uniekirdpanAvatar border
TS
uniekirdpan
Istriku Biadab



"Ma," bisikku mesra. Kuciumi pipi mulus Resty dengan gejolak yang sudah menggebu.


"Apa, sih, Pa? Aku ngantuk banget. Capek," lirih Resty manja. Matanya masih terpejam.


Aku mendengkus kasar. "Ayolah, Ma. Bentar aja. Mumpung Salsa udah tidur." Aku masih berusaha merayu.


"Ah, aku capek banget. Besok pagi udah harus berangkat kerja," tolaknya seraya menepis pelukanku.


Lagi-lagi, Resty menolak ajakanku untuk memadu kasih. Padahal, pasti dia tahu, menolak permintaan suami untuk itu dosanya sangat besar. 


Dia berubah setelah memutuskan untuk bekerja. Alasannya capeklah, malaslah, frekuensi datang bulannya juga jadi semakin sering. Menyebalkan sekali. Inilah yang membuatku menolak keras mengijinkannya untuk bekerja. Lagipula, penghasilanku sebagai bos cilok lebih dari cukup untuk memanjakan anak istri.


Namun, karena dia terus memaksa dengan wajah imutnya yang menggemaskan, apa boleh buat, akhirnya aku luluh juga. Alasannya, Resty merasa bosan di rumah terus. Hingga akhirnya, sekarang aku menyesal dengan keputusan itu. 


"Ma ...."


"Apa, sih, Pah, ih!" Resty dengan cepat berbalik membelakangiku. Saat itulah, kancing piyama bagian dadanya terbuka. Aku terbelalak, sekilas melihat tanda merah di kulit putih mulus itu.


Dadaku seketika berdesir. Nafsu yang sejak tadi sudah di ubun-ubun, musnah seketika. Perlahan, kusingkap sedikit piyamanya, memastikan apa yang pertama tadi kulihat. Benar. Siapa yang membuat tanda itu, sementara sudah dua minggu aku tak menyentuhnya.


"Ma, bangun kamu!" pekikku seraya mengguncang cepat tubuhnya.


"P-papa kenapa, sih?" sahutnya terlihat ketakutan.


"Ada maen apa, kamu di belakangku, hah?!" hardikku dengan tatapan melotot tajam padanya.


"P-papa ngomong apa, sih?" tanyanya seperti orang linglung.


"Ini apa, ini?" Kutarik kasar piyamanya hingga seluruh kancingnya terlepas. "Itu apa? Jawab!" 


"Mama gak ngerti maksud Papa? Apa yang Papa maksud?" tanyanya seperti kebingungan. Wajah polosnya memerah seketika.


"Ini! Siapa yang sudah meniduri kamu?" Kutunjuk dengan kasar bagian memerah di dadanya.


"Ini? Ini cuma bekas gigitan nyamuk yang digaruk terus sampe merah. Kok, Papa mikirnya gitu, sih, sama Mama?" teriaknya sambil menangis.


"Jangan ngeles, kamu!" 


"Emang kamu pikir, aku perempuan macam apa?! Jahat banget, kamu, Pa, nuduh aku kaya gitu." Sekarang suaranya lebih kencang dariku.


Melihatnya menangis tersedu-sedu, sontak aku merasa kasihan, dan menyesal langsung memarahinya tanpa bertanya baik-baik dulu. 


Gegabahnya aku. Harusnya berpikir, mana mungkin, wanita sepolos Resty bertindak tidak terpuji seperti itu.


Kurengkuh ia dalam dekapan, dan menepuk-nepuk punggungnya pelan. "Maaf, Sayang, papa hilang kendali. Udah, ya, jangan nangis lagi."


Resty mengangguk pelan dalam dekapanku.


____


"Istrimu itu nyeleweng!" ucap Junaedi. Teman yang memasukan Resty kerja ke pabrik. Kebetulan Edi adalah security di sana.


"Lah, jangan ngarang kamu, Di!" Aku mengelak. 


"Dih, ngapain aku mengada-ngada? Awalnya, aku gak niat ngasih tau kamu. Gak pengen ikut campur. Tapi, lama-lama ya kasian sama kamu, Fan. Sudah kukasih tau dia tapi, gak digubris. Sekarang, cari tau dan urus aja gimana baiknya."


Emosiku seketika memuncak. Dada sesak menahan amarah. Apa benar kecurigaanku selama ini?


