sebelahnya menatap gua bingung.
“Punya gw yang mana?” Tanya Resti begitu melihat gua datang membawa dua gelas kopi.
Gua nggak menjawab. Lalu meletakkan gelas kopi milik gua tepat didepan Resti. Sementara, Feli mengambil kopi miliknya dari genggaman gua, tatapannya masih memancarkan kebingungan. Sesekali ia melirik ke arah Resti; seakan tak berani menatapnya secara langsung.
“Uek… Nggak pake gula nih?” Keluh Resti begitu mencoba kopi milik gua.
Gua menggeleng, kemudian duduk diantara Resti dan Feli.
“Dia siapa?” Tanya Resti sambil jarinya menunjuk ke arah Feli. Sebuah tindakan yang mungkin bakal dianggap kurang sopan bagi orang yang nggak mengenal Resti.
“Fel, ini Resti… Res, Ini Feli…” Gua bicara, saling memperkenalkan mereka berdua.
“Halo kak, Aku Feli…” Feli menyapa sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Sementara Resti hanya memalingkan wajahnya sesaat kearah Feli kemudian kembali menatap gua. Ia bahkan nggak melepas kacamata hitam yang dikenakan sejak tadi.
Membaca situasi yang agak canggung, Feli akhirnya memutuskan untuk pergi. Ia meraih tas punggungnya kemudian berdiri. “Kak, aku balik duluan ya… Kak Resti aku balik ya” Ucapnya kemudian pergi.
Gua menghela nafas dan menatap Resti.
Saat ini sisi hati gua tengah melompat kegirangan karena bertemu dengannya. Namun sisi hati gua yang lain merasa geram. Geram karena perlakuannya barusan, dan Geram karena ia hadir tiba-tiba tanpa rasa bersalah dan penyesalan.
“Baru seminggu gw tinggal lo udah genit, ngopi berdua sama dia…” Ucap Resti pelan.
“Gua tadi bertiga…” Jawab gua memberi alasan.
“Oh Wow, Siapa cewek yang satu lagi?” Resti bertanya.
“Cowok..”
“Siapa?”
“Gua kasih tau juga lo nggak bakal kenal” Ucap gua.
“Try me…”
“Wawan namanya…”
“Oh, Wawan…” Ucap Resti, ia meraih gelas kopi di depannya kemudian berdiri.
“Hah, lo kenal sama Wawan?” Tanya gua sambil mengikuti ia pergi.
“Nggak!” Jawabnya singkat.
Resti terus melangkah, menuju keluar gedung. Langkahnya terhenti saat kami berdua tiba di tepi trotoar. Ia menoleh ke kanan dan kekiri, seperti bingung hendak menuju kemana. Gua menarik tangannya dan membawanya ke belakang gedung. Ke Tempat biasa kami bertemu; Tukang Ketoprak.
“Gw lagi nggak pengen makan ketoprak…” Ucapnya pelan.
“Yaudah, liatin gua makan aja…” Jawab gua, sambil mendekat ke abang tukang ketoprak dan memesan satu porsi. Lalu duduk di kursi plastik bersebelahan dengan Resti yang masih cemberut dengan kacamata hitam dan hoodie sweater menutupi kepalanya.
“Lo dari mana?” Tanya gua.
“Gw baru sampe dari Bandung” Jawabnya.
“Kenapa nggak ngabarin? Lo ilang seminggu tau-tau dateng langsung manyun…” Ucap gua
“Gw baru pergi seminggu tau-tau ngeliat lo ngopi berduaan sama cewek laen…” Balasnya.
“Gua kan udah bilang kalo tadi kita bertiga, nggak berduaan…”
“Gw juga barusan bilang kalo dari Bandung, Udah ah, lagi males bahas hal-hal beginian”
“Oh Wow, Padahal ada banyak hal pengen gua tanya”
“...”
Gua menghela nafas dan mencoba menghentikan perdebatan dengannya. Intinya, Resti sudah kembali, itu saja sudah cukup membuat gua senang. Urusan alasan-alasan lain di baliknya, akan gua tanyakan begitu suasana hatinya membaik.