Akhirnya, atas saran Irfan, aku memutuskan untuk membuntuti Resty saat ia berangkat kerja. Karena menurut Irfan, laki-laki muda selingkuhannya setiap hari Resty antar jemput untuk berangkat dan pulang kerja bareng. Jika benar, alangkah bodohnya istriku itu. Mau-maunya dimanfaatkan laki-laki.


Setelah motor Resty sudah terdengar keluar dari halaman rumah, segera kupakai jaket dan helm yang dipinjam dari tetangga. Termasuk motor. Supaya Resty tidak mengenali.


"Mau ke mana, Kang?" tanya salah satu karyawan yang bekerja membuat cilok di rumahku.


"Keluar sebentar. Titip Salsa, ya. Dia anteng sama kamu, 'kan?"


"Lah, kok, gak bawa motor?" tanyanya lagi. Aku memang tidak membatasi diri antara aku dan karyawan. Sehingga mereka tidak canggung.


"Ah, sudah, pokoknya titip Salsa."


Setengah berlari aku ke rumah tetangga, mengambil motor. Takut keburu kehilangan jejak Resty. Untungnya, berhasil juga menyusul dan membuntutinya dengan jarak lima meteran di belakangnya.


Jantungku berdegup sangat kencang saat motor Resty berbelok ke daerah Sambong jaya. Keputusan untuk menunggu di seberang jalan. Terlalu mencurigakan kalau ikut masuk. 


Mudah-mudahan saja semuanya tidak seperti yang Edi ceritakan, juga seperti yang kutakutkan.


Hingga beberapa saat kemudian, motor yang kubelikan untuk Resty sebagai kado ulang tahun setahun lalu itu kembali dikendarai seorang laki-laki muda. Resty membonceng di belakang seraya memeluk sangat erat laki-laki itu. Mereka melewatiku yang tertegun di sini. Mengobrol hangat seraya sesekali tertawa cekikikan. Tawa yang akhir-akhir ini tak pernah Resty tunjukan saat tengah bersamaku.


Bersambung.


Demi apa pun, cerita ini terinspirasi dari kisah nyata yang banyak terjadi waktu ane kerja di pabrik dulu. ☺️

Lanjutan di kolom komentar, ya, Gan. Sorry kalau ada yang keliru, ane baru banget nulis di kaskus.

Oh, ya, buat yang pengen cepet baca sampai tamat, bisa mampir ke akun KBM app ane. Usernamenya UnieVejvongsa24 dengan judul Istriku Polos-polos Biadab

Jangan lupa, baca juga https://www.kaskus.co.id/show_post/6...9b4c777a236a08
Gak kalah seru, lho!
Diubah oleh uniekirdpan 22-12-2021 03:11
pohonrindang11
anonymcoy02
servesiwi
servesiwi dan 30 lainnya memberi reputasi
31
9.4K
118
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
uniekirdpanAvatar border
TS
uniekirdpan
#4
Part 4
"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya dari dalam. Tak lama, ia menyembul dari balik pintu dengan wajah yang sembab.

"Ma," ucapku, seraya mencium takzim tangannya.

Mama langsung salah tingkah, "Aa." Kemudian seketika menangis meraung dan merunduk ke arahku.

Segera kutahan dengan memeluknya. "Jangan begitu, Ma," ucapku parau.

"Mama malu sekali dengan kelakuan si Resty, A' Irfan. Huhuhuhu maafkan Mama sudah gagal didik anak." Kalimat-kalimat yang dilontarkan Mama benar-benar menyentuh relung hatiku yang paling dalam.

Betapa kelakuan Resty sudah menyakiti banyak pihak. Bukan hanya aku dan Salsa tapi, juga keluarganya. Terutama Mama. Beliau pasti sangat kecewa dan malu.

Selama ini, aku selalu bersikap adil, pada mertua maupun orang tuaku yang tinggal Emak. Seperti tahun lalu, aku memberangkatkan Emak bersama kedua orang tua Resty untuk umroh. Mereka senang bukan main. Karena memang itu impian mereka. Terutama orang tua Resty. Karena Emak sudah kuberangkatkan sekali sebelumnya. Wajar kalau Mama merasa sangat terpukul.