Kali ini gantian Resti yang menghela nafas panjang; “Gw capek…” Keluhnya kemudian menyandarkan kepalanya di bahu gua.
Ketoprak pesanan gua akhirnya selesai. “Bener nggak mau?” Tanya gua sambil mulai menyendok ketoprak. Resti nggak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya yang masih ia sandarkan di bahu gua.
“Kepala lo gimana?” Tanyanya.
“Apanya yang gimana?” Gua bertanya balik.
“Udah sembuh belom?” Ia memperjelas pertanyaannya.
“Udah…” Jawab gua singkat.
“Siapa yang ngganti perbannya? Cewek yang tadi?” Tanyanya lagi.
“Bukan…”
“Tapi cewek kan?”
“Iya…”
Resti mengangkat kepalanya dari sandaran di bahu lalu menatap gua; “Siapa cewek yang berani-berani ganti perban lo?” Tanyanya.
“Kenapa emang? masa iya harus nunggu elo cuma buat ganti perban?”
“Jawab, siapa yang ganti perban kepala lo?” Tanyanya lagi.
“Nyokap lo..” Jawab gua, sambil meneruskan makan.
Mendengar jawaban gua, ekspresi wajah Resti seketika berubah. Sebelumnya ia tampil layaknya macan yang ingin menerkam mangsanya, kini menjadi anak kucing yang baru kecebur got.
“Ngapain lo ke rumah?” Tanyanya
“Ya nyari elo lah…” Jawab gua.
“Papi sama Mami ngomong apa?” Tanyanya, sambil kembali menyandarkan kepalanya di bahu gua.
“Mmm.. Banyak… Tapi yang gua inget cuma ‘Berandal’ doang…” Ucap gua, meledeknya. Ia lantas melancarkan cubitan ke arah pinggang gua.
“...”
“... terus gua juga ketemu sama Tile, Dia cerita tentang urusan jual-mobil bokap gua. Mobil yang sekarang ada di parkiran basement apartemen lo…”
“...”
“... Papi Mami lo juga cerita gimana lo dapet luka di jidat…”
“Terus lo bilang ke mereka nggak, tentang hubungan kita?” Tanyanya.
“Hubungan kita? emang hubungan kita apa? lo kan masih belom nerima gua?”
Resti melepas kacamata hitam yang selama ini menutupi matanya, kemudian menatap gua; “Then, please… please help me…” ucapnya lirih.
“Step one…” Ucap gua sambil mengangkat jari telunjuk.
“...”
“... Open up your heart and let me in…”
“How?”
“Mulai dari kabarin gua kalo lo mau pergi kemana-mana…”
Resti mengangguk pelan kemudian tersenyum. Ia lalu merubah posisi duduknya, kali ini menghadap ke arah gua, sementara kedua tangannya ia letakkan di pangkuan. Terlihat seperti orang yang siap menerima perintah; “Step two?” Tanyanya.
“Cerita semua ke gua tentang ini…” Ucap gua sambil menunjuk ke bekas luka di dahinya.
Ia kembali mengangguk. “Step Three?”
“Sementara itu aja dulu…” Jawab gua sambil meletakkan piring kosong dibawah.
“Kalo semua stepnya udah kita lakukan, tapi hati gw masih belom ‘beres’ gimana?” Tanyanya.
“Ya kita coba lagi, kita coba terus…” Jawab gua.
—
Collective Soul - Run
Are these times contagious
I've never been this bored before
Is this the prize I've waited for
Now as the hours passing
There's nothing left here to insure
I long to find a messenger
Have I got a long way to run
Yeah, I run
Is there a cure among us
From this processed sanity
I weaken with each voice that sings
Now in this world of purchase
I'm going to buy back memories
To awaken some old qualities
Have I got a long way to run
Yeah, I run
Have I got a long way
Have I got a long way to run
Yeah, I run
Have I got a long way to run