"Resty saat ini masih istri Irfan. Tanggung jawab Irfan. Sehingga kejadian ini adalah kegagalan Irfan mendidik istri!" ucapku seraya menepuk-nepuk pelan punggung Mama yang semakin erat memelukku dalam tangisnya.

"A' Irfan, kapan sampai?" Bapak tiba-tiba muncul masih dengan koko dan sarung. Serta sajadah di pundak. Beliau baru pulang dari mesjid.

Melihat betapa agamisnya mertua, sungguh disayangkan wanita seperti Resty berasal dari keluarga mereka.

"Baru sampai, Pak." Perlahan aku melepas pelukan Mama, dan beralih hendak mencium tangan Bapak. Namun, pria paruh baya itu malah merangkul dan menepuk-nepuk punggungku.

"Bisa kita bicara di dalam, Pak? Malu dilihat tetangga," ucapku menahan haru dan sedih.

A' Samsul tak berapa lama muncul bersama Teh Tina, istrinya. Kakak sulung Resty yang berprofesi sebagai guru SMA itu rumahnya memang persis di sebelah Mama dan Bapak. Sehingga pasti mendengar pembicaraan kami di luar dan mengetahui bahwa aku datang.

"A', Teh," sahutku, seraya menyalami kedua kakak iparku itu bergantian.

Kini kami berempat duduk berkumpul di kursi ruang tamu. Tak lama, Nazwa, adik Resty datang membawa nampan berisi empat gelas teh panas. Meski sama-sama cantik, berbeda dengan kakaknya, Nazwa yang terpaut tiga tahun dari Resty cenderung pendiam dan sopan. Itu menurut pengamatanku selama ini. Entah, aslinya bagaimana.

Setelah menaruh isi nampan, dengan sopan, ia menyalamiku dan kembali berlalu ke belakang.

Setelah beberapa jenak suasana tak nyaman menguasai, akhirnya aku membuka percakapan



"Sebelumnya, Irfan minta maaf karena tadi lekas pulang dan ...."

"Gak pa-pa, Fan. Aa ngerti. Justru kami yang harus minta maaf sama kamu atas kelakuan Resty," ujar A' Samsul bijak dan tenang. Meski aku tau, ia juga begitu kecewa dan terpukul atas kelakuan adiknya.

Syukurlah, pasti mereka mengerti betapa terpukulnya aku tadi, sehingga tak sanggup berada lama di tempat kejadian, dan menyerahkan semua urusannya pada mereka.

"Seperti yang Irfan tadi bilang sama Mama, ini semata-mata kegagalan Irfan sebagai kepala keluarga, A'," sanggahku parau.

"Entahlah, A', tidak paham Mama sama jalan pikiran si Resty itu," sahut Mama masih diiringi tangis sedu sedan. "Punya suami tanggung jawab, sayang, dan baiknya luar biasa. Bisa-bisanya dia malaweung seperti itu," lanjutnya penuh nada kekesalan.
(Malaweung; semacam teledor atau bertingkah)

"Irfan juga yang salah udah ijinin Resty kerja. Harusnya Irfan bisa lebih tegas ngelarang," ucapku tidak enak. "Padahal waktu itu Irfan sangat keberatan. Bagaimana lagi, Resty bersikeras," sambungku.

"Itu yang paling aneh. Punya suami mapan, orangmah senang bisa diem di rumah. Ini, kok, disuruh enak gak mau. Malah ngotot pengen kerja. Udah, ini mah, kebodohan dan kegobl*kan dia sudah melempar kotoran ke muka keluarga ini." A' Samsul geleng-geleng kepala seraya mengusap wajahnya. "Sampe gak nafsu maka aa sampe sekarang, saking gak kuat nahan malu. Mama sama Bapak juga dari tadi ngelamun terus," imbuhnya panjang lebar.

Hal itu membuatku tiba-tiba merasa bersalah yang bukan pada tempatnya. Menyesal sudah mempermalukan Resty tadi. Padahal itu sudah sangat wajar, bahkan kurang untuk memberi pelajaran istri yang nyeleweng sampai berhubungan badan seperti Resty. Tapi, imbasnya, seluruh keluarga jadi ikut malu.

"Jadi, sekarang, keputusan A' Irfan bagaimana?" Bapak yang sejak tadi diam turut membuka suara. Pria sepuh itu sejak tadi terpekur menyimak obrolan kami.

"Irfan ...." Aku menggantung kalimat.

"Semua ada di tangan A' Irfan. Kami sebagai orang tua sangat merasa terpukul harus kehilangan mantu sebaik Aa. Tapi, ya, mengingat kelakuan si Resty yang kelewat fatal, kami sadar betul terlalu tak tau malu kalau berharap Aa masih mau mempertahankan." Mama kembali bersuara.

"Betul, Fan. Kamu berhak ambil keputusan menurut yang hati kamu kehendaki. Hanya, jangan sampai setelahnya kita jadi renggang. Ada Salsa yang menjadi ikatan kuat kita sebagai keluarga," sahut A' Samsul lagi.

Nyut! Tentang Salsa, selalu saja menjadi penyebab luka ini semakin terkoyak sejak tadi. Semoga keputusan yang kuambil menjadi yang terbaik untuknya.

"A-anu, Irfan ke sini mau antarkan barang-barang Resty, Ma. Mohon maaf, kalau selama menjadi menantu di keluarga ini, Irfan banyak kekeliruan." Kalimat itu meluncur diiringi air mata yang sejak tadi tertahan. Hari ini, aku benar-benar menjadi laki-laki cengeng. Bahkan saat Bapak meninggal sepuluh tahun lalu, aku tidak secengeng ini.

Bapak, A' Samsul, dan Teh Tina terlihat mengangguk. Sementara Mama seketika kembali terisak menutupi wajah dengan kedua belah tangan seraya tertunduk. Nampak betul Mama sangat terpukul. Saat itulah, terdengar juga suara isakan tertahan dari kamar. Ternyata, sejak tadi Resty menyimak obrolan kami dari kamar depan yang tepat bersebelahan dengan ruang tamu.

"Res, keluar kamu. Minta maaf sama Irfan. Jangan cuma nangis di dalam. Istri durhaka, kamu. Banyak sekali dosa-dosamu pada suami," ucap A' Samsul lantang. Membuat tangis Resty semakin kencang di kamar. Aku hanya tertunduk memainkan jemari. Menyembunyikan air mata yang mulai membanjiri kedua belah pipi.

"Bener kata Aamu. Keluar!" Bapak turut buka suara.

Tak kunjung mendapat sahutan, A' Samsul menepuk paha istrinya, mengisyaratkan sesuatu. Wanita berjilbab lebar itu pun bangkit, dan masuk ke kamar di mana adik iparnya berada.

Beberapa saat, terdengar percakapan yang tidak begitu jelas di dalam. Kemudian, Teh Tina keluar mengapit Resty yang masih dalam keadaan yang ... memprihatinkan. Mata bengkak, bagian pipi lebam membiru. Entah siapa yang menghajarnya. Rambut berantakan. Serta masih mengenakan pakaian yang tadi pagi. Jujur, aku kasihan.

Namun, mengingat bagaimana kejamnya ia memperlakukanku, rasanya itu pantas ia terima. Bahkan belum cukup setimpal. Kuseka wajah yang basah dengan lengan jaket yang dikenakan. Aku harus tegar. Tidak boleh terlihat sedih di depan wanita laknat itu. Harus kutunjukan bahwa dengan melepasnya, aku masih bisa hidup normal dan bahagia.

Aku menatapnya dalam dari tempatku duduk. Beberapa saat tatapan kami beradu. Bukan lagi saling menatap penuh cinta seperti dulu sebelum badai ini akhirnya memporak-porandakan mahligai rumah tangga yang kami bangun dengan suka cita. Semua berbanding 180 derajat. Ia bukan Restyku yang dulu. Gadis polos dan manja yang kupinang sebagai permaisuri.

Kemudian ia menghambur memeluk kakiku untuk kedua kalinya seperti tadi siang. "Pa ... m-mama minta maaf, mama udah sangat berdosa sama Papa," ucapnya terbata seraya menangis terisak.

Kulepas pelukannya di kakiku, dengan meraih kedua bahu yang berguncang kencang itu dan memundurkannya pelan. Kupindai mata indah yang memerah dan berair itu dalam.

Lalu menghela napas panjang, berharap bisa sedikit menyirnakan sesak di dada, "Resty Sundari, mulai saat ini, terlepas semua kewajiban dan hakmu atasku. Aku ... menalakmu."

Bersambung
herry8900
anonymcoy02
servesiwi
servesiwi dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup